BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sejak awal, pembentukan hukum Islam memiliki
basis untuk mewujudkan dan melestarikan kemashlahahan bagi manusia. Ini
tercermin dalam misi agungnya, yaitu “Rahmatan Lil ‘Alamin”. Dari sini,
para juris Islam kontemporer menilai bahwa keterikatan terhadap teks (Nash)
yang berlebihan sebagaimana yang ditawarkan oleh paham ortodoksi, telah membuat
misi agung Islam hanya sebagai jargon belaka, dan hukum Islam pun mengalami
stagnasi.
Kecenderungan
paham ortodoksi yang dinilai oleh para juris Islam kontemporer sangat
tektualistik dan formalistik ini, berawal sejak masa sahabat sebagai generasi Islam
pertama, yakni ketika beberapa sahabat, antara lain Bilal bin Rabah secara
tegas menolak ijtihad Umar bin Khattab ra dalam pembagian tanah fa’i[1]
yang dikenal dengan istilah sawad al-‘iraq. Berangkat dari pertimbangan mashlahah
sebagai tujuan disyari’atkan hukum Islam, ketika itu, khalifah Umar bin Khattab
ra menawarkan kebijakan untuk tidak membagi tanah fa’i kepada tentara
begitu saja. Menurutnya, biarlah tanah itu tetap dikelola rakyat setempat
dengan ketentuan, mereka harus membayar retribusi kepada pemerintah.[2]
Dengan pertimbangan mashlahah yang
ditawarkan oleh sahabat Umar bin Khattab ra ini, ada bebarapa hal yang dapat
dicapai, yaitu: pertama, rakyat taklukan tidak kehilangan mata pencaharian,
mereka tetap bisa bekerja diladang-ladang miliknya semula dan dapat memenuhi
kebutuhan hidup keluarga sebagaimana biasa. Kedua, pemerintah dapat retribusi
dari rakyat taklukan sebagai incame, yang bisa digunakan untuk memberi
tunjangan kepada tentara yang telah ikut berjuang dalam menaklukkan tanah tadi.
Selain dapat memberi tunjangan kepada tentara yang ikut berjuang, juga bisa
memberi gaji tentara lain yang ditugaskan untuk menjaga perbatasan negara. Pola
semacam ini, mengandung kemashlahahan yang sangat besar, bukan saja bagi
rakyat, tetapi juga bagi pemerintah yang memang perlu dijaga keutuhannya dari
gangguan infiltrasi pihak luar. Akan tetapi, ide yang ditawarkan oleh sahabat
Umar bin Khattab ra ini ditentang oleh sahabat Nabi Rasulullah SAW yang lain seperti tersebut di
atas. Menurut mereka, ide yang ditawarkan oleh sahabat Umar bin Khattab ra
tersebut bertentangan dengan nash.[3]
Argumentasi kontradiktif ini memang secara literal, tetapi dengan mengajukan
argumentasi ma’nawiyah secara kontekstual dan substansial (kemashlahahan),
sahabat Umar bin Khattab ra merasa lebih unggul.
Dari deskripsi kebijaksanaan sahabat Umar bin
Khattab ra di atas, mengindikasikan bahwa hukum tidak hanya didasarkan pada
hukum legal secara material saja, tetapi harus berpegang kepada sistem nilai
yang diakui secara universal. Sebagai suatu sistem hukum yang berdasarkan
wahyu, hukum Islam memiliki tujuan untuk mewujudkan dan melestarikan kemashlahahan
manusia di dunia dan akhirat.
Dalam perspektif pemikiran hukum Islam, ulama
ushul al-fiqih menerapkan berbagai metode dalam melakukan ijtihad untuk
merespon problematika yang dihadapi umat Islam. Metode-metode tersebut antara
lain: Al-Qiyas, Al-Istihsan, Al-Mashlahah Al-Mursalah, Al-‘Urf, dan Al-Istishab.
Penerapan metode berijtihad ini pada tataran praktisnya didasarkan kepada maqashid
asy-syari’ah. Oleh karena itu, kajian mengenai maqashid asy-syari’ah
menjadi hal yang sangat urgen dalam menetapkan hukum Islam.
