Senin, 08 Juli 2013

Sadd al-Dzari'ah Ibnu Qayyim

Sadd al-Dzarî’ah
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah

A.    Pandangan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah tentang Sadd al-Dzarî’ah
Ibnu al-Qayyim mengartikan al-dzarî’ah dengan hal-hal yang dapat menjadi media dan jalan menuju sesuatu yang lain. Dalam beberapa karya-karyanya, Ibnu al-Qayyim pada biasanya menggunakan istilah al-dzarâi’ sebagai bentuk plural dari al-dzarî’ah. Menurutnya, al-dzarâi’ merupakan salah satu dalil ahkâm. Untuk mendukung pendapatnya ini, ia mengemukakan alur pikir berikut ini :
Setiap tujuan tidak akan tercapai tanpa melalui sebab dan media yang menjadi perantara. Media yang berfungsi sebagai pengantar adalah suatu keharusan yang tidak dapat diabaikan. Oleh karenanya, pengantar tersebut status hukumnya sama dengan tujuan yang akan dicapai.
Perantara pada suatu keharaman dan kemaksiatan akan dikenai hukum yang sama sebatas kemungkinannya dapat mengantar kepada keharaman. Sebaliknya, media kebaikan dan ibadah akan menyandang hukum yang sama sekadar dapat mengantar kepada kebaikan yang dimaksud. Berarti, pengantar pada suatu tujuan tertentu sama halnya dengan tujuan itu sendiri. Karena keduanya sama-sama dimaksudkan. Tujuan (ghâyah) dimaksud sebagai capaian akhir, sedangkan perantara (wasîlah) dimaksud sebagai pengantar.
Tatkala Allah mengharamkan suatu hal, sedangkan untuk dapat melakukannya membutuhkan suatu perantara, maka Allah juga mengharamkan perantara itu sebagai bentuk ketegasan larangan Allah. Seandainya Allah tidak mengharamkan perantara itu, sama halnya Allah membatalkan larangan-Nya. Hal ini selaras dengan hikmah dan ilmu Allah bahkan senada dengan nalar politik para penguasa di dunia. Sebagai contoh, apabila seorang komandan melarang kepada prajurit atau bawahannya akan melakukan sesuatu, sementara ia membolehkan hal-hal yang dapat menjerumuskan kepada larangan tersebut, berarti larangan ini menjadi mandul dan tidak dianggap. Contoh lain, Seorang dokter yang hendak mengobati penyakit pasien, ia pasti melarangnya melakukan sesuatu yang dapat membuat penyakitnya kambuh kembali. Sebab, jika sang dokter tidak melarangnya berarti dokter tersebut sia-sia mengobati pasien.
Jadi, untuk menentukan status hukum al-dzarî’ah, harus memandang pada tujuan yang akan dicapai. Jika tujuannya suatu yang baik, maka harus dibuka jalan yang lebar bagi al-dzarî’ah sebagai pengantar kepada kemaslahatan. Hal ini pada biasanya disebut fath al-dzarî’ah. Sedangkan jika mengantar kepada mafsadat atau larangan, maka al-dzarî’ah harus ditutup rapat-rapat. Hal ini biasa disebut dengan sadd al-dzarî’ah. Akan tetapi, pada biasanya yang dimaksud dalam al-dzarî’ah adalah sesuatu yang mengantar kepada mafsadat, sehingga yang populer disebut adalah sadd al-dzarî’ah.
Ibnu al-Qayyim membagi suatu yang dapat mengantar kepada kerusakan (mafsadat) menjadi dua bagian :
1.      Sesuatu yang memang ditetapkan untuk mengantar kepada mafsadat.
2.      Sesuatu yang semestinya ditetapkan untuk mengantar kepada suatu yang mubah atau sunnah, akan tetapi dijadikan perantara untuk mencapai tujuan yang haram, baik secara sengaja atau secara tidak sengaja.
