Sabtu, 06 Juli 2013

BAB II (Tesis) D



BAB II (D)
  1. Pembagian Maqashid Asy-Syari’ah
Dari segi obyeknya, maqashid asy-syari’ah terbagi menjadi tiga macam, sebagaimana berikut:
a.       al-Maqashid al-Kulliyyah, yaitu sesuatu yang dipelihara syara’ serta diusahakan untuk dicapai syara’ dalam berbagai bidang syari’at, yang kebaikan dan kemanfaatannya kembali kepada umat seperti menegakkan dan mempertahankan eksistensi negara dari ancaman pihak musuh, menjaga penodaan terhadap agama, menjaga tanah Haramain di makkah dan madinah dari tangan musuh.[1]
b.      al-Maqashid al-Khassah, yaitu tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam topik tertentu,[2] seperti tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam hukum yang terkait dengan masalah perkawinan, keluarga, tujuan yang hendak dicapai dalam bidang ekonomi, tujuan syari’ yang hendak dicapai dalam bidang muamalah yang bersifat fisik, tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam masalah hukum pidana, peradilan, dan bentuk-bentuk amal kebaikan.
c.       al-Maqashid al-Juz’iyyah, yaitu tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam menetapkan setiap hukum syar’i,[3] seperti dalam menetapkan hukum wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah, atau menetapkan sesuatu menjadi sebab, syarat, mani’. Dibolehkan untuk menjalin hubungan tolong-menolong sesama manusia. Misalnya, shalat itu diwajibkan untuk memelihara agama, zina diharamkan untuk memelihara keturunan, dan kehormatan.
Ala al-Fasi ahli ushul al-Figih kontemporer mengemukakan pembagian maqashid asy-syari’ah dari segi obyek ini, menunjukkan bahwa syari’ dalam mensyari’atkan berbagai hukum tidak bermaksud hanya membebani manusia dengan berbagai hukum, tetapi melalui hukum-hukum tersebut manusia mendapatkan suatu kemashlahatan sekaligus terhindar dari kemadlaratan, baik di dunia maupun di akhirat.[4]
Imam asy-Syathibi menyatakan bahwa untuk mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat, ada lima pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara, dengan mewujudkan dan memelihara lima pokok tersebut, seorang mukallaf akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Berdasarkan hasil istqra’ ulama ushul al-fiqih terhadap Nash, kelima masalah pokok itu ialah: menjaga dan memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Lima kemashlahatan ini wajib dipelihara seseorang dan untuk itu pula didatangkan syari’at yang mengandung perintah, larangan, keizinan yang harus dipatuhi oleh setiap mukallaf.
Sedangkan secara substansi, maqhasid asy-syari’ah (tujuan-tujuan syari’at) adalah untuk mewujudkan dan memelihara kemashlahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Konsep mashlahah tersebut dapat dikategorikan menurut sudut pandang yang berbeda-beda.
