Minggu, 23 Juni 2013

SUMBER-SUMBER EKONOMI ISLAM

0 komentar


SUMBER-SUMBER HUKUM EKONOMI ISLAM
(Tugas Ekonomi Islam)
Hanif Asyhar

Pendahuluan
Sebagai agama yang berkarakter rabbani-universal-kontekstual[1], Islam telah menyediakan sistem yang khas untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup yang dihadapi oleh umatnya –salah satunya adalah persoalan ekonomi– sesuai dengan Kehendak Syari' (Yang Menetapkan Syari'at, Allah swt). Sistem ini disarikan oleh para ulama dari perjalanan hidup Nabi Muhammad saw, para sahabat, para tabi'in, dan para ulama sebelum mereka di dalam menyelesaikan berbagai persoalan hidup. Sistem ini diberi nama oleh para ulama dengan Ushul al-fiqh. Isinya, kaidah-kaidah yang dapat dipakai oleh seorang muslim untuk mengambil kesimpulan hukum dari sumber hukum utama; al-Qur`an dan as-Sunnah[2]. Istilah lainnya Metode Istimbath al- Ahkam.
Bagian terpenting dari sistem itu adalah Mashadirul Ahkam (Sumber-sumber hukum). Yang demikian itu karena metode Istimbathul Ahkam sendiri diambil dari Mashadirul Ahkam tersebut, di samping itu semua kesimpulan hukum yang dihasilkan oleh para mujtahid selalu berdasarkan kepada sumber-sumber hukum yang diakui oleh syariat. Dan seperti halnya bidang-bidang yang lain, Mashadirul Ahkam di bidang ekonomi –menurut ulama Ahlussunnah wal Jamaah– meliputi, al-Qur`an, as-Sunnah, al-Ijma', dan al-Mashlahah[3].
Al-Qur`an
Al-Qur`an adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan secara mutawatir, yang tertulis di dalam Mushhaf, dan dibaca oleh kaum muslimin di dalam shalat. Ayat-ayat al-Qur`an yang menjelaskan permasalahan hukum ada 550-an ayat dari 6000-an ayat[4]. Ulama ushuli mengklasifikasikan hukum yang terdapat di dalam al-Qur'an menjadi tiga bagian, antara lain:
  1. Hukum i'tiqadiyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan dimensi I'tiqad atau keyakinan, seperti kewajiban mempercayai Allah swt, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, dan hari kiamat
  2. Hukum khuluqiyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan kewajiban orang mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan perbuatan yang terpuji dan menghindari perbuatan tercela.
  3. Hukum amaliyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf, baik yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah.[5]
Banyak sekali ayat-ayat di dalam al-Qur'an yang menerangkan masalah-masalah hukum dan ada beberapa ayat yang secara spesifik berbicara tentang ekonomi. Bahkan ada ayat al-Qur'an yang menjadi pedoman pokok di dalam bidang ekonomi. Ayat-ayat itu antara lain:
Firman Allah
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah [2]: 275)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling makan harta sesama kalian secara batil, kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar saling rela di antara kalian. (QS. An-Nisa` [4]: 29)
Menurut Ibnu Katsir ayat ini mengindikasikan bahwa Allah swt telah melarang segala macam bentuk usaha yang tidak dibenarkan oleh syariat islam seperti riba, perjudian dan usaha-usaha yang menggunakan tipu muslihat.[6]
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian melaku kan utang-piutang untuk suatu masa tertentu, hendaklah kalian menulisnya. (QS. Al-Baqarah [2]: 282).
Ibnu Abbas berpendapat bahwa ayat ini turun dalam konteks akad salam yang dilakukan oleh penduduk Madinah, kemudian oleh ijma' ulama ayat ini diberlakukan terhadap semua akad muamalah yang berkonsekuensi timbulnya hutang[7]
Hendaklah kalian tolong-menolong untuk kebaikan dan takwa; dan janganlah kalian tolong-menolong untuk dosa dan permusuhan. (QS. Al-Maidah [5]: 2)
Dengan memperhatikan beberapa ayat di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa islam senantiasa mengajarkan kepada umat manusia untuk melakukan kegiatan ekonomi yang sejalan dengan nilai-nilai kebaikan dan ketaqwaan. Nilai-nilai itu berupa tidak boleh melakukan kecurangan atau penipuan ketika melakukan akad transaksi, sebab hal itu tidak mencerminkan unsur keadilan, sehingga akan ada pihak yang merasa dirugikan.
