BAB II (D)
- Pembagian Maqashid Asy-Syari’ah
Dari
segi obyeknya, maqashid
asy-syari’ah
terbagi menjadi tiga macam, sebagaimana berikut:
a.
al-Maqashid al-Kulliyyah, yaitu sesuatu yang dipelihara
syara’ serta diusahakan untuk dicapai syara’ dalam berbagai bidang syari’at, yang
kebaikan dan kemanfaatannya kembali kepada umat seperti menegakkan dan
mempertahankan eksistensi negara dari ancaman pihak musuh, menjaga penodaan
terhadap agama, menjaga tanah Haramain di makkah dan madinah dari tangan musuh.[1]
b.
al-Maqashid al-Khassah, yaitu tujuan yang hendak
dicapai syara’ dalam topik tertentu,[2] seperti tujuan yang hendak
dicapai syara’ dalam hukum yang terkait dengan masalah perkawinan, keluarga,
tujuan yang hendak dicapai dalam bidang ekonomi, tujuan syari’ yang hendak
dicapai dalam bidang muamalah yang bersifat fisik, tujuan yang hendak dicapai
syara’ dalam masalah hukum pidana, peradilan, dan bentuk-bentuk amal kebaikan.
c.
al-Maqashid al-Juz’iyyah, yaitu tujuan yang hendak
dicapai syara’ dalam menetapkan setiap hukum syar’i,[3] seperti dalam menetapkan
hukum wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah, atau menetapkan sesuatu menjadi sebab, syarat, mani’. Dibolehkan untuk menjalin
hubungan tolong-menolong sesama manusia. Misalnya, shalat itu diwajibkan untuk
memelihara agama, zina diharamkan untuk memelihara keturunan, dan kehormatan.
Ala al-Fasi ahli ushul al-Figih kontemporer mengemukakan pembagian maqashid asy-syari’ah dari segi obyek ini,
menunjukkan bahwa syari’ dalam mensyari’atkan berbagai hukum tidak bermaksud
hanya membebani manusia dengan berbagai hukum, tetapi melalui hukum-hukum
tersebut manusia mendapatkan suatu kemashlahatan sekaligus terhindar dari
kemadlaratan, baik di dunia maupun di akhirat.[4]
Imam asy-Syathibi menyatakan bahwa untuk mewujudkan kemashlahatan dunia
dan akhirat, ada lima pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara, dengan
mewujudkan dan memelihara lima pokok tersebut, seorang mukallaf akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Berdasarkan hasil istqra’ ulama ushul al-fiqih
terhadap Nash, kelima masalah pokok
itu ialah: menjaga dan memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Lima
kemashlahatan ini wajib dipelihara seseorang dan untuk itu pula didatangkan
syari’at yang mengandung perintah, larangan, keizinan yang harus dipatuhi oleh setiap
mukallaf.
Sedangkan secara substansi, maqhasid asy-syari’ah (tujuan-tujuan syari’at) adalah untuk mewujudkan dan
memelihara kemashlahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Konsep mashlahah tersebut dapat
dikategorikan menurut sudut pandang yang berbeda-beda.
1.
Mashlahah Dari Segi Real Power Atau Kualitas Yang Dimilikinya,
Terbagi Menjadi Tiga Macam:
a.
Mashlahah dlaruriyah, yaitu kemashlahatan yang berhubungan dengan kebutuhan
pokok umat manusia di dunia dan akhirat. Yang termasuk dalam kemashlatan ini
adalah: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara
keturunan, dan memelihara harta. Menurut ulama ushul al-fiqih, kelima
kemashlahatan ini disebut al-mashalih
al-khamsah.
