Minggu, 07 Juli 2013

Abstraksi Tesis

0 komentar


ABSTRAK

Tesis, Maqashid asy-Syari’ah (Studi Analisis-Komparatif konsep maqashid asy-syari’ah dalam perspektif al-Ghazali dan asy-Sathibi), Program Magister Hukum Islam Konsentrasi Istinbâth Hukum Islam pada Program Pascasarjana Institut Agama Islam Ibrahimy Sukorejo Situbondo, 2008
Kata Kunci : Maqashid asy-Syari’ah, dan hukum Islam

Fiqh merupakan hukum produk ijtihad para ulama. Hukum ini akan melaju seiring dengan dinamika dan perubahan zaman. Semakin kompleks problematika yang riil di masyarakat menuntut para pakar fiqh untuk selalu peka terhadap realitas. Di dalam memproduk hukum, para fuqaha menggunakan berbagai macam piranti untuk dapat menghasilkan hukum yang selaras dengan kemaslahatan umat manusia.
Akan tetapi, perbedaan paradigma dan latar sosiohistoris yang melingkupi para fuqaha' menyebabkan perbedaan pendapat. Salah satu perbedaan tersebut adalah tentang konsep Maqashid asy-Syari’ah. Tesis ini mencoba mengungkap konsep Maqashid ay-Syari’ah versi al-Ghazali dan asy-Sathibi, letak persamaan dan perbedaan, serta latar belakang munculnya perbedaan tersebut, dan implikasinya dalam menetapkan hukum Islam.
Dalam konsep al-Ghazali, Maqashid asy-Syari'ah ialah terwujudnya kemashlahatan manusia. Kemashlahatan manusia adalah terpeliharanya lima dasar pokok, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Bagi al-Ghazali kemashlahatan harus mengacu kepada teks syara’, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, dan al-Ijma’.
Sedangkan dalam pandangan asy-Sathibi, Maqashid asy-Syari'ah terbagi menjadi empat bagian. Pertama. Tujuan awal dari syari’at, yakni mewujudkan kemashlahatan bagi manusia di dunia dan akhirat. Kedua. Syari’at sebagai sesuatu yang harus dipahami. Pada bagaian ini, ia memposisikan bahasa Arab sebagai sesuatu yang harus dipenuhi dalam rangka menetapkan hukum Islam. Ketiga. Syari’at sebagai hukum taklif yang harus dilakukan. Konsekwensinya, jika ternyata terdapat hukum yang tidak mampu untuk dilakukan oleh mukallaf, maka hukum semacam ini tidak wajib dilakkukan, walaupu secara akal hal ini dapat dilakukan. Keempat. Tujuan syari’at adalah membawa mukallaf ke bawah naungan hukum agar tidak terjerumus ke dalam kepentingan hawa nafsu.
Dari dua ulama’ tersebut terdapat persamaan, yaitu dalam wujud pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, dan harta. Dan dalam realisasi pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, dan harta, yang menjadi tujuan syari’ terdiri atas tiga tingkatan, yaitu al-maqashid adh-dharuriyat, al-maqashid al-hajjiyat, dan al-maqashid at-tahsiniyat; sedangkan perbedaannya, yaitu dalam merumuskan maqashid asy-syari’ah, al-Ghazali sangat kokoh berpijak pada nash, dengan tidak mengesampingkan aspek rasionalitas nash; sedangkan asy-Sathibi lebih menampakkan aspek tektualis.
Dengan adanya pandangan yang berbeda ini, jika diimplementasikan dalam istinbath hukum Islam mempunyai implikasi yang berbeda. Implikasi tersebut adalah hukum yang ditetapkan dengan konsep maqashid asy-syari’ah al-Ghazali akan selalu mengarah pada nalar tekstualis-rasionalis; sedangkan hukum yang ditetapkan dengan konsep maqashid asy-syari’ah asy-Sathibi akan selalu mengarah pada nalar tektualis.
Dengan demikian, maka sesungguhnya tidak ada implikasi yang prinsip dari perbedaan konsep antara al-Ghazali dan asy-Sathibi tentang maqashid asy-syari’ah.

