Sabtu, 06 Juli 2013

BAB I ( Tesis )



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Sejak awal, pembentukan hukum Islam memiliki basis untuk mewujudkan dan melestarikan kemashlahahan bagi manusia. Ini tercermin dalam misi agungnya, yaitu “Rahmatan Lil ‘Alamin”. Dari sini, para juris Islam kontemporer menilai bahwa keterikatan terhadap teks (Nash) yang berlebihan sebagaimana yang ditawarkan oleh paham ortodoksi, telah membuat misi agung Islam hanya sebagai jargon belaka, dan hukum Islam pun mengalami stagnasi.
Kecenderungan paham ortodoksi yang dinilai oleh para juris Islam kontemporer sangat tektualistik dan formalistik ini, berawal sejak masa sahabat sebagai generasi Islam pertama, yakni ketika beberapa sahabat, antara lain Bilal bin Rabah secara tegas menolak ijtihad Umar bin Khattab ra dalam pembagian tanah fa’i[1] yang dikenal dengan istilah sawad al-‘iraq. Berangkat dari pertimbangan mashlahah sebagai tujuan disyari’atkan hukum Islam, ketika itu, khalifah Umar bin Khattab ra menawarkan kebijakan untuk tidak membagi tanah fa’i kepada tentara begitu saja. Menurutnya, biarlah tanah itu tetap dikelola rakyat setempat dengan ketentuan, mereka harus membayar retribusi kepada pemerintah.[2]
Dengan pertimbangan mashlahah yang ditawarkan oleh sahabat Umar bin Khattab ra ini, ada bebarapa hal yang dapat dicapai, yaitu: pertama, rakyat taklukan tidak kehilangan mata pencaharian, mereka tetap bisa bekerja diladang-ladang miliknya semula dan dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga sebagaimana biasa. Kedua, pemerintah dapat retribusi dari rakyat taklukan sebagai incame, yang bisa digunakan untuk memberi tunjangan kepada tentara yang telah ikut berjuang dalam menaklukkan tanah tadi. Selain dapat memberi tunjangan kepada tentara yang ikut berjuang, juga bisa memberi gaji tentara lain yang ditugaskan untuk menjaga perbatasan negara. Pola semacam ini, mengandung kemashlahahan yang sangat besar, bukan saja bagi rakyat, tetapi juga bagi pemerintah yang memang perlu dijaga keutuhannya dari gangguan infiltrasi pihak luar. Akan tetapi, ide yang ditawarkan oleh sahabat Umar bin Khattab ra ini ditentang oleh sahabat Nabi  Rasulullah SAW yang lain seperti tersebut di atas. Menurut mereka, ide yang ditawarkan oleh sahabat Umar bin Khattab ra tersebut bertentangan dengan nash.[3] Argumentasi kontradiktif ini memang secara literal, tetapi dengan mengajukan argumentasi ma’nawiyah secara kontekstual dan substansial (kemashlahahan), sahabat Umar bin Khattab ra merasa lebih unggul.
Dari deskripsi kebijaksanaan sahabat Umar bin Khattab ra di atas, mengindikasikan bahwa hukum tidak hanya didasarkan pada hukum legal secara material saja, tetapi harus berpegang kepada sistem nilai yang diakui secara universal. Sebagai suatu sistem hukum yang berdasarkan wahyu, hukum Islam memiliki tujuan untuk mewujudkan dan melestarikan kemashlahahan manusia di dunia dan akhirat.
Dalam perspektif pemikiran hukum Islam, ulama ushul al-fiqih menerapkan berbagai metode dalam melakukan ijtihad untuk merespon problematika yang dihadapi umat Islam. Metode-metode tersebut antara lain: Al-Qiyas, Al-Istihsan, Al-Mashlahah Al-Mursalah, Al-‘Urf, dan Al-Istishab. Penerapan metode berijtihad ini pada tataran praktisnya didasarkan kepada maqashid asy-syari’ah. Oleh karena itu, kajian mengenai maqashid asy-syari’ah menjadi hal yang sangat urgen dalam menetapkan hukum Islam.
