Senin, 08 Juli 2013

Pemikiran Ushul Fiqh Ibnu Qayyim



IBNU AL-QAYYIM AL-JAUZIYAH
DAN PEMIKIRAN USHUL AL-FIQH

A.    Biografi Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah merupakan salah satu tokoh madzhab Hanbali yang pemikirannya selalu menghiasi lembaran kitab-kitab turâts. Nama lengkapnya ialah Syam al-Dîn Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyûb bin Sa’ad bin Huraiz al-Zar’i. Di dalam khazanah keilmuan, beliau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah. Sebutan ini lantaran ayah beliau adalah seorang ulama besar sekaligus kurator atau pengelola (qayyim) pada Madrasah al-Jauziyah di Damascus setelah hancurnya salah satu Madrasah Hanâbilah terbesar di Damascus yang didirikan oleh Ibnu al-Jauzi (510 H./1126 M.-597 H./1200 M.).[1] Dari jabatan ayahnya inilah sebutan ini diambil. Ia dilahirkan di daerah Zara’, salah satu bagian dari perkampungan Hauran, sebelah tenggara Damsyq (Damaskus), Suriah, tepatnya pada tanggal 7 Shafar 691 H/ 4 Februari 1292 M.
Beliau dikenal sebagai seorang imam, ‘allâmah, muhaqqiq, hâfidh, ushûli, faqîh, dan ahli nahwu. Di samping pakar di dalam ilmu fiqh dan ushûl fiqh, Ibnu al-Qayyim juga mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang ilmu suluk, ilmu kalam, dan tashawwuf.
Salah satu pemikiran yang khas Ibnu al-Qayyim ialah mengajak kembali kepada al-Qur’ân dan hadits serta memahaminya sesuai dengan pemahaman para al-salaf shâlih. Sehingga, ia dikenal sebagai seorang muslim puritan yang teguh memegang pendiriannya dalam mempertahankan kemurnian akidah dan anti taklid buta. Bahkan beliau memperingatkan kaum muslimin dari adanya khurafat[2] kaum sufi, logika kaum filosof dan zuhud model orang-orang Hindu ke dalam firqah Islamiyah. Baginya, pintu ijtihad selamanya tidak akan ditutup. Siapa saja berhak melakukan ijtihad selama orang tersebut mempunyai kualifikasi sebagai mujtahid.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, wafat pada malam Kamis, tanggal 13 Rajab tahun 751 H./ 26 September 1350 M. Setelah dishalatkan keesokan harinya usai shalat Dhuhur di Masjid Jami’ Besar Dimasyq (Al-Jâmi’ Al-Umawi), ulama ini dimakamkan di pemakaman al-Bâb al-Shaghîr.[3]
B.     Rihlah ilmiah Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah
Sebagai seorang anak yang terlahir dari kalangan keluarga berilmu dan terhormat menjadikan kesempatan emas bagi Ibnu al-Qayyim untuk dapat mengeksplorasi segala daya kemampuannya dalam mengarungi lautan ilmu. Tidak heran jika dalam rihlah ilmiahnya Ibnu al-Qayyim banyak mengenyam beragam disiplin ilmu dari para ulama terkemuka pada masa itu. Terlebih ia hidup pada masa kejayaan ilmu pengetahuan dan didukung dengan pendidikan intensif yang diberikan oleh orang tuanya.
