BAB
V
ANALISIS
KOMPARATIF KONSEP MAQASHID ASY-SYARI’AH
VERSI AL-GHAZALI DAN ASY-SYATHIBI
A.
Titik temu antara dua persepsi yang berbeda
Perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan.
Keragaman pendapat bukanlah persoalan yang harus dihindari. Justru dengan
adanya perbedaan ini ini membuktikan bahwa kekayaan pemikiran dan kebebasan
berpendapat benar-benar dijunjung tinggi di dalam Islam. Allah SWT menciptakan
akal bagi manusia agar mereka mampu mengeksplorasi dan menggunakannya dengan
semaksimal mungkin. Sebab, akal merupakan salah satu anugerah terbesar yang
diberikan Allah kepada manusia. Dengan melakukan proses berpikir dan
berijtihad, berarti telah mengimplementasikan rasa syukur kita kepada Tuhan
atas karunia-Nya.
Akal merupakan bagian yang paling urgen dalam
praktek keberagamaan. Tidak heran jika dikatakan :"Tidak ada agama bagi
orang yang tidak berakal".
Oleh karenanya, persilangan pendapat di kalangan
para ulama’ bukan untuk memperbesar jurang perbedaan dan memperkeruh
permasalahan, tetapi untuk dicarikan
solusi dan titik temu di antara dua perbedaan tersebut.
Setelah menelaah konsep al-Imam al-Ghazali tentang
maqashid asy-syari’ah, ternyata ia mempunyai pemaknaan Maqashid
asy-Syari'ah dalam pengertian yang terikat, dalam artian al-Ghazali sangat
membatasi peran akal dalam memaknai teks, seraya menegaskan bahwa ”maqahid
asy-syari’ah harus selalu mengacu kepada teks syara’ (al-Qur’an,
al-Hadits, dan Ijma’)”.
Dari deskripsi tersebut, timbul pertanyaan
bagaimana jika persoalan yang terkait tidak ada dalam nash. Menurut al-Ghazali,
metode rasionalitas teks didominasi oleh Umum Al-Lafdzi (keumuman
lafadz). Dalam arti, jika ada teks yang redaksinya bersifat umum, maka teks
tersebut harus diaplikasikan berdasarkan semua cakupannya tanpa harus
memperhatikan historisitas lahirnya teks. Pendapat inilah yang mengantarkan al-Ghazali
dianggap sebagai ulama ”rasionalis”, karena disatu sisi ia sangat kokoh dalam
berpijak pada nash. Pada sisi yang lain al-Ghazali juga menggunakan
pendekatan rasio.
Dalam kitab al-mustashfa min al-Ilm al-ushul,
al-Ghazali membagi dalil (al-ushul) menjadi dua, yaitu dalil ashliyah
(al-ushul al-ashliyah) yang terdiri dari al-Qur’an, al-Hadits, dan
Ijma’, dan dalil al-mauhumah (al-ushul al-Mauhumah) yang terdiri
dari Syar’u man Qablana, Qaul ash-Shahabat, al-Istihsan, dan al-Istishlah
atau Mashlahah. Menurutnya, mashlahah sebagai substansi maqashid
asy-syari'ah, terbagi menjadi tiga, yaitu Maa syahida Asy-Syar’u
Li’tibariha atau al-mashlahah al-mu’tabarah, yaitu kemashlahatan
yang keberadaannya diakui oleh syara’, Maa syahida asy-syar’u li
buthlanihi atau al-mashlahah al-mulgha, yaitu kemashlahatan yang
didalamnya terdapat kontradiksi dengan nash, dan Maa lam yasyhad lahu
min asy-syar’i bi al-buthlani wala bi al-’Itibari atau al-mashlahah
al-mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak ada indikasi pengakuan maupun
pembatalan dari syari’.