As-Sunnah
As-Sunnah atau Hadits adalah ucapan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad saw[8]. As-sunnah yang dilihat dari aspek perbuatan nabi saw ada enam macam, diantaranya:
ü  Perbuatan Nabi Saw yang timbul dari kebiasaan beliau sebagai manusia, seperti makan, minum, berdiri, duduk, dan lain sebagainya. Hukumnya mubah (boleh) untuk dilakukan oleh umatnya, akan tetapi jika dilakukan dengan berniat mengikuti Nabi Saw, maka hukumnya menjadi "mandub". 
ü  Perbuatan Nabi Saw yang sifatnya khusus untuk beliau, tidak untuk ummatnya, seperti shalat tahajjud yang hukumnya wajib bagi beliau, tetapi bagi umatnya adalah sunnah.
ü  Perbuatan Nabi Saw. dalam rangka menjelaskan ke-mujmal-an lafadz yang terdapat dalam al-Qur'an. Sementara konsekuensi hukum yang harus diterima Nabi sebagai mubayyin adalah wajib, artinya beliau wajib menyampaikan tentang makna mujmal yang terdapat dalam al-Qur'an.
ü  Perbuatan Nabi Saw. yang berada antara tataran syar'i dan jibilli (watak kemanusiaan), seperti berhaji dengan menggunakan kendaraan, turun dari mahshob (tempat melempar jumrah di Mina). Dalam poin ini para ulama berbeda pendapat, apakah mengendarai Nabi Saw. ketika berhaji dan turunnya beliau dari mahshob akan diarahkan sebagai perbuatan yang tidak bernilai syar'i ataukah bernilai syar'i? Menurut sebagian ulama mengatakan bahwa perbuatan Nabi yang seperti itu tidak bernilai syar'i dan tidak pernah dianjurkan kepada umatnya. Sedangkan ulama lain berpendapat bahwa hal itu bernilai syar'i dan dianjurkan kepada umatnya, sebab Nabi Saw diutus untuk menjelaskan syariat agama Islam.
ü  Perbuatan Nabi Saw. yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah yang di sana terdapat indikasi hukum wajib, mandub atau sunnah, maka hal itu pun berlaku bagi umat-Nya.
ü  Perbuatan Nabi yang berlaku pula bagi umatnya, tetapi tidak diketahui apakah mengindikasikan wajib, mandub ataukah mubah. Maka para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini, diantara mereka ada yang mengatakan wajib, mandub, mubah dan ada pula sebagian ulama yang tidak berpendapat demikian, karena mereka harus terlebih dahulu mengetahui adanya dalil atau indikasi yang menunjukkan identitas suatu hukum dari perbuatan Nabi Saw[9]
Hadits ada yang shahih, ada yang hasan, dan ada yang dha'if. Hadits yang dapat dijadikan hujjah adalah hadits yang shahih dan hasan. Yakni hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang dengan sifat-sifat tertentu dan tidak terputus di antara mereka, sejak dari mukharij (perawi terakhir) sampai kepada Rasulullah saw. dan tidak ada penyakit atau cacat padanya[10].
Ada banyak sekali hadits yang menjelaskan masalah ekonomi. Di antaranya:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
Dari Ibnu Umar r.a, bersabda nabi saw: "Penjual dan pembeli itu boleh memilih (meneruskan atau membatalkan transaksinya) selama belum berpisah. (HR. al-Bukhariy)
Dalam fiqh klasik dikatakan bahwa akad khiyar (boleh memilih) tidak bisa gugur dengan matinya salah satu orang yang melakukan transaksi di dalam satu majlis, sehingga status khiyar (boleh memilih) bisa berpindah kepada ahli warisnya. Akan tetapi jika tidak ditemukan ahli waris yang layak untuk mengkhiyar akad transaksi, maka seorang imam harus memilih orang lain yang lebih layak diberi kewenangan untuk meneruskan akad transaksi atau membatalkannya.[11]
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي
Barang siapa yang menipu maka bukan termasuk golongan aku.[12]
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهُ
Dari Jabir bin Abdullah, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas, Rasulullah saw. melarang menjual buah sehingga tampak matangnya (siap untuk dipanen).[13]
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, "Bahwa nabi Muhammad saw pernah datang ke kota Madinah dan beliau melihat penduduk Madinah memesan kurma dengan jangka waktu dua tahun atau tiga tahun, lalu beliau bersabda barang siapa yang memesan sesuatu, maka pesanlah sesuatu yang dapat diketahui takaran dan timbangannya sampai jangka waktu yang telah ditentukan.[14] 
Al-Ijma'
Al-Ijma' adalah kesepakatan seluruh mujtahid muslim pada suatu masa atas hokum syara’.[15] Faktor yang mendukung terhadap Kehujjahan al-Ijma' ada tiga macam, antara lain
