Selasa, 25 Juni 2013

Shalat Tarawih dan Witir

0 komentar


SHALAT TARAWIH DAN WITIR
Hanif Asyhar

  1. 36 Raka'at
Imam Maliki berpendapat bahwa shalat tarawih jumlahnya 36 raka'at, ini berdasarkan amalan penduduk madinah
  1. 20 Raka'at
Sedangkan Jumhur Ulama' berpendapat bahwa jumlah raka'at shalat tarawih 20 raka'at, ini terjadi sejak zaman khalifah umar bin khattab ra.
  1. 8   Raka'at
Tapi ada juga ulama' yang berpendapat bahwa jumlah raka'at shalat tarawih 8 raka'at, ini didasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh sayyidah 'Aisyah ra.

عن عائشة رضي الله عنهاـ قالت: ما كان النبي صلي الله عليه وسلم يزيد في رمضان ولاغيره علي إحدي عشرة ركعة (رواه البخاري)

Dari pendapat diatas yang lebih unggul adalah jumhur, dengan alasan sebagai berikut:
1.      Pendapat Imam Malik ra, yang didasarkan pada amalan penduduk madinah, bisa dijelaskan bahwa penduduk madinah melakukan shalat tarawih 36 rakaat, dengan motivasi untuk menyamai penduduk makkah, mereka melakukan tawaf 7 kali putaran, setiap selesai 2 kali salam.
2.      Sedangkan shalat tarawih 8 rakaat, berdasarkan Hadits yang diriwayatkan sayyidah 'Aisyah ra, ternyata dalam kitab Shahih Muslim diletakkan pada bab witir, sebagaimana yang sudah maklum, bahwa shalat witir paling sedikit 1 raka'at dan paling banyak 11 raka'at, selain itu, Hadits tersebut juga menerangkan shalat Nabi saw di bulan Ramadlan dan diluar bulan Ramadlan.
Shalat Witir
Bilangan shalat witir 1 sampai 11 Raka'at

Maslahah "ammah

0 komentar


MASHLAHAH AL-‘AMMAH:
Sebagai Upaya Untuk Mewujudkan Kemashlahatan Bagi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Oleh:Hanif Asyhar

Diturunkannya syari’at Islam di tengah kehidupan umat manusia adalah untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia di dunia dan akhirat, sebagaimana firman Allah SWT: [1]
 “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.

