Sabtu, 29 Juni 2013

Bapak Maqashid Asy-Syari'ah

0 komentar
MAQASHID ASY-SYARI’AH
DALAM PERSPEKTIF ASY-SYATHIBI
Hanif asyhar

A.    Biografi Asy-Syathibi
Imam asy-Syathibi, nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Garnati. Ia dilahirkan di Granada pada tahun 730H dan meninggal pada hari Selasa tanggal 8 Sya’ban tahun 790 H/1388 M. Nama asy-Syathibi adalah nisbat kepada tempat kelahiran keluarganya, yaitu Syathibah (Xativa atau Jativa di Spanyol Timur) meskipun asy-Syathibi sendiri tidak dilahirkan disana. Karena, menurut catatan sejarah, kota jativa telah berada di bawah kekuasaan kristen dan segenap umat Islam di usir dari sana sejak tahun 645 H/ 1247 M., hampir satu abad sebelum kelahiran asy-Syathibi
Pada masa asy-Syathibi Granada merupakan pusat pendidikan Islam di Spanyol. Disana terdapat universitas, dengan nama Universitas Granada. Yang didirikan pada masa pemerintahan Yusuf Abu al-Hajjaj. Ada dugaan bahwa pendidikan asy-Syathibi terkait dengan Universitas tersebut.
Dalam kaitannya dengan pendidikan asy-Syathibi, ada beberapa nama yang tercatat dalam sejarah sebagai guru asy-Syathibi, yaitu dalam bidang bahasa Arab : Ibnu al-Fakhkhar al-Ilbiri (w. 754 H/1353 M), Abu Abdullah al-Balinsi, dan Abu Qasim al-sabti (w. 760 H/1358 M), dalam bidang ushul al-Fiqih: Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Maliki at-Talimsani (w. 771 H/1369 M), Imam al-Maqarri (w.758 H), dan Khatib al-Marzuq, dan dalam bidang filsafat dan kalam: Abu Ali al-Mansur al-Masyzali, Abu Abbas al-Qabab, dan Abu Abdullah al-Hifar.[1]
1.      Karya-karya Ilmiah asy-Syathibi
Sebagai seorang Ulama besar di zamannya, terutama bidang ushul al-Fiqih dan sastra Arab, asy-Syathibi juga menulis beberapa buku, yang sampai saat ini baru bisa dilacak sebanyak enam buah, sebagaimana berikut:
a.       Kitab al-Muwafaqat
Kitab ini terdiri dari 4 juz dan awalnya kitab ini berjudul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif kemudian setelah Imam Syathibi bermimpi, dirubah menjadi al-Muwafaqat
b.      Kitab al-I’tisham
Buku ini terdiri dari dua juz dan ditulis setelah Kitab al-Muwafaqat. Dalam buku  ini asy-sytahibi menjelaskan secara detail tentang bid’ah dan hal-hal yang terkait dengan persoalan bid’ah.
c.       Kitab al-Majalis
Kitab ini merupakan syarah dari Kitab al-Buyu’ yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari. Attanbakaty menilai faidah buku ini dengan menyebutnya: “Minal Fawaid Wa Al-Tahqiqat Ma La Ya’lamuhu Illa Allah”.
d.      Kitab Syarakh al-Khulashah
Buku ini adalah buku tentang Ilmu Nahwu yang merupakan penjelasan (syarah) dari Alfiyyah Ibn Malik. Buku ini ditulis dalam jumlah 4 juz dan menurut Attanbakaty, buku ini merupakan syarah Alfiyyah Ibn Malik terlengkap dan terbaik setelah dilihat dari segi kedalaman dan keluasan ilmu yang dipaparkan
e.       Kitab Unwan al-Ittifaq Fi al-Ilm al-Isytiqaq
