Sadd
al-Dzarî’ah
Ibnu al-Qayyim
al-Jauziyah
A.
Pandangan Ibnu al-Qayyim
al-Jauziyah tentang Sadd al-Dzarî’ah
Ibnu al-Qayyim mengartikan al-dzarî’ah dengan
hal-hal yang dapat menjadi media dan jalan menuju sesuatu yang lain. Dalam
beberapa karya-karyanya, Ibnu al-Qayyim pada biasanya menggunakan istilah al-dzarâi’
sebagai bentuk plural dari al-dzarî’ah. Menurutnya, al-dzarâi’
merupakan salah satu dalil ahkâm. Untuk mendukung pendapatnya ini, ia
mengemukakan alur pikir berikut ini :
Setiap tujuan tidak akan tercapai tanpa melalui sebab
dan media yang menjadi perantara. Media yang berfungsi sebagai pengantar adalah
suatu keharusan yang tidak dapat diabaikan. Oleh karenanya, pengantar tersebut
status hukumnya sama dengan tujuan yang akan dicapai.
Perantara pada suatu keharaman dan kemaksiatan akan
dikenai hukum yang sama sebatas kemungkinannya dapat mengantar kepada
keharaman. Sebaliknya, media kebaikan dan ibadah akan menyandang hukum yang
sama sekadar dapat mengantar kepada kebaikan yang dimaksud. Berarti, pengantar pada suatu tujuan tertentu sama
halnya dengan tujuan itu sendiri. Karena keduanya sama-sama dimaksudkan. Tujuan
(ghâyah) dimaksud sebagai capaian akhir, sedangkan perantara (wasîlah)
dimaksud sebagai pengantar.
Tatkala Allah
mengharamkan suatu hal, sedangkan untuk dapat melakukannya membutuhkan suatu
perantara, maka Allah juga mengharamkan perantara itu sebagai bentuk ketegasan
larangan Allah. Seandainya Allah tidak mengharamkan perantara itu, sama
halnya Allah membatalkan larangan-Nya. Hal ini selaras dengan hikmah dan ilmu
Allah bahkan senada dengan nalar politik para penguasa di dunia. Sebagai
contoh, apabila seorang komandan melarang kepada prajurit atau bawahannya akan
melakukan sesuatu, sementara ia membolehkan hal-hal yang dapat menjerumuskan
kepada larangan tersebut, berarti larangan ini menjadi mandul dan tidak
dianggap. Contoh lain, Seorang dokter yang hendak mengobati penyakit pasien, ia
pasti melarangnya melakukan sesuatu yang dapat membuat penyakitnya kambuh
kembali. Sebab, jika sang dokter tidak melarangnya berarti dokter tersebut
sia-sia mengobati pasien.
Jadi, untuk menentukan status hukum al-dzarî’ah,
harus memandang pada tujuan yang akan dicapai. Jika tujuannya suatu yang baik,
maka harus dibuka jalan yang lebar bagi al-dzarî’ah sebagai pengantar
kepada kemaslahatan. Hal ini pada biasanya disebut fath al-dzarî’ah.
Sedangkan jika mengantar kepada mafsadat atau larangan, maka al-dzarî’ah
harus ditutup rapat-rapat. Hal ini biasa disebut dengan sadd al-dzarî’ah.
Akan tetapi, pada biasanya yang dimaksud dalam al-dzarî’ah adalah
sesuatu yang mengantar kepada mafsadat, sehingga yang populer disebut
adalah sadd al-dzarî’ah.
Ibnu al-Qayyim membagi suatu yang dapat mengantar kepada
kerusakan (mafsadat) menjadi dua bagian :
1.
Sesuatu yang memang ditetapkan
untuk mengantar kepada mafsadat.
2.
Sesuatu yang semestinya ditetapkan
untuk mengantar kepada suatu yang mubah atau sunnah, akan tetapi dijadikan
perantara untuk mencapai tujuan yang haram, baik secara sengaja atau secara
tidak sengaja.