Pada penjelasan di atas, nampaknya al-Ghazali
memposisikan peran akal dalam menetapkan hukum sangat terbatas, yaitu dalam
wujud tidak adanya pengakuan maupun pembatalan dari syari’ (Maa lam
yasyhad lahu min asy-syar’i bi al-buthlani wala bi al-’Itibari), ini pun
harus mengacu pada dalil ashliyah. Jika tidak demikian, kemashlahatan
ini bukan dalam kategori tujuan syari’ (maqashid syari’). Dari
sinilah, al-Ghazali kemudian dijuluki sebagai ulama’ ”skriptualis atau
tekstualis”, yaitu ulama’ yang paling kuat dalam berpijak pada nash.
Selanjutnya, al-Ghazali menilai bahwa
kemashlahatan yang menjadi tujuan syari’ (maqashid asy-syari')
tidak semuanya sama. Ia menegaskan bahwa kualitas kemashlahatan yang menjadi
tujuan syari’ (maqashid asy-syari') terbagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu ar-Rutbah adl-Dlaruriyah,adalah sebuah bangunan primer
kehidupan manusia yang sangat menentukan bagi kesejahteraannya. Tingkatan ini meliputi,
perlindungan tehadap agama, jiwa, akal, keturunan, harta.
ar-Rutbah al-Hajjiyah, yaitu keberadaannya dimaksudkan untuk
menghilangkan kesukaran dan kesulitan serta memberikan kemudahan bagi mukallaf,
dan ar-Rutbah at-Tahsiniyah dan at-Tazyinaat, yaitu kebutuhan
tersier (pelengkap), yang berarti mengambil tindakan yang lebih baik dalam
rangka mewujudkan lima unsur tersebut.
Dari ketiga tingkatan tersebut yang harus lebih
diutamakan adalah ar-Rutbah adl-Dlaruriyah, kemudian ar-Rutbah
al-Hajjiyah, dan yang terakhir ar-Rutbah at-Tahsiniyah dan
at-Tazyinaat.
Dalam upaya untuk memahami maqashid
asy-syari’ah, al-Ghazali sepenuhnya memposisikan teks atau wahyu sebagai
otoritas dalam menetapkan hukum, yang menjadi pedoman baginya bukanlah gagasan
yang menjadi spirit untuk menjawai teks, melainkan teks ini sendiri yang
menjadi pijakan.
Sedangkan dalam perspektif asy-Syathibi,
pembahasan mengenai maqashid terbagi menjadi dua, yaitu maqashid
al-mukallaf dan maqashid asy-syari’ah. Dalam kesempatan ini, penulis
hanya akan menganalisa konsep maqashid asy-syari’ah.
Berdasarkan riset asy-Syathibi, ”Sesungguhnya
Allah SWT membuat syari’at adalah dalam rangka untuk menciptakan dan
melestarikan kemashlahatan bagi hamba-Nya di dunia dan Akhirat.” hal ini telah
dibuktikan berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits.
Pada pembahasan selanjutnya, asy-Syathibi
mengklasifikasikan aspek maqashid
asy-syari’ menjadi empat bagian, yaitu tujuan awal dari syari’at
yakni mewujudkan dan melestarikan kemashlahatan bagi manusia di dunia dan
akhirat (Qashdu
asy-Syari’ fi wadh’i as-syari’ah), syari’at sebagai sesuatu yang harus
dipahami (Qashdu asy-syari’ fi wadh’i asy-syari’ah lil Ifham), syari’at
sebagai hukum taklif yang harus dilakukan oleh mukallaf (Fi
Bayan qashd asy-syari’ fi wadh’i asy-syari’ah li at-Taklif Bi Muqtadhahu), dan tujuan syari’at adalah membawa manusia ke bawah
naungan hukum (Qashdu
asy-syari’ fi dukhul al-mukallaf tahta ahkam asy-syari’ah).
Pada bagian pertama, asy-Syathibi menegaskan bahwa
tujuan syari’ dalam menetapkan hukum adalah untuk mewujudkan dan
melestarikan kemashlahatan dunia dan akhirat. Menurutnya, kemaslahatan disini
terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kemashlahatan yang bersifat dharuriyat,
hajjiyat, dan tahsiniyat.
Kemashlahatan yang pertama (adh-dharuriyat)
adalah kemashlahatan yang harus ditegakkan demi untuk menjaga agama dan dunia. Jenis
mashlahah yang harus dijaga disini ada lima, meliputi; agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal.
