BAB IV
MAQASHID
ASY-SYARI’AH
DALAM
PERSPEKTIF ASY-SYATHIBI
A. Biografi Asy-Syathibi
Imam asy-Syathibi, nama
lengkapnya adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Garnati. Ia dilahirkan di
Granada pada tahun 730H dan meninggal pada hari Selasa tanggal 8 Sya’ban tahun
790 H/1388 M. Nama asy-Syathibi adalah nisbat kepada tempat kelahiran keluarganya, yaitu Syathibah (Xativa atau
Jativa di Spanyol Timur) meskipun asy-Syathibi sendiri tidak dilahirkan disana.
Karena, menurut catatan sejarah, kota jativa telah berada di bawah kekuasaan
kristen dan segenap umat Islam di usir dari sana sejak tahun 645 H/ 1247 M.,
hampir satu abad sebelum kelahiran asy-Syathibi
Pada
masa asy-Syathibi Granada merupakan pusat pendidikan Islam di Spanyol. Disana
terdapat universitas, dengan nama Universitas Granada. Yang didirikan pada masa
pemerintahan Yusuf Abu al-Hajjaj. Ada dugaan bahwa pendidikan asy-Syathibi
terkait dengan Universitas tersebut.
Dalam
kaitannya dengan pendidikan asy-Syathibi, ada beberapa nama yang tercatat dalam
sejarah sebagai guru asy-Syathibi, yaitu dalam bidang bahasa Arab : Ibnu
al-Fakhkhar al-Ilbiri (w. 754 H/1353 M), Abu Abdullah al-Balinsi, dan Abu Qasim
al-sabti (w. 760 H/1358 M), dalam bidang ushul al-Fiqih: Abu Abdullah Muhammad
bin Ahmad al-Maliki at-Talimsani (w. 771 H/1369 M), Imam al-Maqarri (w.758 H),
dan Khatib al-Marzuq, dan dalam bidang filsafat dan kalam: Abu Ali al-Mansur
al-Masyzali, Abu Abbas al-Qabab, dan Abu Abdullah al-Hifar.[1]
1.
Karya-karya Ilmiah asy-Syathibi
Sebagai seorang Ulama besar di zamannya, terutama bidang ushul al-Fiqih
dan sastra Arab, asy-Syathibi juga menulis beberapa buku, yang sampai saat ini
baru bisa dilacak sebanyak enam buah, sebagaimana berikut:
a.
Kitab al-Muwafaqat
Kitab ini
terdiri dari 4 juz dan awalnya kitab ini berjudul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif kemudian setelah Imam Syathibi
bermimpi, dirubah menjadi al-Muwafaqat
b.
Kitab al-I’tisham
Buku ini
terdiri dari dua juz dan ditulis setelah Kitab al-Muwafaqat. Dalam buku ini asy-sytahibi menjelaskan secara detail
tentang bid’ah dan hal-hal yang terkait dengan persoalan bid’ah.
c.
Kitab al-Majalis
Kitab ini
merupakan syarah dari Kitab al-Buyu’ yang terdapat dalam
Shahih al-Bukhari. Attanbakaty menilai faidah buku ini dengan menyebutnya: “Minal Fawaid Wa Al-Tahqiqat Ma La
Ya’lamuhu Illa Allah”.
d.
Kitab Syarakh al-Khulashah
Buku ini
adalah buku tentang Ilmu Nahwu yang merupakan penjelasan (syarah) dari Alfiyyah Ibn Malik. Buku ini ditulis dalam jumlah 4 juz dan menurut Attanbakaty, buku ini merupakan syarah Alfiyyah Ibn Malik terlengkap dan terbaik setelah
dilihat dari segi kedalaman dan keluasan ilmu yang dipaparkan
e.
Kitab Unwan al-Ittifaq Fi al-Ilm al-Isytiqaq
Buku ini
berisi tentang Ilmu Sharf dan Fiqh Lughah. Buku ini sudah tidak dapat
dijumpai lagi karena sudah lenyap sewaktu asy-Syathibi masih hidup.
f.
Kitab Ushul an-Nahwi
Buku ini
membahas tentang Qawaid
Lughah
dalam Ilmu Sharf dan Ilm Nahwu. Di dalam buku ini dibahas
tentang Qawaid Ashliyyah.
g.
Kitab al-Ifadaat Wa al-Insyadaat
Buku ini
khusus dibuat sebagai gambaran perjalanan hidup Imam Syathibi sekaligus menyebutkan
guru-guru dan murid-muridnya.
h.
Kitab Fatawa al-Syathibi
Buku ini
menampilkan fatwa-fatwa Imam asyy-Syathibi dan ditulis oleh muridnya.
Dari kedelapan buku yang disebutkan di-atas, buku al-Muwafaqat, Kitab al-I’tisham dan al-Ifaadat wa
al-Insyadaat
merupakan karya monumental asy-Syathibi. Hingga sekarang ketiga buku tersebut
tersebar luas di berbagai negeri muslim dan menjadi rujukan di berbagai
perguruan tinggi Islam.
2.