1.      Mashlahah Dari Segi Real Power Atau Kualitas Yang Dimilikinya, Terbagi Menjadi Tiga Macam:
a.       Mashlahah dlaruriyah, yaitu kemashlahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan akhirat. Yang termasuk dalam kemashlatan ini adalah: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta. Menurut ulama ushul al-fiqih, kelima kemashlahatan ini disebut al-mashalih al-khamsah. Memeluk suatu agama merupakan fithrah dan naluri insaniyah  yang tidak bisa diingkari dan sangat dibutuhkkan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Allah SWT mensyari’atkan agama yang wajib dipelihara setiap orang, baik yang berkaitan dengan aqidah, ibadah, maupun mu’amalah. Hak hidup juga merupakan hak yang paling asasi setiap manusia. Dalam kaitan ini, untuk kemashlahatan dan keselamatan jiwa serta kehidupan manusia, Allah SWT mensyari’atkan berbagai hukum yang berkaitan dengan hal tersebut, seperti disyari’atkannya Qishas, kesempatan untuk memepergunakan hasil sumber daya alam untuk dikonsumsi oleh manusia, atau hukum perkawinan. Selanjutnya, akal merupakan faktor yang menentukan seseorang dalam menjalani kehidupannya. Karenanya, Allah SWT menjadikan pemeliharaan akal itu sebagai suatu hal yang paling pokok. Untuk itu, Allah SWT mensyari’atkan larangan meminum minuman keras, karena bisa merusak akal dan hidup manusia. Berketurunan juga merupakan masalah pokok bagi manusia dalam rangka memelihara kelangsungan hidup dimuka bumi ini. Untuk memelihara dan melanjutkan keturunan tersebut Allah SWT mensyari’atkan nikah dengan segala hak dan kewajiban yang diakibatkannya. Kemudian manusia tidak bisa hidup tanpa harta. Karena itu harta merupakan sesuatu yang pokok dalam kehidupan manusia. Untuk mendapatkannya, Allah SWT mensyari’atkan berbagai macam bentuk transaksi, dan untuk memelihara harta seseorang Allah SWT mensyari’atkan hukuman bagi pencuri dan perampok.[5]
b.      Mashlahah Hajjiyah, yaitu kemashlahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemashlahatan pokok atau mendasar sebelumnya, yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan dalam shalat bagi musafir dan berbuka puasa bagi orang musafir. Dalam bidang muamalah antara lain dibolehkan berburu binatang, melakukan jual beli, pesanan (akad salam), bekerja sama dalam pertanian (muzara’ah atau mukhabarah), bekerja sama dalam perkebunan (musaqah). Semua ini, disyari’atkan Allah SWT untuk mendukung kebutuhan mendasar, al-mashalih al-khamsah di atas.[6]
c.       Mashlahah Tahsiniyah, yaitu kemashlahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemashlahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus, melakukan amalan-amalan ibadah sunat sebagai ibadah tambahan, dan ditetapkan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia. Ketiga kemashlahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemashlahtan. Kemashlahatan ad-dlaruriyyah harus lebih didahulukan daripada kemashlahatan hajjiyyah, dan kemashlahatan hajjiyyah harus lebih didahulukan daripada kemashlahatan tahsiniyyah.[7]
2.                  Mashlahah Berdasarkan Kandungannya
Berdasarkan kandungannya, ulama ushul al-fiqih membagi mashlahah menjadi dua bagian:
a.       Al-Mashlahah al-’Ammah, yaitu kemashlahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemashlahatan umum tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa  berbentuk kepentingan mayoritas umat. Misalnya, Ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak ’aqidah umat.
b.      Al-Mashlahah al-Khassah, yaitu kemashlahatan pribadi. Mashlahah ini jarang terjadi, seperti kemashlahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (al-mafqut).
Pentingnya pembagian kedua kemashlahatan ini berkaitan dengan prioritas yang harus didahulukan apabila kemashlahatan umum bertentangan dengan kemashlahatan pribadi. Maka Islam memprioritaskan untuk lebih mendahulukan kemashlahatan umum daripada kemashlahatan pribadi.
