BAB III (A)
MAQASHID
ASY-SYARI’AH
DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI
A. Biografi al-Ghazali
Al-Ghazali (Thus, 450 H/ 1058
M-505 H/ 1111 M). faqih, teolog, filusuf, dan Sufi. Nama lengkapnya Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin at-Thusi al-Ghazali. Ia lahir di desa Ghazalah, di Thus,
sebuah kota di persia dari keluarga yang relegius. Ayahnya, Muhammad, diluar
kesibukannnya sebagai seorang pemintal dan pedagang kain wol, senantiasa
menghadiri majlis-majlis yang diselenggarakan oleh para ulama. Al-Ghazali
mempunyai saudara laki-laki yang bernama abu al-futuh Ahmad bin Muhammad bin Ahmad
at-Thusi al-Ghazali, yang dikenal dengan julukan Majduddin (w. 520 H). Keduanya
menjadi ulama’ besar. Hanya saja Majduddin lebih cenderung kepada kegiatan
dakwah dibanding al-Ghazali yang menjadi penulis dan pemikir
Pendidikan
al-Ghazali di masa kanak-kanak berlangsung dikampung halamannya. Setelah
ayahnya wafat, ia dan saudaranya dididik oleh seorang sufi yang mendapat wasiat
dari ayahnya untuk mengasuh mereka, yakni Ahmad bin Muhammad ar-Razikani at-Thusi,
ahli fiqih dan tasawuf dari Thus. Mula-mula sufi ini mendidik mereka secara langsung,
namun setelah harta mereka habis, sedangkan sang sufi sendiri adalah orang
miskin, mereka dimasukkan ke sebuah madrasah di Thus (Nama madrasah ini tidak
pernah disebut oleh al-Ghazali maupun para penulis biografinya). Madrasah ini
memberi pakaian dan makanan secara cuma-cuma kepada para pelajarnya. Santunan
dan fasilitas yang disediakan madrasah ini sempat menjadi tujuan al-Ghazali
dalam menuntut ilmu. Kemudian sufi itu menyadarkan al-Ghazali bahwa tujuan
mencari ilmu bukanlah untuk mencari kehidupan dunia, melainkan semata-mata
untuk mencari keridlaan Allah SWT dan dimadrasah inilah al-Ghazali mulai
belajar fiqih.
Setelah
mempelajari dasar-dasar ilmu fiqih di kampung halamannya, ia merantau ke
jurjan, sebuah kota di persia yang terletak antara kota Tabaristan dan Naisabur.
Di Jurjan ia memperluas wawasan ilmu fiqih dengan berguru kepada seorang faqih
yang bernama Abu Qasim Isma’il bin Mus’idah al-Isma’il (imam Abu Nasr al-Isma’ili)
Setelah kembali ke Thus, al-Ghazali
berangkat lagi ke Naisabur. Disana ia belajar kepada Abu al-Ma’ali al-Juwaini
dalam ilmu fiqih, ilmu mujadalah, ilmu
mantiq, filsafat, dan ilmu kalam.
Sementara itu, al-Ghazali
juga belajar tasawuf kepada dua orang sufi, yaitu imam Yusuf an-Nassaj dan imam
Abu Ali al-Fadl bin Muhammad bin Ali al-Farmazi at-Thusi. Ia juga belajar
hadits kepada ulama ahli hadits, seperti Abu Sahal Muhammad bin Ahmad al-Hafsi
al-Mawarzi, Abu al-Fath Nasr bin Ali bin Ahmad al-Hakimi at-Thusi, Abu Muhammad
Abdullah bin Ahmad al-Khuwari, Muhammad bin Yahya bin Muhammad as-Sujja’i
az-Zaujani, al-Hafidz Abu Fityan Umar bin Abi al-Hasan ar-Ru’asi ad-Dahistani,
dan Nasr bin Ibrahim al-Maqdisi.
Setelah al-Juwaini meninggal
dunia, al-Ghazali mengunjungi kediaman seorang menteri pada masa pemerintahan
sultan ‘Adud ad-Daulah al-Arsalan (455 H/1063 M-465 H/1072 M) dan Jalal ad-Daulah
al-Malik Syah (465 H/1072 M-485 H/1092 M) dari dinasti Salajikah di al-‘Askar
sebuah kota di Persia. Kediaman menteri ini merupakan sebuah majlis pengajian,
tempat ulama bertukar pikiran. Menteri kagum terhadap pandangan-pandangan al-Ghazali
sehingga ia diminta untuk mengajar di madrasah Nidlamiyah Baghdad yang didirikan oleh sang menteri sendiri. Al-Ghazali
mengajar di Baghdad pada tahun 484 H.
Empat tahun kemudian ia
meninggalkan Baghdad untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian ia pergi ke Damaskus,
dan ber-i’itikaf di masjid Umawi. Di sinilah ia hidup sebagai
seorang zahid yang mendalami suasana
batin, meninggalkan kemewahan dunia, dan menyucikan diri dari dosa. Setelah
itu, ia kembali ke Baghdad untuk meneruskan kegiatan mengajarnya, selanjutnya
ia berangkat ke Naisabur dan ke kampung halamannya.[1]
[1] Al-Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, Dar al-Kutub al-Ilmiah,
Baerut-Lebanon, tt, Juz I, hal. 3-6; Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, PT Ichtiar Baru van Hoeve,
jakarta, hal. 404
0 komentar:
Posting Komentar