dan firman Allah SWT: [2]
”Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, Maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang kafir), dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman.”
Oleh sebab itu, agar keamanan, kesejahteraan dan kemashlahatan umat manusia di dunia dan akhirat dapat terwujud maka segala usaha (Ikhtiar) yang dilakukan umat manusia dimuka bumi harus selalu sejalan dengan tuntutan syari’at.
Untuk memenuhi tuntutan dan kepentingan manusia serta merespon berbagai dinamika kehidupan, maka setiap pengambilan keputusan harus memenuhi kriteria kepentingan umum (mashlahah ‘ammah) yang dibenarkan oleh syara’.
Mashlahah merupakan tolok ukur dan sebagai pertimbangan untuk menetapkan suatu kebijaksanaan dalam rangka menghindari kemungkinan penggunaan mashlahah ‘ammah yang tidak pada tempatnya, seperti keputusan para pemimpin yang hanya menuruti hawa nafsu pribadi, kesewenang-wenangan dan menuruti kepentingan kelompok tertentu dengan menggunakan dalih untuk kepentingan umum. Dengan menggunakan mashlahah ‘ammah sebagai pertimbangan untuk menetapkan setiap kebijakan, maka setiap kebijakan tidak akan menimbulkan kerugian atau menyalahi kepentingan umat manusia secara luas.
Keadaan dan masalah
Dalam suasaan pembangunan yang berkembang sangat dinamik dewasa ini, selalu ditemukan istilah kepentingan umum. meskipun disadari bahwa tujuan pembangunan pada hakekatnya adalah untuk menciptakan kesejahteraan secara luas dan dilakukan dengan sebanyak mungkin, menyediakan sarana dan fasilitas untuk kepentingan umum. Diakui atau tidak, ternyata dalam pelaksanaan pembangunan, batasan untuk kepentingan umum sering menjadi tidak jelas dan tidak sesuai dengan pengertian yang sesungguhnya. Kepentingan umum akhirnya berkembang dalam perspektif yang beragam; ada kepentingan umum menurut versi pengambil keputusan (umara’), atau kepentingan umum menurut selera sebagian kecil kelompok masyarakat, dan kepentingan umum yang dipersepsikan oleh masyarakat.
Kenyataan yang demikian membawa akibat dan dampak negatif dalam pembangunan. Pemakaian alasan untuk kepentingan umum tanpa berpedoman pada konsep mashlahah ‘ammah yang dibenarkan oleh syara’ akan melahirkan bentuk penyimpangan terhadap hukum syari’at dan tindakan kesewenangan terhadap kelompok masyarakat lemah oleh golongan masyarakat yang kuat.
Perintah untuk menegakkan keadilan di muka bumi, berupa kemashlahatan yang dibenarkan oleh syara’, sebagaimana firman Allah SWT surat Shaad (38) ayat 26:
”...Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah...”
Dan firman Allah SWT surat al-Mukminuun (23) ayat 71:
”Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya...”
Kedudukan mashlahah ‘ammah sebagai dasar pertimbangan pengambilan kebajikan sangat perlu diaktualisasikan sebagai landasan untuk menyikapi masalah sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Penggunaan mashlahah ‘ammah dirasakan sudah menjadi kebutuhan untuk memperkaya dan melengkapi landasan pembuatan keputusan dan kebijaksanaan dari berbagai kasus sosial yang berkaitan dengan dalih kepentingan umum, khususnya dalam pelaksanaan pembangunan yang sering terjadi selama ini.
Untuk menghindari kemudlaratan dan dampak negatif pembangunan, maka mashlahah ‘ammah dipandang penting dijadikan acuan untuk menyamakan persepsi tunggal terhadap wujud dan makna kepentingan umum dalam konteks pembangunan, dengan mashlahah ‘ammah berarti masyarakat telah merealisasikan tujuan umum.
Pengertian mashlahah
Dalam kitab Mustashfa, Imam Gazali mengatakan bahwa mashlahah pada intinya adalah ungkapan tentang penarikan manfaat dan penolakan bahaya. Yang kami maksud dalam statemen ini, bukan penarikan manfaat dan penolakan bahaya yang menjadi tujuan dan kebaikan manusia dalam merealisir tujuan mereka, tatapi yang kami maksud dengan  mashlahah adalah proteksi (perlindungan) terhadap tujuan hukum (syura’). Tujuan hukum bagi manusia itu ada lima; yaitu tindakan memelihara Agama (Hifdz ad-Diin), Jiwa (an-Nafs), Akal (al-‘Aql), Keturunan (an-Nasl), Harta (al-Mal). Segala tindakan yang menjamin terlindunginya lima prinsip tujuan hukum diatas itu disebut mashlahah. Sedangkan semua tindakan yang mengabaikan lima prinsip tujuan tersebut itu disebut kerusakan (Mafsadah) dan menolak kerusakan itu juga mashlahah.”  
Ruang lingkup mashlahah ’Ammah
Mashlahah ‘ammah merupakan sesuatu yang mengandung nilai manfaat dilihat dari kepentingan umat manusia dan tiadanya nilai madlarat yang terkandung menurut syari’at. baik yang dihasilkan dari aktifitas Jalbul Manfaat (mendapatkan manfaat) maupun aktifitas daf’ul mafsadah (menghindari mafsadah), sebagaimana yang telah disebutkan dalam Ushul figh, bahwa:
