IBNU HAZM &
PEMIKIRAN USHUL
AL-FIQH
A.
Biografi Ibnu Hazm
Nama lengkap Ibn
Hazm adalah Abu Muhammad 'Aly Ibn Ahmad Ibn Sa'îd Ibn Hazm ibn Ghâlib ibn
Khalaf ibn Sa’d ibn Abi Sufyân ibn Yazîd. Di dalam literatur kitab-kitab klasik
ia dikenal dengan sebutan Ibnu Hazm. Dia dilahirkan di Kordoba, Spanyol pada akhir Ramadlān 384 H/ 7 Nopember 994 M. Ibn
Hazm berasal dari keluarga terhormat dan sangat berkecukupan. Ayahnya adalah
seorang menteri pada masa pemerintahan khalifah al-Mansûr dan puteranya,
al-Mudzaffar, khalifah Bani Umayyah di Andalusia.[1]
Ibnu Hazm
merupakan ulama besar, pakar fiqh, ushûl fiqh, ahli hadîts, dan ahli teologi.
Ia adalah pengembang madzhab Dhâhiri, bahkan dinilai sebagai pendiri kedua
madzhab Dhâhiri.
Sebagai anak
seorang menteri, Ibnu Hazm mulai berkenalan dengan politik semenjak usia lima
tahun. Pada waktu itu terjadi kerusuhan politik pada masa pemerintahan Khalifah
Hisyam II al-Muayyad (1010-1013) yang mengakibatkan Khalifah Hisyâm beserta
ayah Ibnu Hazm diusir dari lingkungan
istana. Ibnu Hazm mulai masuk dunia politik praktis pada masa pemerintahan
Abdurrahman V al-Mustahdir (1023) dan Khalifah Hisyâm III al-Mu’tamid
(1027-1031). Pada masa kedua Khalifah ini Ibnu Hazm menduduki jabatan menteri.
Pada masa
pemerintahan Abdurrahman V al-Mustahdir, Ibnu Hazm bersama-sama dengan khalifah
berusaha memadamkan berbagai kerusuhan dan mencoba merebut wilayah Granada dari
tangan musuh. Akan tetapi, dalam usaha merebut wilayah itu Khalifah terbunuh
dan Ibnu Hazm tertangkap dan dipenjara. Pada masa pemerintahan Hisyam III
al-Mu’tamid Ibnu Hazm pernah dipenjara setelah sebelumnya mengatasi berbagai
keributan di istana. Sejak keluar dari istana, Ibnu Hazm mulai mencurahkan
perhatiannya pada penulisan kitab-kitab.[2] Ibnu Hazm wafat di Manta
Lisham dekat Sevilla Spanyol pada tanggal 28 Sya’ban 456/ 15 Agustus 1064.
B.
Rihlah Ilmiah Ibnu
Hazm
Ibn Hazm,
merupakan salah satu di antara deretan pemikir Islam. Ia banyak mengusai
ilmu-ilmu keIslaman. Sebagai seorang anak pejabat tinggi, sejak kecil ia
mengenyam pendidikan di lingkungan istana. Ia termasuk anak yang beruntung
mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi kemampuannya. Namun, kehidupan di
istana hanya dinikmatinya sampai usia 14 tahun. Pergolakan politik yang
menyebabkan ayahnya jatuh dari kekuasaan.
Pada masa
kecilnya, ia dibimbing dan dididik oleh guru-gurunya tentang al-Qur’ân, sya’ir
Arab, dan kaligrafi. Menginjak masa remaja, Ibnu Hazm mulai mempelajari fiqh
dan hadîts dari gurunya yang bernama Husain bin Ali al-Farisi dan Ahmad bin
Muhammad bin Jasur. Ketika dewasa, ia baru mempelajari ilmu-ilmu lainnya,
seperti filsafat, bahasa, teologi, etika, mantiq, ilmu jiwa, di samping ia juga
memperdalam fiqh dan hadîts.