3.      Mashlahah Berdasarkan Segi Perubahannya
Dari segi perubahannya, Musthafa asy-syalabi, membagi mashlahah menjadi dua:
a.       Al-Mashlahah as-Tsabitah, yaitu kemashlahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnnya, berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji
b.      Al-Mashlahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemashlahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subyek hukum. Kemashlahatan seperti ini berkaitan dengan permaslahan muamalah dan adat kebiasaan, seperti dalam masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Perlunya pembagian ini adalah untuk memberikan batasan kemashlahatan yang berubah dan yang tidak bisa berubah
4.      Mashlahah Berdasarkan Eksistensinya
Mashlahah berdasarkan eksistensinya, terbagi menjadi tiga:
a.       Kemashlahatan yang eksistensinya diakui oleh syara’ (al-mashlahah al-mu’tabarah),[8] artinya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemashlahtan tersebut. Misalnya tentang hukuman atas orang yang meminum minuman keras. Bentuk hukuman bagi orang yang meminum minuman keras yang terdapat dalam hadits Rasulullah SAW oleh ulama dipahami secara berlainan. Hal ini disebabkan berbedanya alat pemukul yang digunakan Nabi SAW ketika melaksanakan hukuman bagi orang yang meminum minuman keras. Ada hadist yang menunjukkan bahwa alat yang digunakan oleh Rasulullah SAW adalah sandal atau alas kakinya sebanyak 40 kali. Sementara itu hadits lain menjelaskan bahwa alat pemukul yang digunakan rasul saw dalam hukuman minuman keras adalah pelapah kurma, juga sebanyak 40 kali. Karenanya setelah sahabat Umar bin Khattab  ra bermusyawarah dengan para sahabat lain, menetapkan hukuman dera bagi orang yang meminum minuman keras tersebut sebanyak 80 kali. Ia Meng-Qiyas-kan orang yang meminum minuman keras kepada orang yang menuduh orang lain berbuat zina. Logikanya adalah seseorang yang meminum minuman keras apabila mabuk bicaranya tidak bisa terkontrol dan diduga keras akan menuduh orang lain berbuat zina. Hukuman bagi orang yang menuduh orang lain berbuat zina adalah 80 kali. Karena adanya dugaan keras menuduh orang lain berbuat zina akan muncul dari orang mabuk, maka Umar bin Katthab dan Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa hukuman orang yang meminum minuman keras sama hukumnya dengan orang yang menuduh orang lain berbuat zina.[9] Menurut ulama ushul al-fiqh, cara analogi seperti ini termasuk kemashlahatan yang didukung oleh syara’ atau diistilahkan dengan mashlahah mu’tabarah. Hukuman bagi orang yang menuduh orang lain berbuat zina sebanyak 80 kali, sebagaimana firman Allah SWT:
”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[10] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”(Q.S 28: 4).

Sebagian ulama juga memasukkan produk hukum yang dihasilkan dengan melalui metode qiyas kedalam jenis mashlahah ini, seperti pengharaman terhadap segala minuman yang memabukkan dengan metode mengqiyaskan dengan khamar yang dinashkan keharamannya oleh Allah SWT dalam al-Qur’an. Maka muatan mashlahah dalam pengharaman semua minuman yang memabukkan dapat diakui eksistensinya oleh syara’ karena ada kesamaan kadar mashlahah yang terdapat didalam nash yang melarang meminum minuman khamar.
b.      Kemashlahatan yang eksistensinya tidak diakui oleh syara’ (al-mashlahah al-Mulgha)[11] karena ada unsur kontradiktif dengan Nash-nash syar’iyyah. Misalnya dalam penentuan syara’, di siang hari bulan ramadlan dilarang melakukan hubungan seksual. Jika ternyata masih berhubungan seksual pada siang hari di bulan ramadlan maka ia dikenakan hukuman antara tiga hal: memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin. (H.R Muslim).[12] Al-Lais bin Sa’ad ahli fiqih madzhab Maliki di spanyol, menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi penguasa yang melakukan hubungan seksual di siang hari pada bulan ramadlan, karena jika para penguasa itu dibebani untuk memerdekakan budak atau memberi 60 fakir miskin ia akan terasa ringan, menurutnya,  hukuman bagi orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan ramadlan bertujuan agar seseorang menjadi jera sehingga tidak melakukan pelanggaran lagi, jika seorang penguasa hanya dibebani untuk memerdekakan budak atau memberi makan 60 fakir miskin, maka ia akan terasa sangat ringan dan bahkan akan menganggap mudah dalam pelanggaran tersebut, sehingga hukuman yang diberikan kepada para penguasa tersebut tidak menjadikan ia jera. Nilai kemashlahatan disini bertentangan dengan hadist Rasulullah SAW diatas, karena hadits tersebut secara jelas mengungakapkan proses hukuman tersebut , yaitu: apabila tidak mampu memerdekakan budak ia harus puasa dua bulan berturut-turut, lalu memberi makan 60 fakir miskin. Jika puasa dua bulan berturut-turut lebih diprioritaskan tanpa mengukuti proses urutan hadits tersebut, maka kemashlahatan disini akan bertentangan dengan kehendak syara’, sehingga hukum yang diterapkan oleh al-lais bin sa’ad bagi seorang penguasa di atas tidak dapat  diterima syara’.