1. Al-Qur`an. Allah Swt berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (Q.S. an-Nisa', 59).
Ibnu Abbas menafsirkan lafadz ulil amri dengan para mujtahid dan ahli fatwa, sehingga dengan penafsiran yang dikemukakan oleh ibnu abbas mengindikasikan bahwa wajib mengikuti segala keputusan yang telah disepakati oleh kalangan mujtahid (ulama).[16]
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (Q.S. an-Nisa', 115)
Dalam ayat ini Allah Swt. telah mengancam terhadap orang-orang yang tidak mengikuti jalan kaum mukminin. Oleh karena itu wajib hukumnya mengikuti jalan kaum mukminin yang berupa perbuatan dan perkataan mereka.[17]   
2. Hadits Nabi saw yang berbunyi,
إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ
Sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul atas suatu kesesatan (HR. Ibnu Majah)
3. Landasan syar'i yang menjadi pedoman para mujtahid untuk memutuskan hukum secara ijma (sepakat). Ijtihad mereka tidak akan pernah terlepas dari pemahaman teks yang mereka pahami, kaidah-kaidah syar'i, prinsip-prinsip umum, urf dan mashlahat mursalah. Dengan adanya landasan syar'i yang melatarbelakangi para mujtahid untuk sepakat menghukumi persoalan atau peristiwa yang terjadi ditengah-tengah mereka, maka hal itu membuktikan bahwa landasan syar'i yang mereka gunakan adalah qath'i (pasti).
Di antara perkara yang telah disepakati oleh para ulama dalam bidang ekonomi adalah haramnya riba, haramnya berbuat zhalim kepada orang lain, haramnya menipu dalam berdagang, dan lain sebagainya. Ada juga kesepakatan mereka yang berupa kaidah, seperti kaidah berikut:
الأصل في المعاملة الإباحة إلا ما دل الدليل على خلافه
Hukum asal segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali ada dalil yang menunjukkan tidak mubah.
             Tetapi bukan berarti semua ijma’ dapat dijadikan pedoman hokum, dalam hal ini para ulama’ merumuskan kriteria-kriteria ijma’ yang bisa dijadikan dasar hokum, antara lain;
  1. Ada beberapa mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. Karena kesepakatan tidak mungkin dicapai kecuali dari beberapa pendapat yang saling memiliki kesesuaian. Jika pada waktu itu ada beberapa mujtahid, tidak ada sama sekali atau hanya seorang mujtahid saja, maka ijma’ tersebut tidak sah. Oleh sebab itu pada masa rasul dapat dikatakan tidak ada ijma’ karena beliau sendiri sebagai mujtahid.
  2. Kesepakatan atas hokum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal negara, kebangsaan, atau kelompoknya. Bila ada kesepakatan atas hokum syara’ mengenai suatu peristiwa oleh mujtahid Haramain, Iraq, Hijaz, keluarga nabi, atau mujtahid Ahlus Sunnah tidak termasuk Syi’ah, maka kesepakatan masing-masing negara, kelompok dan golongan tersebut tidak sah menurut hokum syara’. Karena pada prinsipnya ijma’ tidak sah kecuali dengan kesepakatan umum dari semua elemen mujtahid dunia islam pada masa terjadinya peristiwa itu.