Potret Intelektual asy-Syathibi
Di kalangan para juris Islam, asy-Syathibi lebih dikenal sebagai pakar ilmu
ushul al-fiqih yang memiliki ketajaman tersendiri. Ciri khas dari konsep ushul
fiqihnya adalah terletak pada ketajaman dalam menganalisa pada setiap persoalan
hukum. Jika ushul fiqih sebelumnya lebih banyak menguraikan aspek bahasa dan kaidah-kaidahnya,
dan sedikit sekali membahas persoalan Maqashid asy-Syari’ah maka asy-Syathibi muncul dengan pembahasan yang lebih
detail dan spesifik mengenai Maqashid asy-Syari’ah. Meskipun asy-Syathibi juga membicarakan tentang aspek kebahasaan
(al-Lughawiyah), tetapi dalam pembahasan
dan analisisnya ia selalu mengaitkan Maqashid asy-Syari’ah. Menurutnya, syari’at Islam
diturunkan oleh Allah SWT adalah dalam rangka untuk mewujudkan dan memelihara kemaslahatan
manusia baik yang bersifat duniawi maupun ukhirawi. Oleh sebab itu, setiap
aktifitas mukallaf harus selalu memperhatikan
aspek mashlahah dan mafsadahnya suatu perbuatan serta harus mengambil
yang manfaat/mashlahah.
Dalam konsep maslahahnya, asy-Syathibi membagi ijtihad dalam dua
bentuk: ijtihad istinbati dan ijtihad tathbiqi.
Menurutnya, dalam ijtihad istinbathi
seorang mujtahid mengerahkan kemampuan nalarnya untuk memahami ayat atau
hadits, sehingga ia dapat menginterpretasi ide yang terkandung dalam teks.
Dalam ijtihad bentuk pertama ini, seorang mujtahid belum berhadapan dengan
obyek hukum. Setelah seorang mujtahid berhasil menangkap pesan yang terkandung
dalam teks al-Qur’an atau al-Hadits, maka ia baru berhadapan dengan persoalan
bagaimana mengekstraplorasi hukum kepada obyek hukum yang dihadapi. Jika hukum
yang dihasilkan oleh seorang mujtahid tersebut dapat diekstraplorasikan dengan
baik maka persoalan telah selesai. Tetapi sebaliknya, jika hukum yang dihasilkan
dari seorang mujtahid tersebut tidak mencapai kesempurnaan dalam penyelesaiannya
maka ia di anggap gagal dan justeru akan lebih memperkeruh persoalan.
Umpama
dalam surat at-Talaq ayat 2 Allah SWT berfirman:
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya,
Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena
Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan
baginya jalan keluar.“
Dalam kasus penceraian pada ayat di atas, seorang mujtahid mengetahui
dari ayat ini bahwa saksi harus dari seorang yang adil. Sifat adil inilah yang
akan menjadi obyek penetapan mujtahid pada mukallaf. Dalam kenyataannya, sifat
keadilan ini tidak dapat dilekatkan kepada setiap orang, karena ternyata
kualitas keadilan yang dimiliki seseorang berbeda-beda antara satu dengan lainnya.
Oleh sebab itu, adil yang terkandung dalam ayat tersebut bisa saja tidak
sejalan ketika diterapkan dengan realitas yang ada.
Contoh lain, sesuai dengan kaidah umum yang berlaku dalam hal gugatan
perkara, adalah bahwa pihak penggugat harus dapat mendatangkan alat bukti dan
pihak tergugat harus disumpah jika ia mengingkari. Hal ini sesuai dengan
hadits, dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam
Ahmad bin Hanbal, dan Ibnu Majah. Dalam kaitan dengan hadits atau kaidah di
atas, jika antara seorang pembeli dan penjual barang terjadi perbedaan tentang
barang yang akan dijual/dibeli, maka pembeli mengatakan akan membayar harga
barang menurut kehendaknya apabila barang sudah diserahkan, sedangkan penjual
juga menuntut harga barang yang diinginkan dari pembelinya sehingga ia mau
menyerahkan barang tersebut. Dalam kasus ini seorang mujtahid sulit untuk
menentukan siapa yang menggugat dan siapa yang harus mengemukakan alat bukti,
dan siapa pula yang tergugat hingga dikenakan sumpah apabila mengingkari. Oleh
sebab itu, kandungan hadits atau kaidah umum tersebut tidak dapat diterapkan
dan harus dicarikan jalan keluarnya sehingga sesuai dengan Maqashid
asy-Syari’ah. Dalam kaitan dengan inilah kalangan madzhab hanafi melihat bahwa
dalam kasus tersebut keduanya (penjual dan pembeli) sama-sama penggugat dan
dalam waktu yang bersamaan juga sekaligus menjadi pihak tergugat. Karenanya, kedua
belah pihak harus mengemukakan alat bukti dan sekaligus dikenakan sumpah.
Kedua kasus yang kami kemukakan di atas menunjukkan bahwa tidak selamanya
hasil ijtihad yang diperoleh seorang mujtahid dalam penerapannya harus
diberlakukan sebagaimana adanya, karena dalam kenyataannnya akan ditemui
kendala-kendala lain yang mesti menjadi pertimbangan penerapan hukum. Dalam
kaitan ini Imam asy-Syathibi secara detail membahas ijtihad tathbiqi
Ijtihad tathbiqi mengandung pengertian
bahwa dalam penerapannya ide hukum seorang mujtahid harus melakukan ijtihad
lain yang tidak kalah pentingnya dengan ijtihad istnbathi yang disebutkan di atas. Imam asy-Syathibi kelihatan
sangat memperhatikan kondisi sosio-kultural dan politik dalam menerapkan suatu
hukum. Disinilah letak kelebihan Imam asy-Syathibi menurut para juris Islam daripada
para pakar ushul al-fiqih lainnya.
[1] Abdul Azis Dahlan
(et.all), Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
cet. V, 2001, Jakarta, hal. 1699.
0 komentar:
Posting Komentar