ü  Mashlahah ‘ammah harus selaras dengan tujuan syari’at, yaitu terpeliharanya lima hak dan jaminan dasar manusia (ushulul al-khamsah), yang meliputi: keselamatan keyakinan agama, keselamatan jiwa, keselamatan akal, keselamatan keluarga dan keturunan serta keselamatan hak milik.
ü  Mashlahah ‘ammah harus benar-benar untuk kepentingan umum tidak untuk kepentingan perorangan.
ü  Mashlahah ‘ammah tidak boleh mengorbankan kepentingan umum lain yang sederajat apalagi yang lebih besar.
ü  Mashlahah ‘ammah harus bersifat haqiqiyah (nyata) tidak boleh wahmiyyah ( hipotesis).
ü  Mashlahah ‘ammah tidak boleh bertentangan dengan al-qur’an, hadits, ijma’, qiyas.
Prisip-prinsip Mashlahah ‘Ammah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Syari’at Islam sangat memperhatikan terwujudnya kesejahteraan dan kemaslahatan umum. Oleh karena itu, prinsip ini harus menjadi acuan bagi pembangunan Nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perwujudan kesejahteraan dan kemaslahatan umum mengakomodasi kepentingan semua pihak tanpa memandang keyakinan, golongan, warna kulit, dan tidak bertentangan dengan syari’at Islam, yaitu Al-Qur’an, al-Hadits, al-Ijma’, al-Qiyas. Mashlahah ‘ammah ini adalah kemaslahatan yang bermuara pada prinsip keadilan, kemerdekaan, dan kesetaraan manusia di depan hukum.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, peranan warga masyarakat, Bangsa dan Lembaga keagamaan menjadi sangat menentukan dalam proses perumusan apa yang dimaksud dengan kemaslahatan umum. Dalam hubungan ini, maka prinsip syura sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, surat asy-syuura (42) ayat 38:
”...Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka...”
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang latar belakang Agama masyarakatnya berbeda-beda, umat Islam seharusnya  mampu mengartikulaskan prinsip-prinsip kemaslahatan yang digariskan oleh ajaran agamanya dalam bahasa sekaligus menurut argumentasi masyarakat. Dengan demikian prinsip-prisip keagamaan yang pada mulanya bersifat terbatas bisa menjadi milik bersama, milik masyarakat, bangsa dan umat manusia.
Jika proses syura dimana kemaslahatan umum ditentukan harus melalui lembaga perwakilan, maka secara sungguh-sungguh harus diperhatikan persyaratan-persyaratan sebagaimana berikut:
ü  Orang-orang yang duduk didalamnya benar-benar menghayati aspirasi kemaslahatan umum dari segenap rakyat yang diwakilinya, terutama lapisan dlu’afa’ dan mustadh’afin.
ü  Untuk mengkondisikan komitmen moral dan politik orang-orang yang duduk dalam lembaga perwakilan seperti tersebut diatas, perlu pola rekroitmen yang memastikan mereka datang dari rakyat dan ditunjuk oleh rakyat dan bekerja/bersuara untuk kepentingan rakyat.
ü  Secara struktural, lembaga perwakilan tempat persoalan bersama dimusyawarahkan dan diputuskan, benar-benar bebas dari intervensi pihak manapun yang dapat mengganggu tegaknya prinsip kemaslahatan bagi rakyat banyak.
ü  Kemaslahatan umum yang telah dituangkan dalam bentuk kebijakan-keijakan atau undang-undang oleh lembaga perwakilan rakyat merupakan acuan yang harus dipedomani oleh pemerintah sebagai pelaksana secara jujur dan konsekwen.
ü  Prinsip tasaraful imam manutun bil mashlahah harus dipahami sebagai prinsip keterikatan imam dalam setiap jenjang pemerintahan terhadap kemaslahatan kesepakan yang telah disepakati bersama.
Sementara itu rakyat secara keseluruhan, dari mana kemaslahatan dirujukan dan untuk siapa kemaslahatan harus diwujudkan, wajib memberikan dukungan yang positif dan sekaligus kontrol yang kritis secara berkelajutan terhadap lembaga perwakilan sebagai perumus, lembaga pemerintah sebagai pelaksana, maupun lembaga peradilan sebagai penegak hukum.
Dalam mewujudkan mashlahatul ‘ammah harus diupayakan agar tidak menimbulkan kerugian orang lain atau sekurang-kurangnya memperkecil kerugian yang mungkin timbul, karena upaya menghindari kerusakan harus diutamakan daripada upaya mendatangkan mashlahah.
Khatimah
Dari uraian yang cukup singkat di atas, ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam rangka untuk mewujudkan (mashlahah al-’ammah)kemashlahatan umum:
ü  Kemashlahatan harus lebih memprioritaskan bagi kepentingan umum, dalam artian,  kemashlahatan tersebut tidak bertentangan dengan syari’at Islam, yaitu al-Qur’an, al-Hadits, al-Ijma’ dan al-Qiyas.
ü  Hukum yang sudah menjadi kesepakatan bersama harus dipedomani oleh pemerintah dan dilaksanakan secara jujur serta konsekwen.
ü  Rakyat wajib memberi dukungan atas terlaksananya hukum-hukum yang sudah menjadi kebijakan pemerintah, sekaligus sebagai kontrol yang kritis terhadap sistem pemerintah.





