Sabtu, 06 Juli 2013

BAB II (Tesis) A

BAB II (A)
LANDASAN TEORITIS
MAQASHID ASY-SYARI’AH SEBAGAI LANDASAN HUKUM ISLAM
A.    Historisitas Hukum Islam
Sejarah merupakan penafsiran terhadap peristiwa masa lampau yang dipelajari secara kronologis. Secara historis, para juris Islam berbeda pendapat mengenai periodisasi pembentukan hukum Islam.[1] Tetapi pada tataran substansi, mereka boleh dibilang sampai pada satu kesimpulan bahwa secara sosiologis hukum Islam mengalami stratifikasi yang dimulai sejak sepeninggalnya Rasulullah SAW.
Pada kesempatan ini, penulis akan mengemukakan periodisasi pembentukan hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf. Menurutnya, periodisasi hukum Islam terbagi menjadi tiga bagian.[2]
Bagian pertama, masa kenabian Muhammad SAW. Pada fase ini ajaran-ajaran  Rasulullah SAW meliputi ajaran ‘Aqidah, Akhlaq, dan hukum-hukum yang bersifat ‘Amaliyah, yang seluruhnya terbentuk dari nash al-Qur’an. Sedangkan hukum yang timbul dari  Rasulullah SAW antara lain fatwa atas suatu kejadian, keputusan terhadap suatu perselisihan, atau jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sahabat mengenai suatu peristiwa. Sehingga sumber hukum Islam pada masa ini adalah al-Qur’an dan al-Hadits.
Bagian kedua adalah masa sahabat, yang dimulai dengan putusnya wahyu sejak meninggalnya Rasulullah SAW. Pada fase ini para sahabat banyak menemui persoalan-persoalan yang belum ada dalam nash (al-Qur’an dan al-Hadits), dengan demikian kebijakan sahabat menjadi prioritas dalam menyelesaikan berbagai problem tersebut. Pada fase ini banyak para sahabat yang melakukan ijtihad dengan menyandarkan pada nash. Pada fase ini hukum Islam bersumber pada hukum Allah SWT, Rasul-Nya, serta fatwa sahabat dan keputusannya, atau dengan kata lain, sumber hukum Islam mengacu pada al-Qur’an, al-Hadits, dan Ijtihad sahabat.
Pada masa ini pembukuan dan penetapan terhadap hukum belum bersifat  legalistik, tetapi penetapannya hanya didasarkan pada kasus yang terjadi pada saat itu dan merupakan bentuk konsekuensi dari suatu perbuatan. Hukum yang ada pun masih  belum menjadi disiplin ilmu dan sahabat yang ahli dibidang hukum tidak disebut al-Faqih.
Bagian ketiga adalah masa tabi’in, tabi’u at-tabi’in, dan para imam-imam mujtahid (abad kedua dan ketiga hijriyyah). Pada masa ini kekuasaan Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat dan banyak orang ‘ajam memeluk agama Islam. Sehingga umat Islam dihadapkan pada persoalan-persoalan baru yang memotivasi para mujtahid untuk memperluas wilayah ijtihad dan penetapan hukum syara’ atas kejadian-kejadian tersebut, serta membuka lebar pintu pembahasan dan pandangan baru bagi mereka. Maka disini, medan ijtihad dalam menetapkan hukum fiqih semakin luas.
Pada masa ini, hukum fiqih terdiri dari al-Qur’an, al-Hadits, fatwa dan keputusan-keputusan sahabat atas suatu persoalan, serta fatwa para ulama mujtahid dan istinbath-nya, yang didasarkan pada al-Qur’an, dan as-Sunnah. Pada masa ini, pembukuan mengenai hukum-hukum syara’ sudah dimulai, dan bersamaan dengan pembukuan Hadits. Hukum-hukum tersebut sudah menjadi disiplin ilmu dan orang yang ahli dibidangnya disebut al-Faqih. Disiplin ilmunya pun disebut ilmu fiqih. 