Bagian kedua ini tercabang lagi menjadi dua bagian :
1.
Mafsadatnya lebih dominan
dari pada maslahatnya.
2. Sisi kemaslahatannya lebih dominan
Jadi, dapat
disimpulkan bahwa pembagian al-dzarâi’ menurut Ibnu al-Qayyim ada empat
macam, yaitu :
1.
Sesuatu yang sejak semula dapat mengantar kepada mafsadat,
misalnya minum khamr dapat membuat mabuk, menuduh zina dapat mengantar
kepada membuat kedustaan, berzina dapat menyebabkan tercampurnya nasab.
2.
Sesuatu yang pada dasarnya merupakan media sesuatu
yang boleh akan tetapi dijadikan perantara mencapai mafsadat, misalnya
berakad nikah seraya bermaksud menghalalkan mantan suami yang mentalak tiga,
melakukan jual beli dengan tujuan memperkenankan riba.
3.
Sesuatu yang pada dasarnya merupakan media sesuatu
yang mubah tanpa disertai tujuan mencapai mafsadat, akan tetapi lebih
dominan cenderung mengantar kepada mafsadat, misalnya shalat sunnah di
waktu-waktu yang dilarang, mencaci sesembahan orang musyrik di depan mata
mereka, shalat di depan kuburan, beriasnya perempuan pada masa ‘iddah
karena wafatnya suami.
4.
Sesuatu yang pada dasarnya merupakan media sesuatu
yang mubah tanpa disertai tujuan mencapai mafsadat serta terdapat
kemungkinan mengantar kepada mafsadat akan tetapi sisi maslahatnya lebih
dominan, misalnya memandang kepada perempuan yang dipinang, melihat perempuan
ketika bertransaksi, berkata jujur di hadapan penguasa yang dhalim.
Untuk bagian
yang pertama, semua ulama sepakat bahwa hukumnya haram atau hanya sebatas
makruh sesuai dengan kadar mafsadat yang ditimbulkan. Bagian yang
keempat juga disepakati kebolehnnya, atau sunnah, atau bahkan wajib sebanding
dengan tingkatan kemaslahatan yang dihasilkan. Untuk bagian kedua dan
ketiga inilah yang menjadi ajang perdebatan. Apakah syara' menutupnya
rapat-rapat agar mafsadat yang akan dihasilkan tidak terwujud ataukah
syara' masih memberi kelonggaran untuk dilaksanakan? Dalam masalah ini Ibnu
al-Qayyim memilih pendapat untuk menutup akses kepada mafsadat, yang
biasa dikenal dengan sadd al-dzarî’ah.
Dalam menetapkan pemikirannya ini, Ibnu al-Qayyim
mengajukan dalil tentang kehujjahan sadd al-dzarî’ah. Semua dalil yang
diajukan berasal dari al-Qur’ân dan sunnah yang menjadi bukti kehujjahan sadd
al-dzarî’ah. Dalil-dalil tersebut antara lain :
1.
Firman Allah dalam surat al-An’âm
: 108
“Dan janganlah
kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka
nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”[1]
Di
dalam ayat ini
Allah melarang mencaci sesembahan orang musyrik padahal hal itu dilakukan untuk
membela Allah, akan tetapi di sisi lain dapat menyebabkan orang-orang musyrik
membalas menghina Allah. Nampak jelas bahwa larangan ini bukan faktor menghina
sesembahan orang kafir, tetapi larangan tersebut terletak pada dampak yang
ditimbulkan dari perbuatan ini. Larangan Allah ini dalam rangka mengantisipasi
munculnya akibat yang jelek. Inilah praktek sadd al-dzarî’ah.
2.
Firman Allah dalam surat : al-Nur
: 31
“Dan janganlah
mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”[2]
Ayat
ini melarang perempuan menghentakkan kaki ke tanah dengan memakai gelang kaki.
Sebenarnya perbuatan ini tidak terlarang, akan tetapi karena dapat menyebabkan
menarik perhatian laki-laki sehingga dapat menimbulkan syahwat, maka perbuatan
ini dilarang. Larangan ini merupakan bentuk sadd al-dzarî’ah.