  3. Kesepakatan mereka diawali dengan pengungkapan pendapat masing-masing mujtahid. Pendapat itu diungkapkan dalam bentuk perkataan seperti fatwa atas suatu peristiwa, atau perbuatan seperti bentuk putusan hokum. Atau diungkapkan secara peorangan mujtahid, kemudian pendapat masing-masing dikumpulkan ditemukan adanya kesepakatan. Atau diungkapkan secara kolektif, yaitu semua mujtahid dunia islam berkumpul pada masa terjadinya suatu peristiwa kemudian peristiwa itu diajukan kepada mereka, dan setelah mereka bertukar pendapat dari berbagai aspek, mereka semua sepakat atas satu hokum mengenai peristiwa tersebut.
  4. Kesepakatan itu benar-benar dari seluruh mujtahid dunia islam. Bila yang bersepakat hanya mayoritas , maka kesepakatan itu tidak disebut ijma’ meskipun yang tidak sepakat hanya minoritas. Karena jika masih ada pertentangan, maka dimungkinkan benar dalam satu segi dan salah dalam segi yang lain, sedangkan hasil ijma’ dari para ulama mujtahid dianggap Qath’i[18]

Al-Mashlahah
Al-Mashlahah adalah spirit syariat Islam. Secara etimologi, mashlahah mempunyai makna yang identik dengan manfaat, keuntungan, kenikmatan, kegembiraan, atau segala upaya yang dapat mendatangkan hal itu. Namun, dalam terminologi syariat, ulama Ushul al-fiqh berbeda pendapat mengenai batasan dan definisi mashlahah. Tetapi pada tataran substansi, mereka boleh dibilang sampai pada satu kesimpulan bahwa mashlahah adalah suatu kondisi dari upaya untuk mendatangkan sesuatu yang berdampak positif (manfaat) serta menghindarkan diri dari hal-hal yang berdimensi negatif (madharat). Asy-Syathibi (w. 790 H.) dalam karyanya, al-Muwafaqat, menjelaskan bahwa "disyariatkannya ajaran Islam tidak lain hanyalah untuk memelihara kemashlahatan umat manusia di dunia dan di akhirat."[19]
Sedangkan mi'yar atau tolak ukur mashlahah dalam Islam –menurut al-Ghazali (w. 505 H.), sebagaimana dikutip oleh Dr. Abu Yasid– tidak dapat dikembalikan kepada penilaian manusia ansich. Sebab penilaian manusia amat rentan akan pengaruh dorongan nafsu insaniyah. Sebaliknya, tolak ukur mashlahah harus dikembalikan kepada kehendak atau tujuan syariat (maqashidu asy-syari'ah) yang pada intinya terangkum dalam al-Mabadi`u al-Khamsah. Yaitu perlindungan terhadap agama (hifzhu ad-din), perlindungan terhadap jiwa (hifzhu an-nafs), perlindungan terhadap akal pikiran (hifzhu al-'aql) perlindungan terhadap keturunan (hifzhu an-nasl), dan perlindungan terhadap harta benda. Maka, segala hal yang mengandung unsur perlindungan terhadap lima hal di atas, disebut mashlahah. Sebaliknya, semua yang menafikannya bisa disebut mafsadat (kebalikan mashlahah).[20]
Kesimpulan dan Penutup
Hukum-hukum dalam persoalan ekonomi tidak akan diakui eksistensinya menurut Syara' kecuali jika bersumber kepada salah satu dari keempat hal ini: al-Qur`an, as-Sunnah, al-Ijma', dan al-Mashlahah. Jika ada suatu persoalan ekonomi, ternyata bertentangan dengan salah satu dari keempatnya, maka persoalan itu dinyatakan batal demi Syari'at. Wallahu a'lam bish shawab.



[1] DR.Yusuf Qardhawiy dalam Al-Khashaish al-'Ammah li al-Islam (edisi Indonesia: KARAKTERISTIK ISLAM; Kajian Analitik, Risalah Gusti-Surabaya) menyebutkan ada tujuh karakteristik agama Islam; yaitu: Rabbaniyah (Ketuhanan), Insaniyah (Kemanusiaan), Syumul (Universal), al-Wasathiyah (Moderat), al-Waqi'iyah (Kontekstual), al-Wudhuh (Jelas), dan menyatukan antara Tathawwur (Transformatif) dan Tsabat (Konsistensi). Tentang Rabbaniyah bisa dibaca mulai halaman 1, tentang Syumul (Universal) bisa dibaca mulai halaman 117, dan tentang al-Waqi'iyah (Kontekstual) bisa dibaca mulai halaman 177.