Buku ini berisi tentang Ilmu Sharf dan Fiqh Lughah. Buku ini sudah tidak dapat dijumpai lagi karena sudah lenyap sewaktu asy-Syathibi masih hidup.
f.        Kitab Ushul an-Nahwi
Buku ini membahas tentang Qawaid Lughah dalam Ilmu Sharf dan Ilm Nahwu. Di dalam buku ini dibahas tentang Qawaid Ashliyyah.
g.      Kitab al-Ifadaat Wa al-Insyadaat
Buku ini khusus dibuat sebagai gambaran perjalanan hidup Imam Syathibi sekaligus menyebutkan guru-guru dan murid-muridnya.
h.      Kitab Fatawa al-Syathibi
Buku ini menampilkan fatwa-fatwa Imam asyy-Syathibi dan ditulis oleh muridnya.
Dari kedelapan buku yang disebutkan di-atas, buku al-Muwafaqat, Kitab al-I’tisham dan al-Ifaadat wa al-Insyadaat merupakan karya monumental asy-Syathibi. Hingga sekarang ketiga buku tersebut tersebar luas di berbagai negeri muslim dan menjadi rujukan di berbagai perguruan tinggi Islam.
2.      Potret Intelektual asy-Syathibi
Di kalangan para juris Islam, asy-Syathibi lebih dikenal sebagai pakar ilmu ushul al-fiqih yang memiliki ketajaman tersendiri. Ciri khas dari konsep ushul fiqihnya adalah terletak pada ketajaman dalam menganalisa pada setiap persoalan hukum. Jika ushul fiqih sebelumnya lebih banyak menguraikan aspek bahasa dan kaidah-kaidahnya, dan sedikit sekali membahas persoalan Maqashid asy-Syari’ah maka asy-Syathibi muncul dengan pembahasan yang lebih detail dan spesifik mengenai Maqashid asy-Syari’ah. Meskipun asy-Syathibi juga membicarakan tentang aspek kebahasaan (al-Lughawiyah), tetapi dalam pembahasan dan analisisnya ia selalu mengaitkan  Maqashid asy-Syari’ah. Menurutnya, syari’at Islam diturunkan oleh Allah SWT adalah dalam rangka untuk mewujudkan dan memelihara kemaslahatan manusia baik yang bersifat duniawi maupun ukhirawi. Oleh sebab itu, setiap aktifitas mukallaf harus selalu memperhatikan aspek  mashlahah dan mafsadahnya suatu perbuatan serta harus mengambil yang manfaat/mashlahah.
Dalam konsep maslahahnya, asy-Syathibi membagi ijtihad dalam dua bentuk: ijtihad istinbati dan ijtihad tathbiqi.
Menurutnya, dalam ijtihad istinbathi seorang mujtahid mengerahkan kemampuan nalarnya untuk memahami ayat atau hadits, sehingga ia dapat menginterpretasi ide yang terkandung dalam teks. Dalam ijtihad bentuk pertama ini, seorang mujtahid belum berhadapan dengan obyek hukum. Setelah seorang mujtahid berhasil menangkap pesan yang terkandung dalam teks al-Qur’an atau al-Hadits, maka ia baru berhadapan dengan persoalan bagaimana mengekstraplorasi hukum kepada obyek hukum yang dihadapi. Jika hukum yang dihasilkan oleh seorang mujtahid tersebut dapat diekstraplorasikan dengan baik maka persoalan telah selesai. Tetapi sebaliknya, jika hukum yang dihasilkan dari seorang mujtahid tersebut tidak mencapai kesempurnaan dalam penyelesaiannya maka ia di anggap gagal dan justeru akan lebih memperkeruh persoalan.
Umpama dalam surat at-Talaq ayat 2 Allah SWT berfirman:
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.“

