Minggu, 07 Juli 2013

BAB V (Tesis) A



BAB V
ANALISIS KOMPARATIF KONSEP MAQASHID ASY-SYARI’AH 
VERSI AL-GHAZALI DAN ASY-SYATHIBI
A.    Titik temu antara dua persepsi yang berbeda
Perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan. Keragaman pendapat bukanlah persoalan yang harus dihindari. Justru dengan adanya perbedaan ini ini membuktikan bahwa kekayaan pemikiran dan kebebasan berpendapat benar-benar dijunjung tinggi di dalam Islam. Allah SWT menciptakan akal bagi manusia agar mereka mampu mengeksplorasi dan menggunakannya dengan semaksimal mungkin. Sebab, akal merupakan salah satu anugerah terbesar yang diberikan Allah kepada manusia. Dengan melakukan proses berpikir dan berijtihad, berarti telah mengimplementasikan rasa syukur kita kepada Tuhan atas karunia-Nya.
Akal merupakan bagian yang paling urgen dalam praktek keberagamaan. Tidak heran jika dikatakan :"Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal".
Oleh karenanya, persilangan pendapat di kalangan para ulama’ bukan untuk memperbesar jurang perbedaan dan memperkeruh permasalahan,  tetapi untuk dicarikan solusi dan titik temu di antara dua perbedaan tersebut.
Setelah menelaah konsep al-Imam al-Ghazali tentang maqashid asy-syari’ah, ternyata ia mempunyai pemaknaan Maqashid asy-Syari'ah dalam pengertian yang terikat, dalam artian al-Ghazali sangat membatasi peran akal dalam memaknai teks, seraya menegaskan bahwa ”maqahid asy-syari’ah harus selalu mengacu kepada teks syara’ (al-Qur’an, al-Hadits, dan Ijma’)”.
Dari deskripsi tersebut, timbul pertanyaan bagaimana jika persoalan yang terkait tidak ada dalam nash. Menurut al-Ghazali, metode rasionalitas teks didominasi oleh Umum Al-Lafdzi (keumuman lafadz). Dalam arti, jika ada teks yang redaksinya bersifat umum, maka teks tersebut harus diaplikasikan berdasarkan semua cakupannya tanpa harus memperhatikan historisitas lahirnya teks. Pendapat inilah yang mengantarkan al-Ghazali dianggap sebagai ulama ”rasionalis”, karena disatu sisi ia sangat kokoh dalam berpijak pada nash. Pada sisi yang lain al-Ghazali juga menggunakan pendekatan rasio.
Dalam kitab al-mustashfa min al-Ilm al-ushul, al-Ghazali membagi dalil (al-ushul) menjadi dua, yaitu dalil ashliyah (al-ushul al-ashliyah) yang terdiri dari al-Qur’an, al-Hadits, dan Ijma’, dan dalil al-mauhumah (al-ushul al-Mauhumah) yang terdiri dari Syar’u man Qablana, Qaul ash-Shahabat, al-Istihsan, dan al-Istishlah atau Mashlahah. Menurutnya, mashlahah sebagai substansi maqashid asy-syari'ah, terbagi menjadi tiga, yaitu Maa syahida Asy-Syar’u Li’tibariha atau al-mashlahah al-mu’tabarah, yaitu kemashlahatan yang keberadaannya diakui oleh syara’, Maa syahida asy-syar’u li buthlanihi atau al-mashlahah al-mulgha, yaitu kemashlahatan yang didalamnya terdapat kontradiksi dengan nash, dan Maa lam yasyhad lahu min asy-syar’i bi al-buthlani wala bi al-’Itibari atau al-mashlahah al-mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak ada indikasi pengakuan maupun pembatalan dari syari’.