[2] Diterjemahkan secara bebas dari definisi ilmu Ushulfiqh oleh 'Abdulwahhab Khallaf. Lihat: Ilmu Ushul al-Fiqh, 'Abdul Wahhab Khallaf, Darul Hadits-Kairo, halaman 12.
[3] Al-Qiyas tidak termasuk kategori sumber hukum karena sejatinya al-Qiyas adalah metode Istimbathul Ahkam atau metode pengambilan kesimpulan hukum. Kita sudah bisa memahaminya hanya dengan membaca definisinya.
[4] Tafsiru Ayatil Ahkam, Muhammad 'Ali ash Shabuniy dan Al-Itqan fi 'Ulumil Qur`an, Jalaluddin as-Suyuthiy, I/ 76.
[5] 'Abdul Wahhab Khallaf, Op.Cit, hlm 32
[6] Abu al-Fida'a Ismail bin Umar bin Katsir al-Quraisyi, Tafsir al-Qur'an al-Adhim, Juz II, hlm 268
[7] Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayyan, Tafsir al-Bahru al-Muhith, juz III, hlm 95.
[8] Terjemahan bebas dari definisi as-Sunnah oleh 'Abdulwahhab Khallaf dalam Ilmu Ushulul Fiqh, halaman 40.
[9] Jalaluddin Abu al-Fadhol Abdurrahman bin Abi Bakr, Syarh Al-Kawakib As-Sati' Fi Nadhom Jam'ul Jawami', (mekkah al-Mukarramah, Maktabah Nizar Mushthofa al-Bazi), juz I, hlm 286-288
[10] Terjemahan bebas dari definisi hadits shahih oleh Ibnu Katsir dalam al-Ba'itsul Hatsits, juz 1 halaman 1.
[11] Sayyid Muhammad Syatho ad-Dimyathi, I'anah Thalibin, juz 3, hlm 35
[12] Hadits ini disabdakan oleh nabi saw ketika beliau melewati pasar dengan melihat tumpukan makanan dan beliau pun memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan tersebut, lalu beliau merasakan jari-jarinya basah. Melihat fenomena ini beliau bertanya kepada penjual makanan "Apa Ini?". Perjual itu menjawab: "Makananku telah terkena hujan ya Rasulullah", lalu nabi bersabda: mengapa engkau tidak meletakkan makanan yang basah ini diatas makanan yang lain supaya manusia dapat melihat secara jelas dan barang siapa yang melakukan penipuan maka orang tersebut bukan termasuk golongan kami. (baca hadits Shahih Muslim, juz I, hlm 265) 
[13] Baca musnad Imam Ahmad, juz 30, hlm 13.
[14] Baca kitab Shahih Bukhari, juz 7, hlm 492
[15]  'Abdul wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Penterjamah, faiz el muttaqin S.Ag), halaman 50.
[16] Ibid
[17] Jalaluddin Abu al-Fadhol Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, Syarh Al-Kawakib As-Sati' Fi Nadhom Jam'ul Jawami', Juz I, hlm 357
[18] Abdul wahab khalaf, op.cit hal, 45-46
[19] Islam Akomodatif, DR. Abu Yasid, LL.M, halaman 75.
[20] Islam Akomodatif, halaman 77-78.

Haram & Makruh

0 komentar


HARAM DAN MAKRUH
Hanif asyhar


HARAM (MUHARRAM)
  1. Definisi
Haram dalam pengertian etimologi adalah sesuatu yang lebih banyak mengandung kerusakan, sedangkan secara terminologi, oleh para juris Islam, haram didefinisikan: “Tuntutan yang datang dari syari’ untuk ditinggalkan, tuntutan ini bersifat luzum (pasti)”. Secara khusus (bil al-hukmi) haram juga didefinisikan sesuatu yang dicela oleh syara’ bagi orang yang melakukannya.[1]
Secara umum tuntutan larangan yang bersifat luzum dapat diketahui dengan beberapa cara, antara lain:
Melihat aspek pekerjaan itu sendiri, yaitu adanya indikasi yang menunjukkan bahwa perbuatan itu adalah haram. Seperti firman Allah SWT surat al-Baqarah (2) ayat 275;
 orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[2](sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Melihat tuntutan untuk meninggalkan tersebut, seperti terbentuk dari Shighat Nahi seperti firman Allah SWT surat al-Isra’ (17) ayat 32;
 Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
Atau Shighat Amar yang menunjukkan larangan, seperti firman Allah SWT surat al-Hajj (22) ayat 30;
“Demikianlah (perintah Allah). dan Barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah Maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. dan telah Dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.”
