Sabtu, 06 Juli 2013

BAB III (Tesis) D

0 komentar


BAB III (D)
  1. Temuan Penelitian
Berdasarkan analisa penulis yang terkait dengan upaya untuk memahami konsep maqashid asy-syari’ah al-Ghazali. Bahwa kecenderungan al-Ghazali dalam memihak teks lebih diprioritaskan dari pada  realitas sosial. Menurutnya, kemashlahatan yang menjadi tujuan syari’ dalam pensyari’atan harus berpihak pada teks, baik al-Qur’an, as-Sunnah, atau al-Ijma’. Maqashid asy-Syari’ah sepenuhnya berada dalam otoritas teks, walaupun terjadi kontradiksi dengan fakta, seperti dalam persoalan seorang raja berkumpul (jima’) dengan istrinya pada siang hari bulan ramadlan. Dalam hadits, orang yang melakukan hubungan seksual (jima’) dengan istrinya pada siang hari bulan ramadlan mendapat sangsi dari syari. Sangsi ini tidak memberi ketentuan apakah bagi penguasa atau rakyat biasa?, yaitu memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 fakir miskin.
Menurut sebagian ulama’, jika seorang raja dikenai sangsi untuk memerdekakan budak hal ini mudah baginya untuk membayar dan ia tidak akan jera atas sangsi itu, sehingga yang lebih tepat adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Secara rasional pendapat ini dapat dibenarkan, karena pada prinsipnya sangsi berupa apapun adalah dalam rangka untuk kemashlahatan makhluq. Dalam persoalan ini adalah agar manusia jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Walaupun secara rasio pendapat di atas dapat dibenarkan, tetapi karena hal ini bertentangan dengan teks, maka al-Ghazali menganggap sebagai pendapat yang batil atau dalam istilah al-Ghazali al-Mulgha. Dalam  artian, pendapat tersebut tidak dapat dibenarkan karena bertentangan teks. Teks mengatakan sangsi pertama adalah memerdekakan budak, jika tidak mampu ia harus puasa dua bulan berturut-turut, dan yang terakhir adalah memberi makan 60 fakir miskin.
Pada sisi lain, al-Ghazali dapat membenarkan metode qiyas sebagai hal yang tidak bertentangan dengan maqashid asy-syari’ah. Metode ini didominasi oleh keumuman lafadz, dalam pengertian, jika ada teks yang redaksinya bersifat umum, maka teks tersebut harus diaplikasikan berdasarkan semua cakupannya tanpa harus memperhatikan historisitas lahirnya teks. Ia mengistilahkan dengan ” al-Mashlahah al-Mu’tabarah. Sebagaimana pendapatnya:

Selanjutnya, al-Ghazali berpendapat jika dalam wujud tidak adanya pengakuan maupun pembatalan dari syari’, maka hal ini juga dapat dibenarkan keberadaannya sebagai bagian dari maqashid asy-syari’ah, dengan syarat harus tetap mengacu pada al-Qur’an, as-Sunnah, dan al-Ijma’. Dalam istilahnya ”al-Mashlahah al-Mursalah”. Sebagaimana pendapatnya:

Dalam merealisasikan lima unsur pokok di atas, al-Ghazali membagi menjadi tiga tingkatan, yaitu ar-Rutbah adh-dharuriyah, al-Hajjiyah, dan ar-Rutbah at-Tahsiniyah.
Pada tingkatan pertama, al-Ghazali memposisikan sebagai kebutuhan yang paling pokok. Tanpa terpenuhinya kebutuhan ini, maka dalam pandangan syari’ kehidupan manusia dianggap kacau. Sedangkan tingkatan kedua adalah dalam rangka untuk menghilangkan kesukaran dan kesulitan serta memberikan kemudahan bagi mukallaf. Dan tingkatan yang terakhir adalah sifatnya sebagai pelengkap. Dalam artian, keberadaannya hanya untuk menyempurnakan lima unsur pokok, yaitu  perlindungan tehadap agama (hifzh ad-din), perlindungan terhadap jiwa (hifzd an-Nafs), perlindungan terhadap akal (hifzh al-’Aql), perlindungan terhadap keturunan (hifzh an-Nasl), dan perlindungan terhadap harta (hifzh al-Mal).