B.     Prinsip-prinsip Hukum Islam
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para juris Islam, bahwa ajaran  Islam mempunyai beberapa prinsip yang ingin dicapai dalam rangka mewujudkan kebahagiaan bagi manusia di dunia dan akhirat. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1.      Menegakkan Kemashlahatan (Tahqiq al-Mashalih)
Mashlahah merupakan dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam ajaran Islam. Ia mempunyai dasar pijakan yang kuat dalam al-Qur’an, sebagaimana firman Allah SWT[3]:
”Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Manurut Jumhur ulama, Rasulullah SAW tidak akan menjadi ”Rahmat” jika bukan dalam rangka untuk menciptakan kemashlahatan umat manusia.[4] Ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits Nabi SAW seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemashlahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan mashlahah terhadap hukum-hukum lain yang juga mengandung kemashlahatan adalah legal.
2.      Menegakkan Keadilan (Tahqiq al-’Adalah)
Dalam syari’at Islam, Allah SWT tidak membedakan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, antara satu suku dengan suku lain, antara individu dengan yang lainnya. Allah SWT menyamaratakan antara sesama Islam dengan non Islam, berdasarkan prinsip persamaan dan keadilan yang sudah ditetapkan oleh Nash. Perbedaan mereka hanya terletak pada kadar keimanan dan ketaqwaan. Sebagiamana firman Allah SWT :[5]
”Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ayat ini menjelaskan tentang konsepsi manusia sebagai makhluq sosial, yang terdiri dari suku bangsa dan diperintahkan untuk membentuk suatu komunitas dengan saling mengenal, baik dengan cara perkawinan antar suku bangsa maupun dengan cara lain, tentunya dengan cara-cara yang tidak melanggar syari’at, tanpa membedakan dari suku mana ia dilahirkan. Dengan begitu, mereka akan saling mengenal dan bekerjasama dalam kebaikan yang pada akhirnya dapat menjalankan tugas sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi ini dengan baik.
Sebagaimana ayat di atas, bahwa manusia mempunyai derajat yang sama dari suku mana pun, yang membedakan adalah kadar ketaqwaannya kepada Allah SWT. Sehingga disini sangat jelas bahwa hukum Islam menghendaki adanya persamaan hak, tentunya hak ini sesuai dengan kodrat manusia, perempuan menjalankan haknya sebagai perempuan demikian pula laki-laki. Karena jika tidak menjalankan sesuai dengan kodratnya maka hal ini akan bertentangan dengan konsep adil, sebagai lawan katanya adalah dlalim, padahal hukum Islam melarang untuk berbuat dlalim.
3.      Prinsip Elastisitas (’Adam Al-Haraj)
Menurut mufasir, karena Nabi Muhammad SAW adalah  Nabi dan Rasul penutup dari semua nabi-nabi dan rasul,[6] maka tidak ada lagi Nabi dan Rasul sesudahnya, sehingga pantas jika hukum yang dibawanya bersifat elastis yang dapat menampung semua problematika kehidupan pada setiap masa dan tempat (shalih fi kulli az-Zaman wa al-Makan).
Nabi Muhammad SAW merupakan Nabi dan Rasul terakhir yang tidak ada lagi sesudahnya. Sebagaimana firman Allah SWT :[7]
”Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