Maqashid asy-syari’ah yang secara substansial mengandung kemashlahahan sudah banyak disorot dan dikaji oleh para ulama klasik, seperti kitab al-furuq karya Abu Abdullah Muhammad bin Ali, al-Maturidi (wafat tahun 333 H), al-Qaffal (wafat tahun 365 H), dan al-Baqilani (wafat tahun 403 H) yang dikenal dengan sebutan Syaikhu al-Ushuliyin karena berhasil menyatukan kutub madinah (ahlu al-hadits) dan kutub Iraq (ahlu ar-ra’yi) dalam karyanya yang berjudul at-Taqrib wa al-Irsyad.
Studi tentang maqashid asy-syari’ah terus berkesinambungan dan bahkan semakin semarak yang pada akhirnya terlahirlah para juris Islam yang ahli dalam bidang ushul al-fiqih. Namun puncak keseriusan dan kesemarakan studi tentang maqashid asy-syari’ah sebenarnya terjadi pada masa al-Juwaini atau Imam Haramain dengan karya monumentalnya al-Burhan. Buku ushul al-fiqih karya al-Juwaini tersebut menjadi pegangan pokok bagi generasi berikutnya, sebagaimana al-Risalah pernah menjadi pegangan pokok dalam kajian ilmu ushul al-fiqih pada abad III dan IV sebelum masa al-Juwaini. Namun kehadiran kitab al-Burhan bukan berarti menafikan al-Risalah karya monumentalnya asy-Syafi’i, tetapi justru sebaliknya kedua buku itu sama-sama menjadi  pegangan pokok yang saling mendukung dan melengkapi pada generasi setelahnya.
Al-Juwaini adalah guru besar al-Ghazali dalam studi ilmu ushul al-fiqih, pemikiran brilian al-Ghazali banyak di ilhami oleh gurunya termasuk konsep trilogi prinsip maqashid asy-syari’ah yang menyangkut kebutuhan primer (dlaruriyat), sekunder (hajiyat), tersier (tahsiniyat). Konsep ini merupakan hasil dari gagasan-gagasan genius al-Juwaini dalam “al-Burhan” yang kemudian dielaborasi oleh al-Ghazali dalam karyanya, yaitu al-Mankhul, Syifa’ al-Ghalil, dan al-Mustashfa.
Dari ketiga karya monumental al-Ghazali tersebut, secara konstan beliau membahas tentang maqashid asy-syari’ah, seperti; dalam karyanya al-mankhul, walaupun dalam kitab ini beliau tidak membahas tentang maqashid asy-syari’ah secara khusus, hanya menjadikannya sebagai bagian dari pembahasan mengenai Ta`lîl dalam Qiyas. Kemudian Syifâ’ al-Ghalîl dan al-Mustashfâ, dari kedua karyanya ini terdapat perbedaan format mengenai maqashid asy-syari’ah dari kitab al-mankhul. Dalam Syifâ’ al-Ghalîl misalnya, al-Ghazali membahas tentang al-amr al-maqshûd yang secara substansial adalah mashlahah. Menurutnya, mashlahah adalah menjaga tujuan Syâri` yang diketahui dan dipahami melalui al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma`. Sedangkan dalam al-Mustashfâ, beliau membahas maqâshid dengan menjadikannya sebagai cabang dari Qiyas hingga ke tingkat kemungkinan melakukan tarjîh antara beberapa qiyas berdasarkan maqâshid.