3.
Nabi melarang berkhalwat meskipun
untuk membacakan al-Qur’ân, bepergian bersama perempuan lain meskipun untuk
tujuan haji atau mengunjungi orang tua sebagai bentuk antisipasi dari
terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang tidak diperkenankan syara’.
4. Nabi melarang kepada para sahabat membunuh orang-orang munafik.
Meskipun membunuh orang munafik nampak maslahatnya, akan tetapi Nabi
melarangnya sebagai antisipasi akan adanya orang-orang yang menghindar dari
Islam karena dimunculkan desas-desus bahwa Nabi Muhammad membunuh
teman-temannya sendiri. Sikap Nabi ini merupakan manifestasi sadd al-dzarî’ah.
Sebenarnya
masih banyak dalil yang dijadikan dasar Ibnu al-Qayyim untuk menetapkan
kehujjahan sadd al-dzarî’ah. Ada sembilan puluh sembilan dalil yang
diungkapkan Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya I’lâm al-Muwaqqi’în. Dalil-dalil tersebut
diambil dari al-Qur’ân atau hadits yang secara aplikatif menggunakan
metode sadd al-dzarî’ah. Dengan alur pikir ini, Ibnu al-Qayyim
berpandangan bahwa al-Qur’ân dan hadits mengakui prektek pengambilan hukum
berdasarkan sadd al-dzarî’ah.
Dalam tataran praksis, Ibnu al-Qayyim sering menggunakan
sadd al-dzarî’ah dalam memproduk hukum. Sebagai contoh, sekelompok orang
secara keroyokan yang membunuh satu orang akan di-qishâsh seluruhnya,
padahal semestinya aturan qishâsh harus seimbang. Jika menghilangkan
nyawa satu orang, hukumannya juga dibunuh satu orang. Akan tetapi, ketentuan
ini diberlakukan berdasarkan sadd al-dzarî’ah. Alasannya jika tidak
dibunuh semua dikhawatirkan banyak terjadi pertumpahan darah secara sia-sia,
dalam arti para pelakunya tidak dikenai hukuman yang setimpal.[3]
Keharaman khamr tidak memandang kadar yang
diminum. Sedikit atau banyak sama-sama diharamkan. Walaupun meneguk sedikit
saja tidak memabukkan, akan tetapi dapat berpotensi untuk mendorong minum khamr
lebih banyak. Ketika minum khamr dalam kadar yang banyak, maka
mengakibatkan mabuk. Ketika mabuk, pikiran menjadi tidak stabil sehingga
menimbulkan permusuhan dan pertengkaran. Lebih dari itu, khamr juga
haram disimpan dan dianggap najis. Ketentuan ini dalam rangka menutup
rapat-rapat hal-hal yang dapat menghanyutkan seseorang untuk meneguk khamr.
Keharaman minum khamr dengan kadar yang banyak karena membuat mafsadat,
sedangkan keharaman minum khamr dengan kadar sedikit adalah berdasar
pada sadd al-dzarî’ah.[4]
Sadd al-dzarî’ah ini diaplikasikan dalam semua
kasus. Namun, dalam kitab Zâd al-Ma’âd, Ibnu al-Qayyim menandaskan sebagai
berikut :[5]
Dalam
salah satu karyanya ini, Ibnu al-Qayyim memberi catatan bahwa sadd
al-dzarî’ah dapat diterapkan apabila tidak bertentangan dengan hajat dan
kemashlahatan. Jika terjadi pertentangan antara sadd al-dzarî’ah dan
mashlahat, maka mashlahat yang diunggulkan sebagaimana terdapat dalam salah
satu karya Ibnu al-Qayyim :[6]
Dalam redaksi yang berbeda, Ibnu al-Qayyim menegaskan
bahwa sadd al-dzarî’ah tidak dapat ditetapkan ketika mengabaikan
kemaslahatan atau menimbulkan mafsadat yang lebih besar.
