BAB
II (C)
- Kategori Maqashid Asy-Syari’ah
Maqashid
asy-syari’ah
(tujuan-tujuan syari’at) adalah untuk memelihara dan menciptakan kemashlahatan
bagi manusia di dunia dan akhirat. Berdasarkan istqra’ para ulama ushul al-fiqh, maqashid asy-syari’ah meliputi lima hal, yaitu:
memelihara agama (hifdh
ad-Din),
memelihara jiwa (hifdh
an-Nafs), memelihara
memelihara akal (hifdh
al-’aql),
memelihara keturunan (hifdh
al-ardl),
dan memelihara harta (hifdh
al-Mal).[1] Dari lima hal tersebut
para ulama ushul al-fiqih mengategorikan dalam tiga tingkatan, sesuai dengan
kualitas dan kebutuhannya, tiga kategori tersebut adalah: (1) kebutuhan dlaruriyat (primer), (2) kebutuhan al-hajjiyah (kebutuhan sekunder), dan (3)
kebutuhan at-tahsiniyat (kebutuhan tersier)
1.
Kebutuhan ad-Dlaruriyah (primer) adalah kemashlahatan mendasar yang menyangkut
dalam mewujudkan dan melindungi eksistensi kelima pokok diatas, yaitu agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jika kemashlahatan ini hilang, maka kehidupan
manusia bisa hancur, tidak selamat di dunia maupun di akhirat. Menurut
asy-syathibi, dengan kelima hal di atas itulah agama dan dunia dapat berjalan
dengan seimbang dan apabila dipelihara akan dapat memberi kebahagiaan bagi umat
manusia. Kelima unsur diatas diisyaratkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya[2] :
”Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan
Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh
anak-anaknya, tidak akan berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan
kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah
janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Para ahli ushul al-fiqih menyatakan bahwa sekalipun kasus yang
diungkapkan ayat di atas tertuju kepada wanita, tetapi hal itu juga berlaku
kepada pria. Dalam hal ini, menurut mereka diisyaratkan masalah-masalah
mendasar yang perlu dipelihara menurut manusia. Yaitu: tidak syirik (dalam
rangka memelihara agama), tidak mencuri (dalam rangka memelihara harta orang
lain), tidak berzina (dalam rangka menjaga keturunan dan kehormatan), tidak
membunuh (dalam rangka memelihara jiwa).
2.
Kebutuhan al-Hajjiyah (sekunder) adalah dalam rangka perwujudan dan
perlindungan yang diperlukan dalam melestarikan lima pokok tersebut di atas,
tetapi kadar kebutuhanya berada dibawah kebutuhan ad-Dlaruriyah (primer). Tidak terpeliharanya
kebutuhan Hajjiyah tidak akan mengancam
eksistensi lima pokok tersebut, tetapi membawa kepada kesempitan baik dalam
usaha mewujudkan maupun dalam pelaksanaannya. Sedangkan dalam ajaran Islam
kesempitan itu perlu disingkirkan, sebagaimana dalam persoalan puasa, orang mukallaf yang sedang sakit atau dalam perjalanan
pada bulan suci Ramadlan diperbolehkan tidak puasa, tapi harus diganti pada
hari lain selain bulan Ramadlan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman[3] :
”(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.
Dalam kasus lain, misalnya dalam perjalanan
seorang mukallaf sanggup untuk melaksanakan puasa dan
sanggup pula melaksakan shalat tanpa men-jama’ dan meng-qashar. Akan tetapi, apabila dia berpuasa dan
shalat sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak dalam perjalanan,
maka ia akan menemui beberapa kesulitan. Artinya, melaksanakan puasa atau
shalat sebagaimana biasanya akan lebih sulit dibanding dengan melakukannya
ketika tidak dalam perjalanan. Untuk mengatasi kesulitan itu, syara’ menetapkan
hukum rukhsah, sehingga dengan adanya rukhsah (keringanan) ini orang yang berada dalam perjalanan boleh
menangguhkan puasanya dan mengganti puasanya diluar bulan Ramadlan. sebagaimana firman Allah SWT[4]
:
”(yaitu) dalam
beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan[114], Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Dan dibolehkan juga baginya untuk meng-qashar atau men-jama’ shalatnya, sebagaimana firman Allah
SWT[5]
:
”Dan apabila
kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar
sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya
orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
3.
Kebutuhan al-Tahsiniyah (tersier) dimaksudkan untuk
mewujudkan dan memelihara hal-hal yang menunjang peningkatan kualitas ke lima
pokok kebutuhan mendasar manusia di atas dan menyangkut hal-hal yang terkait
dengan makarim al-akhlaq. Tidak terwujud dan
terpeliharanya kebutuhan at-tahsiniyah ini tidaklah
mengakibatkan terancamnya eksistensi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta,
serta tidak membawa kepada kesulitan kelima pokok tersebut, melainkan dapat
menyalahi kepatutan dan menurunkan martabat pribadi serta masyarakat.[6] Dalam masalah agama,
misalnya, manusia dituntut untuk bersuci dan menjauhi najis serta hal-hal yang
dianggap kotor. Dalam memelihara jiwa manusia terikat dengan sopan santun,
makan dan minum tidak boleh berlebihan, dalam memelihara keturunan terikat
dengan tata cara pergaulan rumah tangga, dalam memelihara akal dilarang hal-hal
yang dapat mengganggu akal, dalam memelihara
harta benda ditetapkan berbagai batasan dan sopan santun dalam
mendapatkan dan memanfaatkan nya. Menurut ulama ushul al-fiqih, syari’at
Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk mewujudkan dan memelihara tiga kategori
tersebut. Dengan melaksanakan taklif
syari’at-Nya kebutuhan-kebutuhan itu akan terwujud dan terpelihara, sekaligus
membawa kebahagiaan bagi manusia di dunia dan akhirat.
[1] Mengenai urutan
pemeliharaan terhadap lima hal tersebut para ulama’ berbeda pendapat: a.
Menurut al-Ghazali; Ad-Din,
An-Nafs, Al-‘Aql, An-Nasl, Dan Al-Mal, b. Menurut al-Qarafi; An-Nufus, Al-Adyan, Al-Ansaab, Al-‘Uquul,
Al-Al-Amwaal,
c. Menurut Tajuddin as-Subki; Ad-Diin, An-Nafs, Al-‘Aql, An-Nasab, Al-Mal, dan Al-‘Ardh. Lihat: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul, Sofware Maktabah
Syamilah al-Ishdar ats-Tsani, juz I, hal. 438; al-Qarafi, Syarkhu Tanqikhi Al-Fushul, Maktabah al-Kulliyah
al-Azhariyah, 1997, hal. 391; Tajuddin As-Subki, Hasyiyah Al-Bannani ‘Ala Syarkh Al-Mahalli ‘Ala
Matni Jam’i Al-Jawami’, dar al-Fikr Beirut, juz II, hal. 281
[2] Al-mumtahanah (60) ayat
12
[3] Al-Baqarah (2)
ayat 185
0 komentar:
Posting Komentar