Memeluk suatu agama merupakan fithrah
dan naluri insaniyah yang tidak bisa
diingkari dan sangat dibutuhkkan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Allah
SWT mensyari’atkan agama yang wajib dipelihara setiap orang, baik yang
berkaitan dengan aqidah, ibadah, maupun mu’amalah. Hak hidup juga merupakan hak
yang paling asasi setiap manusia. Dalam kaitan ini, untuk kemashlahatan dan
keselamatan jiwa serta kehidupan manusia, Allah SWT mensyari’atkan berbagai
hukum yang berkaitan dengan hal tersebut, seperti disyari’atkannya Qishas, kesempatan untuk
memepergunakan hasil sumber daya alam untuk dikonsumsi oleh manusia, atau hukum
perkawinan. Selanjutnya, akal merupakan faktor yang menentukan seseorang dalam
menjalani kehidupannya. Karenanya, Allah SWT menjadikan pemeliharaan akal itu
sebagai suatu hal yang paling pokok. Untuk itu, Allah SWT mensyari’atkan
larangan meminum minuman keras, karena bisa merusak akal dan hidup manusia.
Berketurunan juga merupakan masalah pokok bagi manusia dalam rangka memelihara
kelangsungan hidup dimuka bumi ini. Untuk memelihara dan melanjutkan keturunan
tersebut Allah SWT mensyari’atkan nikah dengan segala hak dan kewajiban yang
diakibatkannya. Kemudian manusia tidak bisa hidup tanpa harta. Karena itu harta
merupakan sesuatu yang pokok dalam kehidupan manusia. Untuk mendapatkannya, Allah
SWT mensyari’atkan berbagai macam bentuk transaksi, dan untuk memelihara harta
seseorang Allah SWT mensyari’atkan hukuman bagi pencuri dan perampok.[5]
b.
Mashlahah Hajjiyah, yaitu kemashlahatan yang dibutuhkan dalam
menyempurnakan kemashlahatan pokok atau mendasar sebelumnya, yang berbentuk
keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia.
Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan dalam shalat bagi musafir dan
berbuka puasa bagi orang musafir. Dalam bidang muamalah antara lain dibolehkan
berburu binatang, melakukan jual beli, pesanan (akad salam), bekerja sama dalam pertanian (muzara’ah atau mukhabarah), bekerja sama dalam
perkebunan (musaqah). Semua ini,
disyari’atkan Allah SWT untuk mendukung kebutuhan mendasar, al-mashalih al-khamsah di atas.[6]
c.
Mashlahah Tahsiniyah, yaitu kemashlahatan yang sifatnya pelengkap berupa
keleluasaan yang dapat melengkapi kemashlahatan sebelumnya. Misalnya,
dianjurkan untuk memakan makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus, melakukan
amalan-amalan ibadah sunat sebagai ibadah tambahan, dan ditetapkan berbagai
jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia. Ketiga kemashlahatan ini
perlu dibedakan, sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam
mengambil suatu kemashlahtan. Kemashlahatan ad-dlaruriyyah harus lebih didahulukan
daripada kemashlahatan hajjiyyah, dan kemashlahatan hajjiyyah harus lebih didahulukan daripada kemashlahatan tahsiniyyah.[7]
2.
Mashlahah Berdasarkan
Kandungannya
Berdasarkan kandungannya, ulama ushul al-fiqih membagi mashlahah menjadi
dua bagian:
a.
Al-Mashlahah al-’Ammah, yaitu kemashlahatan umum yang
menyangkut kepentingan orang banyak. Kemashlahatan umum tidak berarti untuk
kepentingan semua orang, tetapi bisa
berbentuk kepentingan mayoritas umat. Misalnya, Ulama membolehkan membunuh
penyebar bid’ah yang dapat merusak ’aqidah umat.
b.
Al-Mashlahah al-Khassah, yaitu kemashlahatan pribadi. Mashlahah ini jarang terjadi, seperti
kemashlahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang
dinyatakan hilang (al-mafqut).
Pentingnya pembagian kedua kemashlahatan ini berkaitan dengan prioritas
yang harus didahulukan apabila kemashlahatan umum bertentangan dengan kemashlahatan
pribadi. Maka Islam memprioritaskan untuk lebih mendahulukan kemashlahatan umum
daripada kemashlahatan pribadi.
3.
Mashlahah Berdasarkan Segi
Perubahannya
Dari segi perubahannya, Musthafa asy-syalabi, membagi mashlahah menjadi
dua:
a.
Al-Mashlahah as-Tsabitah, yaitu kemashlahatan yang
bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnnya, berbagai kewajiban
ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji
b.
