IBNU AL-QAYYIM
AL-JAUZIYAH
DAN PEMIKIRAN
USHUL AL-FIQH
A.
Biografi Ibnu al-Qayyim
al-Jauziyah
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah merupakan salah satu tokoh
madzhab Hanbali yang pemikirannya selalu menghiasi lembaran kitab-kitab turâts.
Nama lengkapnya ialah Syam al-Dîn Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyûb
bin Sa’ad bin Huraiz al-Zar’i. Di dalam khazanah keilmuan, beliau lebih dikenal
dengan sebutan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah. Sebutan ini lantaran ayah beliau
adalah seorang ulama besar sekaligus kurator atau pengelola (qayyim)
pada Madrasah al-Jauziyah di Damascus setelah hancurnya salah satu Madrasah Hanâbilah
terbesar di Damascus yang didirikan oleh Ibnu al-Jauzi (510 H./1126 M.-597
H./1200 M.).[1]
Dari jabatan ayahnya inilah sebutan ini diambil. Ia dilahirkan di daerah Zara’,
salah satu bagian dari perkampungan Hauran, sebelah tenggara Damsyq (Damaskus),
Suriah, tepatnya pada tanggal 7 Shafar 691 H/ 4 Februari
1292 M.
Beliau dikenal sebagai seorang imam, ‘allâmah,
muhaqqiq, hâfidh, ushûli, faqîh, dan ahli nahwu.
Di samping pakar di dalam ilmu fiqh dan ushûl fiqh, Ibnu al-Qayyim juga
mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang ilmu suluk, ilmu kalam, dan
tashawwuf.
Salah satu pemikiran yang khas Ibnu al-Qayyim ialah
mengajak kembali kepada al-Qur’ân dan hadits serta memahaminya sesuai dengan
pemahaman para al-salaf shâlih. Sehingga, ia dikenal sebagai seorang
muslim puritan yang teguh memegang pendiriannya dalam mempertahankan kemurnian
akidah dan anti taklid buta. Bahkan beliau memperingatkan kaum muslimin dari
adanya khurafat[2]
kaum sufi, logika kaum filosof dan zuhud model
orang-orang Hindu ke dalam firqah Islamiyah. Baginya, pintu ijtihad selamanya tidak
akan ditutup. Siapa saja berhak melakukan ijtihad selama orang tersebut
mempunyai kualifikasi sebagai mujtahid.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, wafat pada malam Kamis, tanggal
13 Rajab tahun 751 H./ 26 September 1350 M. Setelah dishalatkan keesokan
harinya usai shalat Dhuhur di Masjid Jami’ Besar Dimasyq (Al-Jâmi’ Al-Umawi),
ulama ini dimakamkan di pemakaman al-Bâb al-Shaghîr.[3]
B.
Rihlah ilmiah Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyah
Sebagai seorang anak yang terlahir dari kalangan
keluarga berilmu dan terhormat menjadikan kesempatan emas bagi Ibnu al-Qayyim
untuk dapat mengeksplorasi segala daya kemampuannya dalam mengarungi lautan
ilmu. Tidak heran jika dalam rihlah ilmiahnya Ibnu al-Qayyim banyak mengenyam
beragam disiplin ilmu dari para ulama terkemuka pada masa itu. Terlebih ia
hidup pada masa kejayaan ilmu pengetahuan dan didukung dengan pendidikan
intensif yang diberikan oleh orang tuanya.