Kemudian pada generasi selanjutnya yang tak kalah hebatnya dengan al-Ghazali adalah asy-Syathibi dengan karya monumentalnya; al-muwafaqat. Para juris Islam kontemporer memberi julukan kepadanya sebagai bapak maqashid asy-syari’ah (al-mu’allim al-awwal). Dalam karyanya, asy-Syathibi memposisikan pembahasan tentang maqashid asy-syari’ah dalam bab tersendiri. Menurut asy-Syathibi, studi maqashid asy-syari’ah ini bertolak dari asumsi bahwa segenap hukum yang diturunkan Allah SWT senantiasa mengandung kemashlahahan bagi hamba-Nya di dunia dan akhirat. Tidak ada satu pun hukum Allah SWT yang tidak memiliki tujuan. Hukum yang tidak memiliki tujuan, sama artinya dengan pembebanan yang tidak bisa dilakukan oleh mukallaf.[4]
Al-Ghazali dan Asy-Syathibi merupakan figur sentral dalam persoalan maqashid asy-syari’ah yang pada akhir-akhir ini banyak di bicarakan oleh para juris Islam. Kedua tokoh ini di asumsikan sebagai  ulama yang kontroversial terutama dalam konsep maqashid asy-syari’ah.
Al-Imam Al-Ghazali merupakan ulama pengikut madzhab asy-Syafi’i yang ahli dalam berbagai bidang keilmuan, seperti filsafat, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu al-Qur’an, ilmu fiqih, dan ilmu ushul fiqih. Dalam bidang ilmu ushul al-fiqih, peran al-Juwaini sangat penting adanya, terutama mengenai konsep maqashid asy-syari’ah. Sebagaimana telah kami singgung di atas,  bahwa al-Ghazali merupakan murid al-Juwaini atau Imam Haramain. Dengan karya menumentalnya al-Burhan, gagasan-gagasan al-Ghazali mengenai maqashid asy-syari’ah banyak terilhami darinya. Demikian pula al-Juwaini, peran asy-Syafi’i dengan karya menumentalnya ar-Risalah juga sangat dominan dalam membangun pola pemikirannya.
Berdasarkan deskripsi di atas, kami berasumsi bahwa antara pola pemikiran asy-Syafi’i dan al-Ghazali mengenai maqashid asy-syari’ah tidak jauh beda. Sedangkan asy-Syafi’i sendiri diklaim sebagai ulama’ konservatif yang terlalu skriptural dan banyak mengandalkan analogi, yang dalam ranah praktis-pragmatis hanya bertopang pada dugaan (dzan) semata. Dikatakan demikian, sebab pemaknaan asy-Syafi’i terhadap nash selalu berangkat dari prasangka-prasangka subyektif. Begitu pula analogi yang formulasinya senantiasa dibangun dengan berpijak pada rasio-logis yang disingkap melalui asumsi fuqaha. Karena ijtihad sarat dengan asumsi, maka keniscayaan rapuhnya produk fiqih tidak terelakkan lagi.
Kemudian al-Imam asy-Syathibi dianggap sebagai ulama pembaharu di wilayah Granada (spanyol), ia berhasil mentransformasikan ushul al-fiqh dari karakter dzanni ke qath’i, dari basis retoris (bayani) ke nalar argumentatif (burhani), dan dari kecenderungan teosentris ke teo-antroposentris humanis ‘ala mu’tazili. Kinerja al-Imam asy-Syathibi dalam memuncul ide-ide segar ini, termotivasi dari banyaknya praktek ritus keagamaan yang ia anggap sebagai bentuk penyelewengan terhadap ajaran Islam, yakni menyimpang dari maqashid asy-syari’ah.
Dalam penelitian ini, penulis akan berupaya untuk menelusuri dan menyingkap konsep maqashid asy-syari’ah dari kedua ulama’ yang dianggap kontroversial tersebut. Pemikiran al-Ghazali dianggap mewakili kaum ortodoksi, sedangkan asy-Syathibi, dianggap sebagai pembaharu dalam pemikiran hukum Islam yang mewakili kaum modernis. Menurut hemat penulis, kedua ulama’ ini gagasan-gagasan mengenai konsep maqashid asy-syari’ah sangat berharga bagi pengembangan dan kelestarian hukum Islam ditengah-tengah masyarakat yang sarat dengan perbedaan.
