IBNU HAZM &
SADD
AL-DZARÎ’AH
A.
Pandangan Ibnu Hazm tentang
Sadd al-Dzarî’ah
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa dalil-dalil ahkam
yang diakui Ibnu Hazm hanya ada ada empat yang meliputi al-Qur’ân, hadîts, ijmâ’
sahabat, dan dhâhir nash yang mempunyai satu arti saja. Berarti sadd
al-dzarî’ah tidak diakui Ibnu Hazm sebagai dalil ahkam.
Di dalam kitabnya, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm,
Ibnu Hazm menggunakan term ihtiyâth, qath al-dzarâi’ atau al-musytabih.
Di dalam kitabnya ini Ibnu Hazm menuturkan bahwa ada sekelompok ulama yang
mengharamkan sesuatu bersandar kepada ihtiyâth (kehati-hatian) dan
khawatir dapat mengantar kepada keharaman. Pendapat ini ditopang dengan hadîts
riwayat dari sahabat Nu’mân bin Basyîr bahwa Rasulullah SAW bersabda :[1]
“Sesungguhnya sesuatu yang halal telah jelas,
dan sesuatu yang haram juga telah jelas. Di antara keduanya terdapat sesuatu
yang masih samar yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barang siapa
menjaga diri dari barang syubhat berarti ia bebas agamanya dan harga dirinya.
Barang siapa terjatuh dalam syubhat, maka akan jatuh kepada keharaman
sebagaimana orang yang menggembala di sekitar tanah larangan yang hampir
dipastikan masuk ke dalamnya. Sesungguhnya setiap raja memiliki tanah larangan.
Sedangkan tanah larangan Allah adalah keharaman-keharaman”.
Menurut
ulama yang mengakui adanya ihtiyâth (sadd al-dzarî’ah)
hadîts ini menyampaikan pesan bahwa kita dilarang melakukan sesuatu yang masih syubhat
(belum jelas halal haramnya) dalam rangka berhati-hati agar tidak jatuh kepada
keharaman. Dari sini, para ulama memahami bahwa sesuatu yang masih syubhat
tersebut hukumnya haram lantaran dapat menyampaikan kepada keharaman.
Di
sini, Ibnu Hazm tidak sependapat dengan ulama yang mengharamkan sesuatu
berdasarkan ihtiyâth. Menurutnya, hadîts ini tidak menjelaskan keharaman
sesuatu yang syubhat. Bahkan, teks hadîts tersebut menyatakan bahwa
sesuatu yang di sekeliling tanah larangan bukanlah tanah larangan. Sedangkan syubhat
masih belum diyakini keharamnnya. Jika suatu perbuatan tidak dijelaskan oleh
syari’ termasuk sesuatu yang haram, maka dihukumi halal. Bersandar pada firman
Allah SWT dalam surat al-An’âm
: 119.
Dari
sini, dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang haram sudah dijelaskan secara rinci
oleh Allah sedangkan yang tidak termasuk dalam keharaman, maka termasuk sesuatu
yang boleh sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah; 29 :
Hadîts
riwayat Nu’mân
bin Basyîr diatas hanyalah untuk memberikan motivasi kepada umat Islam untuk
bersikap wara’. Di samping itu, berdasarkan hadîts di atas dalam riwayat
dari Abu Farwah dengan matan hadîts yang berbeda mengesankan bahwa ketentuan
untuk meninggalkan syubhat hanya mustahab, khususnya dalam
perbuatan yang keharamannya masih disangsikan. Berbeda dengan sesuatu yang
sudah jelas keharamannya.
Demikian
pula dengan hadîts riwayat dari Ibnu ‘Aun dari al-Sya’bi :[4]
“Sesungguhnya
sesuatu yang halal telah jelas, dan sesuatu yang haram juga telah jelas. Di
antara keduanya terdapat hal-hal yang masih samar. Aku akan membuatkan kalian
suatu contoh. Allah menetapkan larangan pada suatu tanah larangan. Sedangkan
tanah larangan Allah adalah sesuatu yang diharamkan-Nya. Sesungguhnya orang
yang menggembala di sekitar tanah larangan hampir dipastikan bermain-main ke
dalamnya dan orang yang berbaur dengan keraguan, maka hampir dipastikan ia
memberlangsungkan (kepada kaharaman).