Maqashid asy-syari’ah yang
secara substansial mengandung kemashlahahan sudah banyak disorot dan dikaji
oleh para ulama klasik, seperti kitab al-furuq karya Abu Abdullah
Muhammad bin Ali, al-Maturidi (wafat tahun 333 H), al-Qaffal (wafat tahun 365
H), dan al-Baqilani (wafat tahun 403 H) yang dikenal dengan sebutan Syaikhu
al-Ushuliyin karena berhasil menyatukan kutub madinah (ahlu al-hadits)
dan kutub Iraq (ahlu ar-ra’yi) dalam karyanya yang berjudul at-Taqrib
wa al-Irsyad.
Studi tentang maqashid asy-syari’ah
terus berkesinambungan dan bahkan semakin semarak yang pada akhirnya
terlahirlah para juris Islam yang ahli dalam bidang ushul al-fiqih.
Namun puncak keseriusan dan kesemarakan studi tentang maqashid asy-syari’ah
sebenarnya terjadi pada masa al-Juwaini atau Imam Haramain dengan karya
monumentalnya al-Burhan. Buku ushul al-fiqih karya al-Juwaini
tersebut menjadi pegangan pokok bagi generasi berikutnya, sebagaimana al-Risalah
pernah menjadi pegangan pokok dalam kajian ilmu ushul al-fiqih pada abad
III dan IV sebelum masa al-Juwaini. Namun kehadiran kitab al-Burhan
bukan berarti menafikan al-Risalah karya monumentalnya asy-Syafi’i,
tetapi justru sebaliknya kedua buku itu sama-sama menjadi pegangan pokok yang saling mendukung dan
melengkapi pada generasi setelahnya.
Al-Juwaini adalah guru besar al-Ghazali dalam
studi ilmu ushul al-fiqih, pemikiran brilian al-Ghazali banyak di ilhami oleh
gurunya termasuk konsep trilogi prinsip maqashid asy-syari’ah yang
menyangkut kebutuhan primer (dlaruriyat), sekunder (hajiyat),
tersier (tahsiniyat). Konsep ini merupakan hasil dari gagasan-gagasan
genius al-Juwaini dalam “al-Burhan” yang kemudian dielaborasi oleh al-Ghazali
dalam karyanya, yaitu al-Mankhul, Syifa’ al-Ghalil, dan al-Mustashfa.
Dari ketiga karya monumental al-Ghazali
tersebut, secara konstan beliau membahas tentang maqashid asy-syari’ah,
seperti; dalam karyanya al-mankhul, walaupun dalam kitab ini beliau
tidak membahas tentang maqashid asy-syari’ah secara khusus, hanya
menjadikannya sebagai bagian dari pembahasan mengenai Ta`lîl dalam Qiyas.
Kemudian Syifâ’ al-Ghalîl dan al-Mustashfâ, dari kedua karyanya
ini terdapat perbedaan format mengenai maqashid asy-syari’ah dari kitab al-mankhul.
Dalam Syifâ’ al-Ghalîl misalnya, al-Ghazali membahas tentang al-amr
al-maqshûd yang secara substansial adalah mashlahah. Menurutnya, mashlahah
adalah menjaga tujuan Syâri` yang diketahui dan dipahami melalui
al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma`. Sedangkan dalam al-Mustashfâ, beliau
membahas maqâshid dengan menjadikannya sebagai cabang dari Qiyas
hingga ke tingkat kemungkinan melakukan tarjîh antara beberapa qiyas
berdasarkan maqâshid.
