BAB
II (A)
LANDASAN TEORITIS
MAQASHID ASY-SYARI’AH
SEBAGAI LANDASAN HUKUM ISLAM
A. Historisitas
Hukum Islam
Sejarah merupakan penafsiran
terhadap peristiwa masa lampau yang dipelajari secara kronologis. Secara historis, para
juris Islam berbeda pendapat mengenai periodisasi pembentukan hukum Islam.[1] Tetapi pada tataran
substansi, mereka boleh dibilang sampai pada satu kesimpulan bahwa secara
sosiologis hukum Islam mengalami stratifikasi yang dimulai sejak sepeninggalnya
Rasulullah SAW.
Pada kesempatan ini, penulis
akan mengemukakan periodisasi pembentukan hukum Islam sebagaimana yang
dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf. Menurutnya, periodisasi hukum Islam
terbagi menjadi tiga bagian.[2]
Bagian pertama, masa kenabian
Muhammad SAW. Pada fase ini ajaran-ajaran
Rasulullah SAW meliputi ajaran ‘Aqidah, Akhlaq, dan hukum-hukum yang bersifat ‘Amaliyah,
yang seluruhnya terbentuk dari nash
al-Qur’an. Sedangkan hukum yang timbul dari
Rasulullah SAW antara lain fatwa atas suatu kejadian, keputusan terhadap
suatu perselisihan, atau jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sahabat mengenai
suatu peristiwa. Sehingga sumber hukum Islam pada masa ini adalah al-Qur’an dan
al-Hadits.
Bagian kedua adalah masa sahabat, yang dimulai dengan
putusnya wahyu sejak meninggalnya Rasulullah SAW. Pada fase ini para sahabat
banyak menemui persoalan-persoalan yang belum ada dalam nash (al-Qur’an dan al-Hadits), dengan demikian kebijakan
sahabat menjadi prioritas dalam menyelesaikan berbagai problem tersebut. Pada
fase ini banyak para sahabat yang melakukan ijtihad dengan menyandarkan pada nash. Pada fase ini hukum Islam bersumber pada hukum Allah
SWT, Rasul-Nya, serta fatwa sahabat dan keputusannya, atau dengan kata lain,
sumber hukum Islam mengacu pada al-Qur’an, al-Hadits, dan Ijtihad sahabat.
Pada masa ini pembukuan dan penetapan terhadap hukum belum
bersifat legalistik, tetapi penetapannya
hanya didasarkan pada kasus yang terjadi pada saat itu dan merupakan bentuk konsekuensi
dari suatu perbuatan. Hukum yang ada pun masih belum menjadi disiplin ilmu dan sahabat yang
ahli dibidang hukum tidak disebut al-Faqih.
Bagian ketiga adalah masa tabi’in, tabi’u at-tabi’in, dan para imam-imam mujtahid (abad kedua dan ketiga hijriyyah). Pada masa ini
kekuasaan Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat dan banyak orang ‘ajam memeluk agama Islam. Sehingga
umat Islam dihadapkan pada persoalan-persoalan baru yang memotivasi para mujtahid untuk memperluas wilayah
ijtihad dan penetapan hukum syara’ atas kejadian-kejadian
tersebut, serta membuka lebar pintu pembahasan dan pandangan baru bagi mereka.
Maka disini, medan ijtihad dalam menetapkan hukum fiqih semakin luas.
Pada masa ini, hukum fiqih terdiri dari al-Qur’an, al-Hadits, fatwa dan
keputusan-keputusan sahabat atas suatu persoalan, serta fatwa para ulama mujtahid
dan istinbath-nya, yang didasarkan
pada al-Qur’an, dan as-Sunnah. Pada masa ini, pembukuan mengenai hukum-hukum syara’ sudah dimulai, dan bersamaan dengan
pembukuan Hadits. Hukum-hukum tersebut sudah menjadi disiplin ilmu dan orang
yang ahli dibidangnya disebut al-Faqih.
Disiplin ilmunya pun disebut ilmu fiqih.
B. Prinsip-prinsip
Hukum Islam
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para juris Islam, bahwa
ajaran Islam mempunyai beberapa prinsip
yang ingin dicapai dalam rangka mewujudkan kebahagiaan bagi manusia di dunia dan
akhirat. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1.
