Senin, 08 Juli 2013

Sadd al-dzari'ah Ibnu Hazm



IBNU HAZM &
SADD AL-DZARÎ’AH

A.    Pandangan Ibnu Hazm tentang Sadd al-Dzarî’ah
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa dalil-dalil ahkam yang diakui Ibnu Hazm hanya ada ada empat yang meliputi al-Qur’ân, hadîts, ijmâ’ sahabat, dan dhâhir nash yang mempunyai satu arti saja. Berarti sadd al-dzarî’ah tidak diakui Ibnu Hazm sebagai dalil ahkam.
Di dalam kitabnya, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, Ibnu Hazm menggunakan term ihtiyâth, qath al-dzarâi’ atau al-musytabih. Di dalam kitabnya ini Ibnu Hazm menuturkan bahwa ada sekelompok ulama yang mengharamkan sesuatu bersandar kepada ihtiyâth (kehati-hatian) dan khawatir dapat mengantar kepada keharaman. Pendapat ini ditopang dengan hadîts riwayat dari sahabat Nu’mân bin Basyîr bahwa Rasulullah SAW bersabda :[1]
 “Sesungguhnya sesuatu yang halal telah jelas, dan sesuatu yang haram juga telah jelas. Di antara keduanya terdapat sesuatu yang masih samar yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barang siapa menjaga diri dari barang syubhat berarti ia bebas agamanya dan harga dirinya. Barang siapa terjatuh dalam syubhat, maka akan jatuh kepada keharaman sebagaimana orang yang menggembala di sekitar tanah larangan yang hampir dipastikan masuk ke dalamnya. Sesungguhnya setiap raja memiliki tanah larangan. Sedangkan tanah larangan Allah adalah keharaman-keharaman”.
Menurut ulama yang mengakui adanya ihtiyâth (sadd al-dzarî’ah) hadîts ini menyampaikan pesan bahwa kita dilarang melakukan sesuatu yang masih syubhat (belum jelas halal haramnya) dalam rangka berhati-hati agar tidak jatuh kepada keharaman. Dari sini, para ulama memahami bahwa sesuatu yang masih syubhat tersebut hukumnya haram lantaran dapat menyampaikan kepada keharaman.
Di sini, Ibnu Hazm tidak sependapat dengan ulama yang mengharamkan sesuatu berdasarkan ihtiyâth. Menurutnya, hadîts ini tidak menjelaskan keharaman sesuatu yang syubhat. Bahkan, teks hadîts tersebut menyatakan bahwa sesuatu yang di sekeliling tanah larangan bukanlah tanah larangan. Sedangkan syubhat masih belum diyakini keharamnnya. Jika suatu perbuatan tidak dijelaskan oleh syari’ termasuk sesuatu yang haram, maka dihukumi halal. Bersandar pada firman Allah SWT dalam surat al-An’âm : 119.
"Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu" .[2]
Dari sini, dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang haram sudah dijelaskan secara rinci oleh Allah sedangkan yang tidak termasuk dalam keharaman, maka termasuk sesuatu yang boleh sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah; 29 :
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”.[3]
Hadîts riwayat Nu’mân bin Basyîr diatas hanyalah untuk memberikan motivasi kepada umat Islam untuk bersikap wara’. Di samping itu, berdasarkan hadîts di atas dalam riwayat dari Abu Farwah dengan matan hadîts yang berbeda mengesankan bahwa ketentuan untuk meninggalkan syubhat hanya mustahab, khususnya dalam perbuatan yang keharamannya masih disangsikan. Berbeda dengan sesuatu yang sudah jelas keharamannya.
Demikian pula dengan hadîts riwayat dari Ibnu ‘Aun dari al-Sya’bi :[4]
“Sesungguhnya sesuatu yang halal telah jelas, dan sesuatu yang haram juga telah jelas. Di antara keduanya terdapat hal-hal yang masih samar. Aku akan membuatkan kalian suatu contoh. Allah menetapkan larangan pada suatu tanah larangan. Sedangkan tanah larangan Allah adalah sesuatu yang diharamkan-Nya. Sesungguhnya orang yang menggembala di sekitar tanah larangan hampir dipastikan bermain-main ke dalamnya dan orang yang berbaur dengan keraguan, maka hampir dipastikan ia memberlangsungkan (kepada kaharaman).