Al-Mashlahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemashlahatan yang
berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subyek hukum. Kemashlahatan
seperti ini berkaitan dengan permaslahan muamalah dan adat kebiasaan, seperti
dalam masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah
lainnya. Perlunya pembagian ini adalah untuk memberikan batasan kemashlahatan
yang berubah dan yang tidak bisa berubah
4.
Mashlahah Berdasarkan Eksistensinya
Mashlahah
berdasarkan eksistensinya, terbagi menjadi tiga:
a.
Kemashlahatan yang eksistensinya
diakui oleh syara’ (al-mashlahah al-mu’tabarah),[8] artinya, adanya dalil
khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemashlahtan tersebut. Misalnya
tentang hukuman atas orang yang meminum minuman keras. Bentuk hukuman bagi
orang yang meminum minuman keras yang terdapat dalam hadits Rasulullah SAW oleh
ulama dipahami secara berlainan. Hal ini disebabkan berbedanya alat pemukul
yang digunakan Nabi SAW ketika melaksanakan hukuman bagi orang yang meminum
minuman keras. Ada hadist yang menunjukkan bahwa alat yang digunakan oleh Rasulullah
SAW adalah sandal atau alas kakinya sebanyak 40 kali. Sementara itu hadits lain
menjelaskan bahwa alat pemukul yang digunakan rasul saw dalam hukuman minuman
keras adalah pelapah kurma, juga sebanyak 40 kali. Karenanya setelah sahabat Umar
bin Khattab ra bermusyawarah dengan para
sahabat lain, menetapkan hukuman dera bagi orang yang meminum minuman keras
tersebut sebanyak 80 kali. Ia Meng-Qiyas-kan
orang yang meminum minuman keras kepada orang yang menuduh orang lain berbuat
zina. Logikanya adalah seseorang yang meminum minuman keras apabila mabuk
bicaranya tidak bisa terkontrol dan diduga keras akan menuduh orang lain
berbuat zina. Hukuman bagi orang yang menuduh orang lain berbuat zina adalah 80
kali. Karena adanya dugaan keras menuduh orang lain berbuat zina akan muncul
dari orang mabuk, maka Umar bin Katthab dan Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa
hukuman orang yang meminum minuman keras sama hukumnya dengan orang yang
menuduh orang lain berbuat zina.[9] Menurut ulama ushul
al-fiqh, cara analogi seperti ini termasuk kemashlahatan yang didukung oleh
syara’ atau diistilahkan dengan mashlahah mu’tabarah. Hukuman bagi orang yang
menuduh orang lain berbuat zina sebanyak 80 kali, sebagaimana firman Allah SWT:
”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[10] (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”(Q.S 28:
4).
Sebagian ulama juga memasukkan produk
hukum yang dihasilkan dengan melalui metode qiyas kedalam jenis mashlahah ini,
seperti pengharaman terhadap segala minuman yang memabukkan dengan metode
mengqiyaskan dengan khamar yang dinashkan keharamannya oleh Allah SWT dalam al-Qur’an.
Maka muatan mashlahah dalam pengharaman semua minuman yang memabukkan dapat
diakui eksistensinya oleh syara’ karena ada kesamaan kadar mashlahah yang
terdapat didalam nash yang melarang meminum minuman khamar.
b.