Bagian kedua ini tercabang lagi menjadi dua bagian :
1.      Mafsadatnya lebih dominan dari pada maslahatnya.
2.      Sisi kemaslahatannya lebih dominan
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembagian al-dzarâi’ menurut Ibnu al-Qayyim ada empat macam, yaitu :
1.        Sesuatu yang sejak semula dapat mengantar kepada mafsadat, misalnya minum khamr dapat membuat mabuk, menuduh zina dapat mengantar kepada membuat kedustaan, berzina dapat menyebabkan tercampurnya nasab.
2.        Sesuatu yang pada dasarnya merupakan media sesuatu yang boleh akan tetapi dijadikan perantara mencapai mafsadat, misalnya berakad nikah seraya bermaksud menghalalkan mantan suami yang mentalak tiga, melakukan jual beli dengan tujuan memperkenankan riba.
3.        Sesuatu yang pada dasarnya merupakan media sesuatu yang mubah tanpa disertai tujuan mencapai mafsadat, akan tetapi lebih dominan cenderung mengantar kepada mafsadat, misalnya shalat sunnah di waktu-waktu yang dilarang, mencaci sesembahan orang musyrik di depan mata mereka, shalat di depan kuburan, beriasnya perempuan pada masa ‘iddah karena wafatnya suami.
4.        Sesuatu yang pada dasarnya merupakan media sesuatu yang mubah tanpa disertai tujuan mencapai mafsadat serta terdapat kemungkinan mengantar kepada mafsadat akan tetapi sisi maslahatnya lebih dominan, misalnya memandang kepada perempuan yang dipinang, melihat perempuan ketika bertransaksi, berkata jujur di hadapan penguasa yang dhalim.
Untuk bagian yang pertama, semua ulama sepakat bahwa hukumnya haram atau hanya sebatas makruh sesuai dengan kadar mafsadat yang ditimbulkan. Bagian yang keempat juga disepakati kebolehnnya, atau sunnah, atau bahkan wajib sebanding dengan tingkatan kemaslahatan yang dihasilkan. Untuk bagian kedua dan ketiga inilah yang menjadi ajang perdebatan. Apakah syara' menutupnya rapat-rapat agar mafsadat yang akan dihasilkan tidak terwujud ataukah syara' masih memberi kelonggaran untuk dilaksanakan? Dalam masalah ini Ibnu al-Qayyim memilih pendapat untuk menutup akses kepada mafsadat, yang biasa dikenal dengan sadd al-dzarî’ah.
Dalam menetapkan pemikirannya ini, Ibnu al-Qayyim mengajukan dalil tentang kehujjahan sadd al-dzarî’ah. Semua dalil yang diajukan berasal dari al-Qur’ân dan sunnah yang menjadi bukti kehujjahan sadd al-dzarî’ah. Dalil-dalil tersebut antara lain :
1.      Firman Allah dalam surat al-An’âm : 108
 “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan[1]
Di dalam ayat ini Allah melarang mencaci sesembahan orang musyrik padahal hal itu dilakukan untuk membela Allah, akan tetapi di sisi lain dapat menyebabkan orang-orang musyrik membalas menghina Allah. Nampak jelas bahwa larangan ini bukan faktor menghina sesembahan orang kafir, tetapi larangan tersebut terletak pada dampak yang ditimbulkan dari perbuatan ini. Larangan Allah ini dalam rangka mengantisipasi munculnya akibat yang jelek. Inilah praktek sadd al-dzarî’ah.
2.      Firman Allah dalam surat : al-Nur : 31
 Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”[2]
Ayat ini melarang perempuan menghentakkan kaki ke tanah dengan memakai gelang kaki. Sebenarnya perbuatan ini tidak terlarang, akan tetapi karena dapat menyebabkan menarik perhatian laki-laki sehingga dapat menimbulkan syahwat, maka perbuatan ini dilarang. Larangan ini merupakan bentuk sadd al-dzarî’ah.