B.  Identifikasi masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas, ada beberapa hal yang dapat diidentifikasi sebagaimana berikut :
1.      Basis tujuan pembentukan hukum Islam
2.      Faham kaum modernis terhadap hukum Islam
3.      Deskripsi aplikasi mashlahah
4.      Substansi maqashid asy-syari’ah
5.      Maqashid asy-syari’ah pada masa ulama madzhab
6.      Perbedaan konsep maqashid asy-syari’ah al-Ghazali dan asy-Syathibi
7.      Aplikasi maqashid asy-syari’ah al-Ghazali dan asy-Syathibi
C.  Rumusan Masalah
Dari fokus masalah yang telah penulis paparkan di atas, dapat dibuat rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagaimana berikut :
1.      Bagaimana konsep maqashid asy-syari’ah versi al-Ghazali dan asy-Syathibi?
2.      Apa persamaan dan perbedaan konsep maqashid asy-syari’ah al-Ghazali dan asy-Syathibi?
3.      Bagaimana implikasi perbedaan konsep maqashid asy-syari’ah versi al-Ghazali dan asy-Syathibi dalam istinbath hukum Islam?
D.  Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.      Tujuan Penelitian ini adalah:
a.       Untuk mendeskripsikan konsep maqashid asy-syari’ah versi al-Ghazali dan asy-Syathibi
b.      Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan konsep maqashid asy-syari’ah versi al-Ghazali dan asy-Syathibi
c.       Untuk mengetahui implikasi dari konsep maqashid asy-syari’ah al-Ghazali dan asy-Syathibi terhadap putusan hukum
2.      Kegunaan Penelitian ini adalah:
a.       Bagi pembuat keputusan hukum, terutama yang terkait dengan hukum Islam, dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan penyelesaian terhadap persoalan-persoalan agama sesuai dengan kemaslahatan umat.
b.      Bagi pengembangan keilmuan terutama penelitian keagamaan, diharapkan dapat memberikan konstribusi pemikiran bagi para pengkaji hukum Islam dan akademisi dalam memperdalam ilmu ushul fiqh terlebih yang terkait dengan maqashid ay-syari’ah.
c.       Bagi peneliti yang ingin mengkaji lebih mendalam lagi tentang pemikiran hukum Islam, diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi penelitian-penelitian selanjutnya terutama yang berkenaan dengan wacana dinamika hukum Islam.
E.  Telaah Pustaka
Studi penelitian tentang maqashid asy-syari’ah telah banyak dilakukan oleh para sarjana hukum Islam dengan kecenderungan tematis dan hanya memfokuskan pada karya tertentu, seperti manganalisa kitab al-muwafaqat karya asy-Syathibi dan al-mustashfa, al-mankhul, syifa’ al-ghalil karya al-Ghazali.
Penelitian ilmiah yang membahas tentang maqashid asy-syari’ah konsep al-Ghazali dan asy-Syathibi, sampai saat penelitian ini dilakukan belum banyak adanya, kecuali artikel yang ditulis oleh Aep Saepulloh Darusmanwiati, “Imam Syathibi: Bapak Maqashid asy-syari’ah Pertama”,[5] dalam artikelnya ia melakukan studi analisis yang menfokuskan pada konsep maqashid asy-syari’ah asy-Syathibi dalam kitab al-muwafaqat. Secara garis besar artikel ini menyatakan jika model asy-Syathibi dikembangkan oleh para ulama sekarang dalam menggali hukum Islam maka akan dapat menjembatani antara “aliran kanan” dan “aliran kiri”[6]
Juga artikel yang di tulis oleh Irwan Masduqi, “Metodologi Utilitarianistik: Historisitas Maqashid asy-syari’ah” dalam artikel ini ia mengatakan bahwa peran Syathibi lebih tepat disebut sebagai upaya 'pengukuhan bayan', bukan transformasi ushul fiqh dari retoris ke nalar argumentatif, sebab, Syathibi sendiri, secara tegas mengatakan "tidak ada peran bagi nalar dalam maqâshid al-syari'ah.[7]
