Sabtu, 06 Juli 2013

BAB II (Tesis) C



BAB II (C)
  1. Kategori Maqashid Asy-Syari’ah
Maqashid asy-syari’ah (tujuan-tujuan syari’at) adalah untuk memelihara dan menciptakan kemashlahatan bagi manusia di dunia dan akhirat. Berdasarkan istqra’ para ulama ushul al-fiqh, maqashid asy-syari’ah meliputi lima hal, yaitu: memelihara agama (hifdh ad-Din), memelihara jiwa (hifdh an-Nafs), memelihara memelihara akal (hifdh al-’aql), memelihara keturunan (hifdh al-ardl), dan memelihara harta (hifdh al-Mal).[1] Dari lima hal tersebut para ulama ushul al-fiqih mengategorikan dalam tiga tingkatan, sesuai dengan kualitas dan kebutuhannya, tiga kategori tersebut adalah: (1) kebutuhan dlaruriyat (primer), (2) kebutuhan al-hajjiyah (kebutuhan sekunder), dan (3) kebutuhan at-tahsiniyat (kebutuhan tersier)
1.      Kebutuhan ad-Dlaruriyah (primer) adalah kemashlahatan mendasar yang menyangkut dalam mewujudkan dan melindungi eksistensi kelima pokok diatas, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jika kemashlahatan ini hilang, maka kehidupan manusia bisa hancur, tidak selamat di dunia maupun di akhirat. Menurut asy-syathibi, dengan kelima hal di atas itulah agama dan dunia dapat berjalan dengan seimbang dan apabila dipelihara akan dapat memberi kebahagiaan bagi umat manusia. Kelima unsur diatas diisyaratkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya[2] :
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Para ahli ushul al-fiqih menyatakan bahwa sekalipun kasus yang diungkapkan ayat di atas tertuju kepada wanita, tetapi hal itu juga berlaku kepada pria. Dalam hal ini, menurut mereka diisyaratkan masalah-masalah mendasar yang perlu dipelihara menurut manusia. Yaitu: tidak syirik (dalam rangka memelihara agama), tidak mencuri (dalam rangka memelihara harta orang lain), tidak berzina (dalam rangka menjaga keturunan dan kehormatan), tidak membunuh (dalam rangka memelihara jiwa).
2.      Kebutuhan al-Hajjiyah (sekunder) adalah dalam rangka perwujudan dan perlindungan yang diperlukan dalam melestarikan lima pokok tersebut di atas, tetapi kadar kebutuhanya berada dibawah kebutuhan ad-Dlaruriyah (primer). Tidak terpeliharanya kebutuhan Hajjiyah tidak akan mengancam eksistensi lima pokok tersebut, tetapi membawa kepada kesempitan baik dalam usaha mewujudkan maupun dalam pelaksanaannya. Sedangkan dalam ajaran Islam kesempitan itu perlu disingkirkan, sebagaimana dalam persoalan puasa, orang mukallaf yang sedang sakit atau dalam perjalanan pada bulan suci Ramadlan diperbolehkan tidak puasa, tapi harus diganti pada hari lain selain bulan Ramadlan. Dalam hal ini Allah SWT  berfirman[3] :
”(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Dalam kasus lain, misalnya dalam perjalanan seorang mukallaf sanggup untuk melaksanakan puasa dan sanggup pula melaksakan shalat tanpa men-jama’ dan meng-qashar. Akan tetapi, apabila dia berpuasa dan shalat sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak dalam perjalanan, maka ia akan menemui beberapa kesulitan. Artinya, melaksanakan puasa atau shalat sebagaimana biasanya akan lebih sulit dibanding dengan melakukannya ketika tidak dalam perjalanan. Untuk mengatasi kesulitan itu, syara’ menetapkan hukum rukhsah, sehingga dengan adanya rukhsah (keringanan) ini orang yang berada dalam perjalanan boleh menangguhkan puasanya dan mengganti puasanya diluar bulan Ramadlan.  sebagaimana firman Allah SWT[4] :
”(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Dan dibolehkan juga baginya untuk meng-qashar atau men-jama’ shalatnya, sebagaimana firman Allah SWT[5] :
”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.

3.      Kebutuhan al-Tahsiniyah (tersier) dimaksudkan untuk mewujudkan dan memelihara hal-hal yang menunjang peningkatan kualitas ke lima pokok kebutuhan mendasar manusia di atas dan menyangkut hal-hal yang terkait dengan makarim al-akhlaq. Tidak terwujud dan terpeliharanya kebutuhan at-tahsiniyah ini tidaklah mengakibatkan terancamnya eksistensi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, serta tidak membawa kepada kesulitan kelima pokok tersebut, melainkan dapat menyalahi kepatutan dan menurunkan martabat pribadi serta masyarakat.[6] Dalam masalah agama, misalnya, manusia dituntut untuk bersuci dan menjauhi najis serta hal-hal yang dianggap kotor. Dalam memelihara jiwa manusia terikat dengan sopan santun, makan dan minum tidak boleh berlebihan, dalam memelihara keturunan terikat dengan tata cara pergaulan rumah tangga, dalam memelihara akal dilarang hal-hal yang dapat mengganggu akal, dalam memelihara  harta benda ditetapkan berbagai batasan dan sopan santun dalam mendapatkan dan memanfaatkan nya. Menurut ulama ushul al-fiqih, syari’at Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk mewujudkan dan memelihara tiga kategori tersebut. Dengan melaksanakan taklif syari’at-Nya kebutuhan-kebutuhan itu akan terwujud dan terpelihara, sekaligus membawa kebahagiaan bagi manusia di dunia dan akhirat.


[1] Mengenai urutan pemeliharaan terhadap lima hal tersebut para ulama’ berbeda pendapat: a. Menurut al-Ghazali; Ad-Din, An-Nafs, Al-‘Aql, An-Nasl, Dan  Al-Mal, b. Menurut al-Qarafi; An-Nufus, Al-Adyan, Al-Ansaab, Al-‘Uquul, Al-Al-Amwaal, c. Menurut Tajuddin as-Subki; Ad-Diin, An-Nafs, Al-‘Aql, An-Nasab, Al-Mal, dan Al-‘Ardh. Lihat: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul, Sofware Maktabah Syamilah al-Ishdar ats-Tsani, juz I, hal. 438; al-Qarafi, Syarkhu Tanqikhi Al-Fushul, Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1997, hal. 391; Tajuddin As-Subki, Hasyiyah Al-Bannani ‘Ala Syarkh Al-Mahalli ‘Ala Matni Jam’i Al-Jawami’, dar al-Fikr Beirut, juz II, hal. 281
[2] Al-mumtahanah (60) ayat 12
[3] Al-Baqarah (2) ayat 185
[4] Al-Baqarah (2) ayat 184
[5] An-Nisaa’(4) ayat 101
[6] Khalid Ramdlan Hasan, Mu’jam Ushul al-Fiqih, Dar ar-Raudlah, tt, hal. 80

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id