BAB IV (B)
A. Konsep
Maqashid asy-Syari’ah asy-Syathibi
Secara
global, kitab al-Muwafaqat terdiri dari 4 juz dan
yang berisi dari 5 tema, yaitu: Al-Muqaddimah,[1] Al-Ahkam,[2]
Al-Maqashid,[3]
Al-Adillah,[4]dan Al-Ijtihad wa at-Taqlid.
Pembahasan
mengenai maqashid dalam al-Muwafaqat
terbagi menjadi dua, yaitu Maqashid
al-Mukallaf,
dan Maqashid asy-syari’ atau Maqashid asy-Syari’ah. Ia menegaskan dengan
mendasarkan pada hasil metode induksi (istiqra’)nya:
إن وضع الشرائع إنما هو لمصالح العباد في
العاجل و الأجل معا
”Sesungguhnya Allah SWT membuat syari’at
adalah dalam rangka untuk kemashlahatan bagi hamba-Nya di dunia dan Akhirat.[5]
Pada pendapat lain, asy-Syathibi
mengemukakan:
والمعتمد إنما هو إنا إستقرينا من
الشريعة أنها وضعت لمصالح العباد
“Adapun yang dijadikan pijakan adalah penelitian
kami tentang syari’ah, bahwa syari’at dibuat bertujuan untuk kemashlahatan
hamba.”[6]
Dalam hal ini asy-Syathibi
mendasarkan atas firman Allah SWT:[7]
”(mereka Kami
utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar
supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya
Rasul-rasul itu.
Firman Allah SWT:[8]
”Dan Tiadalah
Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
I
Firman Allah SWT:[9]
”Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Dari pendapat asy-Syathibi tersebut
didukung oleh dalil-dalil Juz’iyyah, seperti firman Allah SWT tentang wudlu’:[10]dalam surat:
“Allah tidak
hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu,”
Firman Allah SWT tentang Qiblat:[11]
“Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka Palingkanlah wajahmu ke
arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu,
Firman Allah SWT tentang Jihad:[12]
”Telah
diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya
mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong
mereka itu,”
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa.”
"Bukankah aku ini
Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi
saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)",
Pembahasan mengenai Maqashid
asy-Syari’ah dalam al-Muwafaqat, oleh asy-Syathibi ditempatkan pada bab tersendiri,
yakni Juz II yang terdiri 62 masalah. Kemudian dari masalah-masalah tersebut ia
membagi menjadi 4 bagian, antara lain:
1.
Bagian pertama
menerangkan tentang tujuan syari’ dalam menetapkan syari’at (Qashdu asy-Syari’ fi wadh’i
as-syari’ah)[15]
Pada bagian ini, asy-Syathibi mengemukakan 13 permasalahan,
tetapi yang menjadi persoalan pokok adalah, apa tujuan syari’ dalam menetapkan
hukum?.
Al-Imam asy-Syathibi mengemukakan bahwa tujuan syari’ dalam
menetapkan hukum adalah untuk mewujudkan dan melestarikan kemashlahatan dunia
dan akhirat, yang adakalanya dengan menarik kemashlahatan atau menolak bahaya
dan kerusakan. Menurutnya, kemaslahatan terbagi menjadi tiga, yaitu Mashlahah yang bersifat Dlaruriyat, Mashlahah yang bersifat Hajjiyat, dan Mashlahah
yang bersifat Tahsiniyat.
Al-Mashlahah
ad-Dlaruriyat adalah sesuatu yang harus ada demi menegakkan kemashlahatan
agama dan dunia, jika tidak, maka kemashlahatan dunia tidak akan bisa
ditegakkan bahkan akan menimbulkan kerusakan dan hilangnya kehidupan.[16]
Kemashlahatan tersebut meliputi: agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal.
Sebagai upaya untuk menjaga lima kemashlahatan diatas, asy-Syathibi
memberikan dua alternatif:
a.
Dari segi eksistensinya (min janib al-wujud)[17]
yaitu dengan cara menjaga hal-hal yang terpenting yang dapat mengokohkan
keberadaannya.[18]
Dalam menjaga agama (ad-Din), seperti: Iman, mengucapkan dua kalimah syahadat,
shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain. Dalam menjaga jiwa dan akal (an-Nafs wa al-’Aql), seperti: makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan
lain-lain. Dalam menjaga keturunan dan harta (al-’Ird wa
al-Mal), seperti: nikah, jual beli dan
mencari rizki.
b.
