PENGENALAN DUNIA USAHA[1]
(Prinsip dan Etika Bisnis dalam Islam)
Hanif Asyhar, M.H.I
Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) memiliki keterkaitan yang tinggi dalam dunia usaha. Hal ini
karena lulusannya memang sangat diharapkan untuk bisa secara langsung mengisi
kesempatan kerja, terutama yang ada di dunia usaha/bisnis.
Disinilah
bedanya dengan sekolah tingkat menengah lain, jika para lulusan sekolah tingkat
menengah selain SMK diarahkan untuk melanjutkan jenjang pendidikan ke perguruan
tinggi, para lulusan SMK telah dipersiapkan kompentensinya sejak awal, sehingga
mereka bisa langsung terjun ke dunia usaha/bisnis setelah tamat.
Namun demikian,
bukan berarti bahwa lulusan SMK tidak dianjurkan untuk melanjutkan ke jenjang
pendidikan perguruan tinggi, atau sebaliknya, bukan berarti pula bahwa lulusan
setingkat SMK (selain SMK) tidak memiliki kemampuan dasar untuk lansung terjun
ke dunia usaha/bisnis.
Sudah kita
maklumi bersama, bahwa pada era modern
seperti sekarang ini, banyak para pengusaha/pelaku bisnis terutama di Indonesia
menghalalkan segala macam cara dalam rangka meraih keuntungan yang
sebesar-besarnya, tanpa memperhatikan etika, moral, hukum Agama dan Negara. Untuk
itulah, pada kesempatan ini kami akan memaparkan secara sederhana bagaimana prinsip
dan etika bisnis yang baik dalam pandangan Islam.
Prinsip dan
Etika Bisnis dalam Islam
1.
Prinsip al-‘Adalah
(keadilan)
Prinsip keadilan ini mencakup
semua bidang kehidupan: politik, hukum, pendidikan, ekonomi, dalam bidang
produksi, distribusi, konsumsi, dan lain-lain. Prinsip adil merupakan prinsip
yang paling urgen diantara prinsip-prinsip yang lain. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan bebuat kebajikan…”[2]
2.
Prinsip al-Ihsan (berbuat
kebaikan)
Al-Ihsan adalah
pemberian manfa’at kepada orang lain lebih daripada hak orang lain itu. Al-Ihsan
itu ditujukan kepada semua makhluq, dalam semua bidang kehidupan termasuk
bidang ekonomi, produksi, distribusi, dan lain-lain.[3]
3.
Prinsip al-Mas’uliyah
(pertanggungjawaban)
Pada prinsip ini terbagi menjadi 3
(tiga) bagian, antara lain:
a.
Mas’uliyah al-Afrad yaitu
pertanggungjawaban antar individu dengan individu, seperti orang tua terhadap
anaknnya, anak terhadap orang tua, suami terhadap isteri, dan isteri terhadap
suami, pertanggungjawaban dua pihak yang telah melakukan transaksi
perekonomian, dan seterusnya.
b.
Mas’uliyah al-Mujtama’ yaitu
pertanggungjawaban dalam masyarakat. Masyarakat tidak mungkin bisa hidup dalam
kebahagiaan tanpa adanya tolong-menolong antara anggota masyarakat. Manusia di
dalam masyarakat diwajibkan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang banyak demi
terciptanya kesejahteraan anggota masyarakat secara merata.
c.
Mas’uliyah ad-Daulah yaitu tanggungjawab
pemerintah atau Negara terhadap masyarakat. Nabi SAW bersabda:
“Kalian
semua adalah pemimpin dan kalian semua bertanggungjawab terhadap
pemeliharaannya (rakyat/yang dipimpin)”[4]
4.
Prinsip al-Kifayah
(kecukupan)
Syari’at Islam tidak menganggap
cukup hanya dengan prinsip mas’uliyah saja, akan tetapi prinsip mas’uliyah
itu harus bisa mewujudkan kecukupan untuk semua anggota masyarakat. Karena
tujuan yang pokok dari prinsip mas’uliyah itu tidak hanya penetapan
kewajiban yang tertentu saja, atas orang-orang yang mampu untuk kemashlahatan
orang-orang fakir. Akan tetapi tujuannya adalah untuk membasmi kefakiran dan
mencukupi kebutuhan primer semua anggota dalam masyarakat.
5.
Prinsip al-Wasathiyah
(keseimbangan)
Al-Wasathiyah adalah lawan
kata dari at-Tatharruf (ekstrim). Prinsip al-Wasathiyah ini tidak
terbatas hanya pada masalah harta benda dan ekonomi saja, tetapi mencakup
seluruh cabang tasyri’ (penetapan peraturan-peraturan) harta benda dan
persoalan-persoalan ibadah.
6.
Prinsip as-Shidqu
(kebenaran dan kejujuran)
Penipuan dan sikap
mengeksploitasi orang lain merupakan perilaku dan akhlaq yang buruk dan keji,
yang harus dibasmi, karena merugikan masyarakat pada umumnya. Islam menjunjung
tinggi akhlaq karimah. Bahkan agama diturunkan oleh Allah SWT kepada para Rasul
adalah untuk membangun akhlaq yang mulia. Harkat dan martabat kemanusiaan
pertama-tama tergantung pada akhlaq karimah. Prinsip kejujuran dan kebenaran
termasuk asas dan sendi akhlaq karimah yang pokok.
7.
Prinsip al-Manfa’ah
(manfa’at)
Barang yang dijadikan transaksi
harus bernilai manfaat manurut syari’at. Transaksi terhadap barang yang tidak
manfaat menurut syara’ dilarang, seperti jual beli khamer, narkoba, miras, dan
lain-lain.
8.
Prinsip ‘an Taradhin
(saling rela/suka sama suka)
Para Ulama’ sepakat bahwa suka
sama suka itu merupakan prinsip transaksi. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang
yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara
kamu…..”[5]
Khatimah
Demikian
pemaparan sederhana ini, yaitu Pengenalan Dunia Usaha, yang kami fokuskan pada
persoalan Prinsip dan Etika usaha/bisnis dalam Islam. Semoga bermanfaat dan dapat
menjadi kontribusi khususnya bagi para calon pengusaha/pelaku bisnis.
0 komentar:
Posting Komentar