Dari riwayat hadîts ini disimpulkan oleh Ibnu Hazm bahwa yang dikhawatirkan jatuh kepada syubhat ialah bila orang tersebut melangsungkan kepada keharaman. Artinya, ia memang yakin jika melakukan syubhat dipastikan jatuh kepada keharaman. Sebagai contoh ada dua air yang keduanya diragukan kesuciannya, tapi salah satunya diyakini kenajisannya. Jika kedua air tersebut digunakan untuk berwudlu kemudian shalat, maka kita yakin seratus persen bahwa orang tersebut shalat dengan membawa najis. Contoh yang semisal inilah yang diharamkan karena sudah diyakini jatuh kepada keharaman.[5]
Masih ada hadîts lain yang diajukan ulama yang berpendapat adanya sadd al-dzarî’ah. Hadîts tersebut adalah :[6]
 “Seorang hamba tidak akan mencapai golongan orang-orang yang bertaqwa sehingga meninggalkan sesuatu yang tidak mengandung bahaya karena khawatir terjatuh kepada bahaya”  (HR. Hakim)
Menurut Ibnu Hazm, pesan yang disampaikan hadîts ini sebagaimana hadîts Nu’mân di atas. Artinya, hadîts ini tidak mewajibkan akan tetapi hanya sebatas memberi motivasi kepada umat Islam untuk meninggalkan sesuatu yang pada esensinya tidak mengandung larangan akan tetapi dapat menyeret kepada keharaman. Hadîts ini mendorong untuk bersikap wara’. Sebagaimana kita yakini, bahwa orang yang tidak menjauhi sesuatu yang masih samar (syubhat) atau tidak mengandung bahaya, maka tidak dianggap sebagai orang yang wara’. Sedangkan orang yang wara’ itulah orang-orang yang bertaqwa.
Menurutnya, redaksi hadîts yang menyatakan bahwa seseorang tersebut tidak mencapai golongan "muttaqin" tidak mengindikasikan bahwa ma la bihi ba’sun adalah sesuatu yang haram, karena arti redaksi hadîts tersebut adalah seseorang tidak akan disebut "muttaqin" dalam pengertian orang yang sungguh-sungguh takut kepada Allah. Padahal semestinya setiap orang Islam yang mengucapkan kalimat tauhid dan takut siksa neraka dapat disebut "muttaqin". Akan tetapi, redaksi "muttaqin" pada biasanya diucapkan untuk menyebutkan orang-orang yang sungguh-sungguh takut kepada Allah. Sehingga, orang yang tidak meninggalkan hal tersebut tidak dapat disebut "muttaqin". Sebagaimana pada biasanya, seseorang dapat disebut pelukis jika memang ia ahli dalam melukis bukan orang yang dapat melukis sembarangan. Padahal mestinya, setiap orang yang dapat melukis, dapat dikatakan sebagai pelukis. Kesimpulannya, meninggalkan sesuatu yang tidak mengandung bahaya bukanlah suatu keharusan, sehingga tidak dapat dijadikan justifikasi aplikasi sadd al-dzarî’ah atau ihtiyâth.
Seandainya sesuatu yang masih syubhat tersebut adalah haram, tentu Nabi sudah melarangnya secara tegas, tidak hanya sekedar memberi himbauan untuk meninggalkan karena khawatir jatuh kepada keharaman. [7]
Masih terdapat hadîts yang diajukan ulama yang mengakui sadd al-dzarî’ah, yaitu :
Riwayat dari al-Nuwwâs bin Sam’ân al-Anshâry berkata : “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan dan dosa, lalu beliau bersabda : kebaikan adalah budi pekerti yang baik sedangkan dosa adalah sesuatu yang memberi pengaruh di dalam jiwamu sedangkan kamu tidak senang diketahui banyak orang” (HR. al-Dârimi). [8]
Menurut Ibnu Hazm hadîts ini tidak dapat dijadikan hujjah untuk mengharamkan sesuatu yang masih bersifat syubhat lantaran yang disebut dosa adalah sesuatu yang dapat memberi pengaruh ke dalam hati kita. Jika yang dijadikan standar halal dan haram adalah sesuatu yang bergolak di dalam jiwa, maka hukum tidak akan stabil karena jiwa manusia mempunyai keinginan yang berbeda-beda, sehingga dapat menghasilkan hukum yang berbeda.