Dalam kasus penceraian pada ayat di atas, seorang mujtahid mengetahui dari ayat ini bahwa saksi harus dari seorang yang adil. Sifat adil inilah yang akan menjadi obyek penetapan mujtahid pada mukallaf. Dalam kenyataannya, sifat keadilan ini tidak dapat dilekatkan kepada setiap orang, karena ternyata kualitas keadilan yang dimiliki seseorang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Oleh sebab itu, adil yang terkandung dalam ayat tersebut bisa saja tidak sejalan ketika diterapkan dengan realitas yang ada.
Contoh lain, sesuai dengan kaidah umum yang berlaku dalam hal gugatan perkara, adalah bahwa pihak penggugat harus dapat mendatangkan alat bukti dan pihak tergugat harus disumpah jika ia mengingkari. Hal ini sesuai dengan hadits, dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibnu Majah. Dalam kaitan dengan hadits atau kaidah di atas, jika antara seorang pembeli dan penjual barang terjadi perbedaan tentang barang yang akan dijual/dibeli, maka pembeli mengatakan akan membayar harga barang menurut kehendaknya apabila barang sudah diserahkan, sedangkan penjual juga menuntut harga barang yang diinginkan dari pembelinya sehingga ia mau menyerahkan barang tersebut. Dalam kasus ini seorang mujtahid sulit untuk menentukan siapa yang menggugat dan siapa yang harus mengemukakan alat bukti, dan siapa pula yang tergugat hingga dikenakan sumpah apabila mengingkari. Oleh sebab itu, kandungan hadits atau kaidah umum tersebut tidak dapat diterapkan dan harus dicarikan jalan keluarnya sehingga sesuai dengan Maqashid asy-Syari’ah. Dalam kaitan dengan inilah kalangan madzhab hanafi melihat bahwa dalam kasus tersebut keduanya (penjual dan pembeli) sama-sama penggugat dan dalam waktu yang bersamaan juga sekaligus menjadi pihak tergugat. Karenanya, kedua belah pihak harus mengemukakan alat bukti dan sekaligus dikenakan sumpah.
Kedua kasus yang kami kemukakan di atas menunjukkan bahwa tidak selamanya hasil ijtihad yang diperoleh seorang mujtahid dalam penerapannya harus diberlakukan sebagaimana adanya, karena dalam kenyataannnya akan ditemui kendala-kendala lain yang mesti menjadi pertimbangan penerapan hukum. Dalam kaitan ini Imam asy-Syathibi secara detail membahas ijtihad tathbiqi
Ijtihad tathbiqi mengandung pengertian bahwa dalam penerapannya ide hukum seorang mujtahid harus melakukan ijtihad lain yang tidak kalah pentingnya dengan ijtihad istnbathi yang disebutkan di atas. Imam asy-Syathibi kelihatan sangat memperhatikan kondisi sosio-kultural dan politik dalam menerapkan suatu hukum. Disinilah letak kelebihan Imam asy-Syathibi menurut para juris Islam daripada para pakar ushul al-fiqih lainnya.
B.     Konsep Maqashid asy-Syari’ah asy-Syathibi
Secara global, kitab al-Muwafaqat terdiri dari 4 juz dan yang berisi dari 5 tema, yaitu: Al-Muqaddimah,[2] Al-Ahkam,[3] Al-Maqashid,[4] Al-Adillah,[5]dan Al-Ijtihad wa at-Taqlid.
Pembahasan mengenai maqashid dalam al-Muwafaqat terbagi menjadi dua, yaitu Maqashid al-Mukallaf, dan Maqashid asy-syari’ atau Maqashid asy-Syari’ah. Ia menegaskan dengan mendasarkan pada hasil metode induksi (istiqra’)nya:
إن وضع الشرائع إنما هو لمصالح العباد في العاجل و الأجل معا

