Senin, 08 Juli 2013

Pemikiran Ushul Fiqh Ibnu Hazm



IBNU HAZM &
PEMIKIRAN USHUL AL-FIQH

A.    Biografi Ibnu Hazm
Nama lengkap Ibn Hazm adalah Abu Muhammad 'Aly Ibn Ahmad Ibn Sa'îd Ibn Hazm ibn Ghâlib ibn Khalaf ibn Sa’d ibn Abi Sufyân ibn Yazîd. Di dalam literatur kitab-kitab klasik ia dikenal dengan sebutan Ibnu Hazm. Dia dilahirkan di Kordoba, Spanyol  pada akhir Ramadlān 384 H/ 7 Nopember 994 M. Ibn Hazm berasal dari keluarga terhormat dan sangat berkecukupan. Ayahnya adalah seorang menteri pada masa pemerintahan khalifah al-Mansûr dan puteranya, al-Mudzaffar, khalifah Bani Umayyah di Andalusia.[1]
Ibnu Hazm merupakan ulama besar, pakar fiqh, ushûl fiqh, ahli hadîts, dan ahli teologi. Ia adalah pengembang madzhab Dhâhiri, bahkan dinilai sebagai pendiri kedua madzhab Dhâhiri.
Sebagai anak seorang menteri, Ibnu Hazm mulai berkenalan dengan politik semenjak usia lima tahun. Pada waktu itu terjadi kerusuhan politik pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam II al-Muayyad (1010-1013) yang mengakibatkan Khalifah Hisyâm beserta ayah Ibnu Hazm  diusir dari lingkungan istana. Ibnu Hazm mulai masuk dunia politik praktis pada masa pemerintahan Abdurrahman V al-Mustahdir (1023) dan Khalifah Hisyâm III al-Mu’tamid (1027-1031). Pada masa kedua Khalifah ini Ibnu Hazm menduduki jabatan menteri.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman V al-Mustahdir, Ibnu Hazm bersama-sama dengan khalifah berusaha memadamkan berbagai kerusuhan dan mencoba merebut wilayah Granada dari tangan musuh. Akan tetapi, dalam usaha merebut wilayah itu Khalifah terbunuh dan Ibnu Hazm tertangkap dan dipenjara. Pada masa pemerintahan Hisyam III al-Mu’tamid Ibnu Hazm pernah dipenjara setelah sebelumnya mengatasi berbagai keributan di istana. Sejak keluar dari istana, Ibnu Hazm mulai mencurahkan perhatiannya pada penulisan kitab-kitab.[2] Ibnu Hazm wafat di Manta Lisham dekat Sevilla Spanyol pada tanggal 28 Sya’ban 456/ 15 Agustus 1064.
B.     Rihlah Ilmiah Ibnu Hazm
Ibn Hazm, merupakan salah satu di antara deretan pemikir Islam. Ia banyak mengusai ilmu-ilmu keIslaman. Sebagai seorang anak pejabat tinggi, sejak kecil ia mengenyam pendidikan di lingkungan istana. Ia termasuk anak yang beruntung mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi kemampuannya. Namun, kehidupan di istana hanya dinikmatinya sampai usia 14 tahun. Pergolakan politik yang menyebabkan ayahnya jatuh dari kekuasaan.
Pada masa kecilnya, ia dibimbing dan dididik oleh guru-gurunya tentang al-Qur’ân, sya’ir Arab, dan kaligrafi. Menginjak masa remaja, Ibnu Hazm mulai mempelajari fiqh dan hadîts dari gurunya yang bernama Husain bin Ali al-Farisi dan Ahmad bin Muhammad bin Jasur. Ketika dewasa, ia baru mempelajari ilmu-ilmu lainnya, seperti filsafat, bahasa, teologi, etika, mantiq, ilmu jiwa, di samping ia juga memperdalam fiqh dan hadîts.
Pada usia dewasa inilah, Ibnu Hazm mengarahkan pendidikannya ke majlis taklim di masjid-masjid Cordoba. Di sana ia mulai berdialog dengan guru dan pakar ilmu agama. Beberapa di antara gurunya di bidang hadîts, bahasa, logika, dan teologi adalah Yahyâ bin Mas’ûd bin Wajah al-Jannah dan Abu al-Qâsim Abdurrahman bin Abi Yazîd al-Azdi. Di bidang fiqh dan peradilan, ia belajar dari al-Khiyâr al-Lughawi. Guru khusus di bidang fiqh adalah Abi Amr Ahmad bin al-Husain, Yûsuf bin Abdullâh (Hakim Cordoba), Abdullâh bin Rabî’ al-Tamîmi, dan Abi Amr al-Tamanki.
Keadaan dan suasana keilmuan pada masa itu mendukung kemajuan intelektual Ibnu Hazm. Ketika itu, perpustakaan dan universitas di Cordoba berkembang dengan pesat. Sementara itu, Toledo (Spanyol) menjadi pusat kegiatan penerjemahan ilmu-ilmu Yunani, baik filsafat, matematika, ataupun kedokteran. Dengan demikian, kondisi ini memungkinkan Ibnu Hazm untuk memperdalam pengetahuannya di berbagai disiplin ilmu dan membentuk kerangka berpikir yang komprehensif. [3]
Tidak mengherankan, jika Ibn Hazm menjadi seorang pemikir yang tersohor di seantero dunia. Kitab–kitab buah pemikiran Ibn Hazm banyak menjadi rujukan kaum intelektual, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Hal ini mengingat keadaan dan suasana keilmuan pada masa itu sangat mendukung kemajuan intelektual.
Mula-mula Ibn Hazm mempelajari fiqh madzhab Māliki. Hal lebih disebabkan oleh karena mayoritas penduduk Spanyol dan Afrika Utara menganut madzhab Māliki. Al-Muwaththa’ sebagai kitab standar madzhab Maliki dipelajari dari gurunya, Ahmad bin Muhammad bin Jâsûr. Tidak hanya al-Muwaththa’, ia juga mempelajari kitab Ikhtilaf Imam Mâlik. Setelah mempelajari madzhab Māliki, dia memperdalam madzhab Syāfi’i dan madzhab Hanafi. Di antara beberapa madzhab yang dipelajarinya, beliau lebih tertarik pada madzhab Syāfi’i. Namun, lama kelamaan madzhab ini pun ditinggalkannya karena terlalu banyak memberikan ruang kepada akal dalam metode qiyâs-nya.[4]Selanjutnya ia berpindah ke madzhab Dhâhiriyah setelah ia mempelajari kitab fiqh karangan Mundzir bin Sa’îd al-Balluti (w. 355 H.), seorang ulama dari madzhab Dhâhiri.
