BAB III (D)
- Temuan Penelitian
Berdasarkan
analisa penulis yang terkait dengan upaya untuk memahami konsep maqashid asy-syari’ah al-Ghazali. Bahwa kecenderungan
al-Ghazali dalam memihak teks lebih diprioritaskan dari pada realitas sosial. Menurutnya, kemashlahatan
yang menjadi tujuan syari’ dalam pensyari’atan harus berpihak pada teks, baik
al-Qur’an, as-Sunnah, atau al-Ijma’. Maqashid asy-Syari’ah sepenuhnya berada
dalam otoritas teks, walaupun terjadi kontradiksi dengan fakta, seperti dalam
persoalan seorang raja berkumpul (jima’)
dengan istrinya pada siang hari bulan ramadlan. Dalam hadits, orang yang
melakukan hubungan seksual (jima’) dengan istrinya pada
siang hari bulan ramadlan mendapat sangsi dari syari. Sangsi ini tidak memberi ketentuan
apakah bagi penguasa atau rakyat biasa?, yaitu memerdekakan budak, puasa dua
bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 fakir miskin.
Menurut
sebagian ulama’, jika seorang raja dikenai sangsi untuk memerdekakan budak hal
ini mudah baginya untuk membayar dan ia tidak akan jera atas sangsi itu,
sehingga yang lebih tepat adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Secara
rasional pendapat ini dapat dibenarkan, karena pada prinsipnya sangsi berupa
apapun adalah dalam rangka untuk kemashlahatan makhluq. Dalam persoalan ini adalah
agar manusia jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Walaupun
secara rasio pendapat di atas dapat dibenarkan, tetapi karena hal ini
bertentangan dengan teks, maka al-Ghazali menganggap sebagai pendapat yang
batil atau dalam istilah al-Ghazali al-Mulgha.
Dalam artian, pendapat tersebut tidak
dapat dibenarkan karena bertentangan teks. Teks mengatakan sangsi pertama
adalah memerdekakan budak, jika tidak mampu ia harus puasa dua bulan
berturut-turut, dan yang terakhir adalah memberi makan 60 fakir miskin.
Pada
sisi lain, al-Ghazali dapat membenarkan metode qiyas sebagai hal yang tidak
bertentangan dengan maqashid
asy-syari’ah.
Metode ini didominasi oleh keumuman lafadz, dalam pengertian, jika ada teks
yang redaksinya bersifat umum, maka teks tersebut harus diaplikasikan
berdasarkan semua cakupannya tanpa harus memperhatikan historisitas lahirnya
teks. Ia mengistilahkan dengan ” al-Mashlahah al-Mu’tabarah. Sebagaimana pendapatnya:
Selanjutnya, al-Ghazali berpendapat jika dalam wujud tidak adanya
pengakuan maupun pembatalan dari syari’, maka hal ini juga dapat dibenarkan
keberadaannya sebagai bagian dari maqashid asy-syari’ah, dengan syarat harus tetap
mengacu pada al-Qur’an, as-Sunnah, dan al-Ijma’. Dalam istilahnya ”al-Mashlahah al-Mursalah”. Sebagaimana
pendapatnya:
Dalam
merealisasikan lima unsur pokok di atas, al-Ghazali membagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu ar-Rutbah
adh-dharuriyah, al-Hajjiyah, dan ar-Rutbah
at-Tahsiniyah.
Pada
tingkatan pertama, al-Ghazali memposisikan sebagai kebutuhan yang paling pokok.
Tanpa terpenuhinya kebutuhan ini, maka dalam pandangan syari’ kehidupan manusia
dianggap kacau. Sedangkan tingkatan kedua adalah dalam rangka untuk
menghilangkan kesukaran dan kesulitan serta memberikan kemudahan bagi mukallaf. Dan tingkatan yang terakhir
adalah sifatnya sebagai pelengkap. Dalam artian, keberadaannya hanya untuk
menyempurnakan lima unsur pokok, yaitu perlindungan
tehadap agama (hifzh ad-din), perlindungan terhadap
jiwa (hifzd an-Nafs), perlindungan terhadap
akal (hifzh al-’Aql), perlindungan terhadap
keturunan (hifzh an-Nasl), dan perlindungan
terhadap harta (hifzh al-Mal).
0 komentar:
Posting Komentar