Dari
riwayat hadîts ini disimpulkan oleh Ibnu Hazm bahwa yang dikhawatirkan jatuh
kepada syubhat ialah bila orang tersebut melangsungkan kepada keharaman.
Artinya, ia memang yakin jika melakukan syubhat dipastikan jatuh kepada
keharaman. Sebagai contoh ada dua air yang keduanya diragukan kesuciannya, tapi
salah satunya diyakini kenajisannya. Jika kedua air tersebut digunakan untuk
berwudlu kemudian shalat, maka kita yakin seratus persen bahwa orang tersebut
shalat dengan membawa najis. Contoh yang semisal inilah yang diharamkan karena
sudah diyakini jatuh kepada keharaman.[5]
Masih ada hadîts lain yang diajukan ulama yang
berpendapat adanya sadd al-dzarî’ah. Hadîts tersebut adalah :[6]
“Seorang hamba tidak akan mencapai golongan
orang-orang yang bertaqwa sehingga meninggalkan sesuatu yang tidak mengandung
bahaya karena khawatir terjatuh kepada bahaya” (HR. Hakim)
Menurut
Ibnu Hazm, pesan yang disampaikan hadîts ini sebagaimana hadîts Nu’mân di atas. Artinya, hadîts
ini tidak mewajibkan akan tetapi hanya sebatas memberi motivasi kepada umat
Islam untuk meninggalkan sesuatu yang pada esensinya tidak mengandung larangan
akan tetapi dapat menyeret kepada keharaman. Hadîts ini mendorong untuk
bersikap wara’. Sebagaimana kita yakini, bahwa orang yang tidak menjauhi
sesuatu yang masih samar (syubhat) atau tidak mengandung bahaya, maka
tidak dianggap sebagai orang yang wara’. Sedangkan orang yang wara’
itulah orang-orang yang bertaqwa.
Menurutnya,
redaksi hadîts yang menyatakan bahwa seseorang tersebut tidak mencapai golongan
"muttaqin" tidak mengindikasikan bahwa ma la bihi ba’sun
adalah sesuatu yang haram, karena arti redaksi hadîts tersebut adalah seseorang
tidak akan disebut "muttaqin" dalam pengertian orang yang
sungguh-sungguh takut kepada Allah. Padahal semestinya setiap orang Islam yang
mengucapkan kalimat tauhid dan takut siksa neraka dapat disebut "muttaqin".
Akan tetapi, redaksi "muttaqin" pada biasanya diucapkan untuk
menyebutkan orang-orang yang sungguh-sungguh takut kepada Allah. Sehingga,
orang yang tidak meninggalkan hal tersebut tidak dapat disebut
"muttaqin". Sebagaimana pada biasanya, seseorang dapat disebut
pelukis jika memang ia ahli dalam melukis bukan orang yang dapat melukis
sembarangan. Padahal mestinya, setiap orang yang dapat melukis, dapat dikatakan
sebagai pelukis. Kesimpulannya, meninggalkan sesuatu yang tidak mengandung
bahaya bukanlah suatu keharusan, sehingga tidak dapat dijadikan justifikasi
aplikasi sadd al-dzarî’ah atau ihtiyâth.
Seandainya
sesuatu yang masih syubhat tersebut adalah haram, tentu Nabi sudah
melarangnya secara tegas, tidak hanya sekedar memberi himbauan untuk
meninggalkan karena khawatir jatuh kepada keharaman. [7]
Masih
terdapat hadîts yang diajukan ulama yang mengakui sadd al-dzarî’ah,
yaitu :
Riwayat
dari al-Nuwwâs
bin Sam’ân
al-Anshâry
berkata : “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan dan dosa, lalu beliau
bersabda : kebaikan adalah budi pekerti yang baik sedangkan dosa adalah sesuatu
yang memberi pengaruh di dalam jiwamu sedangkan kamu tidak senang diketahui
banyak orang”
(HR. al-Dârimi). [8]
Menurut
Ibnu Hazm hadîts ini tidak dapat dijadikan hujjah untuk mengharamkan sesuatu
yang masih bersifat syubhat lantaran yang disebut dosa adalah sesuatu
yang dapat memberi pengaruh ke dalam hati kita. Jika yang dijadikan standar
halal dan haram adalah sesuatu yang bergolak di dalam jiwa, maka hukum tidak
akan stabil karena jiwa manusia mempunyai keinginan yang berbeda-beda, sehingga
dapat menghasilkan hukum yang berbeda.
