SUMBER-SUMBER HUKUM EKONOMI ISLAM
(Tugas Ekonomi Islam)
Hanif
Asyhar
Pendahuluan
Sebagai agama
yang berkarakter rabbani-universal-kontekstual[1],
Islam telah menyediakan sistem yang khas untuk menyelesaikan berbagai persoalan
hidup yang dihadapi oleh umatnya –salah satunya adalah persoalan ekonomi– sesuai
dengan Kehendak Syari' (Yang Menetapkan Syari'at, Allah swt). Sistem ini
disarikan oleh para ulama dari perjalanan hidup Nabi Muhammad saw, para
sahabat, para tabi'in, dan para ulama sebelum mereka di dalam menyelesaikan
berbagai persoalan hidup. Sistem ini diberi nama oleh para ulama dengan Ushul
al-fiqh. Isinya, kaidah-kaidah yang dapat dipakai oleh seorang muslim untuk
mengambil kesimpulan hukum dari sumber hukum utama; al-Qur`an dan as-Sunnah[2].
Istilah lainnya Metode Istimbath al- Ahkam.
Bagian
terpenting dari sistem itu adalah Mashadirul Ahkam (Sumber-sumber
hukum). Yang demikian itu karena metode Istimbathul Ahkam sendiri
diambil dari Mashadirul Ahkam tersebut, di samping itu semua kesimpulan
hukum yang dihasilkan oleh para mujtahid selalu berdasarkan kepada
sumber-sumber hukum yang diakui oleh syariat. Dan seperti halnya bidang-bidang
yang lain, Mashadirul Ahkam di bidang ekonomi –menurut ulama Ahlussunnah
wal Jamaah– meliputi, al-Qur`an, as-Sunnah, al-Ijma', dan al-Mashlahah[3].
Al-Qur`an
Al-Qur`an adalah
firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan secara mutawatir,
yang tertulis di dalam Mushhaf, dan dibaca oleh kaum muslimin di dalam shalat.
Ayat-ayat al-Qur`an yang menjelaskan permasalahan hukum ada 550-an ayat dari
6000-an ayat[4].
Ulama ushuli mengklasifikasikan hukum yang terdapat di dalam al-Qur'an menjadi
tiga bagian, antara lain:
- Hukum i'tiqadiyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan dimensi I'tiqad atau keyakinan, seperti kewajiban mempercayai Allah swt, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, dan hari kiamat
- Hukum khuluqiyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan kewajiban orang mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan perbuatan yang terpuji dan menghindari perbuatan tercela.
- Hukum amaliyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf, baik yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah.[5]
Banyak sekali
ayat-ayat di dalam al-Qur'an yang menerangkan masalah-masalah hukum dan ada
beberapa ayat yang secara spesifik berbicara tentang ekonomi. Bahkan ada ayat al-Qur'an
yang menjadi pedoman pokok di dalam bidang ekonomi. Ayat-ayat itu antara lain:
Firman Allah
Allah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba
(QS. Al-Baqarah [2]: 275)
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian saling makan harta sesama kalian secara batil, kecuali dalam
perdagangan yang berlaku atas dasar saling rela di antara kalian. (QS. An-Nisa` [4]: 29)
Menurut Ibnu
Katsir ayat ini mengindikasikan bahwa Allah swt telah melarang segala macam bentuk
usaha yang tidak dibenarkan oleh syariat islam seperti riba, perjudian dan
usaha-usaha yang menggunakan tipu muslihat.[6]
Hai orang-orang yang beriman,
apabila kalian melaku kan utang-piutang untuk suatu masa tertentu, hendaklah
kalian menulisnya.
(QS. Al-Baqarah [2]: 282).
Ibnu Abbas berpendapat
bahwa ayat ini turun dalam konteks akad salam yang dilakukan oleh penduduk Madinah,
kemudian oleh ijma' ulama ayat ini diberlakukan terhadap semua akad muamalah
yang berkonsekuensi timbulnya hutang[7]
Hendaklah kalian
tolong-menolong untuk kebaikan dan takwa; dan janganlah kalian tolong-menolong
untuk dosa dan permusuhan.