Daftar Isi Tesis

0 komentar


DAFTAR PUSTAKA

al-‘Asqalani, Ibnu Hajar, al-Imam, Fath al-Bari Fi Syarkhi Shahih al-Bukhari, Sofware Maktabah Syamilah al-Ishdar ats-Tsani, juz XIX
‘Athiyah, jamaluddin, Dr. Nahwu Taf’ili Maqashid asy-Syari’ah, Dar al-Fikr Damaskus, 2001
Abu al-Barakaat, asy-Syaikh, Tafsir an-Nasafi Fi Madarik at-Tanziil Wa Haqaiq at-Ta’wil, sofware maktabah syamilah, al-ishdar ats-tsani, juz III
al-Anshari, Abu Yahya Zakaria, Syaikh al-Islam, Fath al-Wahhab Bi Syarkh Manhaj at-Thullab, Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabia, tt
al-Amidi, Ali bin Muhammad, Al-Imam al-‘Allaamah,  al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam, Sofware Maktabah Syamilah al-Ishdar Ats-Tsani, juz, III
Ali Baidlun, Muhammad, al-Ta`rifat, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, cet. II
Al-Baghawi, Abu Muhammad, asy-Syaikh, Ma’alim At-Tanzil, Dar Thabi’ah, Cet. IV, 1994, Juz VI
al-Bukhari, Abu Abdullah, al-Imam, Shahih al-Bukhari, Sofware Maktabah Syamilah al-Ishdar ats-Tsani, juz VII
Beik, Hudlari, asy-Syaikh, Tarikh at-Tasyri Al-Islami, al-Hidayah, surabaya, tt
al-Baghawi, Abu al-Husen bin Mas’ud, asy-Syaikh,  Ma’alim at-Tanzil, Darun Thayyibatun, Cet, XIIIX, 1997,  Juz V
al-Badawi, Yusuf Ahmad Muhammad, Dr. Maqashid Asy-Syari’ah ‘Inda Ibnu Taimiyah, Dar an-Nafa’is, tt
Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, PT Ichtiar Baru van Hoeve, jakarta
al-Ghazali, Al-Imam, al-Mustashfa min al-Ilm al-Ushul, sofware CD maktabah syamilah al-ishdar ats-tsani, juz I
………………………, al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul, sofware CD maktabah syamilah
al-ishdar ats-tsani, juz I
……………………., Ihya’ Ulum ad-Din, Dar al-Kutub al-Ilmiah, Baerut-Lebanon, tt, Juz I
................................., at-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk, CD Maktabah Syamilah, al-Ishdar ats-Tsani, Juz I
Hasan, Khalid Ramdlan, Mu’jam Ushul al-Fiqih, Dar ar-Raudlah, tt
Hayyan, Abu, asy-Syaikh, Tafsir Al-Bahr Al-Muhid, Sofware Maktabah Syamilah, Al-Ishdar Ats-Tsani, Juz IX
al-Haaj, Ibnu Amir, asy-Syaikh, at-Taqrir wa at-Tahyiir ‘Ala Ibni al-Himam fi ilmi al-Ushul al-Jaami’ Baina ishthilahi al-Hanafiyah Wa asy-Syafi’iyyah, Sofware Maktabah Syamilah al-Ishdar ats-Tsani, juz VI
Hajjaaz, Abu Husen Muslim, bin, asy-Syaikh, Shahih Muslim, Sofware Maktabah Syamilah al-Ishdar ats-Tsani, juz V


al-Jaizani,Muhammad bin Husen bin Hasan,asy-Syaikh, Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘Inda Ahli as-Sunnah Wal al-Jama’ah, Dar Ibnu Jauzi, tt
Sjechul Hadi Permono, Prof. Dr, KH, SH, MA., Islam Dalam Lintasan Sejarah Perpolitikan: Teori dan Praktek, CV. Aulia  Surabaya, Cet. I, 2004
Muhammad Faruq an-Nabhan, Al-Madkhal Li Tasyri’ Al-Islami, Beirut Dar Al-Qalam,1981
Mahmud, Ibrahim Muhammad, Dr. Al-Madkhal Ila Al-Qawa’id Al-Fiqiyyah Al-Kulliyah, Dar ‘Imaar 1998, Cet I
Asy-Syathibi, al-Imam, Al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Ahkam, Dar al-Fikr, tt Juz II
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, Darun Thayyibatun, Cet II, 1999, Juz III
As-Suyuthi, asy-Syaikh, Tafsir Jalalain, Sofware Maktabah Syamilah, Al-Ishdar Ats-Tsani, Juz II
Muhammad al-Munawi, Faidh al-Qadir, Sofware Maktabah Syamilah al-Ishdar ats-Tsani, juz VI
Abu Abdurrahman an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, Sofware Maktabah Syamilah al-Ishdar ats-Tsani, juz XIV
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, Sofware Maktabah Syamilah al-Ishdar ats-Tsani, juz VI
Khaldun, Abd al-Rahman Abu zaid Waliuddin, Ibnu, Muqaddimah Ibnu Kholdun, Beirut Dar al-Fikr, tt
Muhaimin et al. Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Kencana, jakarta, 2005
at-Thabari, Abu Ja’Far, asy-Syaikh, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an, Mu’assah ar-Risalah, Cet I, 2000, juz XIIX
Abu Yasid, Dr. Islam Akomodatif: Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama Universal, Lkis, Yokyakart, cet I, 2004.
al-Qarafi, asy-Syaikh, Syarkhu Tanqikhi Al-Fushul, Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1997
As-Subki, Tajuddin, asy-Syaikh, Hasyiyah Al-Bannani ‘Ala Syarkh Al-Mahalli ‘Ala Matni Jam’i Al-Jawami’, Dar al-Fikr Beirut, juz II
az-Zukhaili, Wahbah, Dr. Ushul al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr Beirut, tt
........................................, Al-Wajiz Fi Ushul Al-Fiqih, Dar al-Fikr Beirut, tt.