BAB III (Tesis) C

0 komentar


BAB III (C)
  1. Konsep Maqashid asy-Syari’ah al-Ghazali
Dalam sketsa Ilmu ushul al-fiqih, al-Ghazali banyak memberikan kesan mengenai maqashid asy-syari’ah. Menurutnya, maqahid asy-syari’ah harus selalu mengacu kepada teks syara’, sebagaimana statemennya:
“kami mengembalikan mahslahah kepada pemeliharaan terhadap tujuan syar’i, sementara itu maqashid asy-syar’i hanya dapat diketahui dengan al-Kitab (al-Qur’an), as-Sunnah, dan al-Ijma’”[1]

Kemashlahatan yang secara substansi menjadi tujuan syari’ harus selalu mengacu pada teks, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, dan al-Ijma’. Dengan demikian, al-Ghazali menegaskan bahwa metode rasionalitas teks didominasi oleh keumuman lafadz bukan kekhususan sebab, sebagaimana perkataannya:
  Adapun lafadz yang keumumannya berdiri secara independent, yang datang atas suatu sebab, maka sebab yang datang tersebut tidak diperhatikan”[2]

Dalam pengertian, jika ada teks yang redaksinya bersifat umum, maka teks tersebut harus diaplikasikan berdasarkan semua cakupannya tanpa harus memperhatikan historisitas lahirnya teks.
Mashlahah yang merupakan tujuan syari’ dalam pensyari’atan, oleh al-Ghazali dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu dari aspek penilaian syari’ terhadap eksistensi mashlahah, dan mashlahah dari aspek kualitas yang dimilikinya.
Bagian pertama, yaitu mashlahah dari aspek penilaian syari’ terhadap eksistensi mashlahah. Mashlahah ini terbagi menjadi tiga, yaitu:
1.      Al-Mashlahah al-Mu’tabarah atau dalam istilah al-Ghazali Syahida Asy-Syar’u Li’tibariha, yaitu kemashlahatan yang diakui keberadaanya oleh syara’. Menurutnya, mashlahah ini dapat diperoleh dengan metode Qiyas, artinya menggali hukum berdasarkan rasionalitas nash dan ijma’. Seperti pengharaman segala bentuk minuman yang memabukkan dengan cara di-Qiyas-kan pada khamr yang telah di-nashs-kan oleh al-Qur’an. Hukum haram ini terdapat nilai mashlahah, yaitu untuk memelihara akal[3].
2.      Al-Mashlahah al-Mulgha atau dalam istilah al-Ghazali Maa syahida asy-syar’u li buthlanihi. mashlahah ini biasanya terjadi kontradiktif dengan Nash, baik al-Qur’an maupun Hadits atau Ijma’. Al-Ghazali mencontohkan, menurut pendapat sebagian ulama’: ”apabila seorang raja menggauli istrinya pada siang hari di bulan ramadlan maka ia dikenakan denda kafarat puasa dua bulan berturut-turut sebagai ganti dari denda memerdekakan budak. Pertimbangannya adalah seorang raja tidak akan jera jika hanya dengan memerdekakan budak. Hal ini karena seorang raja akan dengan mudah membayar denda tersebut. Oleh karenanya, akan lebih mashlahah jika seorang raja di denda dengan puasa dua bulan berturut-turut.