Dari segi tidak ada (min janib al-‘adam)[19]
yaitu dengan cara menolak hal-hal yang dapat merusak eksistensinya. Dalam
menjaga agama (ad-Din) seperti berjihad, hukuman bagi orang murtad, dan lain-lain, dalam menjaga jiwa seperti Qishas,
Diyat (denda), dan lain-lain, dalam menjaga
akal seperti hukuman bagi peminum Khamr dan sejenisnya, dalam menjaga keturunan
seperti hukuman bagi orang yang berzina, dan bagi orang yang menuduh berzina
yang tidak bisa mendatang saksi, dalam menjaga harta seperti larangan terhadap
praktek riba, memotong tangan pencuri yang sudah mencapai ukuran yang sudah
ditentukan. Sebagaimana perkataannya
Al-Mashlahah al-Hajjiyat adalah sesuatu yang eksistensinya tidak harus terwujud. Jika tidak
terwujud, maka tidak akan menghilangkan eksistensi pada sesuatu yang dituntut,
hanya saja akan mendatangkan kesulitan dan masyaqat bagi mukallaf. Hal ini berlaku dalam persoalan
ibadah, adat, mua’malat, jinayat (tindak kriminal). Dalam ibadah seperti rukhsah, baik bagi orang sakit maupun bagi musafir. Dalam adat seperti diperbolehkan memanah, bersenang-senang
dengan hal-hal yang dianggap baik oleh syara’ (halal) misalnya makan, minum,
pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan lain-lain. Dalam mua’malat seperti akad Qiradh, akad salam, dan lain-lain.[20]
Al-Maslahah
at-Tahsiniyat adalah melakukan hal-hal yang dianggap
layak oleh adat dan menjauhi sesuatu yang secara logika tidak baik. Dalam
ibadah seperti menghilangkan najis dan keseluruhan bentuk thaharah, menutup
aurat, melakukan pekerjaan yang sifatnya sunah misalnya shadaqah, dan lain-lain. Dalam adat seperti
cara makan dan minum, menjauhi makanan yang najis, israf, dan lain-lain. Dalam mua’malat seperti larangan menjual
barang najis, dan lain-lain. Dalam jinayat seperti larangan membunuh perempuan,
anak-anak, Rahib (pendeta).[21]
2.
Bagian kedua menerangkan tentang tujuan syari’ dalam menetapkan
syari’at adalah untuk dipahami (Qashdu asy-syari’ fi wadh’i
asy-syari’ah lil Ifham)[22]
Pada bagian kedua terdapat 5
permasalahan. Asy-Syathibi mengemukakan bahwa tujuan syari’ dalam menetapkan
syari’at adalah agar dapat dipahami oleh mukallaf. Pada bagian ini asy-Syathibi membahas secara detail mengenai peran
Bahasa Arab dalam menggali hukum (istinbath al-ahkam), sebagaimana
berikut:
a.
Syari’at (Islam) diturunkan oleh Allah SWT dengan menggunakan bahasa
Arab,[23]
Sebagaimana firman Allah SWT:[24]
”Sesungguhnya
Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab,”
Firman
Allah SWT:[25]
”Dengan bahasa
Arab yang jelas.”
Firman Allah SWT:[26]
"..
Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya
bahasa 'Ajam,[27] sedang Al
Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.
Firman
Allah SWT:[28]
”Dan Jikalau
Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah
mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" Apakah
(patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab?".
Oleh karena itu, dalam memahami syari’at Islam harus
terlebih dahulu memahami dan menguasai gramatika bahasa Arab dan unsur-unsur
yang menjadi bagian terpenting, seperti ilmu Nahwu, Sharaf, balagha, Mantiq,
dan lain-lain. Dalam hal ini asy-Syathibi menegaskan:
فمن أراد تفهمه فمن جهة لسان العرب يفهم
”Barangsiapa
yang hendak memahami syari’at (Islam), maka terlebih dahulu ia harus memahami
lisan al-Arab”[29]
b.
Syari’at yang diturunkan oleh Allah SWT ini adalah Ummiyyah, pendapat asy-Syathibi
ini didasarkan pada firman Allah SWT:[30]
“…Maka
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada
Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya)”
Dari uraian kedua ini sangat jelas,
bahwa syari’at Islam yang diturunkan oleh Allah SWT dan dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW adalah Ummiyyah.