[1] Surat al-Anbiyaa’ (21) ayat 107
[2] Surat al-A’raaf (7) ayat 2

Berjilbablah !

0 komentar


JILBAB[1]
Hanif asyhar


"Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."(Q.S al-Ahzab: 59)

A.     Arti Global
 Rasulullah saw diperintahkan untuk mengajak umatnya agar selalu berpegang pada norma-norma yang bernilai maslahah (kebaikan) baik bagi individu maupun sosial, kebaikan yang dimaksud disini adalah hijab al-syar'i (penutup yang disyari’atkan oleh Allah swt) dalam rangka untuk menjaga kehormatan kaum wanita muslimah. Senada dengan firman Allah swt di atas adalah perkataan "(Hai Nabi, sampaikanlah perintah Allah swt kepada orang-orang mukmin, mulailah dari dirimu lalu perintahkan Isteri-isterimu (ummul al-mukminin), anak-anak perempuanmu untuk mengulurkan jilbabnya agar auratnya tidak terlihat oleh laki-laki dan supaya diikuti oleh wanita mukminah dalam menjaga harga diri, dan perintahkanlah mereka agar memakai jilbab secara sempurna, sehinggga kecantikan dan perhiasannya tertutupi.
B. Sebab-Sebab Turunya Ayat
Mufassir meriwayatkan sebab-sebab turunnya ayat di atas. Suatu saat wanita merdeka dan budak wanita keluar pada malam hari untuk qadla' al-Hajat (buang air besar) di ladang  yang dekat dengan pohon kurma, keduanya sulit dibedakan antara wanita merdeka dan budak, sedangkan di madinah banyak orang fasiq yang sering mengganggu budak wanita, sebagaimana tradisi orang jahiliyah, dan bahkan  terkadang juga mengganggu wanita merdeka. Ketika mendapati teguran, mereka mengatakan: "saya mengira mereka itu budak, kemudian turunlah ayat yang memerintahkan agar wanita merdeka berpakaian yang berbeda dengan budak-budak wanita.
Iman al-Jauzi, mengatakan: "Sebab-sebab turunnya ayat diatas adalah orang-orang fasiq mengizinkan wanita keluar pada malam hari, ketika  melihat wanita yang memakai penutup kepala (jilbab) mereka bergegas meninggalkan, seraya berkata: "ini wanita merdeka," dan ketika melihat wanita tanpa penutup kepala (jilbab), mereka mengatakan: "ini budak" lalu menyakiti.
C. Mutiara Tafsir
a.    Allah swt memulai perintah-Nya dari puteri-puteri Rasul, sebagai isyarah bahwa mereka merupakan suri tauladan bagi wanita muslimah, dan mereka juga wajib berpegang pada norma-norma agama, agar diikuti oleh kaum wanita, karena dakwah itu sendiri tidak akan berkembang apabila tidak dimulai dari diri sendiri, lalu keluarganya. Kemudian timbul pertanyaan, siapakah yang lebih berperan untuk mendapatkan keistimewaan dari keluarga Nabi saw dalam berpegang pada norma-norma agama,?, ini merupakan rahasia yang terkandung dalam ayat diatas, yang dimulai; "katakanlah wahai Muhammad, kepada isteri-isterimu, dan puteri-puterimu"
b.    Berhijab disyari'atkan setelah adanya penetapan disyari'atkannya menutup aurat, ini berarti, perintah berhijab sangat terkait dengan perintah menutup aurat.
c.    Dalam perincian dan penjelasan ini ("isteri-isterimu, puteri-puterimu, dan wanita-wanita mukminah")  adalah menolak keras, atas tuduhan orang-orang yang menganggap bahwa berjilbab hanya wajib bagi isteri-isteri Nabi saw saja.
d.    Perintah berhijab bagi wanita merdeka, bertujuan agar tidak sama dengan budak wanita. Ini berarti dapat dipahami, bahwa syari' tidak memperdulikan nasib budak wanita, bagaimana hal ini dapat kita terima, padahal Islam sangat menghargai HAM ?.
Jawab: " Bahwa karakteristik budak wanita adalah keluar dan masuk pasar untuk melayani tuannya, jika ia dikenai beban berjilbab secara sempurna pada setiap bepergian, maka hal itu akan menyulitkan baginya, demikian sebaliknya bagi wanita merdeka, ia diperintahkan supaya tidak keluar dari rumah, kecuali ada kebutuhan yang mendesak, oleh karena itu, wanita merdeka tidak sulit jika dikenai beban berhijab lebih dari budak.
D.     Hukum-hukum Syar'i
·      Apakah berhijab wajib bagi semua wanita?