c.       Kemashlahatan yang keberadaannya didiamkan oleh syara’, tidak ada indikasi yang menunjukkan dianggap atau tidaknya kemashlahatan tersebut, kemashlahatan dalam bentuk ini terbagi menjadi dua: (1) al-Mashlahah al-Gharibah, kemashlahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’ baik dari dalil yang rinci maupun yang bersifat umum, (2) al-Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak didukung oleh dalil syara’ secara rinci, tetapi didukung oleh makna sejumlah nash.[13]
Ulama ushul al-fiqh sepakat, bahwa mashlahah al-mu’tabarah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum Islam.[14] Kemashlahatan seperti ini termasuk dalam metode qiyas. Mereka juga sepakat bahwa mashlahah al-mulgha tidak dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum Islam, demikian juga dalam mashlahah al-gharibah, karena pada tataran praktis mashlahah ini tidak ditemukan.[15] Sedangkan dalam mashlahah al-mursalah, semua ulama madzhab menerima sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, hanya saja mereka memakai istilah yang berbeda-beda.[16]
Madzhab Hanafi mengatakan bahwa untuk menjadikan mashlahah mursalah (menurut Hanafiyah; al-mashlahah al-mula’im atau mula’im al-mursal ) sebagai dalil, disyaratkan adanya ’illat yang diindikasikan oleh nash, baik dari al-Qur’an, al-Hadits, atau pun Ijma’, atau janis sifat yang menjadi motivasi hukum dipergunakan oleh nash sebagai ’illat hukum. Misalnya, sifat yang berpengaruh pada hukum tersebut adalah Nabi Muhammad SAW pernah ditanya oleh seorang sahabat tentang najis atau tidaknya kuku kucing. Rasulullah SAW menjawab: ”(kucing itu) termasuk binatang rumah yang senantiasa mengelilingi kamu, tidak (menjadi najis) bagi kamu.” keberadaan kucing yang senantiasa berada dirumah merupakan sifat yang membuat mereka bersih atau suci. Sifat yang menjadi ’illat hukum dalam hadits ini jelas, yaitu at-tawwaf (hewan yang senantiasa bearada di rumah, tidur dir rumah, dan sulit untuk memisahkannya). Berdasarkan hadits ini dapat ditetapkan bahwa hukum kuku kucing tidak najis. Oleh sebab itu, at-Tawwaf merupakan ’illat dari hukum bersuci untuk menghindari kesulitan dari orang yang memelihara kucing di rumah.[17]
Sedangkan contoh jenis sifat yang dijadikan ’illat dalam suatu hukum adalah Rasulullah SAW melarang pedagang mencegat petani dalam rangka untuk membeli barang-barang yang hendak dijual ke pasar.[18] Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari kemadlaratan bagi petani dengan terjadinya penipuan harga oleh para pedagang yang membeli barang di batas kota tersebut. Sifat yang membuat larangan ini adalah adanya kemudlaratan dan aspek kemudlaratan ini berpengaruh kepada hukum jual beli seperti yang dilakukan pedagang tersebut. Jenis kemudlaratan seperti ini juga ada dalam masalah lain, seperti dinding rumah yang hampir roboh ke jalan sehingga bisa memberi madlarat kepada orang lain. Menurut madzhab Hanafi, kemadlaratan petani dalam jual beli di atas, sejenis dengan kemudlaratan dinding yang hampir rubuh ini. Karennya, ’illat hukum dalam masalah dinding ini di –qiyas-kan kepada jenis ’illat hukum dalam masalah jual beli di atas, yaitu sama-sama memberi mudlarat. Menghilangkan kemudlartan, bagaimana pun bentuknya merupakan tujuan syara’ yang wajib dilakuakan.
