Sabtu, 06 Juli 2013

BAB III (Tesis) D



BAB III (D)
  1. Temuan Penelitian
Berdasarkan analisa penulis yang terkait dengan upaya untuk memahami konsep maqashid asy-syari’ah al-Ghazali. Bahwa kecenderungan al-Ghazali dalam memihak teks lebih diprioritaskan dari pada  realitas sosial. Menurutnya, kemashlahatan yang menjadi tujuan syari’ dalam pensyari’atan harus berpihak pada teks, baik al-Qur’an, as-Sunnah, atau al-Ijma’. Maqashid asy-Syari’ah sepenuhnya berada dalam otoritas teks, walaupun terjadi kontradiksi dengan fakta, seperti dalam persoalan seorang raja berkumpul (jima’) dengan istrinya pada siang hari bulan ramadlan. Dalam hadits, orang yang melakukan hubungan seksual (jima’) dengan istrinya pada siang hari bulan ramadlan mendapat sangsi dari syari. Sangsi ini tidak memberi ketentuan apakah bagi penguasa atau rakyat biasa?, yaitu memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 fakir miskin.
Menurut sebagian ulama’, jika seorang raja dikenai sangsi untuk memerdekakan budak hal ini mudah baginya untuk membayar dan ia tidak akan jera atas sangsi itu, sehingga yang lebih tepat adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Secara rasional pendapat ini dapat dibenarkan, karena pada prinsipnya sangsi berupa apapun adalah dalam rangka untuk kemashlahatan makhluq. Dalam persoalan ini adalah agar manusia jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Walaupun secara rasio pendapat di atas dapat dibenarkan, tetapi karena hal ini bertentangan dengan teks, maka al-Ghazali menganggap sebagai pendapat yang batil atau dalam istilah al-Ghazali al-Mulgha. Dalam  artian, pendapat tersebut tidak dapat dibenarkan karena bertentangan teks. Teks mengatakan sangsi pertama adalah memerdekakan budak, jika tidak mampu ia harus puasa dua bulan berturut-turut, dan yang terakhir adalah memberi makan 60 fakir miskin.
Pada sisi lain, al-Ghazali dapat membenarkan metode qiyas sebagai hal yang tidak bertentangan dengan maqashid asy-syari’ah. Metode ini didominasi oleh keumuman lafadz, dalam pengertian, jika ada teks yang redaksinya bersifat umum, maka teks tersebut harus diaplikasikan berdasarkan semua cakupannya tanpa harus memperhatikan historisitas lahirnya teks. Ia mengistilahkan dengan ” al-Mashlahah al-Mu’tabarah. Sebagaimana pendapatnya:

Selanjutnya, al-Ghazali berpendapat jika dalam wujud tidak adanya pengakuan maupun pembatalan dari syari’, maka hal ini juga dapat dibenarkan keberadaannya sebagai bagian dari maqashid asy-syari’ah, dengan syarat harus tetap mengacu pada al-Qur’an, as-Sunnah, dan al-Ijma’. Dalam istilahnya ”al-Mashlahah al-Mursalah”. Sebagaimana pendapatnya:

Dalam merealisasikan lima unsur pokok di atas, al-Ghazali membagi menjadi tiga tingkatan, yaitu ar-Rutbah adh-dharuriyah, al-Hajjiyah, dan ar-Rutbah at-Tahsiniyah.
Pada tingkatan pertama, al-Ghazali memposisikan sebagai kebutuhan yang paling pokok. Tanpa terpenuhinya kebutuhan ini, maka dalam pandangan syari’ kehidupan manusia dianggap kacau. Sedangkan tingkatan kedua adalah dalam rangka untuk menghilangkan kesukaran dan kesulitan serta memberikan kemudahan bagi mukallaf. Dan tingkatan yang terakhir adalah sifatnya sebagai pelengkap. Dalam artian, keberadaannya hanya untuk menyempurnakan lima unsur pokok, yaitu  perlindungan tehadap agama (hifzh ad-din), perlindungan terhadap jiwa (hifzd an-Nafs), perlindungan terhadap akal (hifzh al-’Aql), perlindungan terhadap keturunan (hifzh an-Nasl), dan perlindungan terhadap harta (hifzh al-Mal).

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id