BAB III (B)
1. Karya-karya
Ilmiah al-Ghazali
Sebagai tokoh intelektual, al-Ghazali sangat intensif di bidang tulis
menulis, ini dapat kita lihat karya-karya yang ia hasilkan sebagaimana berikut:
a.
Tentang akhlaq dan tasawuf: Ihya’ Ulum ad-Din (menghidupkan ilmu-ilmu agama), Minhaj al-‘Abidin (jalan orang-orang yang
beribadah), Kimiya’ as-Sa’adah
(kimia
kebahagiaan), al-Munqiz min
ad-Dlalal (penyelamat
bagi kesesatan), Akhlaq al-Abrar
wa an-Najah min al-Asyrar (akhlaq oranq-orang yang baik dan keselamtan dari
kejahatan), Misykah al-Anwar (sumber cahaya), Asrar ilm ad-Din (rahasia ilmu agama), al-Durar al-Fakhirah fi Kasyf ‘Ulum al-Akhirah
(mutia-mutiara
yang megah dalam menyingkap ilmu-ilmu akhirat), al-Qurbah ila Allah ‘azza wajalla (mendekatkan diri kepada
allah yang maha mulia dan maha agung);
b.
Tentang fiqih: al-Basith (yang sederhana), al-Wasith (yang pertengahan), al-Wajiz (yang ringkas), az-Zari’ah ila Makarim asy-Syari’ah (jalan menuju syari’at
mulia), dan at-Tibr al-Masbuk
fi Nasihah al-Muluk (batang logam mulia: uraian tentang nasihat kepada para
raja).
c.
Tentang ushul al-fiqih: al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul (pilhan yang tersaring
dari noda-noda ushul), Syifa’
al-Ghalil fi Bayan asy-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik at-Ta’lil (obat orang yang
dengki: tentang hal-hal yang samar serta cara-cara peng-‘ilat-an), Tahdzib al-Ushul (elaborasi terhadap ilmu ushul
al-fiqih), dan al-Mushtasfa
min ‘Ilm al-Ushul (pilihan dari ilmu ushul al-fiqih).
d.
Tentang filsafat: Maqashid al-Falasifah (tujuan para filosof), Tahafut al-Falasifah (kekacauan para filosof), Mizan al-‘Amal (timbangan amal).
e.
Tentang ilmu kalam: al-Iqtishad fi al-‘Itiqad (kesederhanaan dalam ‘itiqad), Faisal at-Tafriqah bain al-Islam wa az-Zandaqah (garis pemisah antara
Islam dan kezindikan), dan al-Qistas
al-Mustaqim
(timbangan yang lurus)
f.
Tentang ilmu al-Qur’an: Jawahir al-Qur’an (mutiara-mutiara al-Qur’an), Yaqut at-Ta’wil fi at-Tafsir at-Tanzil (permata takwil dalam
menafsirkan al-Qur’an).
2.
Potret Intelektual Al-Ghazali
Al-Ghazali merupakan tokoh intelektual yang menguasai berbagai
pengetahuan yang meliputi: al-fiqh, ushul al-fiqih, tasawuf, filsafat, politik.
Ini terbukti dengan adanya beberapa karya tulis sebagaimana yang telah kami
sebutkan di atas.
Dalam bidang fiqih khususnya yang terkait dengan politik (al-fiqh as-Siyasi). Al-Ghazali berpendapat bahwa
pengangkatan pemimpin dalam hal ini adalah kepala Negara merupakan suatu
keharusan bagi agama. Menurutnya, bahwa tujuan manusia dalam bermasyarakat dan
bernegara tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan materiil dan duniawi saja,
lebih dari itu, yaitu untuk mempersiapkan kehidupan yang bahagia di akhirat.
Persiapan itu harus dilakukan melalui pengalaman dan penghayatan terhadap
ajaran agama secara tepat dan benar. Pengalaman dan persiapan itu dapat dicapai
apabila dunia dalam keadaan tertib, aman, dan tentram. Maka untuk mewujudkan
ketertiban, keamanan, dan suasana yang tentram tersebut diperlukan pemimpin
atau kepala negara yang mengaturnya.
Selanjutnya al-Ghazali berpendapat bahwa kerajaan merupakan anugerah Allah
SWT yang diberikan kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Pendapat ini didasarkan atas
firman Allah SWT surat Ali Imran (3) ayat 26:
“Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai
kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau
cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan
Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”
Ini berarti kerajaan atau kekuasaan kepala Negara merupakan mandat yang
diberikan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya yang ia kehendaki. Karenanya, kekuasaan
kepala Negara adalah suci, dan menjadi wajib bagi rakyat untuk mentaati serta
melaksanakan perintahnya, dengan syarat perintah tersebut tidak bertentangan
dengan aturan-aturan Allah SWT. Hal ini didasarkan oleh
firman Allah SWT surat an-Nisa’ (4) ayat 59:
“ Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”
Dari pendapat al-Ghazali tersebut, ada beberapa syarat yang harus
dimiliki oleh pemimpin atau kepala negara, ini dimaksudkan untuk menjaga
tindakan kesewenang-wenangan pemimpin atau kepala negara terhadap rakyatnya. Dalam
hal ini al-Ghazali mengemukakan sepuluh persyaratan yang harus dimiliki oleh
pemimpin atau kepala negara, sepuluh persyaratan itu yaitu: Kepala negara harus
Aqil-Baliqh, Berakal sehat,
Merdeka, (bukan Budak), Laki-laki, Keturunan dari suku Quraisy, Memiliki
pendengaran dan penglihatan yang sehat, Memiliki kekuasaan yang nyata, dalam
arti memiliki aparat pemerintahan yang memadai, termasuk angkatan bersenjata
yang tangguh sehingga dapat digunakan untuk menumpas para pemberontak, Memiliki
intelektualitas yang sempurna, serta ditunjang dengan kesediaan bermusyawarah,
mendengarkan pendapat serta nasihat orang lain, Memiliki ilmu pengetahuan, dan Memiliki
sifat wara’.