Untuk lebih mengokohkan pendapatnya, Ibnu Hazm memberikan sebuah ilustrasi bahwa telah menjadi kesepakatan umat bahwa pada masa Rasulullah apabila ada seseorang yang hendak membeli makanan, pakaian, kendaraan, atau benda apa saja yang hendak dimilikinya, ia boleh membeli barang-barang tersebut di pasar selama ia tidak tahu atau mempunyai dugaan kuat bahwa barang yang dibelinya adalah haram. Padahal kita tidak dapat memungkiri bahwa barang-barang yang beredar di pasar besar kemungkinan berasal dari barang yang di-ghasab, barang curian, atau melalui cara-cara lain yang tidak dilegalkan syara’.
Mestinya barang-barang ini termasuk barang yang syubhat, akan tetapi hal itu sudah terjadi pada masa Nabi, sedangkan Nabi sendiri tidak melarang praktek tersebut. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi pernah memerintahkan seorang sahabat yang diberi makan saudaranya agar memakannya tanpa perlu menanyakan asal-usul makanan tersebut.[9]
Sebagian ulama yang mengakui sadd al-dzarî’ah mengajukan dalil dari al-Qur’ân surat al-Baqarah ayat 104 :
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi Katakanlah: "Unzhurna"
Ayat ini melarang para sahabat berkata kepada Nabi “Râ’inâ”. Lafadz ini berasal dari fi’il mâdlîrââ yang maksudnya perhatikanlah kami. Akan tetapi, Orang Yahudi yang mendengar perkataan ini mengolok-olok Nabi karena mereka memahami pernyataan ini terambil dari lafadz “ru’ûnah” yang artinya kebodohan. Jadi, para ulama yang menetapkan sadd dzari’ah sebagai dalil mengatakan bahwa ayat ini sebenarnya melarang para sahabat untuk berkata “Râ’inâ karena dapat menjadi perantara orang-orang Yahudi mengolok-olok Nabi. Keharaman ini sejalan dengan prinsip sadd al-dzarî’ah.
Ibnu Hazm tidak menerima alasan ini. Menurutnya, ayat ini tidak dapat dijadikan dalil atas kehujjahan Sadd al-dzarî’ah. Alasannya, tidak ada penjelasan dari Allah atau Rasulullah bahwa larangan berkata “Râ’inâ karena dapat menyebabkan Nabi diolok-olok oleh orang Yahudi. Ini hanyalah semata-mata pendapat para sahabat.
Dalam kasus lain, sebagian sahabat berpendapat bahwa keharaman himar disebabkan binatang yang diciptakan sebagai kendaraan. Sebagian sahabat yang lain mengatakan himar diharamkan karena memakan kotoran-kotoran. Menurut Ibnu Hazm, kedua pendapat ini tidak tepat. Buktinya, ayam termasuk binatang yang suka memakan kotoran, akan tetapi Nabi tidak mengharamkan ayam. Begitu pula kuda lebih banyak dibutuhkan untuk berperang dan berkendaraan, ternyata kuda juga tidak diharamkan. Ini semata-mata pendapat personal sahabat yang tidak harus diikuti.
Demikian pula alasan keharaman berkata “Râ’inâ disebabkan dapat menjadi perantara orang Yahudi mengolok-olok Nabi itu semata-mata pendapat personal sahabat yang tidak harus diikuti. Justru sebenarnya ayat ini bukan untuk mendukung pendapat ulama yang mengakui sadd al-dzarî’ah sebagai dalil, bahkan melemahkan pendapat mereka. Alasannya, sebenarnya lafadh “Râi’nâ dan “Undhurnâ adalah dua lafadz yang mempunyai arti sama. Semestinya mempunyai konsekuensi hukum yang tidak berbeda, akan tetapi Allah menetapkan hukum yang berbeda, berarti ini menunjukkan tidak boleh menetapkan hukum berdasarkan qiyâs dan 'illat.[10]
Dalam tataran praktis, ada beberapa kasus yang dihukumi berdasarkan sadd al-dzarî’ah menjadi sorotan kritik Ibnu Hazm. Salah satu contohnya adalah sebagai berikut. Para Ashâb Imam Mâlik melontarkan pendapat bahwa seorang suami yang mentalak salah satu dari kedua isterinya, lalu ia lupa isteri yang ditalaknya, maka kedua isteri tersebut dihukumi tertalak semua berdasarkan ihtiyâth atau sadd al-dzarî’ah.
Dalam pandangan Ibnu Hazm, pendapat ini berarti mengharamkan sesuatu yang halal karena khawatir jatuh kepada keharaman. Sesungguhnya mengharamkan orang lain karena khawatir jatuh kepada keharaman justru ia sendiri telah melakukan keharaman karena telah mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah. Orang yang mengharamkan sesuatu yang halal tidak ada bedanya dengan orang yang mengahalalkan sesuatu yang haram.
Yang lebih mengherankan lagi, pendapat tersebut tujuannya untuk berhati-hati dan menjaga diri dari keharaman. Akan tetapi, justru sebaliknya dapat menjatuhkan kepada keharaman secara pasti, yaitu mengharamkan salah satu dari kedua perempuan yang sudah dipastikan isterinya, karena memang tidak ditalak. Lebih lanjut, ketentuan hukum ini berimplikasi kepada kebolehan orang lain untuk menikahi wanita tersebut. Padahal sudah diyakini bahwa isteri yang satu tidak ditalak, tidak difasakh, dan tidak ditinggal mati suaminya yang seharusnya tidak boleh dinikahi. Hal ini dapat mengakibatkan dosa yang lebih besar kepada orang lain. Di samping itu, pendapat ini berarti ada seorang perempuan yang tidak ditalak menjadi tertalak disebabkan orang lain yang ditalak. Hal ini bertentangan dengan firman Allah dalm surat al-An’âm : 164 :
“Tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”[11]
Jika ulama yang berpendapat bahwa ihtiyâth dapat dijadikan dalil konsis dengan pendapatnya, mestinya barang-barang yang beredar di pasar yang ada kemungkinan halal dan haram semuanya dianggap haram berdasarkan ihtiyâth. Demikian pula, haram bertransaksi dengan orang yang hartanya bercampur antara halal dan haram. Misalnya penjual minuman yang termasuk di dalamnya minuman keras. Akan tetapi, kelompok yang berpendapat bahwa ihtiyâth dapat dijadikan dalil tidak menetapkan haram dalam dua kasus di atas. Pendapat ini berarti bertentangan dengan konsep ihtiyâth atau sadd al-dzarî’ah mereka sendiri.[12]
Ulama yang menganggap sadd al-dzarî’ah dapat dijadikan dalil mengungkapkan hujjah dengan sebuah logika bahwa keharaman ditetapkan hanya dengan sebab yang ringan, semisal menikahi perempuan yang telah dinikahi ayah dihukumi haram meskipun hanya sekedar akad dan belum disetubuhi. Berbeda dengan kehalalan, dapat ditetapkan dengan sebab yang kuat. Misalnya, kebolehan menikahi isteri yang telah ditalak tiga harus setelah menikah lagi dengan orang lain.