Sebagai upaya untuk menjaga lima kemashlahatan di atas, asy-Syathibi
memberikan dua alternatif. Pertama, dari segi eksistensinya (min janib
al-wujud) yaitu dengan cara menjaga hal-hal yang terpenting yang dapat
mengokohkan keberadaannya. Kedua, dari segi tidak ada (min janib al-‘adam)
yaitu dengan cara menolak hal-hal yang dapat merusak eksistensinya.
Kemashlahatan yang kedua (al-Hajjiyat) sesuatu
yang eksistensinya tidak harus terwujud. Jika tidak terwujud, maka tidak akan
menghilangkan eksistensi pada sesuatu yang dituntut, hanya saja akan
mendatangkan kesulitan dan masyaqat bagi mukallaf.
Sedangkan kemashlahatan yang ketiga (at-tahsiniyat)
adalah melakukan hal-hal yang dianggap layak oleh adat dan menjauhi sesuatu
yang secara logika tidak baik. Ini lain dengan al-Ghazali, ia menegaskan bahwa kebutuhan tahsiniyat atau tazyinaat
merupakan kebutuhan tersier
(pelengkap), yang berarti mengambil tindakan yang lebih baik dalam rangka
mewujudkan lima unsur tersebut dan menjauhi hal-hal yang tidak disukai oleh
orang-orang bijak.
Deskripsi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa asy-Syathibi
dalam menetapkan hukum yang bersifat tahsiniyat
lebih cenderung berpijak pada adat dan logika. Sedangkan al-Ghazali
memprioritaskan orang bijak, dalam artian, tidak semua orang dapat menentukan
aspek kebutuhan ini, meskipun secara adat dan logika dianggap baik.
Selanjutnya, asy-Syathibi mengulas tentang peran
bahasa Arab dalam istinbath hukum. Menurutnya, syari’at Islam diturunkan
oleh Allah SWT dengan menggunakan bahasa Arab, sebagai konsekuensinya orang
yang akan memahami syari’at Islam
harus terlebih dahulu memahami dan menguasai gramatika bahasa Arab dan
unsur-unsur yang menjadi bagian terpenting, seperti ilmu Nahwu, Sharaf,
balagha, Mantiq, dan lain-lain. Dalam hal ini asy-Syathibi menegaskan:
”Barangsiapa yang hendak memahami syari’at (Islam), maka terlebih
dahulu ia harus memahami lisan al-Arab karena tanpa ini tidak mungkin syari’at
Islam dapat dipahami dengan tepat dan benar (sesuai dengan maqashid
asy-syari’ah).” Pendapat inilah, asy-Syathibi disebut sebagai ”Arabisme”
Dalam penjelasan lain, asy-Syathibi menegaskan
bahwa Syari’at yang
diturunkan oleh Allah SWT ini adalah Ummiyyah, artinya untuk memahami
syari’at tidak boleh keluar dari gramatika bahasa Arab.
Bagian maqashid asy-syari’ah yang ketiga
adalah mengenai tujuan syari’
dalam menentukan syari’at. Dalam hal ini asy-Syathibi menegaskan bahwa tujuan
syari’ dalam menentukan syari’at adalah untuk dilaksanakan manusia sesuai
dengan kehendak-Nya. Pada persoalan ini, Ia mengklasifikasikan menjadi dua
bagian; pertama, tuntutan yang
ada di luar kemampuan manusia, artinya semua bentuk tuntutan yang ada diluar
kemampuan manusia tidak masuk dalam kategori tuntutan syari’. Kedua,
tuntutan yang mampu untuk
dilaksanakan oleh manusia, tetapi didalamnya terdapat masyaqah.
Deskripsi di atas
berlawanan dengan al-Ghazali, menurutnya mashlahah adalah memelihara
tujuan syari', artinya kemashlahatan
berada dalam otoritas wahyu, tanpa mempertimbangkan kondisi sosial manusia.