Juga berbentuk kontinuitasnya  siksaan bagi orang yang melakukan, seperti firman Allah SWT surat an-Nisa’ (4) ayat 10:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”[3]
B. Macam-Macam Bentuk Tuntutan Larangan;[4]
1.      Ketentuan larangan yang bersifat luzum dan terbentuk secara independen,
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-maidah:3).
2.      Larangan berbuat tapi terdapat indikasi-indikasi adanya kepastian.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.(QS. Al-Israa’ : 32)
3.      Perintah untuk menjauhi yang disertai indikasi-indikasi adanya kepastian
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. QS. Al-Maidah : 90     
4.      Berupa perbuatan yang berimplikasi pada siksaan
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nuur: 4).     
  1. Pembagian  Haram
1.      Haram dari segi Real Power terbagi menjadi dua:
Haram dari segi potensi dalil yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan, terdapat perbedaan antara Jumhur ulama dan ulama Hanafiyah:
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa semua tuntutan yang pasti (Luzum) adalah haram. Dalil yang dibuat oleh syari’ untuk melarang itu ada yang bersifat qath’i dan dzanni. Mereka tidak memisahkan antara dalil haram di tinjau dari segi dalil yang bersifat dzanni atau pun qath’i, karena hukum haram itu disamping ditetapkan dengan dalil al-qur’an , ada juga yang ditetapkan dengan dalil hadits yang tidak mutawatir, hadits masyhur,[5] bahkan juga dengan hadits ahad yang kesemuanya adalah dalil dzanni. Dalil dzanni dapat dijadikan hujjah dalam beramal dan menetapkan hukum, tetapi tidak dapat menjadi hujjah dalam persoalan ‘itiqad
Sedangkan ulama’ Hanafiyah memisahkan antara larangan yang ditetapkan dengan dalil Qath’i dan dalil dzanni. Dalam hal ini ulama’ Hanafiyah membagi larangan yang pasti itu  menjadi dua:
a.       Larangan yang ditetapkan dengan dalil yang qath’i dan kebenarannya tidak diragukan lagi. Oleh ulama’ Hanafiyah ini yang dinamakan haram, seperti memakan daging babi,(QS. Al-Maidah: 3). Dalam ayat tersebut hukum haram memakan daging babi sudah sangat tegas.
b.      Larangan yang pasti dan ditetapkan dengan dalil yang dzanni, seperti hukum yang ditetapkan dengan hadits Ahad,[6] ini diistilahkan makruh tahrim, Hanafiyah menggunakan makruh karena untuk menghindari adanya dugaan haram, meskipun dibelakangnya masih disebutkan kata tahrim, seperti memakan keledai jinak yang ditetapkan dengan hadits Nabi saw yang tidak mutawatir.[7]
2.      Haram dari segi sifatnya terbagi menjadi dua:
a.       Haram dzati, yaitu larangan yang tidak dimasuki oleh unsur-unsur eksternal, atau larangan yang memang dimaksudkan oleh syari’ (ibtidaa’an); seperti zina, mencuri, shalat tanpa bersuci, makan bangkai, mengawini muhrimnya, meminum minuman keras, makan daging babi, dan lain-lain, karena di dalamnya terdapat unsur-unsur yang membahayakan. Maka keharaman tersebut sudah menjadi ketentuan sejak semula atas perbuatannya.