3.      Nabi melarang berkhalwat meskipun untuk membacakan al-Qur’ân, bepergian bersama perempuan lain meskipun untuk tujuan haji atau mengunjungi orang tua sebagai bentuk antisipasi dari terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang tidak diperkenankan syara’.
4.      Nabi melarang kepada para sahabat membunuh orang-orang munafik. Meskipun membunuh orang munafik nampak maslahatnya, akan tetapi Nabi melarangnya sebagai antisipasi akan adanya orang-orang yang menghindar dari Islam karena dimunculkan desas-desus bahwa Nabi Muhammad membunuh teman-temannya sendiri. Sikap Nabi ini merupakan manifestasi sadd al-dzarî’ah.
Sebenarnya masih banyak dalil yang dijadikan dasar Ibnu al-Qayyim untuk menetapkan kehujjahan sadd al-dzarî’ah. Ada sembilan puluh sembilan dalil yang diungkapkan Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya I’lâm al-Muwaqqi’în. Dalil-dalil tersebut diambil dari al-Qur’ân atau hadits yang secara aplikatif menggunakan metode sadd al-dzarî’ah. Dengan alur pikir ini, Ibnu al-Qayyim berpandangan bahwa al-Qur’ân dan hadits mengakui prektek pengambilan hukum berdasarkan sadd al-dzarî’ah.
Dalam tataran praksis, Ibnu al-Qayyim sering menggunakan sadd al-dzarî’ah dalam memproduk hukum. Sebagai contoh, sekelompok orang secara keroyokan yang membunuh satu orang akan di-qishâsh seluruhnya, padahal semestinya aturan qishâsh harus seimbang. Jika menghilangkan nyawa satu orang, hukumannya juga dibunuh satu orang. Akan tetapi, ketentuan ini diberlakukan berdasarkan sadd al-dzarî’ah. Alasannya jika tidak dibunuh semua dikhawatirkan banyak terjadi pertumpahan darah secara sia-sia, dalam arti para pelakunya tidak dikenai hukuman yang setimpal.[3]
Keharaman khamr tidak memandang kadar yang diminum. Sedikit atau banyak sama-sama diharamkan. Walaupun meneguk sedikit saja tidak memabukkan, akan tetapi dapat berpotensi untuk mendorong minum khamr lebih banyak. Ketika minum khamr dalam kadar yang banyak, maka mengakibatkan mabuk. Ketika mabuk, pikiran menjadi tidak stabil sehingga menimbulkan permusuhan dan pertengkaran. Lebih dari itu, khamr juga haram disimpan dan dianggap najis. Ketentuan ini dalam rangka menutup rapat-rapat hal-hal yang dapat menghanyutkan seseorang untuk meneguk khamr. Keharaman minum khamr dengan kadar yang banyak karena membuat mafsadat, sedangkan keharaman minum khamr dengan kadar sedikit adalah berdasar pada sadd al-dzarî’ah.[4]
Sadd al-dzarî’ah ini diaplikasikan dalam semua kasus. Namun, dalam kitab Zâd al-Ma’âd, Ibnu al-Qayyim menandaskan sebagai berikut :[5]
Dalam salah satu karyanya ini, Ibnu al-Qayyim memberi catatan bahwa sadd al-dzarî’ah dapat diterapkan apabila tidak bertentangan dengan hajat dan kemashlahatan. Jika terjadi pertentangan antara sadd al-dzarî’ah dan mashlahat, maka mashlahat yang diunggulkan sebagaimana terdapat dalam salah satu karya Ibnu al-Qayyim :[6]
Dalam I’lâm al-Muwaqqi’în, Ibnu al-Qayyim menyebutkan :[7]
Dalam redaksi yang berbeda, Ibnu al-Qayyim menegaskan bahwa sadd al-dzarî’ah tidak dapat ditetapkan ketika mengabaikan kemaslahatan atau menimbulkan mafsadat yang lebih besar.