Menegakkan Kemashlahatan (Tahqiq al-Mashalih)
Mashlahah merupakan dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam ajaran Islam.
Ia mempunyai dasar pijakan yang kuat dalam al-Qur’an, sebagaimana firman Allah
SWT[3]:
”Dan Tiadalah
Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Manurut Jumhur ulama, Rasulullah SAW
tidak akan menjadi ”Rahmat” jika bukan dalam rangka untuk
menciptakan kemashlahatan umat manusia.[4] Ayat-ayat al-Qur’an
dan al-Hadits Nabi SAW seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemashlahatan umat
manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan mashlahah terhadap hukum-hukum lain yang juga mengandung
kemashlahatan adalah legal.
2.
Menegakkan Keadilan (Tahqiq al-’Adalah)
Dalam
syari’at Islam, Allah SWT tidak membedakan antara satu bangsa dengan bangsa
lainnya, antara satu suku dengan suku lain, antara individu dengan yang
lainnya. Allah SWT menyamaratakan antara sesama Islam dengan non Islam,
berdasarkan prinsip persamaan dan keadilan yang sudah ditetapkan oleh Nash. Perbedaan mereka hanya terletak pada kadar keimanan dan
ketaqwaan. Sebagiamana firman Allah SWT :[5]
”Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal.
Ayat
ini menjelaskan tentang konsepsi manusia sebagai makhluq sosial, yang terdiri
dari suku bangsa dan diperintahkan untuk membentuk suatu komunitas dengan
saling mengenal, baik dengan cara perkawinan antar suku bangsa maupun dengan cara
lain, tentunya dengan cara-cara yang tidak melanggar syari’at, tanpa membedakan
dari suku mana ia dilahirkan. Dengan begitu, mereka akan saling mengenal dan
bekerjasama dalam kebaikan yang pada akhirnya dapat menjalankan tugas sebagai
khalifah Allah SWT di muka bumi ini dengan baik.
Sebagaimana
ayat di atas, bahwa manusia mempunyai derajat yang sama dari suku mana pun,
yang membedakan adalah kadar ketaqwaannya kepada Allah SWT. Sehingga disini
sangat jelas bahwa hukum Islam menghendaki adanya persamaan hak, tentunya hak
ini sesuai dengan kodrat manusia, perempuan menjalankan haknya sebagai
perempuan demikian pula laki-laki. Karena jika tidak menjalankan sesuai dengan
kodratnya maka hal ini akan bertentangan dengan konsep adil, sebagai lawan
katanya adalah dlalim, padahal hukum Islam melarang untuk berbuat dlalim.
3.
Prinsip Elastisitas (’Adam Al-Haraj)
Menurut
mufasir, karena Nabi Muhammad SAW adalah
Nabi dan Rasul penutup dari semua nabi-nabi dan rasul,[6] maka tidak ada lagi Nabi
dan Rasul sesudahnya, sehingga pantas jika hukum yang dibawanya bersifat
elastis yang dapat menampung semua problematika kehidupan pada setiap masa dan tempat
(shalih fi kulli az-Zaman wa
al-Makan).
Nabi
Muhammad SAW merupakan Nabi dan Rasul terakhir yang tidak ada lagi sesudahnya.
Sebagaimana firman Allah SWT :[7]
”Muhammad itu
sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.”
Sedangkan
dalil yang melegimitasi bahwa syari’at Islam bersifat elastis[8] adalah sebagaimana firman
Allah SWT :[9]
”Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan
manusia dijadikan bersifat lemah.”
Dan firman Allah SWT:[10]
“…Dan membuang
dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka…”[11]
Dan juga firman Allah
SWT :[12]
”...Dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan...”.
Seandainya
hukum Islam tidak bersifat elastis, tentu tidak mampu menjawab problematika
yang selalu berubah seirama dengan perkembangan zaman ini. Dengan demikian
sikap seperti itu berarti membiarkan masyarakat hidup dalam keadaan kacau tanpa
aturan agama yang akhirnya membawa kepada kehancuran umat manusia, ini tidak
sesuai dengan misi agungnya, yakni sebagi rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana
firman Allah SWT surat al-Anbiyaa’ (21) ayat 107.