Kemudian pada generasi selanjutnya yang tak
kalah hebatnya dengan al-Ghazali adalah asy-Syathibi dengan karya
monumentalnya; al-muwafaqat. Para juris Islam kontemporer memberi
julukan kepadanya sebagai bapak maqashid asy-syari’ah (al-mu’allim
al-awwal). Dalam karyanya, asy-Syathibi memposisikan pembahasan tentang maqashid
asy-syari’ah dalam bab tersendiri. Menurut asy-Syathibi, studi maqashid
asy-syari’ah ini bertolak dari asumsi bahwa segenap hukum yang diturunkan
Allah SWT senantiasa mengandung kemashlahahan bagi hamba-Nya di dunia dan
akhirat. Tidak ada satu pun hukum Allah SWT yang tidak memiliki tujuan. Hukum
yang tidak memiliki tujuan, sama artinya dengan pembebanan yang tidak bisa
dilakukan oleh mukallaf.[4]
Al-Ghazali dan Asy-Syathibi merupakan figur
sentral dalam persoalan maqashid asy-syari’ah yang pada akhir-akhir ini
banyak di bicarakan oleh para juris Islam. Kedua tokoh ini di asumsikan
sebagai ulama yang kontroversial
terutama dalam konsep maqashid asy-syari’ah.
Al-Imam Al-Ghazali merupakan ulama pengikut
madzhab asy-Syafi’i yang ahli dalam berbagai bidang keilmuan, seperti filsafat,
ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu al-Qur’an, ilmu fiqih, dan ilmu ushul fiqih.
Dalam bidang ilmu ushul al-fiqih, peran al-Juwaini sangat penting adanya,
terutama mengenai konsep maqashid asy-syari’ah. Sebagaimana telah kami
singgung di atas, bahwa al-Ghazali
merupakan murid al-Juwaini atau Imam Haramain. Dengan karya menumentalnya al-Burhan,
gagasan-gagasan al-Ghazali mengenai maqashid asy-syari’ah banyak
terilhami darinya. Demikian pula al-Juwaini, peran asy-Syafi’i dengan karya
menumentalnya ar-Risalah juga sangat dominan dalam membangun pola
pemikirannya.
Berdasarkan deskripsi di atas, kami berasumsi
bahwa antara pola pemikiran asy-Syafi’i dan al-Ghazali mengenai maqashid
asy-syari’ah tidak jauh beda. Sedangkan asy-Syafi’i sendiri diklaim sebagai
ulama’ konservatif yang terlalu skriptural dan banyak mengandalkan analogi,
yang dalam ranah praktis-pragmatis hanya bertopang pada dugaan (dzan)
semata. Dikatakan demikian, sebab pemaknaan asy-Syafi’i terhadap nash
selalu berangkat dari prasangka-prasangka subyektif. Begitu pula analogi yang
formulasinya senantiasa dibangun dengan berpijak pada rasio-logis yang
disingkap melalui asumsi fuqaha. Karena ijtihad sarat dengan asumsi, maka
keniscayaan rapuhnya produk fiqih tidak terelakkan lagi.
Kemudian al-Imam asy-Syathibi dianggap
sebagai ulama pembaharu di wilayah Granada (spanyol), ia berhasil
mentransformasikan ushul al-fiqh dari karakter dzanni ke qath’i,
dari basis retoris (bayani) ke nalar argumentatif (burhani), dan
dari kecenderungan teosentris ke teo-antroposentris humanis ‘ala mu’tazili.
Kinerja al-Imam asy-Syathibi dalam memuncul ide-ide segar ini, termotivasi dari
banyaknya praktek ritus keagamaan yang ia anggap sebagai bentuk penyelewengan
terhadap ajaran Islam, yakni menyimpang dari maqashid asy-syari’ah.
Dalam penelitian ini, penulis akan berupaya
untuk menelusuri dan menyingkap konsep maqashid asy-syari’ah dari kedua
ulama’ yang dianggap kontroversial tersebut. Pemikiran al-Ghazali dianggap
mewakili kaum ortodoksi, sedangkan asy-Syathibi, dianggap sebagai pembaharu
dalam pemikiran hukum Islam yang mewakili kaum modernis. Menurut hemat penulis,
kedua ulama’ ini gagasan-gagasan mengenai konsep maqashid asy-syari’ah
sangat berharga bagi pengembangan dan kelestarian hukum Islam ditengah-tengah
masyarakat yang sarat dengan perbedaan.
B. Identifikasi
masalah
Dari pemaparan latar belakang
di atas, ada beberapa hal yang dapat diidentifikasi sebagaimana berikut :
1.
Basis
tujuan pembentukan hukum Islam
2.