Pada penjelasan di atas, nampaknya al-Ghazali memposisikan peran akal dalam menetapkan hukum sangat terbatas, yaitu dalam wujud tidak adanya pengakuan maupun pembatalan dari syari’ (Maa lam yasyhad lahu min asy-syar’i bi al-buthlani wala bi al-’Itibari), ini pun harus mengacu pada dalil ashliyah. Jika tidak demikian, kemashlahatan ini bukan dalam kategori tujuan syari’ (maqashid syari’). Dari sinilah, al-Ghazali kemudian dijuluki sebagai ulama’ ”skriptualis atau tekstualis”, yaitu ulama’ yang paling kuat dalam berpijak pada nash.
Selanjutnya, al-Ghazali menilai bahwa kemashlahatan yang menjadi tujuan syari’ (maqashid asy-syari') tidak semuanya sama. Ia menegaskan bahwa kualitas kemashlahatan yang menjadi tujuan syari’ (maqashid asy-syari') terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu ar-Rutbah adl-Dlaruriyah,adalah sebuah bangunan primer kehidupan manusia yang sangat menentukan bagi kesejahteraannya. Tingkatan ini meliputi, perlindungan tehadap agama, jiwa, akal, keturunan, harta. ar-Rutbah al-Hajjiyah, yaitu keberadaannya dimaksudkan untuk menghilangkan kesukaran dan kesulitan serta memberikan kemudahan bagi mukallaf, dan ar-Rutbah at-Tahsiniyah dan at-Tazyinaat, yaitu kebutuhan tersier (pelengkap), yang berarti mengambil tindakan yang lebih baik dalam rangka mewujudkan lima unsur tersebut.
Dari ketiga tingkatan tersebut yang harus lebih diutamakan adalah ar-Rutbah adl-Dlaruriyah, kemudian ar-Rutbah al-Hajjiyah, dan yang terakhir ar-Rutbah at-Tahsiniyah dan at-Tazyinaat.
Dalam upaya untuk memahami maqashid asy-syari’ah, al-Ghazali sepenuhnya memposisikan teks atau wahyu sebagai otoritas dalam menetapkan hukum, yang menjadi pedoman baginya bukanlah gagasan yang menjadi spirit untuk menjawai teks, melainkan teks ini sendiri yang menjadi pijakan.  
Sedangkan dalam perspektif asy-Syathibi, pembahasan mengenai maqashid terbagi menjadi dua, yaitu maqashid al-mukallaf dan maqashid asy-syari’ah. Dalam kesempatan ini, penulis hanya akan menganalisa konsep maqashid asy-syari’ah.
Berdasarkan riset asy-Syathibi, ”Sesungguhnya Allah SWT membuat syari’at adalah dalam rangka untuk menciptakan dan melestarikan kemashlahatan bagi hamba-Nya di dunia dan Akhirat.” hal ini telah dibuktikan berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits.
Pada pembahasan selanjutnya, asy-Syathibi mengklasifikasikan aspek  maqashid asy-syari’ menjadi empat bagian, yaitu tujuan awal dari syari’at yakni mewujudkan dan melestarikan kemashlahatan bagi manusia di dunia dan akhirat (Qashdu asy-Syari’ fi wadh’i as-syari’ah), syari’at sebagai sesuatu yang harus dipahami (Qashdu asy-syari’ fi wadh’i asy-syari’ah lil Ifham), syari’at sebagai hukum taklif yang harus dilakukan oleh mukallaf (Fi Bayan qashd asy-syari’ fi wadh’i asy-syari’ah li at-Taklif Bi Muqtadhahu), dan tujuan syari’at adalah membawa manusia ke bawah naungan hukum (Qashdu asy-syari’ fi dukhul al-mukallaf tahta ahkam asy-syari’ah).
Pada bagian pertama, asy-Syathibi menegaskan bahwa tujuan syari’ dalam menetapkan hukum adalah untuk mewujudkan dan melestarikan kemashlahatan dunia dan akhirat. Menurutnya, kemaslahatan disini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kemashlahatan yang bersifat dharuriyat, hajjiyat, dan tahsiniyat.
Kemashlahatan yang pertama (adh-dharuriyat) adalah kemashlahatan yang harus ditegakkan demi untuk menjaga agama dan dunia. Jenis mashlahah yang harus dijaga disini ada lima, meliputi; agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal.
Sebagai upaya untuk menjaga lima kemashlahatan di atas, asy-Syathibi memberikan dua alternatif. Pertama, dari segi eksistensinya (min janib al-wujud) yaitu dengan cara menjaga hal-hal yang terpenting yang dapat mengokohkan keberadaannya. Kedua, dari segi tidak ada (min janib al-‘adam) yaitu dengan cara menolak hal-hal yang dapat merusak eksistensinya.
Kemashlahatan yang kedua (al-Hajjiyat) sesuatu yang eksistensinya tidak harus terwujud. Jika tidak terwujud, maka tidak akan menghilangkan eksistensi pada sesuatu yang dituntut, hanya saja akan mendatangkan kesulitan dan masyaqat bagi mukallaf.
Sedangkan kemashlahatan yang ketiga (at-tahsiniyat) adalah melakukan hal-hal yang dianggap layak oleh adat dan menjauhi sesuatu yang secara logika tidak baik. Ini lain dengan al-Ghazali, ia menegaskan bahwa  kebutuhan tahsiniyat atau tazyinaat merupakan kebutuhan tersier (pelengkap), yang berarti mengambil tindakan yang lebih baik dalam rangka mewujudkan lima unsur tersebut dan menjauhi hal-hal yang tidak disukai oleh orang-orang bijak.
Deskripsi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa asy-Syathibi dalam  menetapkan hukum yang bersifat tahsiniyat lebih cenderung berpijak pada adat dan logika. Sedangkan al-Ghazali memprioritaskan orang bijak, dalam artian, tidak semua orang dapat menentukan aspek kebutuhan ini, meskipun secara adat dan logika dianggap baik.
Selanjutnya, asy-Syathibi mengulas tentang peran bahasa Arab dalam istinbath hukum. Menurutnya, syari’at Islam diturunkan oleh Allah SWT dengan menggunakan bahasa Arab, sebagai konsekuensinya orang yang akan memahami syari’at Islam harus terlebih dahulu memahami dan menguasai gramatika bahasa Arab dan unsur-unsur yang menjadi bagian terpenting, seperti ilmu Nahwu, Sharaf, balagha, Mantiq, dan lain-lain. Dalam hal ini asy-Syathibi menegaskan: ”Barangsiapa yang hendak memahami syari’at (Islam), maka terlebih dahulu ia harus memahami lisan al-Arab karena tanpa ini tidak mungkin syari’at Islam dapat dipahami dengan tepat dan benar (sesuai dengan maqashid asy-syari’ah).” Pendapat inilah, asy-Syathibi disebut sebagai ”Arabisme”
Dalam penjelasan lain, asy-Syathibi menegaskan bahwa Syari’at yang diturunkan oleh Allah SWT ini adalah Ummiyyah, artinya untuk memahami syari’at tidak boleh keluar dari gramatika bahasa Arab.
Bagian maqashid asy-syari’ah yang ketiga adalah mengenai tujuan syari’ dalam menentukan syari’at. Dalam hal ini asy-Syathibi menegaskan bahwa tujuan syari’ dalam menentukan syari’at adalah untuk dilaksanakan manusia sesuai dengan kehendak-Nya. Pada persoalan ini, Ia mengklasifikasikan menjadi dua bagian; pertama, tuntutan yang ada di luar kemampuan manusia, artinya semua bentuk tuntutan yang ada diluar kemampuan manusia tidak masuk dalam kategori tuntutan syari’. Kedua, tuntutan yang mampu untuk dilaksanakan oleh manusia, tetapi didalamnya terdapat masyaqah.