b.      Haram li ghairi atau haram ‘ardli, yaitu larangan yang disebabkan adanya unsur eksternal. Suatu perbuatan itu pada mulanya ditetapkan oleh syari’ sebagai suatu hal yang wajib, sunnah, mubah, tetapi bersamaan dengan adanya faktor eksternal yang menjadikannya haram; seperti shalat dengan memakai baju ghasab, jual beli yang mengandung unsur eksploitasi, jual beli menjelang adzan pada hari jum’at, puasa wishal, dan lain-lain yang mengandung keharaman karena sesuatu yang baru yang pada prinsipnya perbuatan itu tidak menunjukkan kerusakan dan bahaya, tetapi ada sesuatu yang menyertainya dan berakibat pada kerusakan dan bahaya.[8] 
3.      Haram dari segi pengaruhnya terhadap hukum wadl’i (hukum positif) ada dua:
a.       Haram dzati bila berkaitan dengan rukun akad mengakibatkan batalnya akad tersebut. Umpamanya larangan memperjual belikan khamar, babi atau bangkai. Pelanggaran terhadap larangan dalam hal yang menyebabkan batalnya akad. Larangan kawin dengan satu susuan atau saudara radla’menyebabkan batalnya kawin tersebut.
b.      Haram li ghairihi bila berkaitan dengan akad tidak akan  menyebabkan batalnya akad tersebut, ini menurut jumhur ulama’. Hanya ulama’ Hanbaliyah dan Dlahiriyah yang berseberangan dengan pendapat ini. Pelanggaran terhadap larangan jual beli pada saat khutbah berlangsung hanya menyebabkan berdosa bagi yang melanggar saja, tetapi tidak membatalkan jual beli tersebut selama sudah terpenuhi syarat dan rukunnya.
4.      Haram dari segi pengecualiannya terhadap hukum larangan terbagi menjadi dua:
a.       Sesuatu yang dilarang secara dzati adalah haram dan berdosa bagi yang melakukannya. Yang dikecualikan dari hukum dosa itu adalah orang-orang yang melanggar larangan karena dlarurat, dalam arti akan merusak salah unsur dlaruri yang menjadi tujuan syari’ah (maqashid asy-syari’ah)[9] bila tidak dilakukan. Umpamanya haram meminum khamar termasuk harum dzati yang berdosa orang yang melakukannya karena akan merusak akal. Tetapi bila ia melakukan karena memelihara jiwanya, maka ia boleh minum khamar tersebut dengan sekedar yang dibutuhkan; misalnya, untuk menghilangkan sesuatu yang menyumbat kerongkongannya dan dia tidak menemukan minuman lain yang halal. Dalam hal ini muncul kaidah:
sesuatu yang diharamkan karena dzatnya, dibolehkan dalam keadaan dlarurat
b.      Sedangkan larangan yang dikarenakan adanya faktor eksternal, pengecualiannya adalah diperkenankan untuk melanggar tapi hanya sebatas kebutuhan (lil hajah), hal ini dapat dilihat dalam kaidah fiqih:
sesuatu yang diharamkan karena adanya faktor lain (bukan haram atas tuntutan syari’) dibolehkan karena ada hajat’’

MAKRUH  (KARAHAH)
A.    Definisi
Karahah dalam pengertian etimologi berarti; sesuatu yang tidak disenangi, atau sesuatu yang dijauhi. Sedangkan dalam istilah terminologi, karahah didefinisikan: Tuntutan dari syari’ untuk meninggalkan, tetapi tidak menjadi keharusan untuk dilaksanakan (la ‘ala wajhi al-iltizam). Dari segi hukum karahah diartikan: sesuatu yang apabila ditinggalkan akan mendapat pujian (dari syari’) dan orang yang melakukannya tidak mendapat celaan (dari syari’).
Pada dasarnya hukum makruh merupakan suatu larangan tetapi disertai indikasi-indikasi bahwa yang dimaksud dengan larangan itu bukanlah haram atau tidak bersifat Luzum. Dari segi larangan, sebenarnya makruh sama dengan haram; hanya karahah itu sifatnya tidak luzum. Oleh karena itu orang yang melanggar larangan ini tidaklah patut mendapatkan dosa. Tetapi jika ia menghidari larangan ini ia patut mendapatkan pahala, karena dengan menghindarnya seseorang dari larangan ini berarti ia sejalan dengan pihak yang melarang.