3.
Bagian ketiga menerangkan tentang tujuan syari’at sebagai hukum taklif yang harus dilakukan sesuai dengan tuntutannya (Fi
Bayan qashd asy-syari’ fi wadh’i asy-syari’ah li at-Taklif Bi Muqtadhahu)[31]
Pada bab ini, asy-Syathibi menjelaskan tentang tujuan syari’
dalam menentukan syari’at. Ia menegaskan bahwa tujuan syari’ dalam menentukan
syari’at adalah untuk dilaksanakan manusia sesuai dengan kehendak-Nya. Menurutnya,
bentuk tuntutan tersebut terbagi menjadi dua, yaitu:
a.
Tuntutan yang ada di luar
kemampuan manusia. Dalam hal ini secara tegas al-Imam asy-Syathibi menjelaskan,
sebagaimana berikut:
فمالاقدرة للمكلف عليه لايصح التكليف به شرعا وإن
جاز عقلا
”Bentuk taklif yang ada di luar kemampuan manusia
secara syar’i tidak sah untuk dibebankan kepada mukallaf, meskipun secara akal
memungkinkan untuk dilakukan.”[32]
Dari penjelasan ini dapat diambil pengertian bahwa semua bentuk taklif yang ada di luar kemampuan
manusia tidak masuk dalam kategori tuntutan syari’.
Dalam kaidah lain, asy-Syathibi menegaskan, sebagaimana berikut:
إذا ظهرمن الشارع في بادئ الرأي القصد إلي ا لتكليف ما لايدخل
تحت قدرة العبد فذلك راجع في التحقيق إلي سوابقه ولواحقه وقرائنه
”jika ada teks syara’
(setelah adanya analisis mendalam) ternyata teks tersebut menunjukkan perintah
yang tidak mungkin untuk dilakukan oleh manusia, maka teks itu harus
dikembalikan kepada perkara-perkara dahulu (sawabiqihi), perkara-perkara yang datang
kemudian (lawahiqihi), dan perkara-perkara yang menyertainya (qaraa’inihi).[33]
Asy-Syathibi mencontohkan pada hal-hal yang harus dikembalikan kepada
perkara dahulu (sawabiqihi), sebagaimana firman Allah
SWT:[34]
”Dan
janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.”
Contoh hal-hal yang dikembalikan kepada perkara-perkara
yang datang kemudian (lawahiqihi), sebagimana sabda Nabi Muhammad SAW :
كن عبدالله المقتول ولاتكن عبدالله القاتل
”Jadilah kamu hamba Allah SWT yang
terbunuh dan janganlah kamu menjadi orang yang membunuh”[35]
Dan
perkara-perkara yang menyertainya (qara’inihi), seperti sabda Nabi
Muhammad SAW :
لاتمت وأنتم ظالمون
“Janganlah kamu mati, sedangkan kamu
dalam keadaan berbuat dlalim”
b.
Tuntutan yang mampu untuk
dilaksanakan oleh manusia, tetapi didalamnya terdapat masyaqah. Menurut asy-Syathibi,
dalam masalah ini syari’ tidak hendak bermaksud membuat masyaqat bagi mukallaf, namun sebaliknya,
syari’ bertujuan memberikan kemudahan (at-Taisir).
Misalnya,
syari’ mewajibkan berjihad, perintah ini bukan berarti ingin agar hambanya
binasa, tetapi syari’ hendak mempermudah dalam amar ma’ruf dan nahi
munkar. Demikian pula bentuk-bentuk hukum yang sudah menjadi ketentuan syari’
seperti hukum Qishash, hukum dera, dan
lain-lain. Semuanya adalah untuk kebaikan manusia.