Penelitian ilmiah yang lebih intensif mengenai maqashid asy-syari’ah terutama konsep asy-Syathibi baru ditamukan ditengah perjalanan penelitian ini baik berupa Tesis maupun Disertasi, namun disini penulis hanya dapat menampilkan judul karya ilmiah tersebut, karena karya-karya yang telah ditulis para peneliti ini sulit didapatkan. Di antara karya ilmiah mengenai maqashid asy-syari’ah konsep asy-Syathibi tersebut adalah sebagai berikut: (1) Ahmad Raisuni; Nadhariyyatul  Maqasid  Maqasid ‘Inda al-Imam asy-Syathibi; (2) Hammadi al-Ubaidhi; asy-Syathibi wa Maqasid al-Syari’ah, (3) Abdurrahman Zaid al-Kailani; Qawaid al-Maqasid ‘Inda al-Imam asy-Syathibi, (4) Abdul Mun’in Idris; Fikru al-Maqashid ‘Inda asy-Syathibi min Khilal Kitab al-Muwafaqat, (5) Abd  Majid Najar; Masalik al-Kasyf ‘an Maqasid al-Syari’ah Baina asy-Syathibi wa Ibn ‘Asyur, (6) Jailani al-Marini; al-Qawaid al-Ushuliyyah ‘Inda asy-Syathibi, (7) Basyir Mahdi al-Kabisi; asy-Syathibi wa Manhajatuhu fi Maqasid al-Syari’ah dan (8) Habib Iyad; Maqasid al-Syari’ah fi Kitab al-Muwafaqat li asy-Syathibi.[8]
Juga penelitian yang dilakukan oleh Nakha’i, walaupun dalam penelitian ini ia tidak membahas secara langsung mengenai maqashid asy-syari’ah tetapi ia meneliti dari aspek substansinya, yaitu konsep mashlahah. Dalam tesisnya, ia memberi judul, “Madzhab Mashlahah: analisis komperatif konsep mashlahah asy-Syathibi dan Najmuddin at-Thufi sebagai upaya membangun madzhab mashlahah”(Magister Studi Islam, Program Pascasarjana Universitas Malang 2002).
Dalam penelitian ini, penulis akan memfokuskan dua pemikiran ulama’, yaitu konsep maqashid asy-syari’ah al-Ghazali dan asy-Syathibi.
F.   Metode Penelitian
  1. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua macam bentuk sumber data sebagai metode penelitian:
a.       Sumber data primer, yakni karya menumental al-Ghazali yang terkait dengan ushul al-fiqih, seperti Al-Mankhul, Syifa’al-Ghalil, Dan Al-Mustashfa. Dan karya monumental asy-Syathibi, juga yang terkait dengan ushul al-fiqih, yaitu Al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Ahkam.
b.      Sumber data sekunder, yakni; kitab-kitab ushul al-fiqih karya ulama’ lain sebagai penunjang dalam menganalisa konsep maqashid asy-syari’ah versi al-Ghazali dan asy-Syathibi.
  1. Metode Pengumpulan Data
Dalam rangka untuk mendapatkan data yang sesuai dengan fokus penelitian ini, penulis mengumpulkan terlebih dahulu data-data primer dengan mengambil dan merujuk pada karya menumental dari kadua ulama’ yang menjadi fokus kajian dalam tesis ini.
Selain data primer, penulis juga mengambil dan merujuk pada data sekunder, yaitu karya para ulama’ ushul fiqih selain al-Ghazali dan asy-Syathibi yang terkait dengan fokus penelitian disini, sebagai bahan pertimbangan dalam menganalisis data-data primer.
  1. Analisa Data
Karena penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan, maka metode analisa datanya dengan berfikir reflektif (Deduksi-Induksi), komparatif, dan kritis. Sedangkan prosedur analisis yang ditempuh, yaitu; mengoleksi, mengklasifikasi, menyeleksi, mengkomparasikan, dan mengkritisi.