Dari ayahnya, Ibnu al-Qayyim belajar ilmu farâidl
karena sang ayah memang sangat menonjol dalam ilmu itu. Selain itu, dia belajar
bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath al-Baththiy dengan membaca kitab-kitab Al-Mulakhkhas li Abi al-Balqâ’, kitab Al-Jurjâniyah, Alfiyyah Ibnu Mâlik, juga
sebagian besar kitab Al-Kâfiyah was Syâfiyah
dan sebagian
kitab al-Tashîl. Kepada Syaikh
Majd al-Dîn al-Tunisi dia belajar satu bagian dari kitab Al-Muqarrib li Ibni Ushfûr. [4]
Dalam disiplin ilmu lainnya, Ibnu Qayyim berguru ilmu hadits pada Syihâb al-Nablusi dan Qadli Taqiy al-Dîn bin Sulaimân. Secara khusus,
ia juga pernah belajar hadits pada Fâthimah Umm Muhammad binti Syekh Ibrâhîm
yang lebih dikenal dengan nama Fâthimah Jauhar. Beliau belajar ilmu ushûl dari Syaikh Shafiy al-Dîn al-Hindi,
ilmu fiqh dari Syaikh al-Islâm Ibnu Taimiyah dan Syaikh Ismâ’îl bin Muhammad
al-Harrâniy. Dia pun terkenal dalam pengetahuannya tentang mazhab-mazhab Salaf.
Hingga akhirnya dia ber-mulâzamah secara total
(berguru secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah sesudah kembalinya Ibnu Taimiyah
dari Mesir tahun 712 H. hingga wafatnya tahun 728 H. Ketika itu, Ibnu Qayyim
sedang pada awal masa mudanya. Selama 16 tahun Ibnu al-Qayyim berguru kepada
Ibnu Taimiyah. Di antara sekian banyak gurunya, yang paling banyak berpengaruh
adalah Syaikh al-Islâm Ibnu Taimiyah. Ibnu al-Qayyim mengikuti metode gurunya
ini dalam menentang dan memerangi orang-orang yang menyimpang dari agama.
Sealur dengan gurunya, Ibnu al-Qayyim sangat gencar menyerang kaum filosof, Kristen,
dan Yahudi.
Oleh karenanya, dia
berkesempatan mereguk sumber ilmunya dari mata air yang luas. Pendapat-pendapat
Ibnu Taimiyah yang penuh kematangan dia cerna benar-benar. Ibnu al-Qayyim pun
amat mencintainya, sampai-sampai dia mengambil kebanyakan ijtihad-ijtihadnya dan
memberikan pembelaan atas pendapat-pendapat gurunya. Ibnu al-Qayyim juga
menyebarluaskan ilmu Ibnu Taimiyah dengan cara menyusun karya-karyanya yang
bagus dan dapat diterima.
Mereka berdua seakan tak
terpisahkan. Ibnu al-Qayyim pernah dipenjara, dihina dan diarak
berkeliling bersama Ibnu Taimiyah sambil didera dengan cambuk di atas seekor
onta. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibnu al-Qayyim pun dilepaskan dari penjara. Cacian
dan siksaan tersebut disebabkan karena beliau menentang adanya anjuran agar
orang pergi berziarah ke kuburan para wali.
Banyak faedah besar yang dia
petik selama berguru kepada tokoh kharismatik itu, di antaranya yang penting
ialah berdakwah mengajak orang supaya kembali kepada kitab Al-Qur’ân dan sunnah
Rasulullah, berpegang kepada keduanya, memahami keduanya sesuai dengan apa yang
telah dipahami oleh al-Salaf al-Shâlih.
Ibnu al-Qayyim telah berjuang untuk mencari ilmu serta
ber-mulâzamah bersama para ulama besar supaya dapat menyerap ilmu mereka
dan supaya bisa menguasai berbagai bidang ilmu Islam. Kehausan ilmiah Ibnu
al-Qayyim membuat ia mengembara untuk menuntut ilmu kepada beberapa ulama
terkenal di zamannya, antara lain di Mesir dan Makkah, tempat bermukimnya para
ulama besar masa itu.
Selain itu, Ibnu al-Qayyim juga merupakan seorang
peneliti ulung. Dia menelaah semua ilmu dan segala tsaqâfah yang sedang
jaya-jayanya pada masa itu di negeri Syam dan Mesir.
Intelektualitas dan integritas keilmuannya yang tidak
diragukan lagi menjadi magnet yang ampuh untuk menarik orang-orang pilihan untuk
menimba ilmu kepadanya. Pada realitasnya, Ibnu al-Qayyim berhasil mencetak
murid-murid yang berkualitas. Selanjutnya, mereka tumbuh menjadi para ulama terbaik
yang telah diakui keilmuannya, di antaranya ialah :
1.