Sebagai contohnya ialah melihat perempuan diharamkan karena dapat mengantarkan kepada perbuatan keji. Akan tetapi larangan ini tidak berlaku jika terdapat kebutuhan (hajat) dan kemasalahatan untuk melihat semisal untuk meminang, bertransaksi, bersaksi, dan sebagainya. Shalat sunnah di waktu-waktu yang dilarang adalah haram karena dapat dianggap menyerupai orang-orang kafir yang menyembah matahari. Sebab, di waktu itulah orang-orang kafir ini menyembah mataahari. Akan tetapi ketika terdapat kemaslahatan tertentu, maka tidak diharamkan shalat di waktu yang dilarang. Keharaman memakai sutera bagi laki-laki berdasarkan sadd al-dzarî’ah, makanya diperbolehkan bagi perempuan dan bagi laki-laki untuk kemaslahatan tertentu, misalnya bagi orang yang berpenyakit gatal, suhu terlalu panas. Riba al-Fadl diharamkan dalam rangka menutup kemungkinan terjadinya riba nasî’ah[8], akan tetapi praktek riba Fadl[9] diperbolehkan dalam jual beli ‘arâya[10] karena ada kebutuhan.
Disebabkan saking banyaknya kasus-kasus yang dihukumi berdasarkan sadd al-dzarî’ah, Ibnu al-Qayyim menyatakan bahwa sadd al-dzarî’ah merupakan seperempat taklif. Sebab, taklif terdiri dari perintah dan larangan. Perintah mencakup dua hal; yakni sesuatu yang dimaksud untuk diperintahkan dan sesuatu yang dapat mengantar kepada suatu yang diperintahkan. Sedangkan larangan juga mencakup dua hal, yakni sesuatu yang memang mengandung mafsadat dan sesuatu yang dapat mengantar kepada mafsadat. Kesimpulannya, sesuatu yang menjadi wasîlah kepada keharaman merupakan seperempat dari agama.[11]
Dengan berpegang pada konsep sadd al-dzarî’ah, Ibnu al-Qayyim menegaskan bahwa hîlah (merekayasa hukum) diharamkan. Menurutnya, membolehkan hîlah berarti bertentangan dengan sadd al-dzarî’ah. Alasannya, Syari’ menutup rapat-rapat semua media yang memungkinkan sampai kepada mafsadat. Sedangkan orang yang melakukan hîlah bermaksud untuk membuka jalan kepada mafsadat dengan cara rekayasa.[12]
Dalam kitab Ighâtsah al-Lahfân, Ibnu al-Qayyim menuturkan :[13]
Dalam kitab ini, Ibnu al-Qayyim lebih menegaskan lagi bahwa sadd al-dzarî’ah kontradiksi dengan hîlah.[14] Sadd al-dzarî’ah ditetapkan dalam rangka mengantisipasi terjadinya keharaman, sementara hîlah berorientasi kepada usaha-usaha untuk melegalkan suatu yang haram. Bahkan, meskipun seseorang tidak bermaksud kepada mafsadat tersebut, asalkan perbuatannya dapat mengantar kepada mafsadat, maka harus diantisipasi dan dicegah. Ini merupakan prinsip sadd al-dzarî’ah. Dalam kitab Ighâtsah al-Lahfân, Ibnu al-Qayyim menegaskan :[15]
Dalam halaman berikutnya, Ibnu al-Qayyim menjelaskan secara rinci bahwa sesuatu yang diharamkan terdiri dari dua, yaitu mafasid dan media kepada mafasid. Sesuatu yang menjadi media terhadap mafasid ini diharamkan juga sejalan dengan mafasid itu sendiri. Demikian pula kebaikan ada dua, mashâlih, dan media kepada mashâlih. Pengantar kepada mashâlih ini harus diberi jalan kebolehan (fath al-dzarî’ah) sebagaimana pengantar kepada mafasid harus ditutup (sadd al-dzarî’ah).