Menurut Ibnu Hazm, alur pikir seperti ini tidak dapat dijadikan hujjah. Logika ini tidak memiliki dasar dari nash baik al-Qur’ân maupun hadîts atau ijmâ para ulama. Buktinya, kita menemukan kasus lain yang tidak sesuai dengan logika di atas. Misalnya, rabîbah (anak tiri) haram dinikahi jika ia sudah bersetubuh dengan ibunya. Hukum ini sudah jelas di dalam al-Qur’ân dan menjadi kesepakatan ulama bahwa keharaman anak tiri tidak sekedar disebabkan menikahi ibunya, akan tetapi ketika sudah disetubuhi. Berarti logka di atas tidak selaras dengan kasus ini. Semestinya, hukum haram hanya ditetapkan dengan sebab yang ringan. Sementara dalam kasus ini disertai sebab yang kuat.
Di dalam masalah sumpah, orang boleh melakukan perbuatan yang melanggar sumpahnya hanya dengan memberi makan 10 orang miskin atau dengan cara istitsnâ (mengecualikan). Seharusnya, jika mengikuti logika di atas, hukum kebolehan ditetapkan dengan sebab yang kuat, akan tetapi dalam kasus ini ditetapkan dengan sebab yang ringan. Di samping itu, boleh menghukum rajam orang yang mengaku berbuat zina meskipun hanya satu kali. Ini berarti terjadi hukum kebolehan melakukan sesuatu yang mempunyai konsekuensi besar, yakni menghilangkan nyawa seseorang hanya dengan sebab yang ringan.
Menurut Ibnu Hazm, terdapat dalil yang jelas untuk menolak pendapat yang ulama mengharamkan sesuatu berdasar ihtiyâth, yaitu :
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah”. (QS. Al-Nahl 116)[13]
"Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya Haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah ?"(QS. Yunus : 59)[14]
Dalam kedua ayat ini secara tegas Allah menyatakan bahwa orang-orang yang mengaharamkan atau menghalalkan sesuatu yang tidak diberi ijin oleh Allah kehalalan dan keharamannya, sungguh orang tersebut telah membuat kedustaan terhadap Allah. padahal kita sudah yakin sebagaimana ditegaskan Allah di dalam al-Qur’ân surat al-Baqarah : 29 bahwa sesuatu yang diciptakan Allah di muka bumi ini diperkenankan buat kita kecuali yang telah dijelaskan oleh Allah keharamannya sebagaimana dijelaskan di dalam surat al-An’âm :119.
Dengan bersandar pada kedua ayat ini, tidak ada alasan untuk mengharamkan sesuatu dengan berdasar pada ihtiyâth atau khawatir jatuh kepada keharaman.
Alasan lain yang diungkapkan Ibnu Hazm bahwa Nabi memerintahkan orang yang mempunyai praduga telah berhadats agar tidak segera meninggalkan shalatnya dan melanjutkan shalat sehingga ia benar-benar mendengar suara atau menemukan bau kentut. Seandainya, ihtiyâth dapat dijadikan sebagai sandaran hukum, niscaya ibadah shalat harus lebih diperhatikan untuk berhati-hati. Seharusnya orang tersebut bersegera menghentikan shalatnya untuk bersesuci kembali. Akan tetapi, dalam masalah ini, Nabi tidak menetapkan hukum sebelum ada keyakinan. Ibnu Hazm memberi kesimpulan bahwa suatu perbuatan yang diyakini halalnya tidak akan berubah menjadi haram kecuali terdapat suatu keyakinan yang diperoleh dari nash atau ijmâ. Demikian pula, suatu perbuatan yang diyakini haramnya tidak akan berubah menjadi halal kecuali terdapat suatu keyakinan yang diperoleh nash atau ijmâ. Tidak ada alasan untuk mengharamkan suatu yang diyakini halalnya dengan dasar ihtiyâth.[15]
Menurut Ibnu Hazm, sebenarnya aplikasi ihtiyâth adalah tidak mengharamkan sesuatu kecuali memang diharamkan oleh Allah dan tidak menghalalkan sesuatu kecuali memang dihalalkan oleh Allah. oleh karena itu, tidak dapat dibenarkan jika perempuan dihukumi tertalak oleh suaminya apabila sang suami ragu-ragu apakah ia mentalak atau tidak. Alasannya, status isteri sudah dapat diyakini, maka tidak menjadi haram atas suaminya kecuali ada keyakinan yang diambil dari nash atau ijmâ.