BAB VI (Tesis)

0 komentar


BAB VI
PENUTUP

A.    Simpulan
Berdasarkan pemaparan dan kajian analitis tentang konsep maqashid asy-syari’ah versi al-Ghazali dan asy-Syathibi tersebut, serta hasil telaah atas permasalahan dalam tesis ini, maka penulis dapat menarik simpulan sebagai berikut:
1.
a.
Maqashid asy-syari’ah menurut al-Ghazali ialah terwujudnya kemashlahatan manusia. Kemashlahatan menusia adalah terpeliharanya lima dasar pokok, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Bagi al-Ghazali kemashlahatan harus mengacu kepada teks syara’, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, dan al-Ijma’.

b.
Menurut asy-Syathibi, maqashid asy-syari’ah terbagi menjadi empat bagian. Pertama. Tujuan awal dari syari’at, yakni mewujudkan kemashlahatan bagi manusia di dunia dan akhirat. Kedua. Syari’at sebagai sesuatu yang harus dipahami. Pada bagaian ini, ia memposisikan bahasa Arab sebagai sesuatu yang harus dipenuhi dalam rangka menetapkan hukum Islam. Ketiga. Syari’at sebagai hukum taklif yang harus dilakukan. Konsekwensinya, jika ternyata terdapat hukum yang tidak mampu untuk dilakukan oleh mukallaf, maka hukum semacam ini tidak wajib dilakkukan, walaupu secara akal hal ini dapat dilakukan. Keempat. Tujuan syari’at adalah membawa mukallaf ke bawah naungan hukum agar tidak terjerumus ke dalam kepentingan hawa nafsu.
2.
a.
Persamaan konsep maqashid asy-syari’ah al-Ghazali dengan versi asy-Syathibi, yaitu:
1)      Direalisaikan dalam wujud pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, dan harta.
2)      Realisasi pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, dan harta, yang menjadi tujuan syari’ terdiri atas tiga tingkatan, yaitu al-maqashid adh-dharuriyat, al-maqashid al-hajjiyat, dan al-maqashid at-tahsiniyat.

b.
Perbedaan konsep al-Ghazali dan asy-Syathibi tentang maqashid asy-syari’ah, yaitu dalam merumuskan maqashid asy-syari’ah, al-Ghazali sangat kokoh berpijak pada nash, dengan tidak mengesampingkan aspek rasionalitas nash; sedangkan asy-Syathibi lebih menampakkan aspek kebahasaan.
3.

Perbedaan konsep maqashid asy-syari’ah al-Ghazali dan asy-Syathibi, jika diimplementasikan dalam istinbath hukum Islam mempunyai implikasi yang berbeda. Implikasi tersebut adalah:
a.       Hukum yang ditetapkan dengan konsep maqashid asy-syari’ah al-Ghazali akan selalu mengarah pada nalar tekstualis-rasionalis.
b.      Hukum yang ditetapkan dengan konsep maqashid asy-syari’ah asy-Syathibi akan selalu mengarah pada nalar tektualis.
Dengan demikian, maka sesungguhnya tidak ada implikasi yang prinsip dari perbedaan konsep antara al-Ghazali dan asy-Syathibi tentang maqashid asy-syari’ah.