 ”Sesungguhnya Allah SWT membuat syari’at adalah dalam rangka untuk kemashlahatan bagi hamba-Nya di dunia dan Akhirat.[6]

Pada pendapat lain, asy-Syathibi mengemukakan:

والمعتمد إنما هو إنا إستقرينا من الشريعة أنها وضعت لمصالح العباد

“Adapun yang dijadikan pijakan adalah penelitian kami tentang syari’ah, bahwa syari’at dibuat bertujuan untuk kemashlahatan hamba.”[7]
Dalam hal ini asy-Syathibi mendasarkan atas firman Allah SWT:[8]

”(mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu.

Firman Allah SWT:[9]
”Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
I
Firman Allah SWT:[10]
”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

Dari pendapat asy-Syathibi tersebut didukung oleh dalil-dalil Juz’iyyah, seperti firman Allah SWT tentang wudlu’:[11]dalam surat:

“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,”

Firman Allah SWT tentang Qiblat:[12]
 “Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka Palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu,

Firman Allah SWT tentang Jihad:[13]
”Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,”

Firman Allah SWT tentang Qishas:[14]
 “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”

Firman Allah SWT tentang taqrir ‘ala at-Tauhid :[15]
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",

Pembahasan mengenai Maqashid asy-Syari’ah dalam al-Muwafaqat, oleh asy-Syathibi ditempatkan pada bab tersendiri, yakni Juz II yang terdiri 62 masalah. Kemudian dari masalah-masalah tersebut ia membagi menjadi 4 bagian, antara lain:
1.      Bagian pertama menerangkan tentang tujuan syari’ dalam menetapkan syari’at (Qashdu asy-Syari’ fi wadh’i as-syari’ah)[16]
Pada bagian ini, asy-Syathibi mengemukakan 13 permasalahan, tetapi yang menjadi persoalan pokok adalah, apa tujuan syari’ dalam menetapkan hukum?.
Al-Imam asy-Syathibi mengemukakan bahwa tujuan syari’ dalam menetapkan hukum adalah untuk mewujudkan dan melestarikan kemashlahatan dunia dan akhirat, yang adakalanya dengan menarik kemashlahatan atau menolak bahaya dan kerusakan. Menurutnya, kemaslahatan terbagi menjadi tiga, yaitu Mashlahah yang bersifat Dlaruriyat, Mashlahah yang bersifat Hajjiyat, dan Mashlahah yang bersifat Tahsiniyat.
Al-Mashlahah ad-Dlaruriyat adalah sesuatu yang harus ada demi menegakkan kemashlahatan agama dan dunia, jika tidak, maka kemashlahatan dunia tidak akan bisa ditegakkan bahkan akan menimbulkan kerusakan dan hilangnya kehidupan.[17] Kemashlahatan tersebut meliputi: agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal.
Sebagai upaya untuk menjaga lima kemashlahatan diatas, asy-Syathibi memberikan dua alternatif:
a.       Dari segi eksistensinya (min janib al-wujud)[18] yaitu dengan cara menjaga hal-hal yang terpenting yang dapat mengokohkan keberadaannya.[19] Dalam menjaga agama (ad-Din), seperti:  Iman, mengucapkan dua kalimah syahadat, shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain. Dalam menjaga jiwa dan akal (an-Nafs wa al-’Aql), seperti: makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Dalam menjaga keturunan dan harta (al-’Ird wa al-Mal), seperti: nikah, jual beli dan mencari rizki.
b.      Dari segi tidak ada (min janib al-‘adam)[20] yaitu dengan cara menolak hal-hal yang dapat merusak eksistensinya. Dalam menjaga agama (ad-Din) seperti berjihad, hukuman bagi orang murtad, dan lain-lain, dalam menjaga jiwa seperti Qishas, Diyat (denda), dan lain-lain, dalam menjaga akal seperti hukuman bagi peminum Khamr dan sejenisnya, dalam menjaga keturunan seperti hukuman bagi orang yang berzina, dan bagi orang yang menuduh berzina yang tidak bisa mendatang saksi, dalam menjaga harta seperti larangan terhadap praktek riba, memotong tangan pencuri yang sudah mencapai ukuran yang sudah ditentukan. Sebagaimana perkataannya
Al-Mashlahah al-Hajjiyat adalah sesuatu yang eksistensinya tidak harus terwujud. Jika tidak terwujud, maka tidak akan menghilangkan eksistensi pada sesuatu yang dituntut, hanya saja akan mendatangkan kesulitan dan masyaqat bagi mukallaf. Hal ini berlaku dalam persoalan ibadah, adat, mua’malat, jinayat (tindak kriminal). Dalam ibadah seperti rukhsah, baik bagi orang sakit maupun bagi musafir. Dalam adat seperti diperbolehkan memanah, bersenang-senang dengan hal-hal yang dianggap baik oleh syara’ (halal) misalnya makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan lain-lain. Dalam mua’malat seperti akad Qiradh, akad salam, dan lain-lain.[21]
 Al-Maslahah at-Tahsiniyat adalah melakukan hal-hal yang dianggap layak oleh adat dan menjauhi sesuatu yang secara logika tidak baik. Dalam ibadah seperti menghilangkan najis dan keseluruhan bentuk thaharah, menutup aurat, melakukan pekerjaan yang sifatnya sunah misalnya shadaqah, dan lain-lain. Dalam adat seperti cara makan dan minum, menjauhi makanan yang najis, israf, dan lain-lain. Dalam mua’malat seperti larangan menjual barang najis, dan lain-lain. Dalam jinayat seperti larangan membunuh perempuan, anak-anak, Rahib (pendeta).[22]
2.      Bagian kedua menerangkan tentang tujuan syari’ dalam menetapkan syari’at adalah untuk dipahami (Qashdu asy-syari’ fi wadh’i asy-syari’ah lil Ifham)[23]
Pada bagian kedua terdapat 5 permasalahan. Asy-Syathibi mengemukakan bahwa tujuan syari’ dalam menetapkan syari’at adalah agar dapat dipahami oleh mukallaf. Pada bagian ini asy-Syathibi membahas secara detail mengenai peran Bahasa Arab dalam menggali hukum (istinbath al-ahkam), sebagaimana berikut:
a.       Syari’at (Islam) diturunkan oleh Allah SWT dengan menggunakan bahasa Arab,[24] Sebagaimana firman Allah SWT:[25]
”Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab,”