Sebagai contohnya ialah melihat perempuan diharamkan
karena dapat mengantarkan kepada perbuatan keji. Akan tetapi larangan ini tidak
berlaku jika terdapat kebutuhan (hajat) dan kemasalahatan untuk melihat
semisal untuk meminang, bertransaksi, bersaksi, dan sebagainya. Shalat sunnah
di waktu-waktu yang dilarang adalah haram karena dapat dianggap menyerupai
orang-orang kafir yang menyembah matahari. Sebab, di waktu itulah orang-orang
kafir ini menyembah mataahari. Akan tetapi ketika terdapat kemaslahatan
tertentu, maka tidak diharamkan shalat di waktu yang dilarang. Keharaman
memakai sutera bagi laki-laki berdasarkan sadd al-dzarî’ah, makanya
diperbolehkan bagi perempuan dan bagi laki-laki untuk kemaslahatan tertentu,
misalnya bagi orang yang berpenyakit gatal, suhu terlalu panas. Riba al-Fadl
diharamkan dalam rangka menutup kemungkinan terjadinya riba nasî’ah[8], akan
tetapi praktek riba Fadl[9]
diperbolehkan dalam jual beli ‘arâya[10] karena
ada kebutuhan.
Disebabkan saking banyaknya kasus-kasus yang dihukumi
berdasarkan sadd al-dzarî’ah, Ibnu al-Qayyim menyatakan bahwa sadd
al-dzarî’ah merupakan seperempat taklif. Sebab, taklif terdiri dari
perintah dan larangan. Perintah mencakup dua hal; yakni sesuatu yang dimaksud
untuk diperintahkan dan sesuatu yang dapat mengantar kepada suatu yang
diperintahkan. Sedangkan larangan juga mencakup dua hal, yakni sesuatu yang memang
mengandung mafsadat dan sesuatu yang dapat mengantar kepada mafsadat.
Kesimpulannya, sesuatu yang menjadi wasîlah kepada keharaman merupakan
seperempat dari agama.[11]
Dengan berpegang pada konsep sadd al-dzarî’ah,
Ibnu al-Qayyim menegaskan bahwa hîlah (merekayasa hukum) diharamkan.
Menurutnya, membolehkan hîlah berarti bertentangan dengan sadd
al-dzarî’ah. Alasannya, Syari’ menutup rapat-rapat semua media yang
memungkinkan sampai kepada mafsadat. Sedangkan orang yang melakukan hîlah
bermaksud untuk membuka jalan kepada mafsadat dengan cara rekayasa.[12]
Dalam kitab Ighâtsah al-Lahfân, Ibnu al-Qayyim
menuturkan :[13]
Dalam kitab ini, Ibnu al-Qayyim
lebih menegaskan lagi bahwa sadd al-dzarî’ah kontradiksi dengan hîlah.[14]
Sadd al-dzarî’ah ditetapkan dalam rangka mengantisipasi terjadinya
keharaman, sementara hîlah berorientasi kepada usaha-usaha untuk
melegalkan suatu yang haram. Bahkan, meskipun seseorang tidak bermaksud kepada mafsadat
tersebut, asalkan perbuatannya dapat mengantar kepada mafsadat, maka harus
diantisipasi dan dicegah. Ini merupakan prinsip sadd al-dzarî’ah. Dalam
kitab Ighâtsah
al-Lahfân,
Ibnu al-Qayyim menegaskan :[15]
Dalam halaman berikutnya, Ibnu
al-Qayyim menjelaskan secara rinci bahwa sesuatu yang diharamkan terdiri dari
dua, yaitu mafasid dan media kepada mafasid. Sesuatu yang menjadi
media terhadap mafasid ini diharamkan juga sejalan dengan mafasid
itu sendiri. Demikian pula kebaikan ada dua, mashâlih,
dan media kepada mashâlih.
Pengantar kepada mashâlih
ini harus diberi jalan kebolehan (fath al-dzarî’ah) sebagaimana
pengantar kepada mafasid harus ditutup (sadd al-dzarî’ah).