Menolak kemadlaratan dan menarik kemashlahatan termasuk dalam konsep al-mashlahah al-mursalah. Dengan demikian, madzhab Hanafi menerima al-mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, dengan syarat sifat kemashlahatan itu terdapat dalam nash atau ijma’ dan jenis sifat kemashlahatan itu juga harus sama dengan jenis sifat yang didukung oleh nash atau ijma’. Penerapan konsep al-mashlahah al-mursalah dikalangan madzhab Hanafi terlihat secara luas dalam metode Istihsan. Dalam konsep Istihsan, indikasi-indikasi yang dijadikan pemalingan hukum tersebut pada umumnya adalah al-mashlahah al-mursalah.
Madzhab Maliki dan Hanbali juga menerima al-mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama’ fiqih yang paling banyak dan luas dalam menerapkann konsep ini. Menurutnya, al-mashlahah al-mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash yang parsial seperti yang berlaku dalam teori Qiyas.[19] Demikian pula asy-Syathibi, ia mengatakan bahwa eksistensi dan kualitas al-mashlahah al-mursalah itu bersifat qath’i, sekalipun pada tataran praktisnya bersifat dzanni. Misalnya, Rasulullah SAW bersabda dalam persoalan meningkatkan harga barang di pasar. Nabi Muhammad SAW sebagai pihak penguasa ketika itu tidak ikut campur dalam masalah harga, karena perbuatan ikut campur dalam masalah harga pasar dianggap tindakan dlalim. Madzhab Maliki dan Hanbali mengatakan bahwa hadits Rasulullah SAW tersebut berlaku apabila komoditas sedikit sedangkan permintaan banyak, sehingga kenaikan harga adalah wajar. Akan tetapi, apabila kenaikan harga barang itu bukan karena sedikitnya komoditas, tetapi oleh para pedagang sendiri, maka madzhab Maliki dan Hanbali membolehkan pihak penguasa untuk ikut campur tangan dalam menetapkan harga dengan mempertimbangkan untuk kemashlahatan para konsumen.[20]
Untuk bisa menjadikan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, madzhab Maliki dan Hanbali memberikan tiga kriteria, yaitu: kemashlatan itu sesuai dengan kehendak syara’ dan termasuk jenis kemashlahatan yang dianggap oleh syara’ (al-mashlaha al-mu’tabarah),  kemashlahatan itu bersifat rasional dan qath’i, bukan dzanni semata, sehingga hukum yang ditetapkan melalui al-mashlahah al-mursalah benar-benar menghasilkan manfaat dan menolak madlarat, kemashlahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.[21]
Madzhab asy-Syafi’i pada dasarnya juga menjadikan mashlahah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi al-Imam asy-Syafi’i memasukkan pada pembahasan ini kedalam bab Qiyas. Misalnya, ia meng-qiyas-kan hukuman bagi para peminum minuman keras kepada hukuman bagi orang yang menuduh orang lain berbuat zina yaitu dera sebanyak 80 kali, karena orang yang sedang mabuk pada biasanya akan mengingau dan dalam ingauannya diduga keras ia akan menuduh orang lain berbuat zina.[22] Dalam hal ini, al-Ghazali juga menjelaskan secara jelas tentang konsepsi mashlahah al-mursalah. Ada beberapa syarat yang dikemukakan al-Ghazali dalam kitab ushul al-fiqihnya mengenai mashlahah al-mursalah yang dapat dijadikan hujjah dalam mengektraplorasi hukum (istnbath al-ahkam). Pertama, mashlahah harus sejalan dengan kehendak syara’, kedua, mashlahah tidak bertentangan dengan syara’ yakni, al-Qur’an, al-Hadits, dan Ijma’, dan mashlahah tersebut termasuk dalam kategori mashlahah ad-dlaruriyah, baik menyangkut kemashlahatan pribadi maupun kemashlahatan umum.[23] Untuk yang terakhir ini al-Ghazali juga mengatakan bahwa yang hajiyyah, apabila menyangkut kepentingan orang banyak bisa menjadi ad-dlaruriyah.