B.     Saran-saran
1.      Bagi para pembuat keputusan hukum atau mujtahid, mufti, qâdli di dalam memutuskan hukum hendaknya mempertimbangkan tingkat kemaslahatan dan efek dari hukum yang diputuskannya. Untuk menanggulangi terjadinya suatu penyelewengan praktek keagamaan, maka segala sesuatu yang menjadi perantaranya harus dicegah sedini mungkin. Jadi, penerapan maqashid asy-syari’ah harus dijadikan acuan dalam memutuskan hukum. Agar hukum yang diproduk selaras dengan kehendak syari’.
2.      Bagi para peneliti, pelajar, dan pencinta ilmu hendaknya tidak henti-hentinya melakukan pengkajian dan penelitian yang berkenaan tentang ushul fiqh. Khususnya, tentang maqashid asy-syari’ah. Walaupun sudah banyak para pakar ilmu ushul al-fiqh yang mengkajinya. Penelitian ini masih butuh penelitian lanjutan, karena konsep tentang maqashid asy-syari’ah secara umum dari para pakar ushul fiqh sangat urgen untuk dikaji dan didalami.
3.      Konsep-konsep ulama terdahulu merupakan kekayaan khazanah keilmuan kita. Oleh karena itu, perlu dikaji secara mendalam dan diaktualisasikan dengan realitas sosial. Sehingga, menjadi suatu sumbangan yang cukup signifikan dalam dinamika ilmu keIslaman.
Penulis berharap adanya kritik dan saran konstruktif atas beberapa pembahasan dan penulisan yang tidak sesuai. Sebab, namanya manusia tidak akan lepas dari kesalahan.
Akhirnya, penulis mengucapkan puji syukur kehadirat-Nya atas segala taufĂ®q, ’inâyah, serta rahmat-Nya, sebab tanpa pertolongan-Nya tesis ini tidak dapat terselesaikan dengan sempurna.
Wallâhu a’lam Bishshawâb.