Firman Allah SWT:[26]
”Dengan bahasa Arab yang jelas.”

Firman Allah SWT:[27]
".. Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam,[28] sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.

Firman Allah SWT:[29]

”Dan Jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab?".

Oleh karena itu, dalam memahami syari’at Islam harus terlebih dahulu memahami dan menguasai gramatika bahasa Arab dan unsur-unsur yang menjadi bagian terpenting, seperti ilmu Nahwu, Sharaf, balagha, Mantiq, dan lain-lain. Dalam hal ini asy-Syathibi menegaskan:
فمن أراد تفهمه فمن جهة لسان العرب يفهم
”Barangsiapa yang hendak memahami syari’at (Islam), maka terlebih dahulu ia harus memahami lisan al-Arab”[30]

b.      Syari’at yang diturunkan oleh Allah SWT ini adalah Ummiyyah, pendapat asy-Syathibi ini didasarkan pada firman  Allah SWT:[31]
“…Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya)”

Dari uraian kedua ini sangat jelas, bahwa syari’at Islam yang diturunkan oleh Allah SWT dan dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah Ummiyyah.
3.      Bagian ketiga menerangkan tentang tujuan syari’at sebagai hukum taklif yang harus dilakukan sesuai dengan tuntutannya (Fi Bayan qashd asy-syari’ fi wadh’i asy-syari’ah li at-Taklif Bi Muqtadhahu)[32]
Pada bab ini, asy-Syathibi menjelaskan tentang tujuan syari’ dalam menentukan syari’at. Ia menegaskan bahwa tujuan syari’ dalam menentukan syari’at adalah untuk dilaksanakan manusia sesuai dengan kehendak-Nya. Menurutnya, bentuk tuntutan tersebut terbagi menjadi dua, yaitu:
a.       Tuntutan yang ada di luar kemampuan manusia. Dalam hal ini secara tegas al-Imam asy-Syathibi menjelaskan, sebagaimana berikut:
فمالاقدرة للمكلف عليه لايصح التكليف به شرعا وإن جاز عقلا
”Bentuk taklif yang ada di luar kemampuan manusia secara syar’i tidak sah untuk dibebankan kepada mukallaf, meskipun secara akal memungkinkan untuk dilakukan.”[33]