Selain sebagai al-Faqih (ahli dalam bidang fiqih),
ia juga ahli dalam bidang tasawuf (sufi). Dalam kaitan ini, al-Ghazali berpendapat
bahwa dalam persoalan ibadah, kita tidak cukup hanya memperhatikan aspek-aspek dlahir saja, tetapi juga harus
memperhatikan aspek bathin. Dalam persoalan
ibadah, pengkajian al-Ghazali menembus sampai pada aspek-aspek spiritual serta
mendalami berbagai rahasia dan hikmahnya. Misalnya dalam persoalan thaharah, menurutnya, thaharah bukan hanya sekedar bersuci
dari hadats, yang secara hukum dipandang kotor oleh syara’, ”Khabits” yang secara materiil
dipandang kotor oleh syara’. Dalam term ini al-Ghazali
membagi tingkatan thaharah menjadi empat, yaitu: Penyucian
diri dari noda-noda dlahir meliputi hadats dan khabats, Penyucian diri dari dosa dan kesalahan, Penyucian hati
dari akhlaq-akhlaq madzmumah (tercela), dan
Penyucian Sirr dari selain Allah SWT.
Contoh lain, dalam persoalan khusyu’ al-Ghazali mengartikannya:“
suasana hati yang membuat seseorang sadar akan ucapan dan perbuatan dalam
melakukan sesuatu. Dengan demikian, khusyu’
sama az-dzikr (ingat) dan lawannya
adalah al-ghaflah (lalai). Menurutnya,
khusyu’ merupakan syarat sahnya shalat. Ia mendasarkan pada firman Allah SWT:
“Sesungguhnya
aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku
dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.”
Dan juga mendasarkan pada firman
Allah SWT:
”dan sebutlah
(nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan
tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu Termasuk
orang-orang yang lalai.”
Menurut al-Ghazali, bentuk (Amar) perintah pada ayat pertama menunjukkan bahwa khusyu’ didalam shalat adalah wajib dan bentuk (Nahi) larangan yang terdapat pada ayat kedua menunjukkan bahwa (Ghaflah) lalai dalam shalat adalah haram. Ia menambahkan
argumentasinya, bahwa suasana dalam shalat merupakan munajat kepada Allah SWT dengan
sepenuh hati. Seperti ketika mengucapkan surat al-fatihah (1) ayat 6.
” Tunjukilahkami jalan
yang lurus,”
Apabila ayat tersebut tidak diucapkan
dengan khusyu’ maka tidak disebut do’a, tetapi hanya dianggap
sebagai kata-kata yang mengalir dari mulut secara sia-sia.
Pemikiran al-Ghazali dalam bidang ushul al-fiqih dapat dilihat dalam
persoalan Qiyas. Dalam pembahasannya ia menjelaskan secara luas mengenai Qiyas
bahkan ia menulis kitab yang berjudul: Syifa’ al-Ghalil fi Bayan asy-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik at-Ta’lil (obat orang yang
dengki: tentang hal-hal yang samar serta cara-cara peng-‘ilat-an), dalam kitab ini, al-Ghazali banyak menguraikan
tentang Qiyas beserta contoh-contoh praktis, bahkan untuk menambah urainnya, al-Ghazali
banyak membuat contoh imajiner (al-mauhumah): ia menghayalkan seakan-akan ada orang lain yang membantah
pendapatnya, lalu ia menjawabnya sendiri.
Contohnya, al-Ghazali mengemukakan kaidah bahwa ”illat hukum dapat ditetapkan dengan adanya isyarat yang ada
dalam nash (al-Qur’an maupun Hadits).
Seperti dalam firman Allah SWT surat al-Ma’idah (5) ayat 6:
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau
dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,
lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik
(bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Huruf Fa’ dalam ayat ini berarti
mengiringi suatu perbuatan dalam wudlu’( membasuh wajah.......). menurut al-Ghazali,
’illat yang menyebabkan seseorang harus
wudlu’ adalah shalat. Lalu, ia mengemukakan dialog imajinernya sebagaimana
berikut. Umpamanya ada orang berkata, ”anda mengatakan bahwa surat al-Ma’idah
(5) ayat 6 menunjukkan bahwa shalat menjadi ’illat yang menyebabkan perbuatan berwudlu’, padahal ijma’
menetapkan bahwa hal yang menyebabkan wajibnya wudlu’ adalah hadats; dan apabila
seseorang akan melaksanakan shalat, sedangkan ia telah berwudlu’ dan tidak
berhadats, ia tidak wajib berwudlu’. Kemudian al-Ghazali menjawab; ”wudlu
diwajibkan karena akan melakukan shalat. Oleh sebab itu, orang yang berhadats
tidak wajib berwudlu’ kalau ia tidak hendak melaksanakan shalat. Dengan
demikian shalat merupakan ’illat
yang
menyebabkan seseorang wajib berwudlu’.