Dengan kata lain, semua bentuk kemashlahatan yang menjadi tujuan syari'
bernilai mashlahah bagi manusia, sekalipun manusia menilai sebagai
sesuatu yang membahayakan; misalnya, Allah SWT memerintahkan manusia untuk
berjihad dalam kondisi tertentu. Dalam peperangan tentu ada yang gugur, gugur
dalam perang ini merupakan hal yang tidak diinginkan oleh manusia, padahal
menurut syari' orang yang gugur dalam perangan dalam membela agama
dinilai sebagai sesuatu yang terhormat, yaitu berupa syahid, bahkan
orang yang gugur dalam perangan tidak boleh dimandikan karena darah mereka akan
menjadi saksi di hadapan Allah SWT di akhirat kelak, sebagaimana yang dilakukan
oleh para sahabat Nabi SAW pada masanya.
Pada bagian maqashid
asy-syari'ah yang keempat, asy-Syathibi mengemukakan bahwa tujuan syari'
membebani mukallaf atas suatu hukum adalah agar aktifitas mukallaf
tidak terjerumus kedalam keinginan hawa nafsu belaka, sehingga menjadi hamba
yang selamat di dunia dan akhirat. Karena tujuan syari' dalam membebani
hukum adalah dalam rangka untuk kemashlahatan hamba-Nya. Dari sini timbul pertanyaan,
apakah lantas manusia bebas mengatur hukum tanpa terikat dengan syari'.
Dalam hal ini, asy-Syathibi menegaskan bahwa setiap perbuatan mukallaf
harus selalu mengikuti petunjuk syara’, karena perbuatan yang hanya
mengikuti hawa nafsu belaka, akan mengakibatkan kerusakan dan mendapati
kerugian bagi manusia itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat.
Kemudian asy-Syathibi menjelaskan, Jika
ternyata didalam taklif terdapat hal-hal yang diduga keras sebagai masyaqat,
maka sebenarnya hal tersebut bukanlah masyaqat melainkan kulfah,
yaitu sesuatu yang selalu melekat pada aktifitas manusia dan tidak mungkin
untuk dipisahkan darinya.
Misalnya, mencari nafkah pada siang dan malam untuk menghidupi keluarganya. Pekerjaan seperti ini tidak masuk dalam kategori masyaqat,
tetapi semua aktifitas yang ia lakukan memang suatu keharusan bagi orang
tersebut untuk menghidupi keluarganya.
Pada persoalan di atas, asy-Syathibi membagi masyaqah
menjadi dua, yaitu masyaqat mu’tadah dan masyaqat ghair al-mu’tadah. Contoh masyaqah mu'tadah adalah kewajiban
mencari nafkah untuk menghidupi
keluarganya, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Sedangkan contoh masyaqat ghair al-mu’tadah, seperti kasus-kasus yang apabila tidak
dikerjakan terdapat rukhshah.
Kemashlahatan yang menjadi substansi maqashid
asy-syari'ah, oleh asy-Syathibi dapat direalisasikan dalam lima bentuk,
yaitu agama, jiwa, keturunan, akal, dan
harta. Dalam rangka untuk mewujudkan lima hal yang menjadi tujuan pokok
tersebut, asy-Syathibi membagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, maqashid
adh-dharuriyat, dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok dalam
kehidupan manusia di atas. Kedua, maqashid
al-hajjiyat, dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan
pemeliharaan terhadap kelima unsur pokok menjadi lebih baik. Ketiga, maqashid
at-tahsiniyah, dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk
menyempurnakan pemeliharaan kelima unsur pokok.
Konsep maqashid
asy-syari'ah asy-Syathibi di atas, seirama dengan ide al-Ghazali. Dalam konsepnya, ia juga
mengemukakan bahwa kemashlahatan yang menjadi substansi maqashid
asy-syari'ah dapat direalisasikan apabila lima unsur pokok dapat
diwujudkan. Kemudian dalam rangka untuk mewujudkan lima hal yang menjadi unsur
pokok di atas, al-Ghazali juga membagi menjadi tiga tingkatan, yaitu adh-dharuriyah,
al-Hajjiyat, dan at-tahsiniyat.
0 komentar:
Posting Komentar