Dari penjelasan ini dapat diambil pengertian bahwa semua bentuk taklif yang ada di luar kemampuan manusia tidak masuk dalam kategori tuntutan syari’.
Dalam kaidah lain, asy-Syathibi menegaskan, sebagaimana berikut:
إذا ظهرمن الشارع في بادئ الرأي القصد إلي ا لتكليف ما لايدخل تحت قدرة العبد فذلك راجع في التحقيق إلي سوابقه ولواحقه وقرائنه

”jika ada teks syara’ (setelah adanya analisis mendalam) ternyata teks tersebut menunjukkan perintah yang tidak mungkin untuk dilakukan oleh manusia, maka teks itu harus dikembalikan kepada perkara-perkara dahulu (sawabiqihi), perkara-perkara yang datang kemudian (lawahiqihi), dan perkara-perkara yang menyertainya (qaraa’inihi).[34]

Asy-Syathibi mencontohkan pada hal-hal yang harus dikembalikan kepada perkara dahulu (sawabiqihi), sebagaimana firman Allah SWT:[35]
”Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.”

Contoh hal-hal yang dikembalikan kepada perkara-perkara yang datang kemudian (lawahiqihi), sebagimana sabda Nabi Muhammad SAW :
كن عبدالله المقتول ولاتكن عبدالله القاتل
”Jadilah kamu hamba Allah SWT yang terbunuh dan janganlah kamu menjadi orang yang membunuh”[36]

Dan perkara-perkara yang menyertainya (qara’inihi), seperti sabda Nabi Muhammad SAW :
لاتمت وأنتم ظالمون
Janganlah kamu mati, sedangkan kamu dalam keadaan berbuat dlalim”

b.      Tuntutan yang mampu untuk dilaksanakan oleh manusia, tetapi didalamnya terdapat masyaqah. Menurut asy-Syathibi, dalam masalah ini syari’ tidak hendak bermaksud membuat masyaqat bagi mukallaf, namun sebaliknya, syari’ bertujuan memberikan kemudahan (at-Taisir).
Misalnya, syari’ mewajibkan berjihad, perintah ini bukan berarti ingin agar hambanya binasa, tetapi syari’ hendak mempermudah dalam amar ma’ruf dan nahi munkar. Demikian pula bentuk-bentuk hukum yang sudah menjadi ketentuan syari’ seperti hukum Qishash, hukum dera, dan lain-lain. Semuanya adalah untuk kebaikan manusia.
Menurut asy-Syathibi: Jika ternyata didalam taklif terdapat hal-hal yang diduga keras sebagai masyaqat, maka sebenarnya hal tersebut bukanlah masyaqat tetapi kulfah, yaitu sesuatu yang selalu melekat pada aktifitas manusia dan tidak mungkin untuk dipisahkan darinya, seperti mencari nafkah, siang dan malam seseorang mencari nafkah untuk kehidupan keluarganya. Pekerjaan seperti ini tidak masuk dalam kategori masyaqat, tetapi semua aktifitas yang ia lakukan memang suatu keharusan bagi orang tersebut untuk menghidupi keluarganya. Oleh karenanya, dalam syari’at Islam bentuk aktifitas tersebut tidak dinamakan masyaqat. [37]
Dalam persoalan ini, asy-Syathibi membagi masyaqat menjadi dua, yaitu Masyaqat Mu’tadah, sebagaimana keterangan di atas,  dan Masyaqat Ghair Al-Mu’tadah, yaitu masyaqat yang tidak dapat dilakukan oleh mukallaf, seperti keharusan berpuasa bagi orang sakit. Untuk mengatasi masyaqat ini syari’ memberikan alternatif yang berupa rukhshah.[38]
4.      Bagian keempat menerangkan tentang tujuan syari’ dalam membebani mukallaf untuk melaksanakan syari’at-Nya (Qashdu asy-syari’ fi dukhul al-mukallaf tahta ahkam asy-syari’ah)[39]
Bagian keempat ini terdiri dari 20 masalah dan termasuk pembahasan yang paling panjang di antara bab yang lain, namun dari persoalan-persoalan tersebut terdapat dua hal yang menjadi inti pembahasan, yaitu:
a.       Syari’ membebani mukallaf untuk melaksanakan syari’at-Nya adalah agar aktifitas mukallaf tidak terjerumus kedalam keinginan hawa nafsu belaka, sehingga menjadi hamba yang selamat di dunia dan akhirat.
b.      Setiap perbuatan mukallaf harus selalu mengikuti petunjuk syara’, karena perbuatan yang hanya mengikuti hawa nafsu belaka, akan mengakibatkan kerusakan dan mendapati kerugian bagi manusia itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat. Dalam hal ini asy-Syathibi menegaskan:
إن اتباع الهوي طريق الي المذموم وإن جاء في ضمن المحمود