Bentuk kemashlahatan seperti di atas tidak dapat diakui oleh syara’, sebab ada unsur kontradiksi dengan nash yang secara jelas nash itu memuat hirarki kafarat pada kasus ini. Dengan demikian, sang raja tetap dibebani hukuman kafarat sesuai dengan urutan yang ada dalam Nash, yaitu memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin.[4]
3.      Mashlahah yang didiamkan syara’ (al-mashlahah al-mursalah) atau dalam istilah al-Ghazali Maa lam yasyhad lahu min asy-syar’i bi al-buthlani wala bi al-’Itibari, dalam wujud tidak adanya pengakuan maupun pembatalan dari syari’. Seperti pengumpulan dan pembukuan kitab suci al-Qur’an.[5] 
Sedangkan mashlahah dari segi real power atau kualitas yang dimilikinya, al-Ghazali membagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: ar-Rutbah adl-Dlaruriyah, ar-Rutbah al-Hajjiyah, dan ar-Rutbah at-Tahsiniyah dan at-Tazyinaat.[6]
1.      Adl-Dlaruriyah dideskripsikan sebagai sebuah bangunan primer kehidupan manusia yang sangat menentukan bagi kesejahteraannya. Terjaminnya aspek ini berarti terjaminnya manusia akan kesejahteraan di dunia dan di akhirat, sebaliknya jika aspek ini tidak terjaga dengan baik, maka kehidupan manusia dalam pandangan syari’at akan menjadi kacau. Kemashlahatan yang harus dipelihara oleh manusia terbagi menjadi lima atau dikenal dengan istilah mabadi’ al-khamsah, yaitu perlindungan tehadap agama (hifzh ad-din), perlindungan terhadap jiwa (hifzd an-Nafs), perlindungan terhadap akal (hifzh al-’Aql), perlindungan terhadap keturunan (hifzh an-Nasl), dan perlindungan terhadap harta (hifzh al-Mal). Dari semua aktifitas yang mengandung lima macam di atas disebut sebagai mashlahah. Sebaliknya, semua yang bertentangan dengan lima macam di atas adalah mafsadah.
2.      Hajjiyah merupakan mashlahah bentuk kedua yang sifatnya sekunder, artinya keberadaannya dimaksudkan untuk menghilangkan kesukaran dan kesulitan serta memberikan kemudahan bagi mukallaf, artinya ketiadaan kemashlahatan ini tidak sampai mempengaruhi stabilitas kehidupan manusia dalam mewujudkan kemashlahatan yang diinginkan oleh syari’.
3.      Tahsiniyyah atau Tazyinaat merupakan bentuk mashlahah ketiga dan merupakan kebutuhan tersier (pelengkap), yang berarti mengambil tindakan yang lebih baik dalam rangka mewujudkan lima unsur tersebut dan menjauhi hal-hal yang tidak disukai oleh orang-orang bijak.


[1] Al-Imam al-Ghazali, al-Mustashfa min al-Ilm al-Ushul, sofware CD maktabah syamilah al-ishdar ats-tsani, juz I, hal. 449
[2] Al-Imam al-Ghazali, al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul, sofware CD maktabah syamilah al-ishdar ats-tsani, juz I, hal. 224
[3] Menurut al-Ghazali, akal merupakan tempat bergantungnya hukum (manath al-hukmi), sehingga mukallaf harus selalu memeliharanya.
[4] Al-Imam al-Ghazali, al-Mustashfa Min ilm al-Ushul, Sofware CD Maktabah Syamilah, al-ishdar ats-tsani, juz I, hal. 437
[5] Ibid.
[6] Ibid, hal. 438

