Sabtu, 06 Juli 2013

BAB III (Tesis) C



BAB III (C)
  1. Konsep Maqashid asy-Syari’ah al-Ghazali
Dalam sketsa Ilmu ushul al-fiqih, al-Ghazali banyak memberikan kesan mengenai maqashid asy-syari’ah. Menurutnya, maqahid asy-syari’ah harus selalu mengacu kepada teks syara’, sebagaimana statemennya:
“kami mengembalikan mahslahah kepada pemeliharaan terhadap tujuan syar’i, sementara itu maqashid asy-syar’i hanya dapat diketahui dengan al-Kitab (al-Qur’an), as-Sunnah, dan al-Ijma’”[1]

Kemashlahatan yang secara substansi menjadi tujuan syari’ harus selalu mengacu pada teks, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, dan al-Ijma’. Dengan demikian, al-Ghazali menegaskan bahwa metode rasionalitas teks didominasi oleh keumuman lafadz bukan kekhususan sebab, sebagaimana perkataannya:
  Adapun lafadz yang keumumannya berdiri secara independent, yang datang atas suatu sebab, maka sebab yang datang tersebut tidak diperhatikan”[2]

Dalam pengertian, jika ada teks yang redaksinya bersifat umum, maka teks tersebut harus diaplikasikan berdasarkan semua cakupannya tanpa harus memperhatikan historisitas lahirnya teks.
Mashlahah yang merupakan tujuan syari’ dalam pensyari’atan, oleh al-Ghazali dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu dari aspek penilaian syari’ terhadap eksistensi mashlahah, dan mashlahah dari aspek kualitas yang dimilikinya.
Bagian pertama, yaitu mashlahah dari aspek penilaian syari’ terhadap eksistensi mashlahah. Mashlahah ini terbagi menjadi tiga, yaitu:
1.      Al-Mashlahah al-Mu’tabarah atau dalam istilah al-Ghazali Syahida Asy-Syar’u Li’tibariha, yaitu kemashlahatan yang diakui keberadaanya oleh syara’. Menurutnya, mashlahah ini dapat diperoleh dengan metode Qiyas, artinya menggali hukum berdasarkan rasionalitas nash dan ijma’. Seperti pengharaman segala bentuk minuman yang memabukkan dengan cara di-Qiyas-kan pada khamr yang telah di-nashs-kan oleh al-Qur’an. Hukum haram ini terdapat nilai mashlahah, yaitu untuk memelihara akal[3].
2.      Al-Mashlahah al-Mulgha atau dalam istilah al-Ghazali Maa syahida asy-syar’u li buthlanihi. mashlahah ini biasanya terjadi kontradiktif dengan Nash, baik al-Qur’an maupun Hadits atau Ijma’. Al-Ghazali mencontohkan, menurut pendapat sebagian ulama’: ”apabila seorang raja menggauli istrinya pada siang hari di bulan ramadlan maka ia dikenakan denda kafarat puasa dua bulan berturut-turut sebagai ganti dari denda memerdekakan budak. Pertimbangannya adalah seorang raja tidak akan jera jika hanya dengan memerdekakan budak. Hal ini karena seorang raja akan dengan mudah membayar denda tersebut. Oleh karenanya, akan lebih mashlahah jika seorang raja di denda dengan puasa dua bulan berturut-turut.
Bentuk kemashlahatan seperti di atas tidak dapat diakui oleh syara’, sebab ada unsur kontradiksi dengan nash yang secara jelas nash itu memuat hirarki kafarat pada kasus ini. Dengan demikian, sang raja tetap dibebani hukuman kafarat sesuai dengan urutan yang ada dalam Nash, yaitu memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin.[4]
3.      Mashlahah yang didiamkan syara’ (al-mashlahah al-mursalah) atau dalam istilah al-Ghazali Maa lam yasyhad lahu min asy-syar’i bi al-buthlani wala bi al-’Itibari, dalam wujud tidak adanya pengakuan maupun pembatalan dari syari’. Seperti pengumpulan dan pembukuan kitab suci al-Qur’an.[5] 
Sedangkan mashlahah dari segi real power atau kualitas yang dimilikinya, al-Ghazali membagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: ar-Rutbah adl-Dlaruriyah, ar-Rutbah al-Hajjiyah, dan ar-Rutbah at-Tahsiniyah dan at-Tazyinaat.[6]
1.      Adl-Dlaruriyah dideskripsikan sebagai sebuah bangunan primer kehidupan manusia yang sangat menentukan bagi kesejahteraannya. Terjaminnya aspek ini berarti terjaminnya manusia akan kesejahteraan di dunia dan di akhirat, sebaliknya jika aspek ini tidak terjaga dengan baik, maka kehidupan manusia dalam pandangan syari’at akan menjadi kacau. Kemashlahatan yang harus dipelihara oleh manusia terbagi menjadi lima atau dikenal dengan istilah mabadi’ al-khamsah, yaitu perlindungan tehadap agama (hifzh ad-din), perlindungan terhadap jiwa (hifzd an-Nafs), perlindungan terhadap akal (hifzh al-’Aql), perlindungan terhadap keturunan (hifzh an-Nasl), dan perlindungan terhadap harta (hifzh al-Mal). Dari semua aktifitas yang mengandung lima macam di atas disebut sebagai mashlahah. Sebaliknya, semua yang bertentangan dengan lima macam di atas adalah mafsadah.
2.      Hajjiyah merupakan mashlahah bentuk kedua yang sifatnya sekunder, artinya keberadaannya dimaksudkan untuk menghilangkan kesukaran dan kesulitan serta memberikan kemudahan bagi mukallaf, artinya ketiadaan kemashlahatan ini tidak sampai mempengaruhi stabilitas kehidupan manusia dalam mewujudkan kemashlahatan yang diinginkan oleh syari’.
3.      Tahsiniyyah atau Tazyinaat merupakan bentuk mashlahah ketiga dan merupakan kebutuhan tersier (pelengkap), yang berarti mengambil tindakan yang lebih baik dalam rangka mewujudkan lima unsur tersebut dan menjauhi hal-hal yang tidak disukai oleh orang-orang bijak.


[1] Al-Imam al-Ghazali, al-Mustashfa min al-Ilm al-Ushul, sofware CD maktabah syamilah al-ishdar ats-tsani, juz I, hal. 449
[2] Al-Imam al-Ghazali, al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul, sofware CD maktabah syamilah al-ishdar ats-tsani, juz I, hal. 224
[3] Menurut al-Ghazali, akal merupakan tempat bergantungnya hukum (manath al-hukmi), sehingga mukallaf harus selalu memeliharanya.
[4] Al-Imam al-Ghazali, al-Mustashfa Min ilm al-Ushul, Sofware CD Maktabah Syamilah, al-ishdar ats-tsani, juz I, hal. 437
[5] Ibid.
[6] Ibid, hal. 438

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id