Pada usia
dewasa inilah, Ibnu Hazm mengarahkan pendidikannya ke majlis taklim di
masjid-masjid Cordoba. Di sana ia mulai berdialog dengan guru dan pakar ilmu
agama. Beberapa di antara gurunya di bidang hadîts, bahasa, logika, dan teologi
adalah Yahyâ bin Mas’ûd bin Wajah al-Jannah dan Abu al-Qâsim Abdurrahman bin
Abi Yazîd al-Azdi. Di bidang fiqh dan peradilan, ia belajar dari al-Khiyâr
al-Lughawi. Guru khusus di bidang fiqh adalah Abi Amr Ahmad bin al-Husain,
Yûsuf bin Abdullâh (Hakim Cordoba), Abdullâh bin Rabî’ al-Tamîmi, dan Abi Amr
al-Tamanki.
Keadaan dan
suasana keilmuan pada masa itu mendukung kemajuan intelektual Ibnu Hazm. Ketika
itu, perpustakaan dan universitas di Cordoba berkembang dengan pesat. Sementara
itu, Toledo (Spanyol) menjadi pusat kegiatan penerjemahan ilmu-ilmu Yunani,
baik filsafat, matematika, ataupun kedokteran. Dengan demikian, kondisi ini
memungkinkan Ibnu Hazm untuk memperdalam pengetahuannya di berbagai disiplin
ilmu dan membentuk kerangka berpikir yang komprehensif. [3]
Tidak mengherankan, jika Ibn Hazm menjadi seorang
pemikir yang tersohor di seantero dunia. Kitab–kitab buah pemikiran Ibn Hazm
banyak menjadi rujukan kaum intelektual, baik yang klasik maupun yang
kontemporer. Hal ini mengingat
keadaan dan suasana keilmuan pada masa itu sangat mendukung kemajuan
intelektual.
Mula-mula Ibn
Hazm mempelajari fiqh madzhab Māliki. Hal lebih disebabkan oleh karena
mayoritas penduduk Spanyol dan Afrika Utara menganut madzhab Māliki. Al-Muwaththa’
sebagai kitab standar madzhab Maliki dipelajari dari gurunya, Ahmad bin
Muhammad bin Jâsûr. Tidak hanya al-Muwaththa’, ia juga mempelajari kitab
Ikhtilaf Imam Mâlik. Setelah mempelajari madzhab Māliki, dia memperdalam
madzhab Syāfi’i dan madzhab Hanafi. Di antara beberapa madzhab yang
dipelajarinya, beliau lebih tertarik pada madzhab Syāfi’i. Namun, lama kelamaan
madzhab ini pun ditinggalkannya karena terlalu banyak memberikan ruang kepada
akal dalam metode qiyâs-nya.[4]Selanjutnya ia berpindah ke
madzhab Dhâhiriyah setelah ia mempelajari kitab fiqh karangan Mundzir bin Sa’îd
al-Balluti (w. 355 H.), seorang ulama dari madzhab Dhâhiri.
Selain memiliki banyak guru, dia juga memiliki banyak
murid yang nantinya dapat menyebarkan dan mengembangkan segala pemikirannya. Di
antara murid-muridnya adalah : Muhammad ibn Futūh ibn ‘Îd yang memperdalam ilmu
sejarah, Abu ‘Abdillah al-Humaidi al-Andalusy yang mengkhususkan diri untuk
mendalami dan mengajarkan buku-buku karya Ibnu Hazm, dan ketiga orang puteranya
yaitu : Abu Rafî’ al-Fadl ibn ‘Ali, Abu Usāmah Ya’qûb ibn ‘Ali, dan Abu Sulaimân al-Musa’ab ibn ‘Ali.[5]
Sebagai
seorang intelek, Ibn Hazm banyak meninggalkan warisan intelektual berupa kitab.