Menurut asy-Syathibi: Jika ternyata
didalam taklif terdapat hal-hal yang diduga keras
sebagai masyaqat, maka sebenarnya hal tersebut bukanlah
masyaqat tetapi kulfah, yaitu sesuatu yang selalu melekat pada aktifitas manusia
dan tidak mungkin untuk dipisahkan darinya, seperti mencari nafkah, siang dan
malam seseorang mencari nafkah untuk kehidupan keluarganya. Pekerjaan seperti
ini tidak masuk dalam kategori masyaqat, tetapi semua aktifitas yang ia
lakukan memang suatu keharusan bagi orang tersebut untuk menghidupi
keluarganya. Oleh karenanya, dalam syari’at Islam bentuk aktifitas tersebut
tidak dinamakan masyaqat. [36]
Dalam persoalan ini, asy-Syathibi membagi masyaqat menjadi dua,
yaitu Masyaqat
Mu’tadah, sebagaimana keterangan di atas, dan Masyaqat
Ghair Al-Mu’tadah, yaitu masyaqat yang tidak dapat
dilakukan oleh mukallaf, seperti
keharusan berpuasa bagi orang sakit. Untuk mengatasi masyaqat ini syari’
memberikan alternatif yang berupa rukhshah.[37]
4. Bagian keempat menerangkan
tentang tujuan syari’ dalam
membebani mukallaf untuk
melaksanakan syari’at-Nya (Qashdu
asy-syari’ fi dukhul al-mukallaf tahta ahkam asy-syari’ah)[38]
Bagian keempat ini
terdiri dari 20 masalah dan termasuk pembahasan yang paling panjang di antara
bab yang lain, namun dari persoalan-persoalan tersebut terdapat dua hal yang
menjadi inti pembahasan, yaitu:
a. Syari’ membebani mukallaf
untuk melaksanakan syari’at-Nya adalah agar aktifitas mukallaf tidak terjerumus kedalam keinginan hawa nafsu belaka,
sehingga menjadi hamba yang selamat di dunia dan akhirat.
b. Setiap perbuatan mukallaf harus selalu mengikuti petunjuk syara’, karena perbuatan yang hanya mengikuti hawa nafsu
belaka, akan mengakibatkan kerusakan dan mendapati kerugian bagi manusia itu sendiri
baik di dunia maupun di akhirat. Dalam hal ini asy-Syathibi menegaskan:
إن
اتباع الهوي طريق الي المذموم وإن جاء في ضمن المحمود
”Mengikuti hawa nafsu merupakan jalan menuju hal-hal yang
tercela, meskipun perbuatan itu berada dalam bingkaian sesuatu yang terpuji,”[39]
Disinilah pentingnya
setiap mukallaf agar selalu mengikuti
petunjuk syari’.
[2] Pada tema ini asy-Syathibi membahas hukum taklifi dan hukum wadh’i yang masing-masing ada lima macam, selain itu ia juga
menjelaskan tentang keterkaitan kedua hukum tersebut dengan Maqashid asy-Syari’ah
[3] Tema ini menjadi pembahasan yang paling inti dalam kitab
al-muwafaqat, karena pembahasan mengenai Maqashid asy-Syari’ah inilah kitab tersebut menjadi perbincangan dan juga menjadi
obyek kajian para juris Islam masa kini. Pada kesempatan ini, penulis juga akan
memfokuskan kajian pemikiran asy-Syathibi mengenai Maqashid asy-Syari’ah
[4] Al-Ijtihad wa at-Taqlid, pada tema ini asy-Syathibi
menguraikan secara detail mengenai al-ijtihad
dan at-taqlid
[6] Ibid.
[18] Dari segi eksistensinya, asy-Syathibi mengklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu: Fi ushul
al-‘badaat
(Hifz ad-Din) yaitu hal-hal yang
menjadi bagian terpenting dalam agama, Fi al-‘Adaat (hifz an-Nafs dan
al-‘Aql),
dan Fi al-Mu’amalat (hifz an-Nasl dan al-Mal).
[23] Ibid.
[24]Yusuf (12) ayat 2
[25] Asy-Syu’ara’(26) ayat 195
[27] Bahasa 'Ajam ialah bahasa selain bahasa Arab dan dapat juga berarti
bahasa Arab yang tidak baik, karena orang yang dituduh mengajar Muhammad itu
bukan orang Arab dan hanya tahu sedikit-sedikit bahasa Arab.
[30] Al-‘Araf (7) ayat 158
[31]
Ibid. 42-73
[32]
Ibid, hal. 72
[35] Hadits Rasulullah SAW di atas secara lahirnya
membebani agar orang lain membunuhnya, tetapi hakikatnya adalah agar tidak
berbuat dlalim dan tidak memulai
permusuhan. Jadi yang dimaksud adalah janganlah berbuat dlalim.
0 komentar:
Posting Komentar