Lebih lanjut Ibnu al-Qayyim
menjelaskan tentang sesuatu yang dapat mengantar kepada keharaman, akan tetapi
pelakunya tidak bermaksud mencapai mafsadat tersebut. Berikut ini
ungkapan Ibnu al-Qayyim dalam kitab Ighâtsah al-Lahfân
:[16]
[1]
Departemen Agama, al-Qur'an dan Terjemahnya, (Madinah: Mujamma' Khâdim
al-Haramain), hlm. 205
[2] Ibid,
hlm. 548.
[3] Syams
al-Dîn Abi Abdillâh Muhammad bin Abi bakar ibnu al-Qayyim, Ighâtsah
al-Lahfân, (al-Maktabah al-Syâmilah), Juz I, 367
[4] Syams
al-Dîn Abi Abdillâh Muhammad bin Abi bakar ibnu al-Qayyim, Al-Fatâwa
al-Kubro, (al-Maktabah al-Syâmilah), Juz III, 259, Syams al-Dîn Abi
Abdillâh Muhammad bin Abi bakar ibnu al-Qayyim, al-Furûsiyah ,
(al-Maktabah al-Syâmilah), hlm. 309
[5] Syams
al-Dîn Abi Abdillâh Muhammad bin Abi bakar ibnu al-Qayyim, Zâd al-Ma’âd,
(al-Maktabah al-Syâmilah), Juz IV, 78
[6] Ibid,
Juz V,hlm.148
[7] Ibnu
al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, Op cit, Juz III, hlm.165
[8] Riba
nasi’ah ialah menjual barang ribawi dengan bertempo atau tidak kontan. Abdullah
bin Hujazi bin Ibrahim al-Syarqawi, Hasyiyah al-Syarqawi, Juz II,
(Beirut : Dar al-Fikr, tt), hlm.30.
[9] Riba
fadl adalah menjual barang ribawi dengan ada kelebihan salah satu barang yang
dipertukarkan. Ibid,hlm.30.
[10] Jual
beli ‘araya ialah menukar kurma yang sudah kering dengan kurma yang masih di
atas pohon. Abi Zakariyâ Muhyiddîn bin Syaraf, al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab,
(Beirut : Dâr al-Fikr, tt), Juz XI, hlm.2.
[11] Ibnu
al-Qayyim, I’lâm Muwaqqi’în, Op cit, Juz III, hlm.171
[12] Ibid,
hlm.171
[13] Ibnu
al-Qayyim, Ighâtsah al-Lahfân, Op cit, Juz I, hlm.361
[14] Hîlah
secara bahasa adalah kecerdikan, kemampuan bertindak, tipu daya (muslihat),
alasan yang dicari-cari untuk melepaskan diri. Lihat; KH. Ahmad Warsun Munawir,
"Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia", (Surabaya : Penerbit
Pustaka Progresif, 1997), cet XIV, hlm.311. Secara terminologi, hîlah ialah
melakukan suatu amalan yang pada lahirnya diperbolehkan untuk membatalkan hukum
syara’ lainnya. Misalnya, seseorang menghibahkan hartanya. Hibah tersebut
dilakukan ketika masa haul (satu tahun) sudah mendekat, seperti beberapa
hari sebelum haul dan nisab harta yang wajib dizakatkan pun telah
tercapai. Secara lahir, tindakan menghibahkan harta tersebut sangat terpuji.
Akan tetapi, jika orang tersebut sengaja melakukan hibah mendekati kewajiban
zakat, berarti dia bermaksud lari dari kewajiban zakat, karena dengan
dihibahkan sebagian hartanya, maka nisab zakat menjadi tidak tercapai lagi.
Jadi, hibah sebagaimana di atas merupakan hîlah untuk menghindari kewajiban
zakat. Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. II, hlm. 553-554.
[15] Ibnu
al-Qayyim, Ighâtsah, Op cit, Juz I, hlm. 362
[16] Ibid,
hlm. 370
0 komentar:
Posting Komentar