BAB V (Tesis) B

0 komentar


BAB V (B)
A.    Perbedaan Konsep Maqashid Asy-Syari’ah
Dalam kaitannya dengan upaya untuk memahami maqashid asy-syari’ah, antara al-Ghazali dan asy-Syathibi terdapat perbedaan. Al-Ghazali dalam memahami teks atau metode rasionalitas teks didominasi oleh dua kategori, yaitu umum al-lafdzi (keumuman lafadz) dan khusus as-sabab (kekhususan sebab). Dalam artian, jika ada teks yang redaksinya bersifat umum, maka teks tersebut harus diaplikasikan berdasarkan semua cakupannya tanpa harus memperhatikan historisitas lahirnya teks.
Tetapi standar untuk memahami rasionalitas teks tersebut, oleh al-Ghazali dibatasi oleh nash atau ushul al-ashliyah, yaitu al-Qur'an, as-Sunnah, dan al-Ijma', artinya pemahaman maqashid asy-syari’ah sepenuhnya berada dalam otoritas teks wahyu tanpa harus memperhatikan realitas, karena al-Ghazali menganggap setiap teks syari' mengandung kemashlahatan bagi manusia tanpa terkecuali.
Sedangkan standar pemahaman maqashid asy-syari'ah menurut asy-Syathibi jauh berbeda dengan al-Ghazali. Menurutnya, untuk memahami maqashid asy-syari'ah ada tiga pendekatan, yaitu pendekatan dhahir lafadz dan pertimbangan ’Illat (makna). Dalam rangka untuk merealisasikan dua pendekatan tersebut, asy-Syathibi memakai tiga cara, antara lain; (1) menganalisa lafadz perintah atau larangan, (2) Menelaah ‘illat al-amar (perintah) atau an-nahi (larangan), dan (3)  Menganalisa as-sakut ’an sya’iyyah al-amal ma’a qiyam al-ma’na al-muqtadal lahu (sikap diam syari’ dari pensyariatan sesuatu).
Pada pendekatan yang kedua, asy-Syathibi memberika dua alternatif sebagai pertimbangan. Pertama, tidak boleh melakukan ta’addi (memperluas cakupan) terhadap apa yang telah ditetapkan dalam nash. Kedua, jika mengharuskan untuk melakukan perluasan cakupan terhadap apa yang telah ditetapkan dalam nash, maka tujuan hukum harus diketahui tabi’ah-nya.
Titik perbedaan yang paling mendasar antara al-Ghazali dan asy-Syathibi terletak pada pijakan yang harus diikuti dalam menetapkan hukum. Jika al-Ghazali sangat kokoh dalam merujuk kepada nash yang meliputi al-Qur'an, al-Hadits, dan al-Ijma'. Sedangkan asy-Syathibi, masih ada ruang untuk keluar dari nash, dengan catatan tujuan hukum harus diketahui tabi'ah-nya.
B.     Implikasi Konsep Maqashid Asy-Syari'ah
Perbedaan konsep berkonsekuensi munculnya paradigma yang berbeda. Konsep al-Ghazali dan asy-Syathibi dari satu sisi terdapat perbedaan dan pada sisi yang lain terdapat persamaan. Konsekuensinya, di dalam implementasi di lapangan banyak hukum-hukum yang diproduk al-Ghazali tidak sama dengan hukum yang ditetapkan oleh asy-Syathibi.
Mashlahah yang secara substansial merupakan basis tujuan syari’ (maqashid asy-syari’ah), dalam perspektif al-Ghazali di atas dapat diimplementasikan dalam realitas soaial, sebagaimana berikut;
1.      Implementasi al-mashlahah al-mu’tabarah dalam realitas sosial. Misalnya, pengharaman segala bentuk minuman yang memabukkan dengan cara di-Qiyas-kan pada khamr yang telah di-nashs-kan oleh al-Qur’an. Hukum haram ini terdapat nilai mashlahah, yaitu untuk memelihara akal. 
2.      Implementasi al-mashlahah al-Mulgha dalam realitas sosial. Misalnya, dalam kasus seorang raja menggauli istrinya pada siang hari di bulan ramadlan maka ia dikenakan denda kafarat puasa dua bulan berturut-turut sebagai ganti dari denda memerdekakan budak. Pertimbangannya adalah seorang raja tidak akan jera jika hanya dengan memerdekakan budak. Hal ini karena seorang raja akan dengan mudah membayar denda tersebut. Oleh karenanya, akan lebih mashlahah jika seorang raja di denda dengan puasa dua bulan berturut-turut.  
Bentuk kemashlahatan seperti di atas tidak dapat diakui oleh syara’, sebab ada unsur kontradiksi dengan nash yang secara jelas nash itu memuat hirarki kafarat pada kasus ini. Dengan demikian, sang raja tetap dibebani hukuman kafarat sesuai dengan urutan yang ada dalam Nash, yaitu memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin.
3.      Implementasi al-mashlahah al-mursalah dalam realitas sosial. Misalnya, pengumpulan dan pembukuan kitab suci al-Qur’an.
Sedangkan implementasi mashlahah dalam realitas sosial dari segi kualitas yang dimilikinya, antara lain;
1.      al-Mashlahah adh-Dharuriyat. Misalnya, Dalam menjaga agama (ad-Din) seperti berjihad, hukuman bagi orang murtad, dan lain-lain, dalam menjaga jiwa seperti Qishas, Diyat (denda), dan lain-lain, dalam menjaga akal seperti hukuman bagi peminum Khamr dan sejenisnya, dalam menjaga keturunan seperti hukuman bagi orang yang berzina, dan bagi orang yang menuduh berzina yang tidak bisa mendatang saksi, dalam menjaga harta seperti larangan terhadap praktek riba, memotong tangan pencuri yang sudah mencapai ukuran yang sudah ditentukan.