Dari ayahnya, Ibnu al-Qayyim belajar ilmu farâidl karena sang ayah memang sangat menonjol dalam ilmu itu. Selain itu, dia belajar bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath al-Baththiy dengan membaca kitab-kitab Al-Mulakhkhas li Abi al-Balqâ, kitab Al-Jurjâniyah, Alfiyyah Ibnu Mâlik, juga sebagian besar kitab Al-Kâfiyah was Syâfiyah dan sebagian kitab al-Tashîl. Kepada Syaikh Majd al-Dîn al-Tunisi dia belajar satu bagian dari kitab Al-Muqarrib li Ibni Ushfûr. [4]
Dalam disiplin ilmu lainnya, Ibnu Qayyim berguru ilmu hadits pada Syihâb al-Nablusi dan Qadli Taqiy al-Dîn bin Sulaimân. Secara khusus, ia juga pernah belajar hadits pada Fâthimah Umm Muhammad binti Syekh Ibrâhîm yang lebih dikenal dengan nama Fâthimah Jauhar. Beliau  belajar ilmu ushûl dari Syaikh Shafiy al-Dîn al-Hindi, ilmu fiqh dari Syaikh al-Islâm Ibnu Taimiyah dan Syaikh Ismâ’îl bin Muhammad al-Harrâniy. Dia pun terkenal dalam pengetahuannya tentang mazhab-mazhab Salaf.
Hingga akhirnya dia ber-mulâzamah secara total (berguru secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah sesudah kembalinya Ibnu Taimiyah dari Mesir tahun 712 H. hingga wafatnya tahun 728 H. Ketika itu, Ibnu Qayyim sedang pada awal masa mudanya. Selama 16 tahun Ibnu al-Qayyim berguru kepada Ibnu Taimiyah. Di antara sekian banyak gurunya, yang paling banyak berpengaruh adalah Syaikh al-Islâm Ibnu Taimiyah. Ibnu al-Qayyim mengikuti metode gurunya ini dalam menentang dan memerangi orang-orang yang menyimpang dari agama. Sealur dengan gurunya, Ibnu al-Qayyim sangat gencar menyerang kaum filosof, Kristen, dan Yahudi.
Oleh karenanya, dia berkesempatan mereguk sumber ilmunya dari mata air yang luas. Pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah yang penuh kematangan dia cerna benar-benar. Ibnu al-Qayyim pun amat mencintainya, sampai-sampai dia mengambil kebanyakan ijtihad-ijtihadnya dan memberikan pembelaan atas pendapat-pendapat gurunya. Ibnu al-Qayyim juga menyebarluaskan ilmu Ibnu Taimiyah dengan cara menyusun karya-karyanya yang bagus dan dapat diterima.
Mereka berdua seakan tak terpisahkan. Ibnu al-Qayyim pernah dipenjara, dihina dan diarak berkeliling bersama Ibnu Taimiyah sambil didera dengan cambuk di atas seekor onta. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibnu al-Qayyim pun dilepaskan dari penjara. Cacian dan siksaan tersebut disebabkan karena beliau menentang adanya anjuran agar orang pergi berziarah ke kuburan para wali.
Banyak faedah besar yang dia petik selama berguru kepada tokoh kharismatik itu, di antaranya yang penting ialah berdakwah mengajak orang supaya kembali kepada kitab Al-Qur’ân dan sunnah Rasulullah, berpegang kepada keduanya, memahami keduanya sesuai dengan apa yang telah dipahami oleh al-Salaf al-Shâlih.
Ibnu al-Qayyim telah berjuang untuk mencari ilmu serta ber-mulâzamah bersama para ulama besar supaya dapat menyerap ilmu mereka dan supaya bisa menguasai berbagai bidang ilmu Islam. Kehausan ilmiah Ibnu al-Qayyim membuat ia mengembara untuk menuntut ilmu kepada beberapa ulama terkenal di zamannya, antara lain di Mesir dan Makkah, tempat bermukimnya para ulama besar masa itu.
Selain itu, Ibnu al-Qayyim juga merupakan seorang peneliti ulung. Dia menelaah semua ilmu dan segala tsaqâfah yang sedang jaya-jayanya pada masa itu di negeri Syam dan Mesir.