Kemashlahatan yang eksistensinya
tidak diakui oleh syara’ (al-mashlahah
al-Mulgha)[11] karena ada unsur
kontradiktif dengan Nash-nash syar’iyyah. Misalnya dalam penentuan syara’, di
siang hari bulan ramadlan dilarang melakukan hubungan seksual. Jika ternyata
masih berhubungan seksual pada siang hari di bulan ramadlan maka ia dikenakan
hukuman antara tiga hal: memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut,
atau memberi makan 60 orang fakir miskin. (H.R Muslim).[12] Al-Lais bin Sa’ad ahli fiqih
madzhab Maliki di spanyol, menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut
bagi penguasa yang melakukan hubungan seksual di siang hari pada bulan
ramadlan, karena jika para penguasa itu dibebani untuk memerdekakan budak atau
memberi 60 fakir miskin ia akan terasa ringan, menurutnya, hukuman bagi orang yang melakukan hubungan
seksual di siang hari bulan ramadlan bertujuan agar seseorang menjadi jera
sehingga tidak melakukan pelanggaran lagi, jika seorang penguasa hanya dibebani
untuk memerdekakan budak atau memberi makan 60 fakir miskin, maka ia akan
terasa sangat ringan dan bahkan akan menganggap mudah dalam pelanggaran
tersebut, sehingga hukuman yang diberikan kepada para penguasa tersebut tidak
menjadikan ia jera. Nilai kemashlahatan disini bertentangan dengan hadist Rasulullah
SAW diatas, karena hadits tersebut secara jelas mengungakapkan proses hukuman
tersebut , yaitu: apabila tidak mampu memerdekakan budak ia harus puasa dua
bulan berturut-turut, lalu memberi makan 60 fakir miskin. Jika puasa dua bulan
berturut-turut lebih diprioritaskan tanpa mengukuti proses urutan hadits
tersebut, maka kemashlahatan disini akan bertentangan dengan kehendak syara’,
sehingga hukum yang diterapkan oleh al-lais bin sa’ad bagi seorang penguasa di
atas tidak dapat diterima syara’.
c.
Kemashlahatan yang keberadaannya
didiamkan oleh syara’, tidak ada indikasi yang
menunjukkan dianggap atau tidaknya kemashlahatan tersebut, kemashlahatan dalam
bentuk ini terbagi menjadi dua: (1) al-Mashlahah al-Gharibah, kemashlahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari
syara’ baik dari dalil yang rinci maupun yang bersifat umum, (2) al-Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemashlahatan
yang tidak didukung oleh dalil syara’ secara rinci, tetapi didukung oleh makna
sejumlah nash.[13]
Ulama ushul al-fiqh sepakat, bahwa mashlahah al-mu’tabarah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum Islam.[14] Kemashlahatan seperti ini
termasuk dalam metode qiyas. Mereka juga sepakat
bahwa mashlahah al-mulgha tidak dapat dijadikan landasan
dalam menetapkan hukum Islam, demikian juga dalam mashlahah al-gharibah, karena pada tataran praktis mashlahah
ini tidak ditemukan.[15] Sedangkan dalam mashlahah al-mursalah, semua ulama madzhab menerima sebagai
salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, hanya saja mereka memakai
istilah yang berbeda-beda.[16]
Madzhab Hanafi mengatakan bahwa untuk menjadikan mashlahah mursalah (menurut Hanafiyah; al-mashlahah al-mula’im atau mula’im al-mursal ) sebagai dalil, disyaratkan
adanya ’illat yang diindikasikan oleh nash, baik dari al-Qur’an, al-Hadits, atau pun Ijma’, atau
janis sifat yang menjadi motivasi hukum dipergunakan oleh nash sebagai ’illat hukum. Misalnya, sifat yang
berpengaruh pada hukum tersebut adalah Nabi Muhammad SAW pernah ditanya oleh seorang
sahabat tentang najis atau tidaknya kuku kucing. Rasulullah SAW menjawab:
”(kucing itu) termasuk binatang rumah yang senantiasa mengelilingi kamu, tidak
(menjadi najis) bagi kamu.” keberadaan kucing yang senantiasa berada dirumah
merupakan sifat yang membuat mereka bersih atau suci. Sifat yang menjadi ’illat hukum dalam hadits ini jelas,
yaitu at-tawwaf (hewan yang senantiasa
bearada di rumah, tidur dir rumah, dan sulit untuk memisahkannya). Berdasarkan
hadits ini dapat ditetapkan bahwa hukum kuku kucing tidak najis. Oleh sebab
itu, at-Tawwaf merupakan ’illat dari hukum bersuci untuk
menghindari kesulitan dari orang yang memelihara kucing di rumah.[17]
Sedangkan contoh jenis sifat yang dijadikan ’illat dalam suatu hukum adalah Rasulullah SAW melarang
pedagang mencegat petani dalam rangka untuk membeli barang-barang yang hendak
dijual ke pasar.[18]
Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari kemadlaratan bagi petani dengan
terjadinya penipuan harga oleh para pedagang yang membeli barang di batas kota
tersebut. Sifat yang membuat larangan ini adalah adanya kemudlaratan dan aspek
kemudlaratan ini berpengaruh kepada hukum jual beli seperti yang dilakukan
pedagang tersebut. Jenis kemudlaratan seperti ini juga ada dalam masalah lain,
seperti dinding rumah yang hampir roboh ke jalan sehingga bisa memberi madlarat
kepada orang lain. Menurut madzhab Hanafi, kemadlaratan petani dalam jual beli
di atas, sejenis dengan kemudlaratan dinding yang hampir rubuh ini. Karennya, ’illat hukum dalam masalah dinding ini
di –qiyas-kan kepada jenis ’illat hukum dalam masalah jual beli
di atas, yaitu sama-sama memberi mudlarat.