BAB III (Tesis) B

0 komentar


BAB III (B)
1.      Karya-karya Ilmiah al-Ghazali
Sebagai tokoh intelektual, al-Ghazali sangat intensif di bidang tulis menulis, ini dapat kita lihat karya-karya yang ia hasilkan sebagaimana berikut:
a.       Tentang akhlaq dan tasawuf: Ihya’ Ulum ad-Din (menghidupkan ilmu-ilmu agama), Minhaj al-‘Abidin (jalan orang-orang yang beribadah), Kimiya’ as-Sa’adah (kimia kebahagiaan), al-Munqiz min ad-Dlalal (penyelamat bagi kesesatan), Akhlaq al-Abrar wa an-Najah min al-Asyrar (akhlaq oranq-orang yang baik dan keselamtan dari kejahatan), Misykah al-Anwar (sumber cahaya), Asrar ilm ad-Din (rahasia ilmu agama), al-Durar al-Fakhirah fi Kasyf ‘Ulum al-Akhirah (mutia-mutiara yang megah dalam menyingkap ilmu-ilmu akhirat), al-Qurbah ila Allah ‘azza wajalla (mendekatkan diri kepada allah yang maha mulia dan maha agung);
b.      Tentang fiqih: al-Basith (yang sederhana), al-Wasith (yang pertengahan), al-Wajiz (yang ringkas), az-Zari’ah ila Makarim asy-Syari’ah (jalan menuju syari’at mulia), dan at-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk (batang logam mulia: uraian tentang nasihat kepada para raja).
c.       Tentang ushul al-fiqih: al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul (pilhan yang tersaring dari noda-noda ushul), Syifa’ al-Ghalil fi Bayan asy-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik at-Ta’lil (obat orang yang dengki: tentang hal-hal yang samar serta cara-cara peng-‘ilat-an), Tahdzib al-Ushul (elaborasi terhadap ilmu ushul al-fiqih), dan al-Mushtasfa min ‘Ilm al-Ushul (pilihan dari ilmu ushul al-fiqih).
d.      Tentang filsafat: Maqashid al-Falasifah (tujuan para filosof), Tahafut al-Falasifah (kekacauan para filosof), Mizan al-‘Amal (timbangan amal).
e.       Tentang ilmu kalam: al-Iqtishad fi al-‘Itiqad (kesederhanaan dalam ‘itiqad), Faisal at-Tafriqah bain al-Islam wa az-Zandaqah (garis pemisah antara Islam dan kezindikan), dan al-Qistas al-Mustaqim (timbangan yang lurus)
f.       Tentang ilmu al-Qur’an: Jawahir al-Qur’an (mutiara-mutiara al-Qur’an), Yaqut at-Ta’wil fi at-Tafsir at-Tanzil (permata takwil dalam menafsirkan al-Qur’an).
2.      Potret Intelektual Al-Ghazali
Al-Ghazali merupakan tokoh intelektual yang menguasai berbagai pengetahuan yang meliputi: al-fiqh, ushul al-fiqih, tasawuf, filsafat, politik. Ini terbukti dengan adanya beberapa karya tulis sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.
Dalam bidang fiqih khususnya yang terkait dengan politik (al-fiqh as-Siyasi). Al-Ghazali berpendapat bahwa pengangkatan pemimpin dalam hal ini adalah kepala Negara merupakan suatu keharusan bagi agama. Menurutnya, bahwa tujuan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan materiil dan duniawi saja, lebih dari itu, yaitu untuk mempersiapkan kehidupan yang bahagia di akhirat. Persiapan itu harus dilakukan melalui pengalaman dan penghayatan terhadap ajaran agama secara tepat dan benar. Pengalaman dan persiapan itu dapat dicapai apabila dunia dalam keadaan tertib, aman, dan tentram. Maka untuk mewujudkan ketertiban, keamanan, dan suasana yang tentram tersebut diperlukan pemimpin atau kepala negara yang  mengaturnya.