Intelektualitas dan integritas keilmuannya yang tidak diragukan lagi menjadi magnet yang ampuh untuk menarik orang-orang pilihan untuk menimba ilmu kepadanya. Pada realitasnya, Ibnu al-Qayyim berhasil mencetak murid-murid yang berkualitas. Selanjutnya, mereka tumbuh menjadi para ulama terbaik yang telah diakui keilmuannya, di antaranya ialah :
1.      Putera beliau sendiri yang bernama Syaraf al-Dîn Abdullâh (ahli fiqh)
  1. Putera yang lain bernama Ibrâhîm (ahli fiqh)
  2. Ibnu Katsir al-Dimasyqiy (700 H./1300 M.-774 H./1373 M.), seorang ahli tafsir dan hadits  penyusun kitab al-Bidâyah wa al-Nihâyah
  3. Al-Imâm al-Hâfidh Abd al-Rahmân bin Rajab al-Hanbali al-Baghdâdi penyusun kitab Thabaqât al-Hanâbilah (736 H./1335 M.-795 H./1393 M.), ahli fiqh madzhab Hanbali.
  4. Ibnu Abd al-Hâdi bin Qudâmah al-Maqdisi al-Shâlihi al-Hanbali (w.744 H.), ahli fiqh.
  5. Syams al-Dîn Muhammad bin Abd al-Qâdir al-Nablisiy.
  6. Ibnu Abdirrahman al-Nablisiy.
  7. Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz al-Dzhahabi al-Turkumaniy al-Syâfi’i (W. 748 H.), seorang muhaddits.
  8. Ali bin Abd al-Kâfi bin Ali bin Tamâm Al-Subky (W. 756 H.), seorang ahli fiqh
Selain dikenal sebagai ulama yang mendalam ilmunya, Ibnu al-Qayyim termasuk penulis yang produktif. Banyak karya-karya besar dari berbagai disiplin ilmu yang terlahir dari buah karya pikirnya. Oleh karenanya, beliau pantas disebut kamus segala pengetahuan ilmiah. Taha Abdur Rauf, ahli fiqh dan sejarawan menuliskan daftar karya Ibnu al-Qayyim sebanyak 49 buah. Yang terpenting di antaranya ialah Tahdzîb Sunan Abî Dawûd, Safar al-Hujrataian wa bâb al-Sa’âdatain, Madârij al-Sâlikîn, Syarh Asmâ’ al-Kitâb al-‘Azîz, Zâd al-Ma’âd fi Hâdy al-‘Ibâd, Naqd al-Manqûl wa al-Mahq al-Mumayyiz baina al-Mardûd wa al-Maqbûl, Nuzhah al-Musytâqîn wa Raudlah al-Muhibbîn, Tuhfah al-Wadûd fi Ahkâm al-Maulûd, Miftâh Dâr al-Sa’âdah, I’lâm al-Muwaqqi’în 'an Rabbil ‘Âlamîn, Ighâtsah al-Lahfân fi Hukmi Thalaqil Ghadlbân, Ighâtsat al-Lahfân fi Mashâ`id al-Syaithân, Badâi’ al-Fawâ’id, Amtsâl al-Qur’ân, dan Buthlân al-Kimiya’ min Arba’ina Wajhan.[5]
C.    Pemikiran ushûl fiqh Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah
Sebagai salah satu ulama’ ushûl bermadzhab Hanbali, tentunya pemikiran Ibnu al-Qayyim tidak terlepas dari pokok-pokok kaidah ushûl fiqh madzhab Hanbali. Meskipun ada sebagian pendapat Ibnu al-Qayyim yang tidak sejalan dengan Imam Ahmad bin Hanbal, semisal penempatan posisi sunnah sebagai sumber hukum. Dalam pandangan Imam Ahmad bin Hanbal, al-Qur’ân dan sunnah mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sebagai sumber pertama dan utama hukum Islam.[6] Menurut Ibnu al-Qayyim, yang menjadi sumber utama dan pertama hanya al-Qur’ân. Sedangkan sunnah hanya berposisi sebagai runner up.[7] Sehingga, Ibnu al-Qayyim mempunyai karakteristik tersendiri yang menjadi ciri khas pemikirannya.