(QS. Al-Maidah [5]: 2)
Dengan memperhatikan
beberapa ayat di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa islam senantiasa
mengajarkan kepada umat manusia untuk melakukan kegiatan ekonomi yang sejalan
dengan nilai-nilai kebaikan dan ketaqwaan. Nilai-nilai itu berupa tidak boleh
melakukan kecurangan atau penipuan ketika melakukan akad transaksi, sebab hal
itu tidak mencerminkan unsur keadilan, sehingga akan ada pihak yang merasa
dirugikan.
As-Sunnah
As-Sunnah atau
Hadits adalah ucapan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad saw[8].
As-sunnah yang dilihat dari aspek perbuatan nabi saw ada enam macam,
diantaranya:
ü Perbuatan
Nabi Saw yang timbul dari kebiasaan beliau sebagai manusia, seperti makan,
minum, berdiri, duduk, dan lain sebagainya. Hukumnya mubah (boleh) untuk
dilakukan oleh umatnya, akan tetapi jika dilakukan dengan berniat mengikuti
Nabi Saw, maka hukumnya menjadi "mandub".
ü Perbuatan
Nabi Saw yang sifatnya khusus untuk beliau, tidak untuk ummatnya, seperti shalat
tahajjud yang hukumnya wajib bagi beliau, tetapi bagi umatnya adalah sunnah.
ü Perbuatan
Nabi Saw. dalam rangka menjelaskan ke-mujmal-an lafadz yang terdapat
dalam al-Qur'an. Sementara konsekuensi hukum yang harus diterima Nabi sebagai
mubayyin adalah wajib, artinya beliau wajib menyampaikan tentang makna mujmal
yang terdapat dalam al-Qur'an.
ü Perbuatan
Nabi Saw. yang berada antara tataran syar'i dan jibilli (watak kemanusiaan),
seperti berhaji dengan menggunakan kendaraan, turun dari mahshob (tempat
melempar jumrah di Mina). Dalam poin ini para ulama berbeda pendapat, apakah
mengendarai Nabi Saw. ketika berhaji dan turunnya beliau dari mahshob akan
diarahkan sebagai perbuatan yang tidak bernilai syar'i ataukah bernilai syar'i?
Menurut sebagian ulama mengatakan bahwa perbuatan Nabi yang seperti itu tidak
bernilai syar'i dan tidak pernah dianjurkan kepada umatnya. Sedangkan ulama
lain berpendapat bahwa hal itu bernilai syar'i dan dianjurkan kepada umatnya,
sebab Nabi Saw diutus untuk menjelaskan syariat agama Islam.
ü Perbuatan
Nabi Saw. yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah yang di sana terdapat
indikasi hukum wajib, mandub atau sunnah, maka hal itu pun berlaku bagi
umat-Nya.
ü Perbuatan
Nabi yang berlaku pula bagi umatnya, tetapi tidak diketahui apakah
mengindikasikan wajib, mandub ataukah mubah. Maka para ulama berbeda pendapat
tentang masalah ini, diantara mereka ada yang mengatakan wajib, mandub, mubah
dan ada pula sebagian ulama yang tidak berpendapat demikian, karena mereka
harus terlebih dahulu mengetahui adanya dalil atau indikasi yang menunjukkan identitas
suatu hukum dari perbuatan Nabi Saw[9]
Hadits ada yang
shahih, ada yang hasan, dan ada yang dha'if. Hadits yang dapat dijadikan hujjah
adalah hadits yang shahih dan hasan. Yakni hadits yang diriwayatkan oleh
orang-orang dengan sifat-sifat tertentu dan tidak terputus di antara mereka,
sejak dari mukharij (perawi terakhir) sampai kepada Rasulullah saw. dan tidak
ada penyakit atau cacat padanya[10].