Putera beliau sendiri yang bernama
Syaraf al-Dîn Abdullâh (ahli fiqh)
- Putera yang lain bernama Ibrâhîm (ahli fiqh)
- Ibnu Katsir al-Dimasyqiy (700 H./1300 M.-774 H./1373 M.), seorang ahli tafsir dan hadits penyusun kitab al-Bidâyah wa al-Nihâyah
- Al-Imâm al-Hâfidh Abd al-Rahmân bin Rajab al-Hanbali al-Baghdâdi penyusun kitab Thabaqât al-Hanâbilah (736 H./1335 M.-795 H./1393 M.), ahli fiqh madzhab Hanbali.
- Ibnu Abd al-Hâdi bin Qudâmah al-Maqdisi al-Shâlihi al-Hanbali (w.744 H.), ahli fiqh.
- Syams al-Dîn Muhammad bin Abd al-Qâdir al-Nablisiy.
- Ibnu Abdirrahman al-Nablisiy.
- Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz al-Dzhahabi al-Turkumaniy al-Syâfi’i (W. 748 H.), seorang muhaddits.
- Ali bin Abd al-Kâfi bin Ali bin Tamâm Al-Subky (W. 756 H.), seorang ahli fiqh
10. Taqiy al-Dîn Abû al-Thâhir
Muhammad bin Ya’qûb al-Fairuzabadi al-Syâfi’i (W. 817 H.), seorang
ahli fiqh
Selain dikenal sebagai ulama yang mendalam ilmunya, Ibnu
al-Qayyim termasuk penulis yang produktif. Banyak karya-karya besar dari
berbagai disiplin ilmu yang terlahir dari buah karya pikirnya. Oleh karenanya, beliau pantas disebut kamus segala
pengetahuan ilmiah. Taha Abdur Rauf, ahli fiqh dan sejarawan menuliskan daftar
karya Ibnu al-Qayyim sebanyak 49 buah. Yang terpenting di antaranya ialah Tahdzîb
Sunan Abî Dawûd, Safar al-Hujrataian wa bâb al-Sa’âdatain, Madârij al-Sâlikîn,
Syarh Asmâ’ al-Kitâb al-‘Azîz, Zâd al-Ma’âd fi Hâdy al-‘Ibâd, Naqd al-Manqûl wa
al-Mahq al-Mumayyiz baina al-Mardûd wa al-Maqbûl, Nuzhah al-Musytâqîn wa Raudlah
al-Muhibbîn, Tuhfah al-Wadûd fi Ahkâm al-Maulûd, Miftâh Dâr al-Sa’âdah, I’lâm
al-Muwaqqi’în 'an Rabbil ‘Âlamîn, Ighâtsah al-Lahfân fi Hukmi Thalaqil Ghadlbân,
Ighâtsat al-Lahfân fi Mashâ`id al-Syaithân, Badâi’ al-Fawâ’id, Amtsâl al-Qur’ân,
dan Buthlân al-Kimiya’ min Arba’ina Wajhan.[5]
C.
Pemikiran ushûl fiqh Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyah
Sebagai salah satu ulama’ ushûl bermadzhab Hanbali,
tentunya pemikiran Ibnu al-Qayyim tidak terlepas dari pokok-pokok kaidah ushûl fiqh
madzhab Hanbali. Meskipun ada sebagian pendapat Ibnu al-Qayyim yang tidak
sejalan dengan Imam Ahmad bin Hanbal, semisal penempatan posisi sunnah sebagai
sumber hukum. Dalam pandangan Imam Ahmad bin Hanbal, al-Qur’ân dan sunnah
mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sebagai sumber pertama dan utama hukum
Islam.[6] Menurut
Ibnu al-Qayyim, yang menjadi sumber utama dan pertama hanya al-Qur’ân.
Sedangkan sunnah hanya berposisi sebagai runner up.[7] Sehingga,
Ibnu al-Qayyim mempunyai karakteristik tersendiri yang menjadi ciri khas
pemikirannya.