Selain memiliki banyak guru, dia juga memiliki banyak murid yang nantinya dapat menyebarkan dan mengembangkan segala pemikirannya. Di antara murid-muridnya adalah : Muhammad ibn Futūh ibn ‘Îd yang memperdalam ilmu sejarah, Abu ‘Abdillah al-Humaidi al-Andalusy yang mengkhususkan diri untuk mendalami dan mengajarkan buku-buku karya Ibnu Hazm, dan ketiga orang puteranya yaitu : Abu Rafî’ al-Fadl ibn ‘Ali, Abu Usāmah Ya’qûb ibn ‘Ali, dan Abu Sulaimân al-Musa’ab ibn ‘Ali.[5]
Sebagai seorang intelek, Ibn Hazm banyak meninggalkan warisan intelektual berupa kitab. Diriwayatkan bahwa buah karya tulis Ibnu Hazm tidak kurang dari 400 judul kitab. Kitab-kitab tersebut mencakup berbagai disiplin ilmu. Namun, yang sangat disayangkan, banyak di antara tulis beliau dibakar dan dimusnahkan oleh orang yang tidak sepaham dengannya.[6] Di antara kitab-kitab tersebut adalah : al-Ihkām fi Ushūl al-Ahkām, al-Muhallâ, Ibthāl al-Qiyās, Tauq al- Hamâmah, Nuqât al-Arûs fi Tawârîkh al-Khulafâ’, al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ’ wa al-Nihal, al-Abthāl, al-Talkhīs wa al-Takhlīs, al Imāmah wa al-Khulafā’ al-Fihrasah, dan al-Akhlāq wa al-Siyar fi Mudawwanah al-Nufūs. 
C.    Pemikiran Ushûl Fiqh Ibnu Hazm
Sebagai seorang pakar ushûl fiqh dan fiqh, Ibnu Hazm mempunyai corak pemikiran ushûl fiqh yang berbeda dengan ulama lainnya. Ibnu Hazm lebih dikenal sebagai pemikir yang bercorak tektualis-literalis karena pemikirannya lebih dominan mengikuti teks secara dhâhir. Bahkan, ia menolak kebebasan berijtihad dengan semata-mata mengandalkan rasio. Pemikiran ushûl fiqh Ibnu Hazm yang paling menonjol antara lain :
1.Hukum yang secara tegas ditetapkan di dalam al-Qur’ân, hadîts dan ijmâ’ sahabat ialah wajib, haram, dan mubah. Baginya, tidak ada ruang bagi akal untuk terlibat secara langsung di dalam pembentukan hukum. Oleh karena itu, ia hanya mengakui empat macam dalil hukum yang dapat dijadikan sumber dan sandaran untuk menetapkan hukum, yaitu al-Qur’ân, hadîts, ijmâ’ sahabat, dan dhâhir nash yang mempunyai satu arti saja.[7]
2.Ibnu Hazm menolak ijtihad bi al-ra’yi (ijtihad semata-mata mengandalkan rasio). Untuk pendapatnya ini, Ibnu Hazm mengajukan beberapa argumentasi, antara lain :
a.       Al-Qur’ân; meliputi :
"Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab"  (QS. Al-Anâm : 38)[8]
Di dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa di dalam al-Qur’ân tidak ada yang teralpakan. Sendainya ra’yu mempunyai posisi di dalam menentukan hukum, niscaya masih ada sesuatu yang teralpakan di dalam al-Qur’ân. Hal ini bertentangan dengan ayat di atas.
b.       Al-Sunnah :
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan menghilangkannya dari para manusia, akan tetapi Allah mencabut Ilmu dengan mewafatkan para ulama. Tatkala Allah tidak menyisakan orang alim, maka manusia mengangkat pemimpin yang bodoh. Mereka ditanya lalu memberi fatwa tanpa pengetahuan. Mereka telah sesat dan menyesatkan” (HR. Ibnu Mâjah)[9].
c.       Pernyataan sahabat. Diriwayatkan pernyataan sahabat Umar RA.
“Waspadailah pendapat pendapat kalian dan pendapat orang yang semasa kalian dan telitilah sebelum kalian berbicara, belajarlah sebelum kalian mengerjakan, karena sesungguhnya akan datang masa yang terjadi kekaburan antara yang hak dan batal. Sesuatu yang baik baik justru diinkari dan sesuatu yang tidak baik dijadikan kebiasaan”. [10]
Di dalam pernyataannya ini, Umar bin Khattab memberi warning akan penggunaan ra’yu yang sembarangan. Ra’yu dapat menjadikan kekaburan antara yang benar dan yang batal. Ungkapan ini mengesankan bahwa ra’yu tidak dapat dijadikan sandaran hukum.
Tentang ayat فاعتبروا يا اولي الأبصار menurut Ibnu Hazm bukanlah dasar untuk melakukan qiyâs, yang notabene menggunkan ijtihad bi al-ra’yi. Dalam persepsi Ibnu Hazm, ayat ini memerintahkan untuk mengambil pelajaran dengan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, bukan perintah untuk meng-qiyâs-kan hukum.
Di samping itu, Ibnu Hazm juga menolak kesahihan hadîts yang diriwayatkan sahabat Mu’âdz bin Jabal yang intinya, ia diperkenankan melakukan ijtihad bi al-ra’yi oleh Rasulullah SAW.[11]
3.Ibnu Hazm berpendapat bahwa perkataan-perkataan (aqwâl) Rasulullah dan ketetapan-ketetapan (taqrîrât) Rasulullah merupakan hujjah yang tidak diragukan lagi, sedangkan perbuatan (af’âl) Rasulullah tidak dapat dijadikan hujjah kecuali jika disertai dengan penjelasan dari Rasul sendiri. Sebagai contoh, gerakan shalat yang diajarkan Rasul melalui perbuatan diperkuat dengan sabdanya : “Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat”[12]
4.Perbedaan yang paling menonjol antara pemikiran Ibnu Hazm dengan mayoritas para ulama ushûly adalah tentang ta’lîl al-nushûsh (adanya 'illat bagi nash). Dalam pandangan Ibnu Hazm nash-nash yang ada tidak mengandung suatu 'illat yang dijadikan alasan untuk meng-qiyâs-kan dengan kasus-kasus lain yang mempunyai kesamaan 'illat. Nash hanya untuk menetapkan hukum sesuatu yang tertera di dalam teks. Sementara kasus yang tidak disebutkan di dalam teks tidak dapat dihukumi sama. Baginya, Allah tidak menetapkan suatu hukum berdasarkan 'illat tertentu. Jika di dalam suatu nash Allah menjelaskan suatu hukum disertai sebabnya, itu menandakan bahwa dalam kasus tersebut ditetapkan hukum demikian karena ada suatu sebab tertentu, bukan berarti kasus lain yang mempunyai kesamaan sebab dapat dihukumi sama.[13]