Faham
kaum modernis terhadap hukum Islam
3.
Deskripsi
aplikasi mashlahah
4.
Substansi
maqashid asy-syari’ah
5.
Maqashid
asy-syari’ah pada masa ulama madzhab
6.
Perbedaan
konsep maqashid asy-syari’ah al-Ghazali dan asy-Syathibi
7.
Aplikasi maqashid
asy-syari’ah al-Ghazali dan asy-Syathibi
C. Rumusan
Masalah
Dari
fokus masalah yang telah penulis paparkan di atas, dapat dibuat rumusan masalah
dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagaimana berikut :
1. Bagaimana
konsep maqashid asy-syari’ah versi al-Ghazali dan asy-Syathibi?
2. Apa
persamaan dan perbedaan konsep maqashid asy-syari’ah al-Ghazali dan asy-Syathibi?
3. Bagaimana
implikasi perbedaan konsep maqashid asy-syari’ah versi al-Ghazali dan asy-Syathibi
dalam istinbath hukum Islam?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan
Penelitian ini adalah:
a. Untuk
mendeskripsikan konsep maqashid asy-syari’ah versi al-Ghazali dan asy-Syathibi
b. Untuk
mengetahui perbedaan dan persamaan konsep maqashid asy-syari’ah versi al-Ghazali
dan asy-Syathibi
c. Untuk
mengetahui implikasi dari konsep maqashid asy-syari’ah al-Ghazali dan asy-Syathibi
terhadap putusan hukum
2. Kegunaan
Penelitian ini adalah:
a. Bagi pembuat keputusan hukum,
terutama yang terkait dengan hukum Islam, dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam memberikan penyelesaian terhadap persoalan-persoalan agama
sesuai dengan kemaslahatan umat.
b. Bagi pengembangan keilmuan terutama
penelitian keagamaan, diharapkan dapat memberikan
konstribusi pemikiran bagi para pengkaji hukum Islam dan akademisi dalam
memperdalam ilmu ushul fiqh terlebih yang terkait dengan maqashid ay-syari’ah.
c.
Bagi peneliti
yang ingin mengkaji lebih mendalam lagi tentang pemikiran hukum Islam,
diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi penelitian-penelitian selanjutnya
terutama yang berkenaan dengan wacana dinamika hukum Islam.
E. Telaah Pustaka
Studi penelitian tentang maqashid asy-syari’ah
telah banyak dilakukan oleh para sarjana hukum Islam dengan kecenderungan
tematis dan hanya memfokuskan pada karya tertentu, seperti manganalisa kitab al-muwafaqat
karya asy-Syathibi dan al-mustashfa, al-mankhul, syifa’ al-ghalil karya al-Ghazali.
Penelitian ilmiah yang membahas tentang maqashid
asy-syari’ah konsep al-Ghazali dan asy-Syathibi, sampai saat penelitian ini
dilakukan belum banyak adanya, kecuali artikel yang ditulis oleh Aep Saepulloh
Darusmanwiati, “Imam Syathibi: Bapak Maqashid asy-syari’ah Pertama”,[5]
dalam artikelnya ia melakukan studi analisis yang menfokuskan pada konsep maqashid
asy-syari’ah asy-Syathibi dalam kitab al-muwafaqat. Secara garis
besar artikel ini menyatakan jika model asy-Syathibi dikembangkan oleh para
ulama sekarang dalam menggali hukum Islam maka akan dapat menjembatani antara
“aliran kanan” dan “aliran kiri”[6]
Juga artikel yang di tulis oleh Irwan Masduqi,
“Metodologi Utilitarianistik: Historisitas Maqashid asy-syari’ah” dalam
artikel ini ia mengatakan bahwa peran Syathibi lebih tepat disebut sebagai
upaya 'pengukuhan bayan', bukan transformasi ushul fiqh dari retoris ke nalar
argumentatif, sebab, Syathibi sendiri, secara tegas mengatakan "tidak ada