Selanjutnya al-Ghazali berpendapat bahwa kerajaan merupakan anugerah Allah SWT yang diberikan kepada hamba-Nya yang dikehendaki.[1] Pendapat ini didasarkan atas firman Allah SWT surat Ali Imran (3) ayat 26:
“Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Ini berarti kerajaan atau kekuasaan kepala Negara merupakan mandat yang diberikan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya yang ia kehendaki. Karenanya, kekuasaan kepala Negara adalah suci, dan menjadi wajib bagi rakyat untuk mentaati serta melaksanakan perintahnya, dengan syarat perintah tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan Allah SWT.[2] Hal ini didasarkan oleh firman Allah SWT surat an-Nisa’ (4) ayat 59:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.[3] kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Dari pendapat al-Ghazali tersebut, ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh pemimpin atau kepala negara, ini dimaksudkan untuk menjaga tindakan kesewenang-wenangan pemimpin atau kepala negara terhadap rakyatnya. Dalam hal ini al-Ghazali mengemukakan sepuluh persyaratan yang harus dimiliki oleh pemimpin atau kepala negara, sepuluh persyaratan itu yaitu: Kepala negara harus Aqil-Baliqh, Berakal sehat, Merdeka, (bukan Budak), Laki-laki, Keturunan dari suku Quraisy, Memiliki pendengaran dan penglihatan yang sehat, Memiliki kekuasaan yang nyata, dalam arti memiliki aparat pemerintahan yang memadai, termasuk angkatan bersenjata yang tangguh sehingga dapat digunakan untuk menumpas para pemberontak, Memiliki intelektualitas yang sempurna, serta ditunjang dengan kesediaan bermusyawarah, mendengarkan pendapat serta nasihat orang lain, Memiliki ilmu pengetahuan, dan Memiliki sifat wara’.
Selain sebagai al-Faqih (ahli dalam bidang fiqih), ia juga ahli dalam bidang tasawuf (sufi). Dalam kaitan ini, al-Ghazali berpendapat bahwa dalam persoalan ibadah, kita tidak cukup hanya memperhatikan aspek-aspek dlahir saja, tetapi juga harus memperhatikan aspek bathin. Dalam persoalan ibadah, pengkajian al-Ghazali menembus sampai pada aspek-aspek spiritual serta mendalami berbagai rahasia dan hikmahnya. Misalnya dalam persoalan thaharah, menurutnya, thaharah bukan hanya sekedar bersuci dari hadats, yang secara hukum dipandang kotor oleh syara’, ”Khabits” yang secara materiil dipandang kotor oleh syara’. Dalam term ini al-Ghazali membagi tingkatan thaharah menjadi empat, yaitu: Penyucian diri dari noda-noda dlahir meliputi hadats dan khabats, Penyucian diri dari dosa dan kesalahan, Penyucian hati dari akhlaq-akhlaq madzmumah (tercela), dan Penyucian Sirr dari selain Allah SWT.[4]
Contoh lain, dalam persoalan khusyu’ al-Ghazali mengartikannya:“ suasana hati yang membuat seseorang sadar akan ucapan dan perbuatan dalam melakukan sesuatu.[5] Dengan demikian, khusyu’ sama az-dzikr (ingat) dan lawannya adalah al-ghaflah (lalai). Menurutnya, khusyu’ merupakan syarat sahnya shalat. Ia mendasarkan pada firman Allah SWT:[6]
Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.”