Ada banyak
sekali hadits yang menjelaskan masalah ekonomi. Di antaranya:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
Dari Ibnu Umar r.a, bersabda
nabi saw: "Penjual dan pembeli itu boleh memilih (meneruskan atau
membatalkan transaksinya) selama belum berpisah. (HR. al-Bukhariy)
Dalam fiqh
klasik dikatakan bahwa akad khiyar (boleh memilih) tidak bisa gugur
dengan matinya salah satu orang yang melakukan transaksi di dalam satu majlis,
sehingga status khiyar (boleh memilih) bisa berpindah kepada ahli
warisnya. Akan tetapi jika tidak ditemukan ahli waris yang layak untuk mengkhiyar
akad transaksi, maka seorang imam harus memilih orang lain yang lebih layak
diberi kewenangan untuk meneruskan akad transaksi atau membatalkannya.[11]
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي
Barang siapa yang menipu maka
bukan termasuk golongan aku.[12]
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
وَابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهُ
Dari Jabir
bin Abdullah, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas, Rasulullah saw. melarang menjual buah sehingga
tampak matangnya (siap untuk dipanen).[13]
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي
شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas r.a, "Bahwa nabi Muhammad saw pernah datang ke kota Madinah
dan beliau melihat penduduk Madinah memesan kurma dengan jangka waktu dua tahun
atau tiga tahun, lalu beliau bersabda barang siapa yang memesan sesuatu, maka
pesanlah sesuatu yang dapat diketahui takaran dan timbangannya sampai jangka
waktu yang telah ditentukan.[14]
Al-Ijma'
Al-Ijma' adalah
kesepakatan seluruh mujtahid muslim pada suatu masa atas hokum syara’.[15]
Faktor yang mendukung terhadap Kehujjahan al-Ijma' ada tiga macam, antara lain
1. Al-Qur`an. Allah Swt berfirman,
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. (Q.S. an-Nisa', 59).
Ibnu Abbas
menafsirkan lafadz ulil amri dengan para mujtahid dan ahli fatwa,
sehingga dengan penafsiran yang dikemukakan oleh ibnu abbas mengindikasikan
bahwa wajib mengikuti segala keputusan yang telah disepakati oleh kalangan
mujtahid (ulama).[16]
Dan
barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.
(Q.S. an-Nisa', 115)
Dalam ayat ini Allah Swt. telah mengancam terhadap
orang-orang yang tidak mengikuti jalan kaum mukminin. Oleh karena itu wajib
hukumnya mengikuti jalan kaum mukminin yang berupa perbuatan dan perkataan
mereka.[17]
2. Hadits Nabi saw yang berbunyi,
إِنَّ
أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ
Sesungguhnya umatku tidak
akan berkumpul atas suatu kesesatan (HR. Ibnu Majah)
3. Landasan syar'i yang
menjadi pedoman para mujtahid untuk memutuskan hukum secara ijma (sepakat).
Ijtihad mereka tidak akan pernah terlepas dari pemahaman teks yang mereka pahami,
kaidah-kaidah syar'i, prinsip-prinsip umum, urf dan mashlahat mursalah. Dengan
adanya landasan syar'i yang melatarbelakangi para mujtahid untuk sepakat
menghukumi persoalan atau peristiwa yang terjadi ditengah-tengah mereka, maka
hal itu membuktikan bahwa landasan syar'i yang mereka gunakan adalah qath'i
(pasti).
Di antara
perkara yang telah disepakati oleh para ulama dalam bidang ekonomi adalah
haramnya riba, haramnya berbuat zhalim kepada orang lain, haramnya menipu dalam
berdagang, dan lain sebagainya. Ada juga kesepakatan mereka yang berupa kaidah,
seperti kaidah berikut:
الأصل
في المعاملة الإباحة إلا ما دل الدليل على خلافه
Hukum asal segala bentuk
muamalah adalah mubah, kecuali ada dalil yang menunjukkan tidak mubah.
Tetapi bukan berarti semua ijma’
dapat dijadikan pedoman hokum, dalam hal ini para ulama’ merumuskan
kriteria-kriteria ijma’ yang bisa dijadikan dasar hokum, antara lain;
- Ada beberapa mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. Karena kesepakatan tidak mungkin dicapai kecuali dari beberapa pendapat yang saling memiliki kesesuaian. Jika pada waktu itu ada beberapa mujtahid, tidak ada sama sekali atau hanya seorang mujtahid saja, maka ijma’ tersebut tidak sah. Oleh sebab itu pada masa rasul dapat dikatakan tidak ada ijma’ karena beliau sendiri sebagai mujtahid.