G.  Sitematika Pembahasan
Sistematika penelitian ini tersusun menjadi enam bab dengan perincian sebagai berikut :
Bab pertama adalah pendahuluan. Dalam pendahuluan ini terdapat delapan sub pokok bahasan, antara lain:
1.      Latar belakang masalah. Pada latar belakang masalah ini,  penulis akan mengulas seluk-beluk persoalan yang berkaitan dengan penelitian, dengan harapan dari ulasan tersebut masalah yang akan menjadi fokus penelitian disini dapat teridentifikasi dengan mudah.
2.      Identifikasi masalah. Ini merupakan bentuk aplikasi dari latar belakang masalah, yang berupa pertanyaan-pertanyaan.
3.      Rumusan masalah. Setelah masalah-masalah tersebut teridentifikasi, maka perlu untuk dirumuskan, mengingat pertanyaan-pertanyaan yang teridentifikasi tersebut terlalu banyak dan tidak mungkin untuk dibahas secara keseluruhan.
4.      Tujuan dan kegunaan penelitian. Setelah masalah yang akan menjadi fokus penilitian ini dirumuskan, maka penulis menentukan tujuan dan kegunaan  penelitian dengan tujuan agar penelitian lebih terarah, sehingga dari penelitian tersebut memperoleh manfaat yang besar baik bagi penulis maupun masyarakat secara umum.
5.      Kerangka teori. Setelah menentukan tujuan dan kegunaan dalam penelitian ini, kemudian penulis akan membuat kerangka teori sebagai basis analisis dalam melakukan penelitian.
6.      Telaah pustaka. Ini merupakan penelusuran atas karya-karya terdahulu yang ada kemiripan atau kesamaan dengan tema disini berupa karya-karya ilmiah, dalam rangka untuk memposisikan fokus penelitian dalam  tesis ini.
7.      Metode penelitian. Dalam penelitian ini, sangat diperlukan adanya metode agar penelitian yang dilakukan dapat berjalan dan terarah sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan.
8.      Sistematika pembahasan. Dalam penelitian ini penulis juga menyertakan sistematika pembahasan sebagai acuan rancangan penulisan tesis ini.
Bab dua adalah landasan teoritis. Pada bab ini, penulis akan membahas tentang maqashid asy-syari’ah, sebagaimana berikut:
1.      Historisitas hukum Islam. Pada sub ini penulis akan mengemukakan historisitas hukum Islam sebagai langkah awal dalam mengkaji pemikiran maqashid asy-syari’ah, guna untuk memperoleh gambaran pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam.
2.      Prinsip-prinsip hukum Islam. Setelah memperoleh gambaran tentang pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam, maka gambaran mengenai hukum Islam sangat jelas, bahwa didalam Islam terdapat prinsip-prinsip yang agung bagi kemashlahahan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
3.      Istinbath al-ahkam sebagai sumber dinamisme hukum Islam. Dari prinsip-prinsip tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa ajaran Islam tidak hendak menyulitkan manusia, ini tercermin dalam konsep qath’i dan dzanni. Di satu sisi, Islam mengajarkan kebebasan bagi manusia dalam berekspresi, dan di satu sisi, Islam memberi batasan dalam berekspresi, hal ini terealisasi dalam dua kelompok besar, yaitu madzhab mutakallimin yang dipelopori oleh al-Imam asy-Syafi’i dan madzhab Ahnaf yang dipelopori oleh imam Abu Hanifah.
4.      Maqashid asy-syari’ah sebagai acuan formal hukum Islam. Secara substansial maqashid asy-syari’ah (tujuan syari’ah) adalah mewujudkan dan melestarikan kemashlahahan. Pada pembahasan ini, penulis akan mengulas tentang pengertian maqashid asy-syari’ah, dasar penetapan, kategorisasi, dan pembagiannya, kemudian membahas tentang mashlahah yang meliputi empat aspek, yaitu mashlahah dari segi real power atau kualitas yang dimiliki, mashlahah berdasarkan kandungannya, mashlahah berdasarkan perubahannya, dan mashlahah berdasarkan eksistensinya.