Diriwayatkan bahwa buah karya tulis Ibnu Hazm tidak kurang dari 400 judul
kitab. Kitab-kitab tersebut mencakup berbagai disiplin ilmu. Namun, yang sangat
disayangkan, banyak di antara tulis beliau dibakar dan dimusnahkan oleh orang
yang tidak sepaham dengannya.[6] Di antara kitab-kitab
tersebut adalah : al-Ihkām fi Ushūl al-Ahkām, al-Muhallâ, Ibthāl al-Qiyās,
Tauq al- Hamâmah, Nuqât al-Arûs fi Tawârîkh al-Khulafâ’, al-Fashl fi al-Milal
wa al-Ahwâ’ wa al-Nihal, al-Abthāl, al-Talkhīs wa al-Takhlīs, al Imāmah wa
al-Khulafā’ al-Fihrasah, dan al-Akhlāq wa al-Siyar fi Mudawwanah al-Nufūs.
C.
Pemikiran Ushûl Fiqh Ibnu
Hazm
Sebagai seorang pakar ushûl fiqh dan fiqh, Ibnu Hazm
mempunyai corak pemikiran ushûl fiqh yang berbeda dengan ulama lainnya. Ibnu
Hazm lebih dikenal sebagai pemikir yang bercorak tektualis-literalis karena
pemikirannya lebih dominan mengikuti teks secara dhâhir. Bahkan, ia
menolak kebebasan berijtihad dengan semata-mata mengandalkan rasio. Pemikiran
ushûl fiqh Ibnu Hazm yang paling menonjol antara lain :
1.Hukum yang
secara tegas ditetapkan di dalam al-Qur’ân, hadîts dan ijmâ’ sahabat
ialah wajib, haram, dan mubah. Baginya, tidak ada ruang bagi akal untuk
terlibat secara langsung di dalam pembentukan hukum. Oleh karena itu, ia hanya
mengakui empat macam dalil hukum yang dapat dijadikan sumber dan sandaran untuk
menetapkan hukum, yaitu al-Qur’ân, hadîts, ijmâ’ sahabat, dan dhâhir
nash yang mempunyai satu arti saja.[7]
2.Ibnu Hazm
menolak ijtihad bi al-ra’yi (ijtihad semata-mata mengandalkan rasio).
Untuk pendapatnya ini, Ibnu Hazm mengajukan beberapa argumentasi, antara lain :
a.
Al-Qur’ân; meliputi :
Di dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa di dalam
al-Qur’ân tidak ada yang teralpakan. Sendainya ra’yu mempunyai posisi di
dalam menentukan hukum, niscaya masih ada sesuatu yang teralpakan di dalam
al-Qur’ân. Hal ini bertentangan dengan ayat di atas.
b.
Al-Sunnah :
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan
menghilangkannya dari para manusia, akan tetapi Allah mencabut Ilmu dengan
mewafatkan para ulama. Tatkala Allah tidak menyisakan orang alim, maka manusia
mengangkat pemimpin yang bodoh. Mereka ditanya lalu memberi fatwa tanpa
pengetahuan. Mereka telah sesat dan menyesatkan” (HR.
Ibnu Mâjah)[9].
c.
Pernyataan sahabat. Diriwayatkan
pernyataan sahabat Umar RA.
“Waspadailah pendapat
pendapat kalian dan pendapat orang yang semasa kalian dan telitilah sebelum
kalian berbicara, belajarlah sebelum kalian mengerjakan, karena sesungguhnya
akan datang masa yang terjadi kekaburan antara yang hak dan batal. Sesuatu yang
baik baik justru diinkari dan sesuatu yang tidak baik dijadikan kebiasaan”. [10]
Di
dalam pernyataannya ini, Umar bin Khattab memberi warning akan
penggunaan ra’yu yang sembarangan. Ra’yu dapat menjadikan
kekaburan antara yang benar dan yang batal. Ungkapan ini mengesankan bahwa ra’yu
tidak dapat dijadikan sandaran hukum.