Dlahir ayat ini menunjukkan, bahwa berhijab wajib bagi semua wanita mukminah (Islam, Merdeka, Baligh), berdasarkan firman Allah swt diatas, "( Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,……….. )
Dari pendapat diatas, dapat dikatakan; "bahwa berhijab tidak wajib bagi wanita kafir, karena ia tidak terkena taklif untuk melaksanakan furu' al-Islam dan berhijab merupakan ibadah yang diperintahkan oleh Allah swt bagi wanita muslimah, sebagaimana diwajibkan shalat, puasa, yang jika keduanya ditinggalkan karena enggan untuk melaksanakannya, ia jadi kufur (keluar dari Islam).
·      Bagaimana cara berhijab secara syar'i?
Allah swt memerintahkan berhijab dan mengulurkan jilbabnya bagi wanita mukminah, agar tetap terjaga kehormatannya. Dalam hal ini ahli takwil berbeda pendapat tentang cara berhijab:
ü Ibn Jarir al-Thabari meriwayatkan dari Ibnu sirin, ia berkata: "saya bertanya kepada 'Ubaidah al-salmani tentang ayat; yang artinya "hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" lalu ia mengangkat selimut yang terpakai, ternyata ia memakai penutup kepala, dan menutup seluruh kepala hingga alis, serta menutup wajahnya, dan mengeluarkan mata kiri, dari bagian kiri wajah.
ü Ibnu Jarir dan Abu Hayyan, meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, sesungguhnya Nabi saw bersabda :" lingkarkanlah jilbabmu  diatas ubun-ubun, dan mengikatlah engkau, lalu tempelkanlah diatas hidung, sambil menampakkan mata, tetapi menutup dada, dan bagian penting dari wajah."
ü Imam al-Sadyu meriwayatkan tentang cara berhijab, Nabi saw bersabda:" menutuplah engkau salah satu dari mata, ubun-ubun, dan membuka salah satunya." Abu Hayyan berkata: " demikianlah tradisi negara andalusia dalam berjilbab, wanita hanya menampakkan sebelah mata saja."
ü Abdul al-Razzaq dan jama'ah, meriwayatkan dari Umi Salamah r.a, ia berkata: "ketika ayat diatas turun, yang artinya: " hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…." seorang wanita dari golongan anshar keluar rumah, seakan-akan diatas kepala mereka terdapat burung Gagak, dari penutup kepala hitam yang ia pakai."
·      Apakah wanita wajib menutup wajahnya?
ü Hal tersebut telah dijelaskan dalam surat al-Nur ayat 31, yaitu tentang larangan bagi wanita membuka aurat, kecuali hanya mahram, yang berbunyi: " ولا يبد ين زينتهن إلا لبعولتهن أو أبائهن... "dan karena wajah merupakan sentral keindahan, sumber kecantikan, serta fitnah, oleh karena itu menutup wajah dari selain mahram adalah persoalan dlaruri (primer), sedangkan orang yang berpendapat, bahwa wajah bukan bagian dari aurat (bagi mahram), mereka mensyaratkan; jika diwajah tidak ada perhiasan apapun, seperti, pakaian yang diwarnai (dicelup), bulu burung yang biasa dipakai berhias, dan harus aman dari terjadinya fitnah, jika tidak maka membuka wajah dihadapan mahram hukumnya  haram.
Dalam persoalan wajah, yang jelas bahwa fitnah pada masa sekarang ini tidak  bisa dihindari lagi, oleh karena itu, kami berpendapat; diwajibkan menutup wajah adalah untuk menjaga kehormatan wanita muslimah, dan kami telah menyebutkan sebagian hujjah tentang diwajibkan menutup wajah dalam pembahasan (Bid'atu kasyfi al-Wajhah) pada surat al-Nur, yang kami maksudkan disini adalah sebagian pendapat mufassir tentang diwajibkan menutup wajah.
Golongan yang berpendapat tentang diwajibkan menutup wajah
v Ibnu Jauzi berkata, dalam menafsiri firman Allah swt. yang artinya "(hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka)", hendaklah mereka menutup kepala dan wajahnya, agar mereka diketahui sebagai wanita merdeka
v Dalam Bahru al-Muhid, Abu Hayyan berkata, firman Allah swt diatas, yang artinya "(hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka)" mencakup seluruh badan, sedangkan yang dimaksud dengan firman Allah swt yang artinya "(atas mereka)" yaitu atas wajah mereka, karena hal yang paling nampak (diperhitungkan) dikalangan orang-orang jahiliyah adalah wajah.