peran bagi nalar dalam maqâshid al-syari'ah.[7]
Penelitian ilmiah yang lebih intensif mengenai maqashid
asy-syari’ah terutama konsep asy-Syathibi baru ditamukan ditengah
perjalanan penelitian ini baik berupa Tesis maupun Disertasi, namun disini
penulis hanya dapat menampilkan judul karya ilmiah tersebut, karena karya-karya
yang telah ditulis para peneliti ini sulit didapatkan. Di antara karya ilmiah
mengenai maqashid asy-syari’ah konsep asy-Syathibi tersebut adalah
sebagai berikut: (1) Ahmad Raisuni; Nadhariyyatul Maqasid
Maqasid ‘Inda al-Imam asy-Syathibi; (2) Hammadi al-Ubaidhi; asy-Syathibi
wa Maqasid al-Syari’ah, (3) Abdurrahman Zaid al-Kailani; Qawaid
al-Maqasid ‘Inda al-Imam asy-Syathibi, (4) Abdul Mun’in Idris; Fikru
al-Maqashid ‘Inda asy-Syathibi min Khilal Kitab al-Muwafaqat, (5) Abd
Majid Najar; Masalik al-Kasyf ‘an Maqasid al-Syari’ah Baina asy-Syathibi wa
Ibn ‘Asyur, (6) Jailani al-Marini; al-Qawaid al-Ushuliyyah ‘Inda asy-Syathibi,
(7) Basyir Mahdi al-Kabisi; asy-Syathibi wa Manhajatuhu fi Maqasid
al-Syari’ah dan (8) Habib Iyad; Maqasid al-Syari’ah fi Kitab
al-Muwafaqat li asy-Syathibi.[8]
Juga penelitian yang dilakukan oleh Nakha’i, walaupun
dalam penelitian ini ia tidak membahas secara langsung mengenai maqashid
asy-syari’ah tetapi ia meneliti dari aspek substansinya, yaitu konsep mashlahah.
Dalam tesisnya, ia memberi judul, “Madzhab Mashlahah: analisis komperatif
konsep mashlahah asy-Syathibi dan Najmuddin at-Thufi sebagai upaya membangun
madzhab mashlahah”(Magister Studi Islam, Program Pascasarjana
Universitas Malang 2002).
Dalam penelitian ini, penulis akan memfokuskan dua
pemikiran ulama’, yaitu konsep maqashid asy-syari’ah al-Ghazali dan
asy-Syathibi.
F.
Metode
Penelitian
- Jenis dan Sumber Data
Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan dua macam bentuk sumber data sebagai metode
penelitian:
a.
Sumber
data primer, yakni karya menumental al-Ghazali yang terkait dengan ushul
al-fiqih, seperti Al-Mankhul, Syifa’al-Ghalil, Dan Al-Mustashfa. Dan
karya monumental asy-Syathibi, juga yang terkait dengan ushul al-fiqih, yaitu Al-Muwafaqat
Fi Ushul Al-Ahkam.
b.
Sumber
data sekunder, yakni; kitab-kitab ushul al-fiqih karya ulama’ lain sebagai
penunjang dalam menganalisa konsep maqashid asy-syari’ah versi al-Ghazali
dan asy-Syathibi.
- Metode Pengumpulan Data
Dalam rangka untuk mendapatkan data yang sesuai dengan
fokus penelitian ini, penulis mengumpulkan terlebih dahulu data-data primer
dengan mengambil dan merujuk pada karya menumental dari kadua ulama’ yang
menjadi fokus kajian dalam tesis ini.
Selain data primer, penulis juga mengambil dan merujuk
pada data sekunder, yaitu karya para ulama’ ushul fiqih selain al-Ghazali dan asy-Syathibi
yang terkait dengan fokus penelitian disini, sebagai bahan pertimbangan dalam
menganalisis data-data primer.
- Analisa Data
Karena penelitian ini merupakan jenis penelitian
kepustakaan, maka metode analisa datanya dengan berfikir reflektif
(Deduksi-Induksi), komparatif, dan kritis. Sedangkan prosedur analisis yang
ditempuh, yaitu; mengoleksi, mengklasifikasi, menyeleksi, mengkomparasikan, dan
mengkritisi.