- Kesepakatan atas hokum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal negara, kebangsaan, atau kelompoknya. Bila ada kesepakatan atas hokum syara’ mengenai suatu peristiwa oleh mujtahid Haramain, Iraq, Hijaz, keluarga nabi, atau mujtahid Ahlus Sunnah tidak termasuk Syi’ah, maka kesepakatan masing-masing negara, kelompok dan golongan tersebut tidak sah menurut hokum syara’. Karena pada prinsipnya ijma’ tidak sah kecuali dengan kesepakatan umum dari semua elemen mujtahid dunia islam pada masa terjadinya peristiwa itu.
- Kesepakatan mereka diawali dengan pengungkapan pendapat masing-masing mujtahid. Pendapat itu diungkapkan dalam bentuk perkataan seperti fatwa atas suatu peristiwa, atau perbuatan seperti bentuk putusan hokum. Atau diungkapkan secara peorangan mujtahid, kemudian pendapat masing-masing dikumpulkan ditemukan adanya kesepakatan. Atau diungkapkan secara kolektif, yaitu semua mujtahid dunia islam berkumpul pada masa terjadinya suatu peristiwa kemudian peristiwa itu diajukan kepada mereka, dan setelah mereka bertukar pendapat dari berbagai aspek, mereka semua sepakat atas satu hokum mengenai peristiwa tersebut.
- Kesepakatan itu benar-benar dari seluruh mujtahid dunia islam. Bila yang bersepakat hanya mayoritas , maka kesepakatan itu tidak disebut ijma’ meskipun yang tidak sepakat hanya minoritas. Karena jika masih ada pertentangan, maka dimungkinkan benar dalam satu segi dan salah dalam segi yang lain, sedangkan hasil ijma’ dari para ulama mujtahid dianggap Qath’i[18]
Al-Mashlahah
Al-Mashlahah adalah spirit syariat Islam.
Secara etimologi, mashlahah mempunyai makna yang identik dengan manfaat,
keuntungan, kenikmatan, kegembiraan, atau segala upaya yang dapat mendatangkan
hal itu. Namun, dalam terminologi syariat, ulama Ushul al-fiqh berbeda pendapat
mengenai batasan dan definisi mashlahah. Tetapi pada tataran substansi,
mereka boleh dibilang sampai pada satu kesimpulan bahwa mashlahah adalah
suatu kondisi dari upaya untuk mendatangkan sesuatu yang berdampak positif (manfaat)
serta menghindarkan diri dari hal-hal yang berdimensi negatif (madharat).
Asy-Syathibi (w. 790 H.) dalam karyanya, al-Muwafaqat, menjelaskan bahwa
"disyariatkannya ajaran Islam tidak lain hanyalah untuk memelihara
kemashlahatan umat manusia di dunia dan di akhirat."[19]
Sedangkan mi'yar atau
tolak ukur mashlahah dalam Islam –menurut al-Ghazali (w. 505 H.),
sebagaimana dikutip oleh Dr. Abu Yasid– tidak dapat dikembalikan kepada
penilaian manusia ansich. Sebab penilaian manusia amat rentan akan
pengaruh dorongan nafsu insaniyah. Sebaliknya, tolak ukur mashlahah
harus dikembalikan kepada kehendak atau tujuan syariat (maqashidu asy-syari'ah)
yang pada intinya terangkum dalam al-Mabadi`u al-Khamsah. Yaitu
perlindungan terhadap agama (hifzhu ad-din), perlindungan terhadap jiwa
(hifzhu an-nafs), perlindungan terhadap akal pikiran (hifzhu al-'aql)
perlindungan terhadap keturunan (hifzhu an-nasl), dan perlindungan
terhadap harta benda. Maka, segala hal yang mengandung unsur perlindungan
terhadap lima hal di atas, disebut mashlahah. Sebaliknya, semua yang
menafikannya bisa disebut mafsadat (kebalikan mashlahah).[20]
Kesimpulan dan Penutup
Hukum-hukum dalam persoalan
ekonomi tidak akan diakui eksistensinya menurut Syara' kecuali jika bersumber
kepada salah satu dari keempat hal ini: al-Qur`an, as-Sunnah, al-Ijma', dan
al-Mashlahah. Jika ada suatu persoalan ekonomi, ternyata bertentangan dengan
salah satu dari keempatnya, maka persoalan itu dinyatakan batal demi Syari'at. Wallahu
a'lam bish shawab.