Untuk
lebih mengokohkan pendapatnya, Ibnu Hazm memberikan sebuah ilustrasi bahwa
telah menjadi kesepakatan umat bahwa pada masa Rasulullah apabila ada seseorang
yang hendak membeli makanan, pakaian, kendaraan, atau benda apa saja yang
hendak dimilikinya, ia boleh membeli barang-barang tersebut di pasar selama ia
tidak tahu atau mempunyai dugaan kuat bahwa barang yang dibelinya adalah haram.
Padahal kita tidak dapat memungkiri bahwa barang-barang yang beredar di pasar
besar kemungkinan berasal dari barang yang di-ghasab, barang curian, atau
melalui cara-cara lain yang tidak dilegalkan syara’.
Mestinya
barang-barang ini termasuk barang yang syubhat, akan tetapi hal itu
sudah terjadi pada masa Nabi, sedangkan Nabi sendiri tidak melarang praktek
tersebut. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi pernah memerintahkan seorang
sahabat yang diberi makan saudaranya agar memakannya tanpa perlu menanyakan
asal-usul makanan tersebut.[9]
Sebagian
ulama yang mengakui sadd al-dzarî’ah mengajukan dalil dari al-Qur’ân
surat al-Baqarah ayat 104 :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi Katakanlah:
"Unzhurna"
Ayat
ini melarang para sahabat berkata kepada Nabi “Râ’inâ”. Lafadz ini berasal dari fi’il
mâdlî “râ’â” yang maksudnya perhatikanlah
kami. Akan tetapi, Orang Yahudi yang mendengar perkataan ini mengolok-olok Nabi
karena mereka memahami pernyataan ini terambil dari lafadz “ru’ûnah”
yang artinya kebodohan. Jadi, para ulama yang menetapkan sadd dzari’ah
sebagai dalil mengatakan bahwa ayat ini sebenarnya melarang para sahabat untuk
berkata “Râ’inâ” karena dapat menjadi
perantara orang-orang Yahudi mengolok-olok Nabi. Keharaman ini sejalan dengan
prinsip sadd al-dzarî’ah.
Ibnu
Hazm tidak menerima alasan ini. Menurutnya, ayat ini tidak dapat dijadikan
dalil atas kehujjahan Sadd al-dzarî’ah. Alasannya, tidak ada penjelasan
dari Allah atau Rasulullah bahwa larangan berkata “Râ’inâ” karena dapat menyebabkan
Nabi diolok-olok oleh orang Yahudi. Ini hanyalah semata-mata pendapat para
sahabat.
Dalam
kasus lain, sebagian sahabat berpendapat bahwa keharaman himar disebabkan
binatang yang diciptakan sebagai kendaraan. Sebagian sahabat yang lain
mengatakan himar diharamkan karena memakan kotoran-kotoran. Menurut Ibnu Hazm,
kedua pendapat ini tidak tepat. Buktinya, ayam termasuk binatang yang suka
memakan kotoran, akan tetapi Nabi tidak mengharamkan ayam. Begitu pula kuda
lebih banyak dibutuhkan untuk berperang dan berkendaraan, ternyata kuda juga
tidak diharamkan. Ini semata-mata pendapat personal sahabat yang tidak harus
diikuti.