G. Sitematika Pembahasan
Sistematika
penelitian ini tersusun menjadi enam bab dengan perincian sebagai berikut :
Bab
pertama adalah pendahuluan. Dalam pendahuluan ini terdapat delapan sub pokok
bahasan, antara lain:
1.
Latar
belakang masalah. Pada latar belakang masalah ini, penulis akan mengulas seluk-beluk persoalan
yang berkaitan dengan penelitian, dengan harapan dari ulasan tersebut masalah
yang akan menjadi fokus penelitian disini dapat teridentifikasi dengan mudah.
2.
Identifikasi
masalah. Ini merupakan bentuk aplikasi dari latar belakang masalah, yang berupa
pertanyaan-pertanyaan.
3.
Rumusan
masalah. Setelah masalah-masalah tersebut teridentifikasi, maka perlu untuk
dirumuskan, mengingat pertanyaan-pertanyaan yang teridentifikasi tersebut
terlalu banyak dan tidak mungkin untuk dibahas secara keseluruhan.
4.
Tujuan
dan kegunaan penelitian. Setelah masalah yang akan menjadi fokus penilitian ini
dirumuskan, maka penulis menentukan tujuan dan kegunaan penelitian dengan tujuan agar penelitian lebih
terarah, sehingga dari penelitian tersebut memperoleh manfaat yang besar baik
bagi penulis maupun masyarakat secara umum.
5.
Kerangka
teori. Setelah menentukan tujuan dan kegunaan dalam penelitian ini, kemudian
penulis akan membuat kerangka teori sebagai basis analisis dalam melakukan
penelitian.
6.
Telaah
pustaka. Ini merupakan penelusuran atas karya-karya terdahulu yang ada
kemiripan atau kesamaan dengan tema disini berupa karya-karya ilmiah, dalam
rangka untuk memposisikan fokus penelitian dalam tesis ini.
7.
Metode
penelitian. Dalam penelitian ini, sangat diperlukan adanya metode agar
penelitian yang dilakukan dapat berjalan dan terarah sesuai dengan tujuan yang
telah direncanakan.
8.
Sistematika
pembahasan. Dalam penelitian ini penulis juga menyertakan sistematika
pembahasan sebagai acuan rancangan penulisan tesis ini.
Bab
dua adalah landasan teoritis. Pada bab ini, penulis akan membahas tentang maqashid
asy-syari’ah, sebagaimana berikut:
1. Historisitas hukum Islam. Pada sub ini penulis akan
mengemukakan historisitas hukum Islam sebagai langkah awal dalam mengkaji
pemikiran maqashid asy-syari’ah, guna untuk memperoleh gambaran
pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam.
2. Prinsip-prinsip hukum Islam. Setelah memperoleh gambaran
tentang pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam, maka gambaran mengenai hukum
Islam sangat jelas, bahwa didalam Islam terdapat prinsip-prinsip yang agung
bagi kemashlahahan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
3. Istinbath al-ahkam sebagai
sumber dinamisme hukum Islam. Dari prinsip-prinsip tersebut dapat ditarik suatu
kesimpulan, bahwa ajaran Islam tidak hendak menyulitkan manusia, ini tercermin
dalam konsep qath’i dan dzanni. Di satu sisi, Islam mengajarkan
kebebasan bagi manusia dalam berekspresi, dan di satu sisi, Islam memberi
batasan dalam berekspresi, hal ini terealisasi dalam dua kelompok besar, yaitu
madzhab mutakallimin yang dipelopori oleh al-Imam asy-Syafi’i dan
madzhab Ahnaf yang dipelopori oleh imam Abu Hanifah.
4. Maqashid asy-syari’ah sebagai
acuan formal hukum Islam. Secara substansial maqashid asy-syari’ah
(tujuan syari’ah) adalah mewujudkan dan melestarikan kemashlahahan. Pada
pembahasan ini, penulis akan mengulas tentang pengertian maqashid asy-syari’ah,
dasar penetapan, kategorisasi, dan pembagiannya, kemudian membahas tentang mashlahah
yang meliputi empat aspek, yaitu mashlahah dari segi real power
atau kualitas yang dimiliki, mashlahah berdasarkan kandungannya, mashlahah
berdasarkan perubahannya, dan mashlahah berdasarkan eksistensinya.