Menghilangkan kemudlartan, bagaimana pun bentuknya merupakan tujuan syara’ yang
wajib dilakuakan.
Menolak kemadlaratan dan menarik kemashlahatan termasuk dalam konsep al-mashlahah al-mursalah. Dengan demikian,
madzhab Hanafi menerima al-mashlahah
al-mursalah
sebagai dalil dalam menetapkan hukum, dengan syarat sifat kemashlahatan itu
terdapat dalam nash atau ijma’ dan jenis sifat kemashlahatan itu juga harus sama
dengan jenis sifat yang didukung oleh nash atau ijma’. Penerapan konsep al-mashlahah al-mursalah dikalangan madzhab Hanafi
terlihat secara luas dalam metode Istihsan.
Dalam konsep Istihsan, indikasi-indikasi yang
dijadikan pemalingan hukum tersebut pada umumnya adalah al-mashlahah al-mursalah.
Madzhab Maliki dan Hanbali juga menerima al-mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan
hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama’ fiqih yang paling banyak dan luas
dalam menerapkann konsep ini. Menurutnya, al-mashlahah al-mursalah merupakan induksi dari logika
sekumpulan nash, bukan dari nash yang
parsial seperti yang berlaku dalam teori Qiyas.[19] Demikian pula asy-Syathibi,
ia mengatakan bahwa eksistensi dan kualitas al-mashlahah al-mursalah itu bersifat qath’i, sekalipun pada tataran
praktisnya bersifat dzanni. Misalnya, Rasulullah
SAW bersabda dalam persoalan meningkatkan harga barang di pasar. Nabi Muhammad
SAW sebagai pihak penguasa ketika itu tidak ikut campur dalam masalah harga,
karena perbuatan ikut campur dalam masalah harga pasar dianggap tindakan dlalim. Madzhab Maliki dan Hanbali
mengatakan bahwa hadits Rasulullah SAW tersebut berlaku apabila komoditas
sedikit sedangkan permintaan banyak, sehingga kenaikan harga adalah wajar. Akan
tetapi, apabila kenaikan harga barang itu bukan karena sedikitnya komoditas,
tetapi oleh para pedagang sendiri, maka madzhab Maliki dan Hanbali membolehkan
pihak penguasa untuk ikut campur tangan dalam menetapkan harga dengan
mempertimbangkan untuk kemashlahatan para konsumen.[20]
Untuk bisa menjadikan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, madzhab Maliki dan Hanbali
memberikan tiga kriteria, yaitu: kemashlatan itu sesuai dengan kehendak syara’
dan termasuk jenis kemashlahatan yang dianggap oleh syara’ (al-mashlaha al-mu’tabarah), kemashlahatan itu bersifat rasional dan qath’i, bukan dzanni semata, sehingga hukum yang ditetapkan melalui al-mashlahah al-mursalah benar-benar menghasilkan
manfaat dan menolak madlarat, kemashlahatan itu menyangkut kepentingan orang
banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.[21]
Madzhab asy-Syafi’i pada dasarnya juga menjadikan mashlahah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi al-Imam asy-Syafi’i memasukkan pada
pembahasan ini kedalam bab Qiyas. Misalnya, ia meng-qiyas-kan hukuman bagi para peminum
minuman keras kepada hukuman bagi orang yang menuduh orang lain berbuat zina
yaitu dera sebanyak 80 kali, karena orang yang sedang mabuk pada biasanya akan
mengingau dan dalam ingauannya diduga keras ia akan menuduh orang lain berbuat
zina.[22] Dalam hal ini, al-Ghazali
juga menjelaskan secara jelas tentang konsepsi mashlahah al-mursalah. Ada beberapa syarat yang
dikemukakan al-Ghazali dalam kitab ushul al-fiqihnya mengenai mashlahah al-mursalah yang dapat dijadikan hujjah dalam mengektraplorasi hukum (istnbath al-ahkam). Pertama, mashlahah harus sejalan dengan kehendak syara’, kedua, mashlahah tidak bertentangan dengan syara’ yakni, al-Qur’an,
al-Hadits, dan Ijma’, dan mashlahah tersebut termasuk dalam
kategori mashlahah
ad-dlaruriyah,
baik menyangkut kemashlahatan pribadi maupun kemashlahatan umum.[23] Untuk yang terakhir ini al-Ghazali
juga mengatakan bahwa yang hajiyyah, apabila menyangkut
kepentingan orang banyak bisa menjadi ad-dlaruriyah.