Demikian
pula alasan keharaman berkata “Râ’inâ” disebabkan dapat menjadi
perantara orang Yahudi mengolok-olok Nabi itu semata-mata pendapat personal
sahabat yang tidak harus diikuti. Justru sebenarnya ayat ini bukan untuk
mendukung pendapat ulama yang mengakui sadd al-dzarî’ah sebagai dalil,
bahkan melemahkan pendapat mereka. Alasannya, sebenarnya lafadh “Râi’nâ” dan “Undhurnâ” adalah dua lafadz yang
mempunyai arti sama. Semestinya mempunyai konsekuensi hukum yang tidak berbeda,
akan tetapi Allah menetapkan hukum yang berbeda, berarti ini menunjukkan tidak
boleh menetapkan hukum berdasarkan qiyâs dan 'illat.[10]
Dalam
tataran praktis, ada beberapa kasus yang dihukumi berdasarkan sadd
al-dzarî’ah menjadi sorotan kritik Ibnu Hazm. Salah satu contohnya adalah
sebagai berikut. Para Ashâb
Imam Mâlik
melontarkan pendapat bahwa seorang suami yang mentalak salah satu dari kedua
isterinya, lalu ia lupa isteri yang ditalaknya, maka kedua isteri tersebut
dihukumi tertalak semua berdasarkan ihtiyâth atau sadd al-dzarî’ah.
Dalam
pandangan Ibnu Hazm, pendapat ini berarti mengharamkan sesuatu yang halal
karena khawatir jatuh kepada keharaman. Sesungguhnya mengharamkan orang lain
karena khawatir jatuh kepada keharaman justru ia sendiri telah melakukan
keharaman karena telah mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah.
Orang yang mengharamkan sesuatu yang halal tidak ada bedanya dengan orang yang
mengahalalkan sesuatu yang haram.
Yang
lebih mengherankan lagi, pendapat tersebut tujuannya untuk berhati-hati dan
menjaga diri dari keharaman. Akan tetapi, justru sebaliknya dapat menjatuhkan
kepada keharaman secara pasti, yaitu mengharamkan salah satu dari kedua
perempuan yang sudah dipastikan isterinya, karena memang tidak ditalak. Lebih
lanjut, ketentuan hukum ini berimplikasi kepada kebolehan orang lain untuk
menikahi wanita tersebut. Padahal sudah diyakini bahwa isteri yang satu tidak
ditalak, tidak difasakh, dan tidak ditinggal mati suaminya yang seharusnya
tidak boleh dinikahi. Hal ini dapat mengakibatkan dosa yang lebih besar kepada
orang lain. Di samping itu, pendapat ini berarti ada seorang perempuan yang
tidak ditalak menjadi tertalak disebabkan orang lain yang ditalak. Hal ini
bertentangan dengan firman Allah dalm surat al-An’âm : 164 :
“Tidaklah
seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri;
dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”[11]
Jika
ulama yang berpendapat bahwa ihtiyâth dapat dijadikan dalil konsis
dengan pendapatnya, mestinya barang-barang yang beredar di pasar yang ada
kemungkinan halal dan haram semuanya dianggap haram berdasarkan ihtiyâth.
Demikian pula, haram bertransaksi dengan orang yang hartanya bercampur antara
halal dan haram. Misalnya penjual minuman yang termasuk di dalamnya minuman
keras. Akan tetapi, kelompok yang berpendapat bahwa ihtiyâth dapat
dijadikan dalil tidak menetapkan haram dalam dua kasus di atas. Pendapat ini
berarti bertentangan dengan konsep ihtiyâth atau sadd al-dzarî’ah
mereka sendiri.[12]
Ulama
yang menganggap sadd al-dzarî’ah dapat dijadikan dalil mengungkapkan
hujjah dengan sebuah logika bahwa keharaman ditetapkan hanya dengan sebab yang
ringan, semisal menikahi perempuan yang telah dinikahi ayah dihukumi haram
meskipun hanya sekedar akad dan belum disetubuhi. Berbeda dengan kehalalan,
dapat ditetapkan dengan sebab yang kuat. Misalnya, kebolehan menikahi isteri
yang telah ditalak tiga harus setelah menikah lagi dengan orang lain.
Menurut
Ibnu Hazm, alur pikir seperti ini tidak dapat dijadikan hujjah. Logika ini
tidak memiliki dasar dari nash baik al-Qur’ân maupun hadîts atau ijmâ’ para ulama. Buktinya, kita
menemukan kasus lain yang tidak sesuai dengan logika di atas. Misalnya, rabîbah
(anak tiri) haram dinikahi jika ia sudah bersetubuh dengan ibunya. Hukum ini
sudah jelas di dalam al-Qur’ân dan menjadi kesepakatan ulama bahwa keharaman
anak tiri tidak sekedar disebabkan menikahi ibunya, akan tetapi ketika sudah
disetubuhi. Berarti logka di atas tidak selaras dengan kasus ini. Semestinya,
hukum haram hanya ditetapkan dengan sebab yang ringan. Sementara dalam kasus
ini disertai sebab yang kuat.