Elastisitas
hukum Islam juga tercermin dalam aktifitas ijihad ulama’ fiqih dan ushul
al-fiqih, cerminan elastisitas hukum Islam menurut ulama tersebut ada tujuh,[13] antara lain:
a.
Tahfif al-Isqath. Yaitu keringanan untuk
menggugurkan ibadah wajib, seperti diperbolehkan meninggalkan shalat jum’at
bagi mukalaf dan diganti dengan shalat dluhur karena ada udzur, gugurnya
kewajiban haji karena ada beberapa hal yang menghalangi.
b.
Tahfif Tanqish. Yaitu keringanan untuk
mengurangi beban yang telah ditentukan syara’, seperti meng-Qashar shalat bagi mukallaf yang
sedang musafir
c.
Tahfif al-Ibdal. Yaitu keringanan untuk menukar
antara kewajiban yang satu dengan yang lain, seperti kewajiban wudlu diganti
dengan tayamum
d.
Tahfif at-Taqdim. Yaitu keringanan untuk
mendahulukan kewajiban sebelum tiba waktu yang telah ditentukan, seperti
mendahulukan dalam mengeluarkan zakat mal (harta benda) sebelum satu tahun.
e.
Tahfif at-Ta’khir. Yaitu boleh menangguhkan
kewajiban dan diganti pada waktu lain, seperti diperbolehkan tidak puasa bagi
mukallaf pada bulan ramadlan karena ada udzur dan diganti diluar bulan ramadlan.
f.
Tahfif at-Tarkhish. Yaitu keringanan sebagai
bentuk dispensasi seperti diperbolekan memakan binatang yang haram karena
terpaksa, andaikan tidak makan ia akan mati.
g.
Tahfif at-Taghyir. Yaitu keringanan untuk merubah
aturan yang sudah ditentukan oleh syara’ seperti diperbolehkan merubah susunan
shalat ketika situasi tidak mengizinkan.
4. Minimalitas Beban Hukum (Taqlil
At-Takalif)
Prinsip ini berorientasi pada
penentuan sikap mukallaf dalam menjalankan syari’at Islam, yaitu sikap tidak
boleh mengurangi atau melebihkan kewajiban dalam pelaksanaan agama. Hukum yang
ada dalam nash baik al-Qur’an maupun al-Hadits, tidak menuntut seorang mukallaf
untuk melaksanakan suatu perintah melebihi dari kemampuan manusia, sekalipun
secara akal dianggap suatu hal yang wajar.[14]
Dari sini dapat kami
asumsikan, bahwa hukum Allah SWT yang dibebankan kepada manusia tidak lebih
dari kemampuan yang dimilikinya. Sebagaimana firman Allah SWT :[15]
”Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan)
yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
(mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami
lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami
beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.
Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami
memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah
penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."
Manusia juga dituntut oleh Allah SWT untuk tidak bertanya kepada
hal-hal yang tidak perlu, karena hal ini justeru akan menyulitkan bagi manusia
sendiri. Dalam persoalan ini Allah SWT berfirman[16] :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan
menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan,
niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
Ayat ini
mengajarkan sopan santun bagi orang-orang mukmin, agar tidak menanyakan hal-hal
yang belum diterangkan hukumnya pada saat wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, yang pada akhirnya akan mempersulit bagi manusia sendiri. Dan juga melarang untuk menanyakan hal-hal yang tidak
memberikan faedah bagi manusia.[17]
5. Gradualitas Dalam Legislasi
Hukum (At-Tadrij Fi At-Tasyri’)
Ibnu khaldun[18] dan
hukama[19]
berpendapat bahwa karakteristik manusia adalah sosialis.[20] Ia
mempunyai kemampuan secara mandiri untuk berkreasi sesuai dengan potensi (fithrah) yang ia miliki.[21]
Karakteristik tersebut membuat manusia akan selalu berubah dan berkembang
sesuai dengan kehidupan sekitarnya. Untuk menghadapi lajunya perkembangan
inilah sangat membutuhkan prosedur dalam memberlakukan aturan sebagai bentuk responsip
terhadap fenomena yang dihadapi masyarakat.
Dalam al-Qur’an sendiri Allah
SWT tidak an sich menghukumi sesuatu
yang berkenaan dengan mukallaf, melainkan memberikan alternatif-alternatif
dengan menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Seperti dalam larangan meminum khamr. Pada awalnya Allah SWT hanya memberi gambaran
tentang dampak negatif dan positifnya khamr.