”Mengikuti hawa nafsu merupakan jalan menuju hal-hal yang tercela, meskipun perbuatan itu berada dalam bingkaian sesuatu yang terpuji,”[40]

Disinilah pentingnya setiap mukallaf agar selalu mengikuti petunjuk syari’.
C.    Temuan Penelitian
Berdasarkan analisis penulis yang terkait dengan memahami konsep maqashid asy-syari’ah asy-Syathibi. Bahwa dalam pembahasan mengenai maqashid asy-syari’ah, ia telah membahas secara detail.
Secara global, asy-Syathibi mengklasifikasikan maqashid asy-syari’ah menjadi empat bagian, yaitu tujuan awal dari syari’at yakni kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat, syari’at sebagai sesuatu yang dipahami, syari’at sebagai hukum taklif yang harus dilakukan, dan tujuan syari’at adalah membawa manusia ke bawah naungan hukum.
Bagian pertama, asy-Syathibi membahas tentang tingkatan maqashid asy-syari’. Ia mengklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu adh-dharuriyat, al-hajjiyat, dan at-tahsiniyat.
Tingkatan pertama merupakan sesuatu yang harus ada demi untuk menegakkan kemashlahatan agama dan dunia. Tidak terpenuhinya tingkatan ini akan menimbulkan kerusakan dan hilangnya kehidupan. Kemashlahatan ini meliputi: agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal.
Sebagai upaya untuk menjaga lima kemashlahatan yang menjadi unsur terpenting tersebut, asy-Syathibi memberikan dua alternatif, yaitu dengan menjaga hal-hal yang dapat mengokohkan keberadaannya dan menolak hal-hal yang dapat merusak eksistensinya.
Tingkatan kedua merupakan sesuatu yang eksistensinya tidak harus ada, hanya saja akan menimbulkan masyaqat bagi mukallaf. Sedangkan tingkatan ketiga adalah kemashlahatan yang keberadaanya untuk menyempurnakan lima unsur pokok di atas.
Bagian kedua, asy-Syathibi menjelaskan tentang peran bahasa Arab dalam menetapkan hukum (istinbath al-ahkam). Disini, ia memerankan bahasa Arab sebagai sesuatu yang paling urgen dalam menetapkan hukum Islam. Oleh karena itu, syari’at Islam tidak dapat dipahami dengan selain bahasa Arab.
Selanjutnya, asy-Syathibi mengatakan bahwa syari’at Islam diturunkan oleh Allah SWT adalah ummiyyah. Sebagai kosekwensinya, setiap orang yang akan menggali hukum Islam harus memahami tata bahasa Arab dan tidak bisa dipaham dengan yang lainnya.
Bagian ketiga, asy-Syathibi berpendapat bahwa setiap hukum yang dibebankan kepada manusia wajib dilakukan. Dari sini timbul pertanyaan, bagaimana jika ternyata ada hukum yang tidak mampu untuk dilaksanakan manusia?. Menurut asy-Syathibi, setiap bentuk taklif yang ada diluar kemampuan manusia secara syar’i tidak sah untuk dibebankan kepada mukallaf, meskipun secara akal pembebanan tersebut dapat dilakukan.
Pada pembahasan ini, asy-Syathibi mengklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu tuntutan yang ada diluar kemampuan manusia, dan tuntutan yang dapat dilakukan oleh manusia.
Bagian keempat, asy-Syathibi mengemukakan bahwa tujuan syari’ dalam pensyari’atan adalah untuk dilakukan mukallaf sesuai dengan tuntutan-Nya.
Pada bagian ini, asy-Syathibi membahas tentang tujuan dalam pensyari’atan. Menurutnya, syari’ membebani mukallaf untuk melaksanakan syari’at-Nya adalah agar aktifitas mukallaf tidak terjerumus kedalam keinginan hawa nafsu belaka, sehingga menjadi hamba yang selamat di dunia dan akhirat. Asy-Syathibi juga menegaskan bahwa setiap pekerjaan mukallaf harus selalu mengikuti petunjuk syari’.