v Abu Su'ud berkata: " jilbab adalah pakaian yang lebih luas dari penutup kepala wanita, bukan berarti selendang,  diikatkan diatas kepala seorang wanita dan selebihnya menjulur ke bawah, diatas dada.
v Abu Bakar al-Razi berkata, ayat diatas, yang berbunyi ( يد نين عليهن من جلا بيبهن ) menunjukkan bahwa wanita yang masih muda diperintahkan menutup wajahnya dari selain mahram.
v Dalam tafsir Jalalain, disebutkan" الجلا بيب " Jama' dari " جلباب " adalah baju panjang yang dipakai wanita, Ibnu Abbas berkata: "Wanita mukminah diperintahkan menutup kepala dan wajahnya dengan jilbab kecuali satu mata agar diketahui bahwa mereka wanita merdeka.
·      Apa syarat-syarat berhijab secara syar'i?
ü Hijab harus menutup semua anggota badan, berdasarkan firman Allah swt diatas, yang artinya "(hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka)".
ü Hijab harus dari kain yang tebal, karena tujuan hijab adalah menutup, jika tidak demikian maka bukan termasuk hijab, sebab masih tembus dari pandangan orang lain, dalam Hadits yang diriwayatkan oleh 'Aisyah r.a, suatu saat Asma' binti Abu Bakar r.a datang kepada Rasulullah saw dengan pakaian tipis (tembus pandang), lalu Rasulullah saw. berpaling darinya………..,"
ü Hendaklah tidak terdapat perhiasan yang dapat menarik perhatian, berdasarkan firman Allah swt ( ولا يبد ين زينتهن إلا ما ظهر منها ) sedangkan arti( ما ظهر منها ) adalah tanpa ada kesengajaan, jika perhiasan itu ada dengan sendirinya, maka tidak boleh mengulurkannya, dan hal yang demikian tidak dinamakan hijab,  karena hakikat hijab adalah sesuatu yang dapat menutup perhiasan dari pandangan orang lain.
ü Hijab tidak boleh ketat, menampakkan bentuk tubuh, dan menampakkan tempat-tempat yang dapat menimbulkan fitnah, dalam Hadits shahihnya Imam Muslim, dari Rasulullah saw ia bersabda: "Aku tidak mau melihat dua golongan ahli neraka, yaitu kaum yang membawa cambuk seperti ekornya sapi, ia memukuli dengan cambuk tersebut, dan wanita yang menutup kepala (dalam wujud dlahirnya), tapi telanjang (dalam wujud hakikatnya) berjalan lenggak-lenggok, rambut mereka seperti punuk onta, mereka tidak akan masuk surga, dan tidak akan mencium baunya, sesungguhnya bau surga akan tercium dari jarak sekian, dan sekian …." Dalam riwayat lain: "mereka akan mencium bau surga dalam jarak perjalanan lima ratus tahun" (H.R Muslim)
ü Hendaklah tidak memakai wangi-wangian yang dapat membangkitkan syahwat laki-laki, berdasarkan sabda Nabi saw:  "setiap mata akan memandang hal yang indah, sesungguhnya seorang wanita, ketika memakai wangi-wangian lalu ia datang ke suatu majlis maka ia akan "ini dan itu", yakni membahas perhiasan.
ü Hendaklah pakaian wanita tidak menyerupai laki-laki, atau memakai pakaian laki-laki, berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a : " Nabi saw melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita, dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.   
E.     Petunjuk Ayat
·      Hijab wajib bagi semua wanita mukminah
·      Puteri dan isteri Nabi saw adalah teladan yang harus diikuti oleh semua wanita muslimah
·      Jilbab yang disyari'atkan adalah menutup semua perhiasan, pakaian, dan semua badan.
·      Jilbab diwajibkan bagi wanita bukan untuk mempersulit, tapi untuk memulyakannya.
·      Mengulurkan jilbab berdasarkan syari'at adalah menolong wanita, dan menjaga masyarakat dari terjadinya kerusakan, serta tersebarnya kejelekan.
·      Wanita muslimah wajib melaksanakan perintah Allah swt dan bersopan santun sebagaimana yang diajarkan oleh Islam.
·      Allah swt Maha belas kasih, dengan mensyari'atkan hukum-hukum yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat ( sa’adah al-Darain).


[1] Tugas ayat ahkam II
 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id