Minggu, 07 Juli 2013

BAB IV (Tesis) A



BAB IV
MAQASHID ASY-SYARI’AH
 DALAM PERSPEKTIF ASY-SYATHIBI

A.    Biografi Asy-Syathibi
Imam asy-Syathibi, nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Garnati. Ia dilahirkan di Granada pada tahun 730H dan meninggal pada hari Selasa tanggal 8 Sya’ban tahun 790 H/1388 M. Nama asy-Syathibi adalah nisbat kepada tempat kelahiran keluarganya, yaitu Syathibah (Xativa atau Jativa di Spanyol Timur) meskipun asy-Syathibi sendiri tidak dilahirkan disana. Karena, menurut catatan sejarah, kota jativa telah berada di bawah kekuasaan kristen dan segenap umat Islam di usir dari sana sejak tahun 645 H/ 1247 M., hampir satu abad sebelum kelahiran asy-Syathibi
Pada masa asy-Syathibi Granada merupakan pusat pendidikan Islam di Spanyol. Disana terdapat universitas, dengan nama Universitas Granada. Yang didirikan pada masa pemerintahan Yusuf Abu al-Hajjaj. Ada dugaan bahwa pendidikan asy-Syathibi terkait dengan Universitas tersebut.
Dalam kaitannya dengan pendidikan asy-Syathibi, ada beberapa nama yang tercatat dalam sejarah sebagai guru asy-Syathibi, yaitu dalam bidang bahasa Arab : Ibnu al-Fakhkhar al-Ilbiri (w. 754 H/1353 M), Abu Abdullah al-Balinsi, dan Abu Qasim al-sabti (w. 760 H/1358 M), dalam bidang ushul al-Fiqih: Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Maliki at-Talimsani (w. 771 H/1369 M), Imam al-Maqarri (w.758 H), dan Khatib al-Marzuq, dan dalam bidang filsafat dan kalam: Abu Ali al-Mansur al-Masyzali, Abu Abbas al-Qabab, dan Abu Abdullah al-Hifar.[1]
1.      Karya-karya Ilmiah asy-Syathibi
Sebagai seorang Ulama besar di zamannya, terutama bidang ushul al-Fiqih dan sastra Arab, asy-Syathibi juga menulis beberapa buku, yang sampai saat ini baru bisa dilacak sebanyak enam buah, sebagaimana berikut:
a.       Kitab al-Muwafaqat
Kitab ini terdiri dari 4 juz dan awalnya kitab ini berjudul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif kemudian setelah Imam Syathibi bermimpi, dirubah menjadi al-Muwafaqat
b.      Kitab al-I’tisham
Buku ini terdiri dari dua juz dan ditulis setelah Kitab al-Muwafaqat. Dalam buku  ini asy-sytahibi menjelaskan secara detail tentang bid’ah dan hal-hal yang terkait dengan persoalan bid’ah.
c.       Kitab al-Majalis
Kitab ini merupakan syarah dari Kitab al-Buyu’ yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari. Attanbakaty menilai faidah buku ini dengan menyebutnya: “Minal Fawaid Wa Al-Tahqiqat Ma La Ya’lamuhu Illa Allah”.
d.      Kitab Syarakh al-Khulashah
Buku ini adalah buku tentang Ilmu Nahwu yang merupakan penjelasan (syarah) dari Alfiyyah Ibn Malik. Buku ini ditulis dalam jumlah 4 juz dan menurut Attanbakaty, buku ini merupakan syarah Alfiyyah Ibn Malik terlengkap dan terbaik setelah dilihat dari segi kedalaman dan keluasan ilmu yang dipaparkan
e.       Kitab Unwan al-Ittifaq Fi al-Ilm al-Isytiqaq
Buku ini berisi tentang Ilmu Sharf dan Fiqh Lughah. Buku ini sudah tidak dapat dijumpai lagi karena sudah lenyap sewaktu asy-Syathibi masih hidup.
f.        Kitab Ushul an-Nahwi
Buku ini membahas tentang Qawaid Lughah dalam Ilmu Sharf dan Ilm Nahwu. Di dalam buku ini dibahas tentang Qawaid Ashliyyah.
g.      Kitab al-Ifadaat Wa al-Insyadaat
Buku ini khusus dibuat sebagai gambaran perjalanan hidup Imam Syathibi sekaligus menyebutkan guru-guru dan murid-muridnya.
h.      Kitab Fatawa al-Syathibi
Buku ini menampilkan fatwa-fatwa Imam asyy-Syathibi dan ditulis oleh muridnya.
Dari kedelapan buku yang disebutkan di-atas, buku al-Muwafaqat, Kitab al-I’tisham dan al-Ifaadat wa al-Insyadaat merupakan karya monumental asy-Syathibi. Hingga sekarang ketiga buku tersebut tersebar luas di berbagai negeri muslim dan menjadi rujukan di berbagai perguruan tinggi Islam.
2.      Potret Intelektual asy-Syathibi
Di kalangan para juris Islam, asy-Syathibi lebih dikenal sebagai pakar ilmu ushul al-fiqih yang memiliki ketajaman tersendiri. Ciri khas dari konsep ushul fiqihnya adalah terletak pada ketajaman dalam menganalisa pada setiap persoalan hukum. Jika ushul fiqih sebelumnya lebih banyak menguraikan aspek bahasa dan kaidah-kaidahnya, dan sedikit sekali membahas persoalan Maqashid asy-Syari’ah maka asy-Syathibi muncul dengan pembahasan yang lebih detail dan spesifik mengenai Maqashid asy-Syari’ah. Meskipun asy-Syathibi juga membicarakan tentang aspek kebahasaan (al-Lughawiyah), tetapi dalam pembahasan dan analisisnya ia selalu mengaitkan  Maqashid asy-Syari’ah. Menurutnya, syari’at Islam diturunkan oleh Allah SWT adalah dalam rangka untuk mewujudkan dan memelihara kemaslahatan manusia baik yang bersifat duniawi maupun ukhirawi. Oleh sebab itu, setiap aktifitas mukallaf harus selalu memperhatikan aspek  mashlahah dan mafsadahnya suatu perbuatan serta harus mengambil yang manfaat/mashlahah.
Dalam konsep maslahahnya, asy-Syathibi membagi ijtihad dalam dua bentuk: ijtihad istinbati dan ijtihad tathbiqi.
Menurutnya, dalam ijtihad istinbathi seorang mujtahid mengerahkan kemampuan nalarnya untuk memahami ayat atau hadits, sehingga ia dapat menginterpretasi ide yang terkandung dalam teks. Dalam ijtihad bentuk pertama ini, seorang mujtahid belum berhadapan dengan obyek hukum. Setelah seorang mujtahid berhasil menangkap pesan yang terkandung dalam teks al-Qur’an atau al-Hadits, maka ia baru berhadapan dengan persoalan bagaimana mengekstraplorasi hukum kepada obyek hukum yang dihadapi. Jika hukum yang dihasilkan oleh seorang mujtahid tersebut dapat diekstraplorasikan dengan baik maka persoalan telah selesai. Tetapi sebaliknya, jika hukum yang dihasilkan dari seorang mujtahid tersebut tidak mencapai kesempurnaan dalam penyelesaiannya maka ia di anggap gagal dan justeru akan lebih memperkeruh persoalan.
Umpama dalam surat at-Talaq ayat 2 Allah SWT berfirman:
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.“