Pemikiran fiqh dan ushûl fiqh Ibnu al-Qayyim lebih
banyak dituangkan dalam karya magnum opusnya “I’lâm al-Muwaqqi’în” dan “al-Thuruq
al-Hukmiyah”. Dalam kitabnya ini, Ibnu al-Qayyim mengupas secara panjang
lebar pemikirannya tentang ijtihad dan metode ijtihad.
Menurutnya, ijtihad selalu berkembang seiring dinamika
perubahan zaman. Hukum harus relevan
dengan situasi dan kondisi di berbagai tempat dan masa. Pemikiran ini merupakan
refleksi dan sekaligus reaksi dari adanya opini umum di kalangan umat Islam
ketika itu yang mempunyai asumsi bahwa pintu ijtihad telah ditutup.
Ibnu al-Qayyim secara lantang menyerukan dan memberikan
spirit untuk memarakkan aktifitas berijtihad. Alasannya, hukum-hukum yang telah
ada ketika itu sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman dan tempat.
Bahkan, ia mengecam keras sikap taklid para ulama di masanya.
Ibnu al-Qayyim mencanangkan penggunaan akal semaksimal
mungkin dalam berijtihad. Alasannya, perubahan situasi dan kondisi memerlukan
pemikiran yang jeli dan mendalam dalam memproduk hukum yang relevan. Dalam hal
ini penggunaan rasio sangat menentukan. Dalam aktifitas berijtihad dengan
rasio, Ibnu al-Qayyim menandaskan harus dibarengi dengan niat tulus dan ikhlas
tanpa disertai dengan kecenderungan pribadi atau kepentingan tertentu.
Oleh sebab itu, ia membagi ijtihad melalui akal tersebut
(ra’yu) menjadi tiga bentuk, yaitu al-ra'yu al-bâtil bilâ
raibin[8],
al-ra’yu al-shahîh[9],
al-ra’yu al-musytabih. Bagian yang pertama dicela, tidak boleh diamalkan
dan fatwakan. Bagian kedua dapat diamalkan dan difatwakan. Sedangkan yang
ketiga dapat diamalkan dan difatwakan ketika kondisi darurat atau tidak dapat
dielakkan lagi, tapi tidak harus diamalkan.[10]
Dalam rangka pengembangan hukum Islam sesuai dengan maqâshid
al-syarî'ah, ia mengemukakan beberapa metode ijtihad. Metode yang dapat
dipakai adalah ijmâ', qiyâs, al-maslahah al-mursalah, istishâb,
‘urf, dan al-dzarî'ah.
Di antara pemikiran ushûl fiqh Ibnu al-Qayyim yang
paling menonjol dan memiliki kekhasan ialah tentang 'urf dan sadd al-dzarî'ah.
Ia dikenal sebagai orang pertama yang merumuskan kaidah fiqh :
"Perubahan hukum sesuai dengan perubahan zaman,
tempat, dan kondisi"[11]
Kaidah ini mengandung pengertian yang luas dalam
berbagai aspek fiqh, karena syari'at Islam senantiasa mengacu pada kemaslahatan
manusia, sedang kemaslahatan manusia sangat terkait erat dengan kondisi tempat,
zaman, serta lingkungan yang mengitarinya. Pemikiran Ibnu al-Qayyim tentang sadd
al-dzarî'ah akan dibahas lebih mendalam dalam ulasan berikut ini.
[1] Madrasah
al-Jauziyah terletak di Damascus, desa al-Buzuriyah yang sekarang masih dikenal
baik. Dalam perkembangan sejarahnya, madrasah ini pada tahun 1327 H./1910 M.
dijadikan mahkamah oleh penguasa Syuriah, kemudian ditempati oleh Jam’iyah
al-Is’âf al-Khairiyah (Yayasan Amal al-Khairiyah) dengan membuka sekolah
taman kanak-kanak, sampai terbakar pada tahun 1925, ketika terjadi revolusi
Syuriah menghadapi Perancis. Di Madrasah inilah Ibnu al-Qayyim memulai
pendidikannya di bawah pengawasan langsung ayahnya. Lihat Ensiklopedi Hukum
Islam, Vol. II, (Jakarta : PT.
Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), cet V, hlm.616.
[2] Khurafat
berasal dari kata kharifa-yakhrifu-kharfan-kharâfatan yang berarti
sesuatu yang dipetik, cerita dusta, dan kisah yang mengandung unsur kebohongan
dan kebatilan. Khurafat adalah kata yang mengacu kepada dongeng, kisah,
legenda, cerita, asumsi, dugaan, kepercayaan, keyakinan, atau akidah yang tidak
benar. Dr Ali Mahfudh, seorang ahli teologi Islam mendefinisikan khurafat
dengan “sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal sehat”
Praktek Khurafat
dapat terjadi dalam lapangan akidah, ibadah, dan mu’amalah. Dalam lapangan
akidah misalnya, terdapat keyakinan yang datang dari luar Islam, seperti
keyakinan masyarakat bahwa nasib mereka ditentukan oleh kekuatan-kekuatan sakti
atau oleh arwah leluhur mereka. Dalam lapangan mu’amalat misalnya menanam
kepala kerbau pada lokasi bangunan besar yang akan dibangun. Praktek ini
didasarkan pada pandangan bahwa kepala kerbau dapat menjadi penangkal terhadap
mara bahaya yang dapat menimpa bangunan yang akan didirikan. Ibid, Vol.
III, hlm. 936-937.
[3] www.republika.co.id
[4]
www.wikipediaindonesia.com
[5] Ensiklopedi
Islam, Vol II, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), cet II, hlm.148-149.
[6] Posisi
sunnah terhadap al-Qur’ân adalah sebagai tafsir dan bayân terhadap al-Qur’ân.
Lihat Dr. Abdullâh bin Adbul Muhsin al-Turky, Ushûl Madzhab al-Imâm Ahmad,
(Riyâdl : Maktabah al-Riyâdl al-Hadîtsah, 1977), cet II, hlm. 211.
[7] Syams
al-Dîn Abi Abdillâh Muhammad bin Abi bakar ibnu al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în,
(Beirut : Dâr al-Fikr, tt), hlm.
288-289. Ensiklopedi Hukum Islam, Op cit, Vol II, hlm. 619
[8] Menurut
Ibnu al-Qayyim, yang termasuk dalam kategori al-ra’yu al-bâtil ialah :
pendapat yang bertentangan dengan nash, pendapat tentang agama dengan bersandar
dugaan disertai betindak serampangan di dalam memahami dan meng-istinbâth-kan
hukum dari nash, pendapat yang mengabaikan tuhan, sifat-sifat-Nya dan
perbuatan-Nya, pendapat yang menimbulkan bid’ah dan mengubah ajaran Nabi
(sunnah). Ibnu al-Qayyim, Op cit, Juz I, hlm.67-69.
[9] Al-ra’yu
al-shahîh disebut juga oleh Ibnu al-Qayyim dengan al-ra’yu al-mahmûd.
Yang termasuk dalam kategori ini adalah : pendapat orang yang paling ahli fiqh,
paling bersih hatinya, paling mendalam ilmunya yang mengetahui ta’wil
dan memahami tujuan pensyari’atan, pendapat yang menjelaskan nash dan
mempermudah melakukan istinbâth hukum dari nash, pendapat yang menjadi
satu kesepakatan umat, pendapat yang diambil melalui pencarian dari al-Qur’ân.
Jika tidak dijumpai, maka mencari di sunnah, jika tidak terdapat, maka
mengambil pendapat yang telah diputuskan al-khulafâ’ al-râsyidin atau yang
diputuskan oleh salah satu sahabat Nabi. Jika masih tidak menemukan, maka
berijtihad dengan pendapatnya sendiri yang mendekati dengan al-Qur’ân, sunnah,
dan pendapat para sahabat. Ibid, hlm. 83-85.
[10] Ibid,
hlm. 67.
[11]Ibid,
Juz III, hlm. 14.
0 komentar:
Posting Komentar