Sedangkan dalil yang melegimitasi bahwa syari’at Islam bersifat elastis[8] adalah sebagaimana firman Allah SWT :[9]
”Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”

Dan firman Allah SWT:[10]
“…Dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka…”[11]

Dan juga firman Allah SWT :[12]
”...Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan...”.

Seandainya hukum Islam tidak bersifat elastis, tentu tidak mampu menjawab problematika yang selalu berubah seirama dengan perkembangan zaman ini. Dengan demikian sikap seperti itu berarti membiarkan masyarakat hidup dalam keadaan kacau tanpa aturan agama yang akhirnya membawa kepada kehancuran umat manusia, ini tidak sesuai dengan misi agungnya, yakni sebagi rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana firman Allah SWT surat al-Anbiyaa’ (21) ayat 107.
Elastisitas hukum Islam juga tercermin dalam aktifitas ijihad ulama’ fiqih dan ushul al-fiqih, cerminan elastisitas hukum Islam menurut ulama tersebut ada tujuh,[13] antara lain:
a.       Tahfif al-Isqath. Yaitu keringanan untuk menggugurkan ibadah wajib, seperti diperbolehkan meninggalkan shalat jum’at bagi mukalaf dan diganti dengan shalat dluhur karena ada udzur, gugurnya kewajiban haji karena ada beberapa hal yang menghalangi.
b.      Tahfif Tanqish. Yaitu keringanan untuk mengurangi beban yang telah ditentukan syara’, seperti meng-Qashar shalat bagi mukallaf yang sedang musafir
c.       Tahfif al-Ibdal. Yaitu keringanan untuk menukar antara kewajiban yang satu dengan yang lain, seperti kewajiban wudlu diganti dengan tayamum
d.      Tahfif at-Taqdim. Yaitu keringanan untuk mendahulukan kewajiban sebelum tiba waktu yang telah ditentukan, seperti mendahulukan dalam mengeluarkan zakat mal (harta benda) sebelum satu tahun.
e.       Tahfif at-Ta’khir. Yaitu boleh menangguhkan kewajiban dan diganti pada waktu lain, seperti diperbolehkan tidak puasa bagi mukallaf pada bulan ramadlan karena ada udzur dan  diganti diluar bulan ramadlan.
f.       Tahfif at-Tarkhish. Yaitu keringanan sebagai bentuk dispensasi seperti diperbolekan memakan binatang yang haram karena terpaksa, andaikan tidak makan ia akan mati.
g.      Tahfif at-Taghyir. Yaitu keringanan untuk merubah aturan yang sudah ditentukan oleh syara’ seperti diperbolehkan merubah susunan shalat ketika situasi tidak mengizinkan.
4.      Minimalitas Beban Hukum (Taqlil At-Takalif)
Prinsip ini berorientasi pada penentuan sikap mukallaf dalam menjalankan syari’at Islam, yaitu sikap tidak boleh mengurangi atau melebihkan kewajiban dalam pelaksanaan agama. Hukum yang ada dalam nash baik al-Qur’an maupun al-Hadits, tidak menuntut seorang mukallaf untuk melaksanakan suatu perintah melebihi dari kemampuan manusia, sekalipun secara akal dianggap suatu hal yang wajar.[14]
Dari sini dapat kami asumsikan, bahwa hukum Allah SWT yang dibebankan kepada manusia tidak lebih dari kemampuan yang dimilikinya. Sebagaimana firman Allah SWT :[15]
”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."

Manusia juga dituntut oleh Allah SWT untuk tidak bertanya kepada hal-hal yang tidak perlu, karena hal ini justeru akan menyulitkan bagi manusia sendiri. Dalam persoalan ini Allah SWT berfirman[16] :
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”

Ayat ini mengajarkan sopan santun bagi orang-orang mukmin, agar tidak menanyakan hal-hal yang belum diterangkan hukumnya pada saat wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang pada akhirnya akan mempersulit bagi manusia sendiri. Dan juga melarang untuk menanyakan hal-hal yang tidak memberikan faedah bagi manusia.[17]
5.      Gradualitas Dalam Legislasi Hukum (At-Tadrij Fi At-Tasyri’)
Ibnu khaldun[18] dan hukama[19] berpendapat bahwa karakteristik manusia adalah sosialis.[20] Ia mempunyai kemampuan secara mandiri untuk berkreasi sesuai dengan potensi (fithrah) yang ia miliki.[21] Karakteristik tersebut membuat manusia akan selalu berubah dan berkembang sesuai dengan kehidupan sekitarnya. Untuk menghadapi lajunya perkembangan inilah sangat membutuhkan prosedur dalam memberlakukan aturan sebagai bentuk responsip terhadap fenomena yang dihadapi masyarakat.
Dalam al-Qur’an sendiri Allah SWT tidak an sich menghukumi sesuatu yang berkenaan dengan mukallaf, melainkan memberikan alternatif-alternatif dengan menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Seperti dalam larangan meminum khamr. Pada awalnya Allah SWT hanya memberi gambaran tentang dampak negatif dan positifnya khamr. Sebagaimana firman Allah SWT [22]:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,”

Larangan kedua, Allah SWT melarang minum khamr di saat menjelang shalat. Sebagimana firman Allah SWT :[23]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”