Hal tersebut di atas dimaksudkan, untuk dijadikan acuan dalam menganalisis konsep maqashid asy-syari’ah versi al-Ghazali dan asy-Syathibi.
Bab tiga mengulas tentang konsep maqashid asy-syari’ah versi al-Ghazali. Sebelum mengulas konsep maqashid asy-syari’ah versi al-Ghazali, penulis akan memaparkan biografi, karya-karya ilmiah, dan potret intelektual secara umum. Dari ketiga sub tersebut, agar dapat diketahui lahirnya konsep maqashid asy-syari’ah versi al-Ghazali dan mengetahui tipologi serta paradigmanya. Setelah mengetahui asal-usul dan corak pemikirannya, baru mengungkapkan konsep tentang maqashid asy-syari’ah.
Bab empat mengulas tentang maqashid asy-syari’ah versi asy-Syathibi. Sebelum mengulas konsep maqashid asy-syari’ah versi asy-Syathibi, penulis akan melakukan  hal yang sama sebagaimana yang terdapat pada bab tiga, yaitu memaparkan biografi, karya-karya ilmiah, dan potret intelektual secara umum. Dari ketiga sub tersebut, agar dapat diketahui lahirnya konsep maqashid asy-syari’ah versi asy-Syathibi dan mengetahui tipologi serta paradigmanya. Setelah mengetahui asal-usul dan corak pemikirannya, baru mengungkapkan konsep tentang maqashid asy-syari’ah.
Bab lima adalah menganalisa data-data yang telah terkumpulkan. Di dalamnya akan dianalisa titik persamaan dan perbedaan antara konsep al-Ghazali dan asy-Syathibi tentang maqashid asy-syari’ah. Kemudian akan menganalisa argumentasi atas pendapat masing-masing. Dan terakhir, tentang implikasi perbedaan konsep maqashid asy-syari’ah ketika diimplementasikan dalam realitas  sosial.
Bab enam sebagai bagian akhir dari tesis ini, berisi tentang kesimpulan dan saran-saran.



[1] Fai’ ialah harta rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa terjadinya pertempuran. Pembagiannya berlainan dengan pembagian ghanimah. ghanimah ialah harta rampasan yang diperoleh dari musuh setelah terjadi pertempuran. pembagian Fai’ sebagaimana yang tersebut pada ayat surat al-Hasyr (59) ayat 7. sedang pembagian ghanimah tersebut pada surat Al-Anfaal (8) ayat 41. lihat: Sjechul Hadi Permono, Islam Dalam Lintasan Sejarah Perpolitikan: Teori dan Praktek, CV. Aulia  Surabaya, Cet. I, 2004, hal. 227-239
[2] Muhammad Faruq an-Nabhan, Al-Madkhal Li Tasyri’ Al-Islami, Beirut Dar Al-Qalam,1981,  hal. 117
[3] Gagasan sahabat Umar bin Khattab ra ditentang oleh sahabat Bilal bin Rabah ra. karena bertentangan dengan nash, yaitu Surat al-Hasyr (59) ayat 6-7: “ Dan apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, Maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap apa saja yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (6). “ Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (7).”


[4] al-Imam asy-Syathibi menjelaskan bahwa ”Bentuk taklif yang ada di luar kemampuan manusia secara syar’i tidak sah untuk dibebankan kepada mukallaf, meskipun secara akal memungkinkan untuk dilakukan.”
[6] ”Aliran kanan” yang dimaksud adalah mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep ilmu ushul al-fiqih, sedangkan ”aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenya “tajdid ilmu ushul al-fiqih” dalam pengertian perlu adanya dekonstruksi ushul al-fiqih demi menghasilkan produk fiqih yang lebih kapabel. Di antara yang paling vokal konsep ini adalah Hasan al-Turaby dengan buku tajdid ushul al-fiqih, ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id