Bahkan, lebih jauh lagi konsep ihtiyâth ini dapat mengakibatkan penetapan hukum berdasarkan kecurigaan yang tidak dapat dibenarkan. Seperti membatalkan persaksian orang adil yang bersaksi untuk ayahnya, anak-anaknya, isterinya, atau temannya kerana dicurigai memberikan persaksian palsu.
Padahal menghukumi berdasar kecurigaan tidak dibenarkan karena hanya mengandalkan dugaan. Bukankah Allah telah mengecam orang yang memutuskan hanya berdasar dugaan sebagaimana tertuang dalam surat al-Fath : 12 :
 “Dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa”.[16]
Dan surat al-Najm ; 28 :
 “Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”.[17]
Demikian pula Nabi bersabda :[18]
 “Waspadalah dengan dugaan.sesungguhnya dugaan adalah paling dustanya cerita” (HR. Muslim)
Dari beberapa dasar al-Qur’ân dan hadîts di atas, Ibnu Hazm menggarisbawahi bahwa setiap orang yang menetapkan hukum berdasar kecurigaan (tuhmah) atau kehati-hatian (ihtiyâth), berarti ia memutuskan hukum dengan tanpa disertai keyakinan atau karena khawatir menjadi perantara kepada larangan. Ini berarti ia memutuskan hukum dengan dugaan. Barang siapa yang menetapkan hukum berdasar dugaan berarti telah membuat kebohongan dan kebatilan, sama halnya menghukumi dengan mengikuti hawa nafsu.
Jika dasar ihtiyâth konsisten diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, mestinya setiap laki-laki mengkebiri kemaluannya supaya terhindar dari perbuatan zina, setiap orang berhak bunuh diri jika khawatir melakukan kekafiran, setiap pohon anggur harus dipangkas karena dikhawatirkan buah anggur dibuat khamr dan seterusnya.
Bahkan dalam kalimat terakhirnya, Ibnu Hazm menyatakan bahwa madzhab yang mengakui ihtiyâth ini adalah madzhab yang paling rusak di muka bumi ini lantaran dapat membatalkan segala sesuatu yang benar.[19]


[1]Abû al-Husain Muslim bin Hajjâj al-Qusyairi al-Naisâbûri, Shahîh Muslim, Juz I, (Beirut : Dâr al-Fikr, tt), hlm.697-698.
[2] Depag RI, Op Cit, hlm. 207.
[3] Ibid, hlm. 13.
[4] Abu Abdur Rahmân Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Sinân al-Khurâsâni al-Nasâ’i, Sunan al-Nasa’i, Juz  VII, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), hlm.256-257.
[5] Ibnu Hazm, Op Cit, hlm. 181
[6] Al-Hâkim, al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhain, Juz XVIII, (al-Maktabah al-Syâmilah), hlm.271.
[7] Ibnu Hazm, Op cit, 182-183
[8] Abû Muhammad Abdullâh bin Abdur Rahmân bin Fadl bin Bahram al-Tamîmî al-Samarqandi al-Dârimi, Sunan al-Dârimi, Juz II, (Beirut : Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tt), hlm.254.
[9] Ibnu Hazm, Op cit, Juz I, hlm. 184-185
[10] Ibid, hlm.185-186.
[11] Depag RI, Op cit, hlm. 217.
[12] Ibnu Ham, Op cit, Juz II, hlm. 188
[13] Depag RI, Op cit, hlm. 419.
[14] Ibid, hlm. 315-316.
[15] Ibnu Hazm, Op cit, Juz I, hlm. 190
[16] Depag RI, Op cit, hlm. 839.
[17] Ibid, hlm. 873
[18] Abu Abdillah Muhamad bin Ismâîl al-Bukhâri, Shahîh Bukhâri, Juz II, (Semarang : Thoha Putra, tt), hlm. 127.
[19] Ibnu Hazm, Op cit, Juz II, hlm. 191-92

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id