Dan larangan terakhir, Allah SWT mengharamkan khamr secara tegas,[24] termasuk larangan pertama dan kedua, dengan pertimbangan kemashlahatan yang terjadi ketika khamr itu telah menguasai akal sehat dan dimana akal sudah tidak berfungsi secara normal, karena perbuatan ini akan berakibat melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Perbuatan seperti ini mendapat cela dari Allah SWT sebagai perbuatan syetan, sebagimana dalam firman-Nya[25] :
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

Dari tiga ayat al-Qur’an di atas adalah proses pengharaman minum Khamr dan menunjukkan bahwa hukum Allah SWT tidak an sich menghukumi manusia. Allah SWT melegislasi hukum Islam ini memang benar-benar mengandung kemashlahatan bagi manusia di dunia dan akhirat.


[1]Ulama berbeda pendapat dalam menentukan periodisasi pembentukan hukum Islam. Abdul Wahab Khalaf membagi periodisasi pembentukan hukum Islam menjadi tiga bagian, yaitu masa Nabi SAW, masa Shahabat, dan masa Tab’in, Tabi’u at-Tabi’in.      
[2] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqih, hal.15
[3] Al-Anbiyaa’ (21) ayat 107
[4] Nabi SAW diutus oleh Allah SWT adalah sebagai rahmat baik bagi orang mukmin maupun orang kafir. Rahmat bagi orang mukmin didunia dan akhirat, dan rahmat bagi orang kafir adalah dengan diakhirkannya siksa, dalam arti orang kafir tidak disiksa didunia. Lihat: Abu al-Barakaat, Tafsir an-Nasafi Fi Madarik at-Tanziil Wa Haqaiq at-Ta’wil, sofware maktabah syamilah, al-ishdar ats-tsani, juz III, hal. 376.
[5] Al-Hujuraat (49) ayat 13
[6] Abu Muhammad Al-Baghawi, Ma’alim At-Tanzil, Dar Thabi’ah, Cet. IV, 1994, Juz VI, hal. 358; dan Abu Hayyan, Tafsir Al-Bahr Al-Muhid, Sofware Maktabah Syamilah, Al-Ishdar Ats-Tsani, Juz IX, hal. 158.
[7] Al-Ahzab (33) ayat 40
[8] Hudlari Beik, Tarikh at-Tasyri Al-Islami, al-Hidayah, surabaya, tt, hal. 18
[9] An-Nisa’(4) ayat 28
[10] Al-’Araaf (7) ayat 107
[11] Dalam syari'at yang dibawa oleh Muhammad  Rasulullah SAW itu tidak ada lagi beban-beban yang berat yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya: mensyari'atkan membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan qishas pada pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayar diyat, memotong anggota badan bagi yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang terkena najis.
[12] Al-Hajj ayat 78
[13] Ibrahim Muhammad Mahmud, Al-Madkhal Ila Al-Qawa’id Al-Fiqiyyah Al-Kulliyah, Dar ‘Imaar 1998, Cet I, Hal. 101
[14] Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Ahkam, Dar al-Fikr, tt Juz II, hal. 72
[15] Al-Baqarah (2) ayat 286
[16] Al-Maa-idah (5) ayat 101
[17] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, Darun Thayyibatun, Cet II, 1999, Juz III, hal. 203; dan As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Sofware Maktabah Syamilah, Al-Ishdar Ats-Tsani, Juz II, hal 269
[18] Abd al-Rahman Abu zaid Waliuddin Ibnu Khaldun.
[19] Hukama’ diartikan; ”Orang-orang yang perkataan dan perbuatannya sesuai dengan al-Sunnah. Lihat: Muhammad Ali Baidlun, al-Ta`rifat, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, cet. II, hal, 98.
[20] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Kholdun, Beirut Dar al-Fikr, tt, hal, 40.
[21] Fithrah adalah kondisi sekaligus potensi bawaan yang berasal dari dan ditetapkan dalam proses penciptaan manusia. Lihat: Muhaimin et al. Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Kencana, jakarta, 2005, hal, 25.
[22] Al-Baqarah (2) ayat 219
[23] An-Nisa’ (4) ayat 43
[24] Lihat: Hudlari Beik, Op.Cit, hal. 20-21
[25] Al-Maa-idah (5) ayat 90

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id