Karahah dapat diketahui dengan melihat beberapa unsur yang menyertainya, antara lain:
1.      Potensi yang ada didalam nash. Dalam nash ada indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa ayat atau hadits itu menunjukkan hukum makruh, misalnya sabda Nabi Muhammad SAW :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ الطَّلَاقُ
 sesuatu yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah Talaq”[10]
2.      Shighat Nahi (menunjukkan larangan) disertai adanya indikasi yang menunjukkan bahwa Nash itu menunukkan makruh, seperti firman Allah SWT surat al-Ma’dah (5) ayat 101:
 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
B.     Pembagian makruh
Dikalangan Jumhur ulama, istilah makruh berarti tuntutan untuk meninggalkan secara tidak tegas (tidak luzum). Sedangkan ulama Hanafiyah membagi makruh menjadi dua, yaitu;
1. Makruh Tahrim, yaitu tuntutan untuk meninggalkan yang bersifat luzum (pasti), tetapi dalil yang mengindikasikan adanya larangan itu bersifat dzanni. Seperti kejadian yang yang ada dalam Hadits Ahad :
              لَا يَبِيع الرَّجُل عَلَى بَيْع أَخِيهِ وَلَا يَخْطُب عَلَى خِطْبَة أَخِيهِ
Seseorang tidak boleh membeli barang yang ada dalam tawaran saudaranya (sesama muslim), dan tidak boleh meminang perempuan yang ada dalam pinangan saudaranya (sesama muslim).[11]
Kedua kejadian di atas, menurut Hanafiyah adalah makruh tahrim, karena ditetapkan dengan hadits Ahad.
Perbedaan makruh tahrim dan Haram, menurut Hanafiyah adalah terletak pada tuntutan bahwa haram merupakan sesuatu yang harus ditinggalkan (luzum), dan ditetapkan dengan dalil Qath’i, seperti kejadian yang ditetapkan berdasarkan al-Qur’an, Hadits Mutawatir, atau hadits Masyhur, misalnya hukum pencurian, zina, minum khamr, memakai pakaian yang terbuat dari sutera bagi laki-laki, memakai emas. Orang yang mengingkari hal-hal tersebut diklaim kafir.
Sedangkan makruh tahrim, tidak diklaim sebagai orang yang kafir, tetapi orang yang melanggarnya mendapatkan dosa serta celaan. Pada dasarnya makruh tahrim sudah mendekati haram, sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf.[12]
2. Makruh Tanzih, yaitu tuntutan untuk meninggalkan yang tidak bersifat luzum, seperti makan daging kuda karena ada hajat untuk berperang, wudlu dari sisa jilatan kucing, burung elang, makruh tanzih menurut Hanafiyah disini adalah kebalikan dari mandub menurut Jumhur. Perbedaan kedua bentuk makruh menurut Ulama Hanafiyah dapat terlihat pada hukum orang yang tidak mematuhi larangan itu. Orang yang melanggar larangan makruh tahrim mendapat dosa, sedangkan orang yang melanggar larangan makruh Tanzih tidak mendapatkan ancaman dosa. Dan orang yang tidak melanggar larangan kedua jenis makruh tersebut sama-sama mendapat pahala.


[1] Wahbah az-Zukhaili, Ushul al-Fiqih Al-Islami, Dar al-Fikr, Damaskus-Syiria, 2006, Juz, I, hal. 86
[2] Riba itu ada dua macam: Nasiah dan Fadhl. Riba Nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba Fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba Nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah. Lihat: Fathu al-Qadir, CD Maktabah Syamilah, al-Ishdar ats-Tsani, Juz I, hal. 400
[3] Op.Cit, hal. 87
[4] Abdu wahab khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqih, hal. 113
[5] Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, walaupun hanya dalam satu tingkatan, dan tidak mencapai kepada derajat mutawatir.
[6] Hadits ahad adalah 
[7] Hadits mutawatir adalah
[8] Wahbah az-Zukhaili, Op.Cit. hal. 87-88
[9] Tujuan syari’at (maqashid al-syari’ah) yang dimaksud adalah; pemeliharaan terhadap agama (hifdz al-din), pemeliharaan terhadap akal (hifdz al-aql), pemeliharaan terhadap jiwa (hifdz nafs), pemeliharaan terhadap harta benda (hifdz al-mal), dan pemeliharaan terhadap keturunan (hifdz al-‘ird).
[10] Hasyiyah as-Sanady ‘ala Ibnu Majah, CD Maktabah Syamilah, Juz IV, hal. 263
[11] Syarakh an-Nawawi ‘ala Muslim, CD Maktabah Syamilah, Juz V, hal. 299
[12] Wahbah az-Zukhaili, Op.Cit. hal. 91
 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id