[1] Wahbah az-Zukhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Op.Cit, hal. 317
[2]Jamaluddin ‘Athiyah, Nahwu Taf’ili Maqashid asy-Syari’ah, Dar al-Fikr Damaskus, 2001, Hal. 131
[3] Ibid, hal. 137
[4] Kemashlahatan disini seperti, membangun, menjaga tatanan kehidupan, menegakkan perdamaian, keadilan, menggali sumber daya alam, dan lain-lain. Lihat: Ala al-Fasi, Maqashid Asy-Syari’ah Al-Islamiyah Wa Makaarimuha, Dar al-Gharb al-Islami, 1993, hal. 41-44
[5] Al-Imam al-‘Allaamah Ali bin Muhammad al-Amidi, al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam, Sofware Maktabah Syamilah al-Ishdar Ats-Tsani, juz, III, 274;
[6] Khalid Ramdlan Hasan, Mu’jam Ushul al-Fiqih, Dar ar-Raudlah, tt, hal. 101
[7] Abu Ishaq asy-Syathibi, al-Muwafaqaat Fi Ushul al-Ahkam, Op.Cit, hal. 8
[8] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul, Op.Cit, hal. 437
[9] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Fi Syarkhi Shahih al-Bukhari, Sofware Maktabah Syamilah al-Ishdar ats-Tsani, juz XIX, hal. 189
[10] Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci, akil balig dan muslimah.
[11] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul, Op.Cit, hal. 437
[12] Abu Husen Muslim bin Hajjaaz, Shahih Muslim, Sofware Maktabah Syamilah al-Ishdar ats-Tsani, juz V, hal. 427
[13] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul, Op.Cit, hal. 449
[14] Abdul Wahab Khalaf, ilmu ushul al-fiqh, Op.Cit, hal. 84-85;
[15] Wahbah az-Zukhaili, Ushul Al-Fiqih Al-Islami, Op.Cit, hal. 34
[16] Malikiyah mengistilahkan mashlahah mursalah, al-Ghazali mengistilahkan al-istishlah, Mutakallimin mengistilahkan al-munasib al-mursal al-mula’im, sebagian ada yang mengistilahkan al-istidhlal al-mursal, dan Imam Haramain mengistilahkan al-istidhlal. Lihat: Wahbah az-Zukhaili, ushul al-fiqih al-Islami, Op.Cit, hal. 35
[17] Ibid, hal. 55; Muhammad al-Munawi, Faidh al-Qadir, Sofware Maktabah Syamilah al-Ishdar ats-Tsani, juz VI, hal. 463;
[18] Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sofware Maktabah Syamilah al-Ishdar ats-Tsani, juz VII, hal. 378; Abu Abdurrahman an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, Sofware Maktabah Syamilah al-Ishdar ats-Tsani, juz XIV, hal. 30; Syaikh al-Islam Abu Yahya Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahhab Bi Syarkh Manhaj at-Thullab, Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabia, tt, juz I, hal. 166 
[19] Indikasi bahwa imam ahmad bin hanbal menggunakan mashlahah mursalah dalam menetapkan hukum ada tiga; (1) Berdasarkan istiqra’ ulama ushul al-fiqih dan para pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, (2) Berdasarkan beberapa fatwa yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan (3) Berdasarkan penggunaan Sad ad-Dzari’ah sebagai prinsip dasar dalam menetapkan hukum. Lihat: Wahbah az-Zukhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Op.Cit, hal. 63-76
[20] Muhammad Abd al-Rauf al-Manawi, Faidl al-Qadîr, Op.Cit, juz II, hal. 337 dan juz VI, hal. 578
[21] Wahbah az-Zukhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Op.Cit, hal. 77-78
[22] Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, Sofware Maktabah Syamilah al-Ishdar ats-Tsani, juz VI, hal. 195
[23] Wahbah az-Zukhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Op.Cit, hal. 53;

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id