Dalam kasus penceraian pada ayat di atas, seorang mujtahid mengetahui dari ayat ini bahwa saksi harus dari seorang yang adil. Sifat adil inilah yang akan menjadi obyek penetapan mujtahid pada mukallaf. Dalam kenyataannya, sifat keadilan ini tidak dapat dilekatkan kepada setiap orang, karena ternyata kualitas keadilan yang dimiliki seseorang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Oleh sebab itu, adil yang terkandung dalam ayat tersebut bisa saja tidak sejalan ketika diterapkan dengan realitas yang ada.
Contoh lain, sesuai dengan kaidah umum yang berlaku dalam hal gugatan perkara, adalah bahwa pihak penggugat harus dapat mendatangkan alat bukti dan pihak tergugat harus disumpah jika ia mengingkari. Hal ini sesuai dengan hadits, dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibnu Majah. Dalam kaitan dengan hadits atau kaidah di atas, jika antara seorang pembeli dan penjual barang terjadi perbedaan tentang barang yang akan dijual/dibeli, maka pembeli mengatakan akan membayar harga barang menurut kehendaknya apabila barang sudah diserahkan, sedangkan penjual juga menuntut harga barang yang diinginkan dari pembelinya sehingga ia mau menyerahkan barang tersebut. Dalam kasus ini seorang mujtahid sulit untuk menentukan siapa yang menggugat dan siapa yang harus mengemukakan alat bukti, dan siapa pula yang tergugat hingga dikenakan sumpah apabila mengingkari. Oleh sebab itu, kandungan hadits atau kaidah umum tersebut tidak dapat diterapkan dan harus dicarikan jalan keluarnya sehingga sesuai dengan Maqashid asy-Syari’ah. Dalam kaitan dengan inilah kalangan madzhab hanafi melihat bahwa dalam kasus tersebut keduanya (penjual dan pembeli) sama-sama penggugat dan dalam waktu yang bersamaan juga sekaligus menjadi pihak tergugat. Karenanya, kedua belah pihak harus mengemukakan alat bukti dan sekaligus dikenakan sumpah.
Kedua kasus yang kami kemukakan di atas menunjukkan bahwa tidak selamanya hasil ijtihad yang diperoleh seorang mujtahid dalam penerapannya harus diberlakukan sebagaimana adanya, karena dalam kenyataannnya akan ditemui kendala-kendala lain yang mesti menjadi pertimbangan penerapan hukum. Dalam kaitan ini Imam asy-Syathibi secara detail membahas ijtihad tathbiqi
Ijtihad tathbiqi mengandung pengertian bahwa dalam penerapannya ide hukum seorang mujtahid harus melakukan ijtihad lain yang tidak kalah pentingnya dengan ijtihad istnbathi yang disebutkan di atas. Imam asy-Syathibi kelihatan sangat memperhatikan kondisi sosio-kultural dan politik dalam menerapkan suatu hukum. Disinilah letak kelebihan Imam asy-Syathibi menurut para juris Islam daripada para pakar ushul al-fiqih lainnya.


[1] Abdul Azis Dahlan (et.all), Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, cet. V, 2001, Jakarta, hal. 1699.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id