2.      al-Mashlahah al-Hajjiyat. Misalnya, makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan lain-lain.
3.      al-Mashlahah at-Tahsiniyat. Misalnya, menghilangkan najis dan keseluruhan bentuk thaharah, menutup aurat, melakukan pekerjaan yang sifatnya sunah misalnya shadaqah, dan lain-lain.
Sedangkan pembahasan mengenai maqashid asy-syari’ah dalam perspektif asy-Syathibi dapat diimplementasikan pada realitas sosial sebagaimana berikut;
1.      Tentang tujuan syari’ dalam menetapkan syari’at (Qashdu asy-Syari’ fi wadh’i as-syari’ah). Dalam hal ini, asy-Syathibi  mengklasifikasikan menjadi tiga bagian. Pertama, kemashlahatan yang sifatnya adh-dharuriyat, meliputi agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal.
Dalam upaya untuk menjaga lima kemashlahatan tersebut, asy-Syathibi memberikan dua alternatif. Pertama, dari segi eksistensinya (min janib al-wujud) yaitu dengan cara menjaga hal-hal yang terpenting yang dapat mengokohkan keberadaannya. Pemeliharaan terhadap agama seperti Iman, mengucapkan dua kalimah syahadat, shalat, zakat, puasa, haji. Pemeliharaan terhadap jiwa dan akal (an-Nafs wa al-’Aql), seperti: makan, minum, pakaian, tempat tinggal. Pemeliharaan terhadap  keturunan dan harta (al-’Ird wa al-Mal), seperti: nikah, jual beli dan mencari rizki. Alternatif kedua, dari segi tidak ada (min janib al-‘adam) yaitu dengan cara menolak hal-hal yang dapat merusak eksistensinya. Seperti Dalam menjaga agama (ad-Din) seperti berjihad, hukuman bagi orang murtad, dan lain-lain, dalam menjaga jiwa seperti Qishas, Diyat (denda), dan lain-lain, dalam menjaga akal seperti hukuman bagi peminum Khamr dan sejenisnya, dalam menjaga keturunan seperti hukuman bagi orang yang berzina, dan bagi orang yang menuduh berzina yang tidak bisa mendatangkan saksi, dalam menjaga harta seperti larangan terhadap praktek riba, memotong tangan pencuri yang sudah mencapai ukuran yang sudah ditentukan.
Tujuan syari’ dalam menetapkan syari’at yang kedua adalah al-hajjiyat, yaitu sesuatu yang eksistensinya tidak harus terwujud. Jika tidak terwujud, maka tidak akan menghilangkan eksistensi pada sesuatu yang dituntut, hanya saja akan mendatangkan kesulitan dan masyaqat bagi mukallaf. Hal ini berlaku dalam persoalan ibadah, adat, mua’malat, jinayat (tindak kriminal). Dalam ibadah seperti rukhsah, baik bagi orang sakit maupun bagi musafir. Dalam adat seperti diperbolehkan memanah, bersenang-senang dengan hal-hal yang dianggap baik oleh syara’ (halal) misalnya makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan lain-lain. Dalam mua’malat seperti akad Qiradh, akad salam, dan lain-lain.
Sedangkan tujuan syari’ dalam menetapkan syari’at yang ketiga adalah at-tahsiniyat, yaitu melakukan hal-hal yang dianggap layak oleh adat dan menjauhi sesuatu yang secara logika tidak baik. Dalam ibadah seperti menghilangkan najis dan keseluruhan bentuk thaharah, menutup aurat, melakukan pekerjaan yang sifatnya sunah misalnya shadaqah, dan lain-lain. Dalam adat seperti cara makan dan minum, menjauhi makanan yang najis, israf, dan lain-lain. Dalam mua’malat seperti larangan menjual barang najis, dan lain-lain. Dalam jinayat seperti larangan membunuh perempuan, anak-anak, Rahib (pendeta).
2.      Tentang tujuan syari’ dalam menetapkan syari’at adalah untuk dipahami (Qashdu asy-syari’ fi wadh’i asy-syari’ah lil Ifham). Pada bagian ini, asy-Syathibi mengulas secara detail tentang posisi bahasa Arab dalam memahami syari’at islam.
3.      Tentang tujuan syari’at sebagai hukum taklif yang harus dilakukan (Fi Bayan qashd asy-syari’ fi wadh’i asy-syari’ah li at-Taklif Bi Muqtadhahu). Dalam hal ini, asy-Syathibi mengklasifikasikan menjadi dua bagian. Pertama, Tuntutan yang ada di luar kemampuan manusia. Kedua, taklif yang mampu untuk dilaksanakan oleh manusia, tetapi didalamnya terdapat masyaqah. Pada bagian yang kedua ini, terbagi lagi menjadi dua, yaitu masyaqat mu’tadah, seperti mencari nafkah, siang dan malam seseorang mencari nafkah untuk kehidupan keluarganya. Pekerjaan seperti ini tidak masuk dalam kategori masyaqat, tetapi semua aktifitas yang ia lakukan memang suatu keharusan bagi orang tersebut untuk menghidupi keluarganya. Dan Masyaqat Ghair Al-Mu’tadah, yaitu masyaqat yang tidak dapat dilakukan oleh mukallaf, seperti keharusan berpuasa bagi orang sakit.
4.      Tentang tujuan syari’ dalam membebani mukallaf untuk melaksanakan syari’at-Nya (Qashdu asy-syari’ fi dukhul al-mukallaf tahta ahkam asy-syari’ah). Pada pembahasan ini terdapat dua macam, yaitu Syari’ membebani mukallaf untuk melaksanakan syari’at-Nya adalah agar aktifitas mukallaf tidak terjerumus kedalam keinginan hawa nafsu belaka, sehingga menjadi hamba yang selamat di dunia dan akhirat. Kedua, Setiap perbuatan mukallaf harus selalu mengikuti petunjuk syara’.
 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id