Sebagaimana firman Allah SWT [22]:
“Mereka bertanya kepadamu tentang
khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,”
Larangan kedua, Allah SWT melarang
minum khamr di saat menjelang shalat. Sebagimana firman Allah SWT :[23]
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri
mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang
dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”
Dan larangan terakhir, Allah SWT
mengharamkan khamr secara tegas,[24]
termasuk larangan pertama dan kedua, dengan pertimbangan kemashlahatan yang
terjadi ketika khamr itu telah menguasai akal sehat dan
dimana akal sudah tidak berfungsi secara normal, karena perbuatan ini akan
berakibat melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Perbuatan seperti ini
mendapat cela dari Allah SWT sebagai perbuatan syetan, sebagimana dalam
firman-Nya[25]
:
”Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434],
adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan.”
Dari tiga ayat al-Qur’an di atas adalah
proses pengharaman minum Khamr dan menunjukkan bahwa hukum Allah SWT
tidak an sich menghukumi manusia. Allah SWT
melegislasi hukum Islam ini memang benar-benar mengandung kemashlahatan bagi
manusia di dunia dan akhirat.
[1]Ulama berbeda pendapat
dalam menentukan periodisasi pembentukan hukum Islam. Abdul Wahab Khalaf
membagi periodisasi pembentukan hukum Islam menjadi tiga bagian, yaitu masa
Nabi SAW, masa Shahabat, dan masa Tab’in, Tabi’u at-Tabi’in.
[3] Al-Anbiyaa’ (21) ayat
107
[4] Nabi SAW diutus
oleh Allah SWT adalah sebagai rahmat baik bagi orang mukmin maupun orang kafir.
Rahmat bagi orang mukmin didunia dan akhirat, dan rahmat bagi orang kafir
adalah dengan diakhirkannya siksa, dalam arti orang kafir tidak disiksa didunia.
Lihat: Abu al-Barakaat, Tafsir an-Nasafi Fi Madarik at-Tanziil Wa Haqaiq at-Ta’wil, sofware maktabah
syamilah, al-ishdar ats-tsani, juz III, hal. 376.
[5] Al-Hujuraat (49)
ayat 13
[6] Abu Muhammad Al-Baghawi, Ma’alim At-Tanzil, Dar Thabi’ah, Cet.
IV, 1994, Juz VI, hal. 358; dan Abu Hayyan, Tafsir Al-Bahr Al-Muhid, Sofware
Maktabah Syamilah, Al-Ishdar Ats-Tsani, Juz IX, hal. 158.
[7] Al-Ahzab (33) ayat 40
[9] An-Nisa’(4) ayat
28
[10] Al-’Araaf (7)
ayat 107
[11] Dalam syari'at yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah SAW itu tidak ada lagi beban-beban
yang berat yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya: mensyari'atkan
membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan qishas pada pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa
membolehkan membayar diyat, memotong anggota badan bagi yang
melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang terkena najis.
[12] Al-Hajj ayat 78
[13] Ibrahim Muhammad
Mahmud, Al-Madkhal Ila
Al-Qawa’id Al-Fiqiyyah Al-Kulliyah, Dar ‘Imaar 1998, Cet I, Hal. 101
[15] Al-Baqarah (2)
ayat 286
[17] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, Darun Thayyibatun, Cet
II, 1999, Juz III, hal. 203; dan As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Sofware Maktabah Syamilah,
Al-Ishdar Ats-Tsani, Juz II, hal 269
[18] Abd al-Rahman Abu zaid
Waliuddin Ibnu Khaldun.
[19] Hukama’ diartikan; ”Orang-orang yang perkataan dan perbuatannya sesuai dengan al-Sunnah. Lihat: Muhammad Ali
Baidlun, al-Ta`rifat, Dar al-Kotob
al-Ilmiyah, cet. II, hal, 98.
[21] Fithrah adalah kondisi sekaligus potensi bawaan yang berasal
dari dan ditetapkan dalam proses penciptaan manusia. Lihat: Muhaimin et al. Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Kencana, jakarta,
2005, hal, 25.
[22] Al-Baqarah (2)
ayat 219
0 komentar:
Posting Komentar