Hal
tersebut di atas dimaksudkan, untuk dijadikan acuan dalam menganalisis konsep maqashid
asy-syari’ah versi al-Ghazali dan asy-Syathibi.
Bab tiga
mengulas tentang konsep maqashid asy-syari’ah versi al-Ghazali. Sebelum
mengulas konsep maqashid asy-syari’ah versi al-Ghazali, penulis akan
memaparkan biografi, karya-karya ilmiah, dan potret intelektual secara umum.
Dari ketiga sub tersebut, agar dapat diketahui lahirnya konsep maqashid
asy-syari’ah versi al-Ghazali dan mengetahui tipologi serta paradigmanya.
Setelah mengetahui asal-usul dan corak pemikirannya, baru mengungkapkan konsep
tentang maqashid asy-syari’ah.
Bab empat
mengulas tentang maqashid asy-syari’ah versi asy-Syathibi. Sebelum
mengulas konsep maqashid asy-syari’ah versi asy-Syathibi, penulis akan
melakukan hal yang sama sebagaimana yang
terdapat pada bab tiga, yaitu memaparkan biografi, karya-karya ilmiah, dan
potret intelektual secara umum. Dari ketiga sub tersebut, agar dapat diketahui
lahirnya konsep maqashid asy-syari’ah versi asy-Syathibi dan mengetahui
tipologi serta paradigmanya. Setelah mengetahui asal-usul dan corak
pemikirannya, baru mengungkapkan konsep tentang maqashid asy-syari’ah.
Bab lima
adalah menganalisa data-data yang telah terkumpulkan. Di dalamnya akan
dianalisa titik persamaan dan perbedaan antara konsep al-Ghazali dan asy-Syathibi
tentang maqashid asy-syari’ah. Kemudian akan menganalisa argumentasi
atas pendapat masing-masing. Dan terakhir, tentang implikasi perbedaan konsep maqashid
asy-syari’ah ketika diimplementasikan dalam realitas sosial.
Bab enam
sebagai bagian akhir dari tesis ini, berisi tentang kesimpulan dan saran-saran.
[1] Fai’ ialah
harta rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa terjadinya pertempuran.
Pembagiannya berlainan dengan pembagian ghanimah. ghanimah ialah
harta rampasan yang diperoleh dari musuh setelah terjadi pertempuran. pembagian
Fai’ sebagaimana yang tersebut pada ayat surat al-Hasyr (59) ayat 7.
sedang pembagian ghanimah tersebut pada surat Al-Anfaal (8) ayat 41.
lihat: Sjechul Hadi Permono, Islam Dalam Lintasan Sejarah Perpolitikan:
Teori dan Praktek, CV. Aulia
Surabaya, Cet. I, 2004, hal. 227-239
[2] Muhammad Faruq an-Nabhan, Al-Madkhal
Li Tasyri’ Al-Islami, Beirut Dar Al-Qalam,1981, hal. 117
[3] Gagasan sahabat Umar bin
Khattab ra ditentang oleh sahabat Bilal bin Rabah ra. karena bertentangan
dengan nash, yaitu Surat al-Hasyr (59) ayat 6-7: “ Dan apa saja harta
rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda)
mereka, Maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan
(tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada
Rasul-Nya terhadap apa saja yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu. (6). “ Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah
kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka
adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar
di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul
kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (7).”
[4] al-Imam asy-Syathibi menjelaskan
bahwa ”Bentuk taklif yang ada di luar kemampuan manusia secara syar’i
tidak sah untuk dibebankan kepada mukallaf, meskipun secara akal
memungkinkan untuk dilakukan.”
[6] ”Aliran kanan” yang dimaksud adalah
mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep ilmu ushul al-fiqih,
sedangkan ”aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenya “tajdid
ilmu ushul al-fiqih” dalam pengertian perlu adanya dekonstruksi ushul al-fiqih
demi menghasilkan produk fiqih yang lebih kapabel. Di antara yang paling vokal konsep ini adalah
Hasan al-Turaby dengan buku tajdid ushul al-fiqih, ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar