Sabtu, 06 Juli 2013

BAB II (Tesis) B



BAB II (B)
A.    Maqashid asy-Syari’ah dalam Istinbath Hukum Islam
  1. Pengertian Maqashid Asy-Syari’ah
Secara etimologi, maqashid asy-syari’ah terangkai dari dua unsur kata, “maqashid dan syari’ah”. Unsur pertama merupakan bentuk plural dari kata” maqashid ”( isim makan; kata benda yang menunjukkkan tempat) yang berasal dari kata ”qashada (fi’il madli) yang berarti ”bermaksud, atau berniat”. Unsur kedua, syari’ah yang berarti ”peraturan, undang-undang, atau hukum”. Maqashid dapat diambil dari pemahaman sebagai tempat atau obyek sasaran dari suatu tindakan, dengan demikian maqashid asy-syari’ah berarti pula sebuah tujuan syari’at.[1]
Sedangkan dalam terminologi syari’at, ulama ushul fiqih mendefinisikan maqashid asy-syari’ah sebagai, ”Substansi dan tujuan yang dikehendaki syara’ dalam mensyari’atkan suatu hukum bagi kemashlahatan manusia. Maqashid asy-syari’ah dikalangan ulama ushul al-fiqih disebut juga dengan Asrar asy-Syari’ah, yaitu rahasia-rahasia yang terkandung didalam hukum yang ditetapkan oleh syara’, berupa kemashlahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.[2] Misalnya, syari’ mewajibkan berbagai macam ibadah dengan tujuan untuk menegakkan agama Allah SWT, disyari’atkan hukuman zina, untuk memelihara kehormatan dan keturunan, disyari’atkan hukuman bagi orang yang meminum minuman keras adalah dalam rangka untuk memelihara akal manusia.
Mayoritas ulama ushul al-fiqih[3] berpendapat bahwa setiap hukum yang di buat oleh syari’ itu mengandung  kemashlahatan bagi manusia, baik kemashlahatan itu bersifat duniawi maupun ukhrawi. Oleh sebab itu, setiap mujtahid dalam mengekstraplorasi hukum (al-Istinbath al-Ahkam) dari kasus yang sedang dihadapi, harus selalu mengacu kepada maqashid asy-syari’ah. Sehingga hukum yang akan ditetapkan oleh mujtahid tersebut sesuai dengan kemashlahatan manusia dan tidak bertentangan dengan syara’.
Namun ulama ushul al-fiqih berbeda pendapat mengenai komitmen terhadap Nash, seperti at-Thufi, ia berpendapat bahwa independensi rasio harus ditegakkan dalam upaya menemukan kemashlahatan maupun kerusakan (mafsadah). Menurutnya, akal sehat manusia memiliki kompetensi untuk menentukan kemashlahatan dan kerusakan (mafsadah). Pendapat at-Thufi ini terjadi kontradiksi dengan al-Ghazali, menurutnya semua bentuk kemashlahatan harus dikembalikan kepada Nash, al-Qur’an, al-Hadits, dan Ijma’, karena kemashlahatan yang hanya didasarkan pada rasio manusia rentan dengan kepentingan hawa nafsu.
  1. Dasar Penetapan Maqashid Asy-Syari’ah
Berdasarkan ketetapan ulama’ ushul al-fiqih, bahwa maqashid asy-syari’ah (tujuan syari’at) adalah untuk mewujudkan kemashlahatan bagi manusia di dunia dan akhirat, yang terealisasi dalam bentuk menarik kemanfaatan dan menolak bahaya serta kerusakan.[4] Dalam hal ini para ulama’ ushul al-fiqih mempertegas terhadap ketetapan tersebut dengan beberapa argumennya, antara lain:
a.       Berdasarkan hasil istiqra’ terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum yang ada didalam mengandung kemashlahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini, Allah SWT berfirman[5] :
”Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Menurut para mufassir, kata ”Rahmat” pada ayat di atas mengandung pengertian bahwa Nabi Muhammad SAW di utus dimuka bumi adalah sebagai rahmat bagi orang-orang mukmin, berupa kemashlahatan di dunia dan akhirat, dan diakhirkannya siksaan bagi orang-orang kafir.[6]
Dan firman Allah SWT surat an-Nisaa’ (4) ayat 165:
”(mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Hasil istiqra’ ulama’ ushul al-fiqih tersebut juga diperkuat oleh hukum-hukum juz’iyyah, seperti dalam ayat yang menerangkan wudlu’, Allah SWT berfirman dalam surat al-Maa’dah (5) ayat 6:
”... Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,..”.
Dan ayat yang menerangkan tentang kewajiban berpuasa, Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah (2) ayat 183:
”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”
Dan ayat yang berkaitan dengan masalah shalat, Allah SWT berfirman dalam surat al-’Ankabuut (29) ayat 45:
”...Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar...”

Dan ayat yang menerangkan tentang qiblat, Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah (2) ayat 150:
”... Maka Palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu...”