Di
dalam masalah sumpah, orang boleh melakukan perbuatan yang melanggar sumpahnya
hanya dengan memberi makan 10 orang miskin atau dengan cara istitsnâ’ (mengecualikan). Seharusnya,
jika mengikuti logika di atas, hukum kebolehan ditetapkan dengan sebab yang
kuat, akan tetapi dalam kasus ini ditetapkan dengan sebab yang ringan. Di
samping itu, boleh menghukum rajam orang yang mengaku berbuat zina meskipun
hanya satu kali. Ini berarti terjadi hukum kebolehan melakukan sesuatu yang
mempunyai konsekuensi besar, yakni menghilangkan nyawa seseorang hanya dengan
sebab yang ringan.
Menurut
Ibnu Hazm, terdapat dalil yang jelas untuk menolak pendapat yang ulama
mengharamkan sesuatu berdasar ihtiyâth, yaitu :
”Dan janganlah kamu mengatakan
terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan
ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah”. (QS.
Al-Nahl 116)[13]
"Terangkanlah
kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan
sebagiannya Haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah Allah
telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja
terhadap Allah ?"(QS.
Yunus : 59)[14]
Dalam
kedua ayat ini secara tegas Allah menyatakan bahwa orang-orang yang
mengaharamkan atau menghalalkan sesuatu yang tidak diberi ijin oleh Allah
kehalalan dan keharamannya, sungguh orang tersebut telah membuat kedustaan
terhadap Allah. padahal kita sudah yakin sebagaimana ditegaskan Allah di dalam
al-Qur’ân surat al-Baqarah : 29 bahwa sesuatu yang diciptakan Allah di muka
bumi ini diperkenankan buat kita kecuali yang telah dijelaskan oleh Allah
keharamannya sebagaimana dijelaskan di dalam surat al-An’âm :119.
Dengan
bersandar pada kedua ayat ini, tidak ada alasan untuk mengharamkan sesuatu
dengan berdasar pada ihtiyâth atau khawatir jatuh kepada keharaman.
Alasan
lain yang diungkapkan Ibnu Hazm bahwa Nabi memerintahkan orang yang mempunyai
praduga telah berhadats agar tidak segera meninggalkan shalatnya dan
melanjutkan shalat sehingga ia benar-benar mendengar suara atau menemukan bau
kentut. Seandainya, ihtiyâth dapat dijadikan sebagai sandaran hukum,
niscaya ibadah shalat harus lebih diperhatikan untuk berhati-hati. Seharusnya
orang tersebut bersegera menghentikan shalatnya untuk bersesuci kembali. Akan
tetapi, dalam masalah ini, Nabi tidak menetapkan hukum sebelum ada keyakinan.
Ibnu Hazm memberi kesimpulan bahwa suatu perbuatan yang diyakini halalnya tidak
akan berubah menjadi haram kecuali terdapat suatu keyakinan yang diperoleh dari
nash atau ijmâ’. Demikian pula, suatu
perbuatan yang diyakini haramnya tidak akan berubah menjadi halal kecuali
terdapat suatu keyakinan yang diperoleh nash atau ijmâ’. Tidak ada alasan untuk
mengharamkan suatu yang diyakini halalnya dengan dasar ihtiyâth.[15]
Menurut
Ibnu Hazm, sebenarnya aplikasi ihtiyâth adalah tidak mengharamkan
sesuatu kecuali memang diharamkan oleh Allah dan tidak menghalalkan sesuatu
kecuali memang dihalalkan oleh Allah. oleh karena itu, tidak dapat dibenarkan
jika perempuan dihukumi tertalak oleh suaminya apabila sang suami ragu-ragu
apakah ia mentalak atau tidak. Alasannya, status isteri sudah dapat diyakini,
maka tidak menjadi haram atas suaminya kecuali ada keyakinan yang diambil dari
nash atau ijmâ’.