Pemikiran fiqh dan ushûl fiqh Ibnu al-Qayyim lebih banyak dituangkan dalam karya magnum opusnya “I’lâm al-Muwaqqi’în” dan “al-Thuruq al-Hukmiyah”. Dalam kitabnya ini, Ibnu al-Qayyim mengupas secara panjang lebar pemikirannya tentang ijtihad dan metode ijtihad.
Menurutnya, ijtihad selalu berkembang seiring dinamika perubahan zaman. Hukum harus relevan dengan situasi dan kondisi di berbagai tempat dan masa. Pemikiran ini merupakan refleksi dan sekaligus reaksi dari adanya opini umum di kalangan umat Islam ketika itu yang mempunyai asumsi bahwa pintu ijtihad telah ditutup.
Ibnu al-Qayyim secara lantang menyerukan dan memberikan spirit untuk memarakkan aktifitas berijtihad. Alasannya, hukum-hukum yang telah ada ketika itu sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman dan tempat. Bahkan, ia mengecam keras sikap taklid para ulama di masanya.
Ibnu al-Qayyim mencanangkan penggunaan akal semaksimal mungkin dalam berijtihad. Alasannya, perubahan situasi dan kondisi memerlukan pemikiran yang jeli dan mendalam dalam memproduk hukum yang relevan. Dalam hal ini penggunaan rasio sangat menentukan. Dalam aktifitas berijtihad dengan rasio, Ibnu al-Qayyim menandaskan harus dibarengi dengan niat tulus dan ikhlas tanpa disertai dengan kecenderungan pribadi atau kepentingan tertentu.
Oleh sebab itu, ia membagi ijtihad melalui akal tersebut (ra’yu) menjadi tiga bentuk, yaitu al-ra'yu al-bâtil bilâ raibin[8], al-ra’yu al-shahîh[9], al-ra’yu al-musytabih. Bagian yang pertama dicela, tidak boleh diamalkan dan fatwakan. Bagian kedua dapat diamalkan dan difatwakan. Sedangkan yang ketiga dapat diamalkan dan difatwakan ketika kondisi darurat atau tidak dapat dielakkan lagi, tapi tidak harus diamalkan.[10]
Dalam rangka pengembangan hukum Islam sesuai dengan maqâshid al-syarî'ah, ia mengemukakan beberapa metode ijtihad. Metode yang dapat dipakai adalah ijmâ', qiyâs, al-maslahah al-mursalah, istishâb, ‘urf, dan al-dzarî'ah.
Di antara pemikiran ushûl fiqh Ibnu al-Qayyim yang paling menonjol dan memiliki kekhasan ialah tentang 'urf dan sadd al-dzarî'ah. Ia dikenal sebagai orang pertama yang merumuskan kaidah fiqh :
"Perubahan hukum sesuai dengan perubahan zaman, tempat, dan kondisi"[11]
Kaidah ini mengandung pengertian yang luas dalam berbagai aspek fiqh, karena syari'at Islam senantiasa mengacu pada kemaslahatan manusia, sedang kemaslahatan manusia sangat terkait erat dengan kondisi tempat, zaman, serta lingkungan yang mengitarinya. Pemikiran Ibnu al-Qayyim tentang sadd al-dzarî'ah akan dibahas lebih mendalam dalam ulasan berikut ini.


[1] Madrasah al-Jauziyah terletak di Damascus, desa al-Buzuriyah yang sekarang masih dikenal baik. Dalam perkembangan sejarahnya, madrasah ini pada tahun 1327 H./1910 M. dijadikan mahkamah oleh penguasa Syuriah, kemudian ditempati oleh Jam’iyah al-Is’âf al-Khairiyah (Yayasan Amal al-Khairiyah) dengan membuka sekolah taman kanak-kanak, sampai terbakar pada tahun 1925, ketika terjadi revolusi Syuriah menghadapi Perancis. Di Madrasah inilah Ibnu al-Qayyim memulai pendidikannya di bawah pengawasan langsung ayahnya. Lihat Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. II,  (Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), cet V, hlm.616.
