BAB III (C)
- Konsep Maqashid asy-Syari’ah al-Ghazali
Dalam
sketsa Ilmu ushul al-fiqih, al-Ghazali banyak memberikan kesan mengenai maqashid asy-syari’ah. Menurutnya, maqahid asy-syari’ah harus selalu mengacu kepada
teks syara’, sebagaimana
statemennya:
“kami mengembalikan mahslahah kepada pemeliharaan terhadap tujuan syar’i,
sementara itu maqashid asy-syar’i hanya dapat diketahui dengan al-Kitab
(al-Qur’an), as-Sunnah, dan al-Ijma’”[1]
Kemashlahatan yang secara
substansi menjadi tujuan syari’ harus
selalu mengacu pada teks, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, dan al-Ijma’. Dengan
demikian, al-Ghazali menegaskan bahwa metode rasionalitas teks didominasi oleh keumuman lafadz bukan kekhususan sebab,
sebagaimana perkataannya:
“ Adapun lafadz yang keumumannya
berdiri secara independent, yang datang atas suatu sebab, maka sebab yang
datang tersebut tidak diperhatikan”[2]
Dalam
pengertian, jika ada teks yang redaksinya bersifat umum, maka teks tersebut
harus diaplikasikan berdasarkan semua cakupannya tanpa harus memperhatikan
historisitas lahirnya teks.
Mashlahah yang merupakan tujuan
syari’ dalam pensyari’atan, oleh al-Ghazali dapat ditinjau dari dua aspek,
yaitu dari aspek penilaian syari’ terhadap eksistensi mashlahah, dan mashlahah
dari aspek kualitas yang dimilikinya.
Bagian
pertama, yaitu mashlahah dari aspek penilaian
syari’ terhadap eksistensi mashlahah. Mashlahah ini terbagi menjadi
tiga, yaitu:
1.
Al-Mashlahah al-Mu’tabarah atau dalam istilah al-Ghazali Syahida Asy-Syar’u Li’tibariha, yaitu kemashlahatan
yang diakui keberadaanya oleh syara’.
Menurutnya, mashlahah ini dapat diperoleh dengan metode Qiyas, artinya menggali
hukum berdasarkan rasionalitas nash dan ijma’. Seperti pengharaman segala
bentuk minuman yang memabukkan dengan cara di-Qiyas-kan pada khamr yang telah di-nashs-kan oleh al-Qur’an. Hukum haram ini terdapat nilai
mashlahah, yaitu untuk memelihara akal[3].
2.
Al-Mashlahah al-Mulgha atau dalam istilah al-Ghazali Maa syahida asy-syar’u li buthlanihi. mashlahah ini biasanya
terjadi kontradiktif dengan Nash, baik al-Qur’an maupun
Hadits atau Ijma’. Al-Ghazali mencontohkan, menurut pendapat sebagian ulama’:
”apabila seorang raja menggauli istrinya pada siang hari di bulan ramadlan maka
ia dikenakan denda kafarat puasa dua bulan berturut-turut sebagai ganti dari
denda memerdekakan budak. Pertimbangannya adalah seorang raja tidak akan jera
jika hanya dengan memerdekakan budak. Hal ini karena seorang raja akan dengan
mudah membayar denda tersebut. Oleh karenanya, akan lebih mashlahah jika
seorang raja di denda dengan puasa dua bulan berturut-turut.
Bentuk kemashlahatan seperti di atas tidak dapat diakui oleh syara’, sebab ada unsur kontradiksi
dengan nash yang secara jelas nash itu memuat hirarki kafarat pada kasus ini. Dengan
demikian, sang raja tetap dibebani hukuman kafarat sesuai dengan urutan yang
ada dalam Nash, yaitu memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau
memberi makan 60 orang fakir miskin.[4]
3.
Mashlahah yang didiamkan syara’
(al-mashlahah al-mursalah) atau dalam istilah
al-Ghazali Maa lam yasyhad
lahu min asy-syar’i bi al-buthlani wala bi al-’Itibari, dalam wujud tidak adanya
pengakuan maupun pembatalan dari syari’. Seperti pengumpulan dan pembukuan
kitab suci al-Qur’an.[5]
Sedangkan
mashlahah dari segi real power atau kualitas yang dimilikinya,
al-Ghazali membagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: ar-Rutbah adl-Dlaruriyah, ar-Rutbah al-Hajjiyah, dan ar-Rutbah at-Tahsiniyah dan at-Tazyinaat.[6]
1.
Adl-Dlaruriyah dideskripsikan sebagai sebuah
bangunan primer kehidupan manusia yang sangat menentukan bagi kesejahteraannya.
Terjaminnya aspek ini berarti terjaminnya manusia akan kesejahteraan di dunia
dan di akhirat, sebaliknya jika aspek ini tidak terjaga dengan baik, maka
kehidupan manusia dalam pandangan syari’at akan menjadi kacau. Kemashlahatan
yang harus dipelihara oleh manusia terbagi menjadi lima atau dikenal dengan
istilah mabadi’ al-khamsah, yaitu perlindungan
tehadap agama (hifzh ad-din), perlindungan terhadap
jiwa (hifzd an-Nafs), perlindungan terhadap
akal (hifzh al-’Aql), perlindungan terhadap
keturunan (hifzh an-Nasl), dan perlindungan
terhadap harta (hifzh al-Mal). Dari semua aktifitas
yang mengandung lima macam di atas disebut sebagai mashlahah. Sebaliknya, semua yang bertentangan dengan lima macam
di atas adalah mafsadah.
2.
Hajjiyah merupakan mashlahah bentuk kedua yang sifatnya sekunder,
artinya keberadaannya dimaksudkan untuk menghilangkan kesukaran dan kesulitan
serta memberikan kemudahan bagi mukallaf,
artinya ketiadaan kemashlahatan ini tidak sampai mempengaruhi stabilitas
kehidupan manusia dalam mewujudkan kemashlahatan yang diinginkan oleh syari’.
3.
Tahsiniyyah atau Tazyinaat merupakan bentuk mashlahah ketiga dan merupakan kebutuhan
tersier (pelengkap), yang berarti mengambil tindakan yang lebih baik dalam
rangka mewujudkan lima unsur tersebut dan menjauhi hal-hal yang tidak disukai
oleh orang-orang bijak.
[1] Al-Imam al-Ghazali, al-Mustashfa min al-Ilm
al-Ushul, sofware CD maktabah syamilah
al-ishdar ats-tsani, juz I, hal. 449
[2] Al-Imam al-Ghazali, al-Mankhul min Ta’liqat
al-Ushul, sofware CD maktabah syamilah
al-ishdar ats-tsani, juz I, hal. 224
[3] Menurut
al-Ghazali, akal merupakan tempat bergantungnya hukum (manath al-hukmi), sehingga mukallaf harus selalu memeliharanya.
[4] Al-Imam al-Ghazali, al-Mustashfa Min ilm al-Ushul, Sofware CD Maktabah Syamilah, al-ishdar ats-tsani, juz
I, hal. 437
0 komentar:
Posting Komentar