[1] Moh. Abu Zahrah, Târikh Al-Madzâhib Al-Fiqhiyah, (Kairo : Maktabah Madany, tt), hlm. 383-384. Ensiklopedi Islam, Op cit, hlm. 148
[2] Ibid, hlm. 148-149
[3] Ensiklopedi Hukum Islam, Juz II, Op cit, hlm.608
[4] Moh. Abu Zahroh, Op cit, hal. 387.
[5] Ensiklopedi Hukum Islam, Op cit, Juz II, hlm.608
[6] Moh. Abu Zahroh, Op cit, hal. 393.
[7] Ensiklopedi Islam, Vol II, Op cit, hlm. 148-149
[8] Depag RI, Op cit, hlm. 192.
[9] Abu 'Abdillah Muhammad bin Yazîd al-Qazwini, Sunan Ibnu Mâjah, (Beirut Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tt), Juz I, hlm.20.
[10] Abu Muhammad Abdullah bin Abd al-Rahmân bin Fadl bin Bahram al-Tamîmi al-Samarqandi al-Dârimi, Sunan al-Dârimi, Juz I, (Beirut : Dâr al-Kutub al-Ilmiyah),  hlm 107
[11] Abû Zahroh, Op cit, hlm. 419-320
[12] Abû Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’îd bin Hazm, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, (Beirut : Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tt), Juz I, 149-151
[13] Ibid, hlm.583

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id