[1] Abdul Azis Dahlan (et.all), Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, cet. V, 2001, Jakarta, hal. 1699.
[2] Pada tema ini terdapat 13 persoalan yang menjadi langkah awal untuk memahami kitab al-muwafaqat
[3] Pada tema ini asy-Syathibi membahas hukum taklifi dan hukum wadh’i yang masing-masing ada lima macam, selain itu ia juga menjelaskan tentang keterkaitan kedua hukum tersebut dengan Maqashid asy-Syari’ah
[4] Tema ini menjadi pembahasan yang paling inti dalam kitab al-muwafaqat, karena pembahasan mengenai Maqashid asy-Syari’ah inilah kitab tersebut menjadi perbincangan dan juga menjadi obyek kajian para juris Islam masa kini. Pada kesempatan ini, penulis juga akan memfokuskan kajian pemikiran asy-Syathibi mengenai Maqashid asy-Syari’ah
[5] Al-Ijtihad wa at-Taqlid, pada tema ini asy-Syathibi menguraikan secara detail mengenai al-ijtihad dan at-taqlid
[6] Asy-Syathibi, al-muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Dar al-Fikr, tt Juz II, hal. 2
[7] Ibid.
[8] An-Nisa’(4) ayat 165
[9] Al-Anbiyaa’ (21) ayat 107
[10] Adz-Dzariyaat (51) ayat  56
[11] Al-Ma’idah (5) ayat 6
[12] Al-Baqarah (2) ayat 150
[13] Al-Hajj (22) ayat 39
[14] Al-Baqarah (2) ayat 179
[15] Al-A’raaf (7) ayat 172
[16] Op.Cit, hal. 3
[17] Ibid, hal. 4
[18] Ibid.
[19] Dari segi eksistensinya, asy-Syathibi mengklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: Fi ushul al-‘badaat (Hifz ad-Din) yaitu hal-hal yang menjadi bagian terpenting dalam agama, Fi al-‘Adaat (hifz an-Nafs dan al-‘Aql), dan Fi al-Mu’amalat (hifz an-Nasl dan al-Mal). 
[20] Ibid.
[21] Ibid, hal. 4-5
[22] Ibid, hal. 5
[23] Ibid, hal. 42
[24] Ibid.
[25]Yusuf (12) ayat 2
[26] Asy-Syu’ara’(26) ayat 195

[27] An-Nahl (16) ayat 103
[28] Bahasa 'Ajam ialah bahasa selain bahasa Arab dan dapat juga berarti bahasa Arab yang tidak baik, karena orang yang dituduh mengajar Muhammad itu bukan orang Arab dan hanya tahu sedikit-sedikit bahasa Arab.
[29] Al-Fushshilat (41) ayat 44
[30] Op.Cit, hal. 43
[31] Al-‘Araf (7) ayat 158
[32] Ibid. 42-73
[33] Ibid, hal. 72
[34] Ibid.
[35] Ali Imran (3) ayat 102
[36] Hadits Rasulullah SAW di atas secara lahirnya membebani agar orang lain membunuhnya, tetapi hakikatnya adalah agar tidak berbuat dlalim dan tidak memulai permusuhan. Jadi yang dimaksud adalah janganlah berbuat dlalim.
[37] Op.Cit, hal. 82
[38] Ibid, hal. 83
[39] Ibid, hal. 114
[40] Ibid, hal. 119
 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id