Dan ayat tentan jihad, Allah SWT berfirman dalam surat al-Hajj (22) ayat 39:
”Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya... ”

Dan ayat tentang Qishas, Allah SWT dalamm surat al-Baqarah (2) ayat 179:
”Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”

Dan ayat tentang pengakuan atas ke-Esa-an Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-’Araaf (7) ayat 172:
"...Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",

Ayat-ayat di atas merupakan hasil istiqra’ ulama ushul al-fiqih yang menunjukkan bahwa hukum Allah SWT yang ada dalam nash al-Qur’an mengandung kemashlahatan bagi manusia di dunia dan akhirat.[7]
b.      Berdasarkan asumsi bahwa kemashlahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Jika syari’at Islam hanya terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, maka akan membawa kesulitan bagi manusia dan sebaliknya, jika Islam bersifat elstis-adaptabel (murunah) dalam penetapan hukumnya, maka akan membawa kemudahan bagi manusia dan ini sesuai dengan misi agungnya, yaitu rahmatan lil ’alamiin.[8]
c.       Jumhur ulama juga menyandarkan kepada perbuatan sahabat tentang penetapan mashlahah sebagai dalil syara’, seperti aktifitas yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar as-Siddiq dalam membukukan al-Qur’an atas saran sahabat Umar bin Khattab ra sebagai salah satu bentuk kemashlahatan untuk melestarikan al-Qur’an, penyerahan kekuasaan sahabat Abu Bakar ra kepada sahabat Umar bin Khattab ra, menetapkan adanya penjara atau mencetak mata uang pada masa sahabat Umar bin Khattab ra, dan lain-lain. Dimana semua bentuk aktifitas para sahabat tersebut tidak ada indikasi dari syara’ ditolak atau tidak.[9]
Lain halnya dengan pandangan at-Thufi, ia berpendapat bahwa mashlahah merupakan hujjah terkuat yang secara mandiri dapat dijadikan sebagai landasan hukum. Ia tidak membagi mashlahah sebagaimana yang dilakukan oleh jumhur ulama. Menurut at-Thufi ada empat prinsip yang menjadi alasan, mengapa mashlahah menjadi hujjah yang independen.
a.       Akal bebas menentukan kemashlahatan dan kemafsadatan. Menurut at-Thufi, akal manusia dapat menentukan kemashlahatan secara independen dalam bidang muamalah dan adat. Pandangan ini berbeda dengan jumhur ulama’ yang mengatakan bahwa sekalipun kemashlahatan dan kemadlaratan itu dapat dicapai dengan akal, namun kemashlahatan itu juga harus mendapat dukungan dari nash atau ijma’ baik bentuk sifat maupun jenisnya. karena kemashlahatan yang hanya diperoleh dengan melalui rasio sangat rentan dengan kepentingan hawa nafsu belaka.
b.      Mashlahat merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum tanpa harus ada dukungan dari nash. Menurutnya, mashlahah adalah sesuatu yang dianggap mashlahah oleh akal, tanpa harus ada dukungan dari nash-nash syar’iyyah, hanya dicukupkan dengan kebiasaan dan riset. Mashlahah  merupakan dalil terkuat diantara dalil-dalil syar’iyyah.
c.       Mashlahah yang dimaksud at-Thufi disini hanya berlaku dalam masalah muamalah dan adat kebiasaan. Sedangkan dalam masalah ibadah yang sudah ditentukan oleh syara’, seperti shalat wajib, puasa pada bulan ramadlan selama satu bulan, thawaf dll. tidak termasuk obyek mashlahah, karena masalah seperti ini merupakan hak Allah SWT Semata.
d.      Mashlahah merupakan dalil syara’ yang paling kuat, sehingga jika terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah maka yang harus didahulukan adalah mashlahah dengan metode tahksis dan bayan.[10]


[1] Munawir Abdul Fatah dan Adib Bisri, al-Bishri, cet I, hal. 559
[2] Wahbah az-Zukhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Op.Cit, hal. 307.
[3] Lihat: Muhammad bin Husen bin Hasan al-Jaizani, Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘Inda Ahli as-Sunnah Wal al-Jama’ah, Dar Ibnu Jauzi, tt, hal. 364; Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawi, Maqashid Asy-Syari’ah ‘Inda Ibnu Taimiyah, Dar an-Nafa’is, tt, hal. 522;
[4] Wahbah az-Zukhaili, Al-Wajiz Fi Ushul Al-Fiqih, Op.Cit, hal. 217
[5] Al-Anbiya’(21):107
[6] Abu al-Barakaat an-Nasafi, Madaarik at-Tanziil Wa Haqaiq at-Ta’wil, Op.Cit, juz, II, hal. 342;  Abu al-Husen bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, Darun Thayyibatun, Cet, XIIIX, 1997,  Juz V, hal. 359; Abu Ja’Far at-Thabari, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an, Mu’assah ar-Risalah, Cet I, 2000, juz XIIX, hal. 552
[7]Wahbah az-Zukhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Op.Cit, hal. 307-308
[8] Islam adalah agama universal, komprehensip (syumuli), lengkap dengan dimensi esoterik dan eksoteriknya. Sebagai agama universal (rahmatan lil ‘alamin), Islam mengenal sistem perpaduan antara apa yang disebut konstan- nonadaptabel (tsabat), dan elstis-adaptabel (murunah). Dalam artian, di satu sisi Islam tidak mengenal perubahan oleh apa pun karena berkaitan dengan persoalan-persoalan ritus agama yang transenden, di sisi lain, Islam menerima akses perubahan sepanjang tidak bergeser dari kerangka dasarny berupa maqashid asy-syari’ah demi mengayomi kebaikan (mashlahat) hamba-Nya di dunia dan akhirat. Lihat: Abu Yasid, Islam Akomodatif: Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama Universal, Op.Cit, hal. 1
[9] Ibnu Amir al-Haaj, at-Taqrir wa at-Tahyiir ‘Ala Ibni al-Himam fi ilmi al-Ushul al-Jaami’ Baina ishthilahi al-Hanafiyah Wa asy-Syafi’iyyah, Sofware Maktabah Syamilah al-Ishdar ats-Tsani, juz VI, hal. 124
[10] Wahbah az-Zukhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Op.Cit, hal. 93-95

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id