Lebih lanjut Ibnu al-Qayyim menjelaskan tentang sesuatu yang dapat mengantar kepada keharaman, akan tetapi pelakunya tidak bermaksud mencapai mafsadat tersebut. Berikut ini ungkapan Ibnu al-Qayyim dalam kitab Ighâtsah al-Lahfân :[16]



[1] Departemen Agama, al-Qur'an dan Terjemahnya, (Madinah: Mujamma' Khâdim al-Haramain), hlm. 205
[2] Ibid, hlm. 548.
[3] Syams al-Dîn Abi Abdillâh Muhammad bin Abi bakar ibnu al-Qayyim, Ighâtsah al-Lahfân, (al-Maktabah al-Syâmilah), Juz I, 367
[4] Syams al-Dîn Abi Abdillâh Muhammad bin Abi bakar ibnu al-Qayyim, Al-Fatâwa al-Kubro, (al-Maktabah al-Syâmilah), Juz III, 259, Syams al-Dîn Abi Abdillâh Muhammad bin Abi bakar ibnu al-Qayyim, al-Furûsiyah , (al-Maktabah al-Syâmilah), hlm. 309
[5] Syams al-Dîn Abi Abdillâh Muhammad bin Abi bakar ibnu al-Qayyim, Zâd al-Ma’âd, (al-Maktabah al-Syâmilah), Juz IV, 78
[6] Ibid, Juz V,hlm.148
[7] Ibnu al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, Op cit, Juz III, hlm.165
[8] Riba nasi’ah ialah menjual barang ribawi dengan bertempo atau tidak kontan. Abdullah bin Hujazi bin Ibrahim al-Syarqawi, Hasyiyah al-Syarqawi, Juz II, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), hlm.30.
[9] Riba fadl adalah menjual barang ribawi dengan ada kelebihan salah satu barang yang dipertukarkan. Ibid,hlm.30.
[10] Jual beli ‘araya ialah menukar kurma yang sudah kering dengan kurma yang masih di atas pohon. Abi Zakariyâ Muhyiddîn bin Syaraf, al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, (Beirut : Dâr al-Fikr, tt), Juz XI, hlm.2.
[11] Ibnu al-Qayyim, I’lâm Muwaqqi’în, Op cit, Juz III, hlm.171
[12] Ibid, hlm.171
[13] Ibnu al-Qayyim, Ighâtsah al-Lahfân, Op cit, Juz I, hlm.361
[14] Hîlah secara bahasa adalah kecerdikan, kemampuan bertindak, tipu daya (muslihat), alasan yang dicari-cari untuk melepaskan diri. Lihat; KH. Ahmad Warsun Munawir, "Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia", (Surabaya : Penerbit Pustaka Progresif, 1997), cet XIV, hlm.311. Secara terminologi, hîlah ialah melakukan suatu amalan yang pada lahirnya diperbolehkan untuk membatalkan hukum syara’ lainnya. Misalnya, seseorang menghibahkan hartanya. Hibah tersebut dilakukan ketika masa haul (satu tahun) sudah mendekat, seperti beberapa hari sebelum haul dan nisab harta yang wajib dizakatkan pun telah tercapai. Secara lahir, tindakan menghibahkan harta tersebut sangat terpuji. Akan tetapi, jika orang tersebut sengaja melakukan hibah mendekati kewajiban zakat, berarti dia bermaksud lari dari kewajiban zakat, karena dengan dihibahkan sebagian hartanya, maka nisab zakat menjadi tidak tercapai lagi. Jadi, hibah sebagaimana di atas merupakan hîlah untuk menghindari kewajiban zakat. Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. II, hlm. 553-554.
[15] Ibnu al-Qayyim, Ighâtsah, Op cit, Juz I, hlm. 362
[16] Ibid, hlm. 370

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id