Dan juga mendasarkan pada firman Allah SWT:[7]
”dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang lalai.”

Menurut al-Ghazali, bentuk (Amar) perintah pada ayat pertama menunjukkan bahwa khusyu’ didalam shalat adalah wajib dan bentuk (Nahi) larangan yang terdapat pada ayat kedua menunjukkan bahwa (Ghaflah) lalai dalam shalat adalah haram. Ia menambahkan argumentasinya, bahwa suasana dalam shalat merupakan munajat kepada Allah SWT dengan sepenuh hati. Seperti ketika mengucapkan surat al-fatihah (1) ayat 6.
” Tunjukilah[8]kami jalan yang lurus,”

Apabila ayat tersebut tidak diucapkan dengan khusyu’ maka tidak disebut do’a, tetapi hanya dianggap sebagai kata-kata yang mengalir dari mulut secara sia-sia.
Pemikiran al-Ghazali dalam bidang ushul al-fiqih dapat dilihat dalam persoalan Qiyas. Dalam pembahasannya ia menjelaskan secara luas mengenai Qiyas bahkan ia menulis kitab yang berjudul: Syifa’ al-Ghalil fi Bayan asy-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik at-Ta’lil (obat orang yang dengki: tentang hal-hal yang samar serta cara-cara peng-‘ilat-an), dalam kitab ini, al-Ghazali banyak menguraikan tentang Qiyas beserta contoh-contoh praktis, bahkan untuk menambah urainnya, al-Ghazali banyak membuat contoh imajiner (al-mauhumah): ia menghayalkan seakan-akan ada orang lain yang membantah pendapatnya, lalu ia menjawabnya sendiri.
Contohnya, al-Ghazali mengemukakan kaidah bahwa ”illat hukum dapat ditetapkan dengan adanya isyarat yang ada dalam nash (al-Qur’an maupun Hadits). Seperti dalam firman Allah SWT surat al-Ma’idah (5) ayat 6:
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

Huruf Fa’ dalam ayat ini berarti mengiringi suatu perbuatan dalam wudlu’( membasuh wajah.......). menurut al-Ghazali, ’illat yang menyebabkan seseorang harus wudlu’ adalah shalat. Lalu, ia mengemukakan dialog imajinernya sebagaimana berikut. Umpamanya ada orang berkata, ”anda mengatakan bahwa surat al-Ma’idah (5) ayat 6 menunjukkan bahwa shalat menjadi ’illat yang menyebabkan perbuatan berwudlu’, padahal ijma’ menetapkan bahwa hal yang menyebabkan wajibnya wudlu’ adalah hadats; dan apabila seseorang akan melaksanakan shalat, sedangkan ia telah berwudlu’ dan tidak berhadats, ia tidak wajib berwudlu’. Kemudian al-Ghazali menjawab; ”wudlu diwajibkan karena akan melakukan shalat. Oleh sebab itu, orang yang berhadats tidak wajib berwudlu’ kalau ia tidak hendak melaksanakan shalat. Dengan demikian shalat merupakan ’illat yang menyebabkan seseorang wajib berwudlu’.  


[1] Al-Imam al-Ghazali, at-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk, CD Maktabah Syamilah, al-Ishdar ats-Tsani, Juz I, hal 16
[2] Ibid.
[3] Para ulama berbeda pendapat mengenai arti “Ulil amri” , (1) Ulil amri adalah Fuqaha’ dan ulama’ yang mengajarkan ilmu agama kepada manusia, sehingga mentaati mereka adalah wajib, (2) ulil amri adalah para Imam, sulthan/penguasa, dan Qadli/Hakim, wajib taat kepada mereka selama perkara yang diperintahkan tidak mengandung maksiat kepada Allah SWT. Pendapat kedua inilah sesuai dengan al-Ghazali di atas. Lihat: Muhammad al-Farra’ al-Baghawi, Tafsir Al-Baghawi, CD Maktabah Syamilah, Juz II, hal. 238; Fathul Al-Qadir, CD Maktabah Syamilah, Juz II, hal 166; Bahrul Al-Ulum Li As-Samarqandi, CD Maktabah Syamilah, Juz I, hal. 394; al-Khazin, sofware CD maktabah syamilah al-ishdar ats-tsani, juz II, hal. 119
[4]  Al-Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, Dar al-Kutub al-Ilmiah, Baerut-Lebanon, tt , Jilid I, hal. 151
[5] Dalam persoalan khusyu’ , al-Ghazali banyak menampilkan ayat dan hadits yang dijadikan dasar bahwa khusyu’ merupakan syarat sahnya shalat, ayat di atas hanya contoh kecil tentang khusyu’. Lihat: Ibid, hal. 178-179 
[6] Surat Thaha (20) ayat 14
[7] Surat al-’Araf (7) ayat 205
[8] Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.
 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id