[2] Khurafat berasal dari kata kharifa-yakhrifu-kharfan-kharâfatan yang berarti sesuatu yang dipetik, cerita dusta, dan kisah yang mengandung unsur kebohongan dan kebatilan. Khurafat adalah kata yang mengacu kepada dongeng, kisah, legenda, cerita, asumsi, dugaan, kepercayaan, keyakinan, atau akidah yang tidak benar. Dr Ali Mahfudh, seorang ahli teologi Islam mendefinisikan khurafat dengan “sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal sehat”
Praktek Khurafat dapat terjadi dalam lapangan akidah, ibadah, dan mu’amalah. Dalam lapangan akidah misalnya, terdapat keyakinan yang datang dari luar Islam, seperti keyakinan masyarakat bahwa nasib mereka ditentukan oleh kekuatan-kekuatan sakti atau oleh arwah leluhur mereka. Dalam lapangan mu’amalat misalnya menanam kepala kerbau pada lokasi bangunan besar yang akan dibangun. Praktek ini didasarkan pada pandangan bahwa kepala kerbau dapat menjadi penangkal terhadap mara bahaya yang dapat menimpa bangunan yang akan didirikan. Ibid, Vol. III, hlm. 936-937.
[3] www.republika.co.id
[4] www.wikipediaindonesia.com
[5] Ensiklopedi Islam, Vol II, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), cet II, hlm.148-149.
[6] Posisi sunnah terhadap al-Qur’ân adalah sebagai tafsir dan bayân terhadap al-Qur’ân. Lihat Dr. Abdullâh bin Adbul Muhsin al-Turky, Ushûl Madzhab al-Imâm Ahmad, (Riyâdl : Maktabah al-Riyâdl al-Hadîtsah, 1977), cet II, hlm. 211.
[7] Syams al-Dîn Abi Abdillâh Muhammad bin Abi bakar ibnu al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în,  (Beirut : Dâr al-Fikr, tt), hlm. 288-289. Ensiklopedi Hukum Islam, Op cit, Vol II, hlm. 619
[8] Menurut Ibnu al-Qayyim, yang termasuk dalam kategori al-ra’yu al-bâtil ialah : pendapat yang bertentangan dengan nash, pendapat tentang agama dengan bersandar dugaan disertai betindak serampangan di dalam memahami dan meng-istinbâth-kan hukum dari nash, pendapat yang mengabaikan tuhan, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya, pendapat yang menimbulkan bid’ah dan mengubah ajaran Nabi (sunnah). Ibnu al-Qayyim, Op cit, Juz I, hlm.67-69.
[9] Al-ra’yu al-shahîh disebut juga oleh Ibnu al-Qayyim dengan al-ra’yu al-mahmûd. Yang termasuk dalam kategori ini adalah : pendapat orang yang paling ahli fiqh, paling bersih hatinya, paling mendalam ilmunya yang mengetahui ta’wil dan memahami tujuan pensyari’atan, pendapat yang menjelaskan nash dan mempermudah melakukan istinbâth hukum dari nash, pendapat yang menjadi satu kesepakatan umat, pendapat yang diambil melalui pencarian dari al-Qur’ân. Jika tidak dijumpai, maka mencari di sunnah, jika tidak terdapat, maka mengambil pendapat yang telah diputuskan al-khulafâ’ al-râsyidin atau yang diputuskan oleh salah satu sahabat Nabi. Jika masih tidak menemukan, maka berijtihad dengan pendapatnya sendiri yang mendekati dengan al-Qur’ân, sunnah, dan pendapat para sahabat. Ibid, hlm. 83-85.
[10] Ibid, hlm. 67.
[11]Ibid, Juz III, hlm. 14.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id