[1] DR.Yusuf Qardhawiy dalam Al-Khashaish al-'Ammah li al-Islam
(edisi Indonesia: KARAKTERISTIK ISLAM; Kajian Analitik, Risalah Gusti-Surabaya)
menyebutkan ada tujuh karakteristik agama Islam; yaitu: Rabbaniyah (Ketuhanan),
Insaniyah (Kemanusiaan), Syumul (Universal), al-Wasathiyah (Moderat),
al-Waqi'iyah (Kontekstual), al-Wudhuh (Jelas), dan menyatukan antara Tathawwur
(Transformatif) dan Tsabat (Konsistensi). Tentang Rabbaniyah bisa dibaca mulai
halaman 1, tentang Syumul (Universal) bisa dibaca mulai halaman 117, dan
tentang al-Waqi'iyah (Kontekstual) bisa dibaca mulai halaman 177.
[2] Diterjemahkan secara bebas dari definisi ilmu Ushulfiqh oleh
'Abdulwahhab Khallaf. Lihat: Ilmu Ushul al-Fiqh, 'Abdul Wahhab Khallaf, Darul
Hadits-Kairo, halaman 12.
[3] Al-Qiyas tidak termasuk kategori sumber hukum karena sejatinya
al-Qiyas adalah metode Istimbathul Ahkam atau metode pengambilan kesimpulan
hukum. Kita sudah bisa memahaminya hanya dengan membaca definisinya.
[4] Tafsiru Ayatil Ahkam, Muhammad 'Ali ash Shabuniy dan Al-Itqan fi
'Ulumil Qur`an, Jalaluddin as-Suyuthiy, I/ 76.
[6] Abu al-Fida'a Ismail bin Umar bin Katsir al-Quraisyi, Tafsir
al-Qur'an al-Adhim, Juz II, hlm 268
[7] Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayyan, Tafsir
al-Bahru al-Muhith, juz III, hlm 95.
[8] Terjemahan bebas dari definisi as-Sunnah oleh 'Abdulwahhab Khallaf
dalam Ilmu Ushulul Fiqh, halaman 40.
[9] Jalaluddin Abu al-Fadhol Abdurrahman bin Abi Bakr, Syarh
Al-Kawakib As-Sati' Fi Nadhom Jam'ul Jawami', (mekkah al-Mukarramah,
Maktabah Nizar Mushthofa al-Bazi), juz I, hlm 286-288
[10] Terjemahan bebas dari definisi hadits shahih oleh Ibnu Katsir dalam
al-Ba'itsul Hatsits, juz 1 halaman 1.
[12] Hadits ini disabdakan oleh nabi saw ketika beliau melewati pasar
dengan melihat tumpukan makanan dan beliau pun memasukkan tangannya ke dalam
tumpukan makanan tersebut, lalu beliau merasakan jari-jarinya basah. Melihat
fenomena ini beliau bertanya kepada penjual makanan "Apa Ini?".
Perjual itu menjawab: "Makananku telah terkena hujan ya Rasulullah",
lalu nabi bersabda: mengapa engkau tidak meletakkan makanan yang basah ini diatas
makanan yang lain supaya manusia dapat melihat secara jelas dan barang siapa
yang melakukan penipuan maka orang tersebut bukan termasuk golongan kami. (baca
hadits Shahih Muslim, juz I, hlm 265)
[17] Jalaluddin Abu al-Fadhol Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, Syarh
Al-Kawakib As-Sati' Fi Nadhom Jam'ul Jawami', Juz I, hlm 357