Bahkan,
lebih jauh lagi konsep ihtiyâth ini dapat mengakibatkan penetapan hukum
berdasarkan kecurigaan yang tidak dapat dibenarkan. Seperti membatalkan
persaksian orang adil yang bersaksi untuk ayahnya, anak-anaknya, isterinya,
atau temannya kerana dicurigai memberikan persaksian palsu.
Padahal
menghukumi berdasar kecurigaan tidak dibenarkan karena hanya mengandalkan
dugaan. Bukankah Allah telah mengecam orang yang memutuskan hanya berdasar
dugaan sebagaimana tertuang dalam surat al-Fath : 12 :
Dan
surat al-Najm ; 28 :
“Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada
berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”.[17]
Demikian pula Nabi bersabda :[18]
“Waspadalah dengan dugaan.sesungguhnya
dugaan adalah paling dustanya cerita” (HR. Muslim)
Dari beberapa dasar al-Qur’ân dan hadîts di atas, Ibnu Hazm
menggarisbawahi bahwa setiap orang yang menetapkan hukum berdasar kecurigaan (tuhmah)
atau kehati-hatian (ihtiyâth), berarti ia memutuskan hukum dengan tanpa
disertai keyakinan atau karena khawatir menjadi perantara kepada larangan. Ini
berarti ia memutuskan hukum dengan dugaan. Barang siapa yang menetapkan hukum
berdasar dugaan berarti telah membuat kebohongan dan kebatilan, sama halnya
menghukumi dengan mengikuti hawa nafsu.
Jika dasar ihtiyâth konsisten diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, mestinya setiap laki-laki mengkebiri kemaluannya supaya
terhindar dari perbuatan zina, setiap orang berhak bunuh diri jika khawatir
melakukan kekafiran, setiap pohon anggur harus dipangkas karena dikhawatirkan
buah anggur dibuat khamr dan seterusnya.
Bahkan dalam kalimat terakhirnya, Ibnu Hazm menyatakan bahwa
madzhab yang mengakui ihtiyâth ini adalah madzhab yang paling rusak di
muka bumi ini lantaran dapat membatalkan segala sesuatu yang benar.[19]
[1]Abû
al-Husain Muslim bin Hajjâj al-Qusyairi al-Naisâbûri, Shahîh Muslim, Juz
I, (Beirut : Dâr al-Fikr, tt), hlm.697-698.
[2] Depag
RI, Op Cit, hlm. 207.
[3] Ibid,
hlm. 13.
[4] Abu
Abdur Rahmân Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Sinân al-Khurâsâni al-Nasâ’i, Sunan
al-Nasa’i, Juz VII, (Beirut : Dar
al-Fikr, tt), hlm.256-257.
[5] Ibnu
Hazm, Op Cit, hlm. 181
[6]
Al-Hâkim, al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhain, Juz XVIII, (al-Maktabah
al-Syâmilah), hlm.271.
[7] Ibnu
Hazm, Op cit, 182-183
[8] Abû
Muhammad Abdullâh bin Abdur Rahmân bin Fadl bin Bahram al-Tamîmî al-Samarqandi
al-Dârimi, Sunan al-Dârimi, Juz II, (Beirut : Dâr al-Kutub al-Ilmiyah,
tt), hlm.254.
[9] Ibnu
Hazm, Op cit, Juz I, hlm. 184-185
[10] Ibid,
hlm.185-186.
[11] Depag
RI, Op cit, hlm. 217.
[12] Ibnu
Ham, Op cit, Juz II, hlm. 188
[13] Depag
RI, Op cit, hlm. 419.
[14] Ibid,
hlm. 315-316.
[15] Ibnu
Hazm, Op cit, Juz I, hlm. 190
[16] Depag
RI, Op cit, hlm. 839.
[17] Ibid,
hlm. 873
[18] Abu
Abdillah Muhamad bin Ismâîl al-Bukhâri, Shahîh Bukhâri, Juz II,
(Semarang : Thoha Putra, tt), hlm. 127.
[19] Ibnu
Hazm, Op cit, Juz II, hlm. 191-92
0 komentar:
Posting Komentar