Deskripsi di atas berlawanan dengan al-Ghazali, menurutnya mashlahah adalah memelihara tujuan syari', artinya  kemashlahatan berada dalam otoritas wahyu, tanpa mempertimbangkan kondisi sosial manusia. Dengan kata lain, semua bentuk kemashlahatan yang menjadi tujuan syari' bernilai mashlahah bagi manusia, sekalipun manusia menilai sebagai sesuatu yang membahayakan; misalnya, Allah SWT memerintahkan manusia untuk berjihad dalam kondisi tertentu. Dalam peperangan tentu ada yang gugur, gugur dalam perang ini merupakan hal yang tidak diinginkan oleh manusia, padahal menurut syari' orang yang gugur dalam perangan dalam membela agama dinilai sebagai sesuatu yang terhormat, yaitu berupa syahid, bahkan orang yang gugur dalam perangan tidak boleh dimandikan karena darah mereka akan menjadi saksi di hadapan Allah SWT di akhirat kelak, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat Nabi SAW pada masanya.
Pada bagian maqashid asy-syari'ah yang keempat, asy-Syathibi mengemukakan bahwa tujuan syari' membebani mukallaf atas suatu hukum adalah agar aktifitas mukallaf tidak terjerumus kedalam keinginan hawa nafsu belaka, sehingga menjadi hamba yang selamat di dunia dan akhirat. Karena tujuan syari' dalam membebani hukum adalah dalam rangka untuk kemashlahatan hamba-Nya. Dari sini timbul pertanyaan, apakah lantas manusia bebas mengatur hukum tanpa terikat dengan syari'. Dalam hal ini, asy-Syathibi menegaskan bahwa setiap perbuatan mukallaf harus selalu mengikuti petunjuk syara’, karena perbuatan yang hanya mengikuti hawa nafsu belaka, akan mengakibatkan kerusakan dan mendapati kerugian bagi manusia itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat.
Kemudian asy-Syathibi menjelaskan, Jika ternyata didalam taklif terdapat hal-hal yang diduga keras sebagai masyaqat, maka sebenarnya hal tersebut bukanlah masyaqat melainkan kulfah, yaitu sesuatu yang selalu melekat pada aktifitas manusia dan tidak mungkin untuk dipisahkan darinya. Misalnya, mencari nafkah pada siang dan malam untuk menghidupi keluarganya. Pekerjaan seperti ini tidak masuk dalam kategori masyaqat, tetapi semua aktifitas yang ia lakukan memang suatu keharusan bagi orang tersebut untuk menghidupi keluarganya.
Pada persoalan di atas, asy-Syathibi membagi masyaqah menjadi dua, yaitu masyaqat mu’tadah dan masyaqat ghair al-mu’tadah. Contoh masyaqah mu'tadah adalah kewajiban mencari  nafkah untuk menghidupi keluarganya, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Sedangkan contoh   masyaqat ghair al-mu’tadah, seperti kasus-kasus yang apabila tidak dikerjakan terdapat rukhshah.
Kemashlahatan yang menjadi substansi maqashid asy-syari'ah, oleh asy-Syathibi dapat direalisasikan dalam lima bentuk, yaitu agama, jiwa,  keturunan, akal, dan harta. Dalam rangka untuk mewujudkan lima hal yang menjadi tujuan pokok tersebut, asy-Syathibi membagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, maqashid adh-dharuriyat, dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia di atas. Kedua, maqashid al-hajjiyat, dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap kelima unsur pokok menjadi lebih baik. Ketiga, maqashid at-tahsiniyah, dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan kelima unsur pokok.
Konsep maqashid asy-syari'ah asy-Syathibi di atas, seirama dengan ide al-Ghazali. Dalam konsepnya, ia juga mengemukakan bahwa kemashlahatan yang menjadi substansi maqashid asy-syari'ah dapat direalisasikan apabila lima unsur pokok dapat diwujudkan. Kemudian dalam rangka untuk mewujudkan lima hal yang menjadi unsur pokok di atas, al-Ghazali juga membagi menjadi tiga tingkatan, yaitu adh-dharuriyah, al-Hajjiyat, dan at-tahsiniyat.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id