Tentang ayat فاعتبروا
يا اولي الأبصار menurut Ibnu Hazm bukanlah dasar untuk melakukan qiyâs,
yang notabene menggunkan ijtihad bi al-ra’yi. Dalam persepsi Ibnu Hazm,
ayat ini memerintahkan untuk mengambil pelajaran dengan peristiwa-peristiwa
yang telah terjadi, bukan perintah untuk meng-qiyâs-kan hukum.
Di samping itu, Ibnu Hazm juga menolak kesahihan hadîts
yang diriwayatkan sahabat Mu’âdz bin Jabal yang intinya, ia diperkenankan
melakukan ijtihad bi al-ra’yi oleh Rasulullah SAW.[11]
3.Ibnu Hazm
berpendapat bahwa perkataan-perkataan (aqwâl) Rasulullah dan
ketetapan-ketetapan (taqrîrât) Rasulullah merupakan hujjah yang tidak
diragukan lagi, sedangkan perbuatan (af’âl) Rasulullah tidak dapat
dijadikan hujjah kecuali jika disertai dengan penjelasan dari Rasul sendiri.
Sebagai contoh, gerakan shalat yang diajarkan Rasul melalui perbuatan diperkuat
dengan sabdanya : “Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat”[12]
4.Perbedaan yang
paling menonjol antara pemikiran Ibnu Hazm dengan mayoritas para ulama ushûly
adalah tentang ta’lîl al-nushûsh (adanya 'illat bagi nash). Dalam
pandangan Ibnu Hazm nash-nash yang ada tidak mengandung suatu 'illat
yang dijadikan alasan untuk meng-qiyâs-kan dengan kasus-kasus lain yang
mempunyai kesamaan 'illat. Nash hanya untuk menetapkan hukum sesuatu
yang tertera di dalam teks. Sementara kasus yang tidak disebutkan di dalam teks
tidak dapat dihukumi sama. Baginya, Allah tidak menetapkan suatu hukum
berdasarkan 'illat tertentu. Jika di dalam suatu nash Allah menjelaskan
suatu hukum disertai sebabnya, itu menandakan bahwa dalam kasus tersebut
ditetapkan hukum demikian karena ada suatu sebab tertentu, bukan berarti kasus
lain yang mempunyai kesamaan sebab dapat dihukumi sama.[13]
[1] Moh. Abu
Zahrah, Târikh Al-Madzâhib Al-Fiqhiyah, (Kairo : Maktabah Madany, tt),
hlm. 383-384. Ensiklopedi Islam, Op cit, hlm. 148
[2] Ibid,
hlm. 148-149
[3]
Ensiklopedi Hukum Islam, Juz II, Op cit, hlm.608
[4] Moh. Abu Zahroh, Op cit, hal. 387.
[5]
Ensiklopedi Hukum Islam, Op cit, Juz II, hlm.608
[6] Moh. Abu Zahroh, Op cit, hal. 393.
[7]
Ensiklopedi Islam, Vol II, Op cit, hlm. 148-149
[8] Depag
RI, Op cit, hlm. 192.
[9] Abu 'Abdillah
Muhammad bin Yazîd al-Qazwini, Sunan Ibnu Mâjah, (Beirut Dâr al-Kutub
al-Ilmiyah, tt), Juz I, hlm.20.
[10] Abu
Muhammad Abdullah bin Abd al-Rahmân bin Fadl bin Bahram al-Tamîmi al-Samarqandi
al-Dârimi, Sunan al-Dârimi, Juz I, (Beirut : Dâr al-Kutub
al-Ilmiyah), hlm 107
[11] Abû
Zahroh, Op cit, hlm. 419-320
[12] Abû
Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’îd bin Hazm, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm,
(Beirut : Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tt), Juz I, 149-151
[13] Ibid,
hlm.583
0 komentar:
Posting Komentar