[4] Kemashlahatan disini
seperti, membangun, menjaga tatanan kehidupan, menegakkan perdamaian, keadilan,
menggali sumber daya alam, dan lain-lain. Lihat: Ala al-Fasi, Maqashid Asy-Syari’ah Al-Islamiyah Wa
Makaarimuha,
Dar al-Gharb al-Islami, 1993, hal. 41-44
[5] Al-Imam al-‘Allaamah
Ali bin Muhammad al-Amidi, al-Ihkam
Fi Ushul al-Ahkam, Sofware Maktabah Syamilah al-Ishdar Ats-Tsani, juz, III, 274;
[9] Ibnu Hajar
al-‘Asqalani, Fath al-Bari Fi
Syarkhi Shahih al-Bukhari, Sofware Maktabah Syamilah al-Ishdar ats-Tsani, juz XIX,
hal. 189
[10] Yang dimaksud wanita-wanita yang baik
disini adalah wanita-wanita yang Suci, akil balig dan muslimah.
[12] Abu Husen Muslim bin
Hajjaaz, Shahih Muslim, Sofware Maktabah
Syamilah al-Ishdar ats-Tsani, juz V, hal. 427
[16] Malikiyah
mengistilahkan mashlahah
mursalah,
al-Ghazali mengistilahkan al-istishlah, Mutakallimin mengistilahkan al-munasib al-mursal al-mula’im, sebagian ada yang
mengistilahkan al-istidhlal al-mursal, dan Imam Haramain
mengistilahkan al-istidhlal. Lihat: Wahbah
az-Zukhaili, ushul al-fiqih
al-Islami, Op.Cit, hal. 35
[17] Ibid, hal. 55; Muhammad al-Munawi, Faidh al-Qadir, Sofware Maktabah Syamilah
al-Ishdar ats-Tsani, juz VI, hal. 463;
[18] Abu Abdullah
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sofware Maktabah
Syamilah al-Ishdar ats-Tsani, juz VII, hal. 378; Abu Abdurrahman an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, Sofware Maktabah Syamilah
al-Ishdar ats-Tsani, juz XIV, hal. 30; Syaikh al-Islam Abu Yahya Zakaria
al-Anshari, Fath al-Wahhab Bi
Syarkh Manhaj at-Thullab, Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabia, tt, juz I, hal. 166
[19] Indikasi bahwa imam ahmad bin hanbal
menggunakan mashlahah mursalah dalam menetapkan hukum ada tiga; (1) Berdasarkan
istiqra’ ulama
ushul al-fiqih dan para pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, (2) Berdasarkan
beberapa fatwa yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan (3)
Berdasarkan penggunaan Sad ad-Dzari’ah sebagai prinsip dasar dalam menetapkan hukum. Lihat: Wahbah
az-Zukhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Op.Cit, hal.
63-76
[22] Muhammad bin Idris
asy-Syafi’i, al-Umm, Sofware Maktabah
Syamilah al-Ishdar ats-Tsani, juz VI, hal. 195
0 komentar:
Posting Komentar