Minggu, 07 Juli 2013

BAB IV (Tesis) B



BAB IV (B)
A.    Konsep Maqashid asy-Syari’ah asy-Syathibi
Secara global, kitab al-Muwafaqat terdiri dari 4 juz dan yang berisi dari 5 tema, yaitu: Al-Muqaddimah,[1] Al-Ahkam,[2] Al-Maqashid,[3] Al-Adillah,[4]dan Al-Ijtihad wa at-Taqlid.
Pembahasan mengenai maqashid dalam al-Muwafaqat terbagi menjadi dua, yaitu Maqashid al-Mukallaf, dan Maqashid asy-syari’ atau Maqashid asy-Syari’ah. Ia menegaskan dengan mendasarkan pada hasil metode induksi (istiqra’)nya:
إن وضع الشرائع إنما هو لمصالح العباد في العاجل و الأجل معا

 ”Sesungguhnya Allah SWT membuat syari’at adalah dalam rangka untuk kemashlahatan bagi hamba-Nya di dunia dan Akhirat.[5]

Pada pendapat lain, asy-Syathibi mengemukakan:

والمعتمد إنما هو إنا إستقرينا من الشريعة أنها وضعت لمصالح العباد

“Adapun yang dijadikan pijakan adalah penelitian kami tentang syari’ah, bahwa syari’at dibuat bertujuan untuk kemashlahatan hamba.”[6]
Dalam hal ini asy-Syathibi mendasarkan atas firman Allah SWT:[7]

”(mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu.

Firman Allah SWT:[8]
”Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
I
Firman Allah SWT:[9]
”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

Dari pendapat asy-Syathibi tersebut didukung oleh dalil-dalil Juz’iyyah, seperti firman Allah SWT tentang wudlu’:[10]dalam surat:
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,”

Firman Allah SWT tentang Qiblat:[11]
 “Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka Palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu,

Firman Allah SWT tentang Jihad:[12]
”Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,”

Firman Allah SWT tentang Qishas:[13]
 “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”

Firman Allah SWT tentang taqrir ‘ala at-Tauhid :[14]
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",

Pembahasan mengenai Maqashid asy-Syari’ah dalam al-Muwafaqat, oleh asy-Syathibi ditempatkan pada bab tersendiri, yakni Juz II yang terdiri 62 masalah. Kemudian dari masalah-masalah tersebut ia membagi menjadi 4 bagian, antara lain:
1.      Bagian pertama menerangkan tentang tujuan syari’ dalam menetapkan syari’at (Qashdu asy-Syari’ fi wadh’i as-syari’ah)[15]
Pada bagian ini, asy-Syathibi mengemukakan 13 permasalahan, tetapi yang menjadi persoalan pokok adalah, apa tujuan syari’ dalam menetapkan hukum?.
Al-Imam asy-Syathibi mengemukakan bahwa tujuan syari’ dalam menetapkan hukum adalah untuk mewujudkan dan melestarikan kemashlahatan dunia dan akhirat, yang adakalanya dengan menarik kemashlahatan atau menolak bahaya dan kerusakan. Menurutnya, kemaslahatan terbagi menjadi tiga, yaitu Mashlahah yang bersifat Dlaruriyat, Mashlahah yang bersifat Hajjiyat, dan Mashlahah yang bersifat Tahsiniyat.
Al-Mashlahah ad-Dlaruriyat adalah sesuatu yang harus ada demi menegakkan kemashlahatan agama dan dunia, jika tidak, maka kemashlahatan dunia tidak akan bisa ditegakkan bahkan akan menimbulkan kerusakan dan hilangnya kehidupan.[16] Kemashlahatan tersebut meliputi: agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal.
Sebagai upaya untuk menjaga lima kemashlahatan diatas, asy-Syathibi memberikan dua alternatif:
a.       Dari segi eksistensinya (min janib al-wujud)[17] yaitu dengan cara menjaga hal-hal yang terpenting yang dapat mengokohkan keberadaannya.[18] Dalam menjaga agama (ad-Din), seperti:  Iman, mengucapkan dua kalimah syahadat, shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain. Dalam menjaga jiwa dan akal (an-Nafs wa al-’Aql), seperti: makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Dalam menjaga keturunan dan harta (al-’Ird wa al-Mal), seperti: nikah, jual beli dan mencari rizki.
b.      Dari segi tidak ada (min janib al-‘adam)[19] yaitu dengan cara menolak hal-hal yang dapat merusak eksistensinya. Dalam menjaga agama (ad-Din) seperti berjihad, hukuman bagi orang murtad, dan lain-lain, dalam menjaga jiwa seperti Qishas, Diyat (denda), dan lain-lain, dalam menjaga akal seperti hukuman bagi peminum Khamr dan sejenisnya, dalam menjaga keturunan seperti hukuman bagi orang yang berzina, dan bagi orang yang menuduh berzina yang tidak bisa mendatang saksi, dalam menjaga harta seperti larangan terhadap praktek riba, memotong tangan pencuri yang sudah mencapai ukuran yang sudah ditentukan. Sebagaimana perkataannya
Al-Mashlahah al-Hajjiyat adalah sesuatu yang eksistensinya tidak harus terwujud. Jika tidak terwujud, maka tidak akan menghilangkan eksistensi pada sesuatu yang dituntut, hanya saja akan mendatangkan kesulitan dan masyaqat bagi mukallaf. Hal ini berlaku dalam persoalan ibadah, adat, mua’malat, jinayat (tindak kriminal). Dalam ibadah seperti rukhsah, baik bagi orang sakit maupun bagi musafir. Dalam adat seperti diperbolehkan memanah, bersenang-senang dengan hal-hal yang dianggap baik oleh syara’ (halal) misalnya makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan lain-lain. Dalam mua’malat seperti akad Qiradh, akad salam, dan lain-lain.[20]
 Al-Maslahah at-Tahsiniyat adalah melakukan hal-hal yang dianggap layak oleh adat dan menjauhi sesuatu yang secara logika tidak baik. Dalam ibadah seperti menghilangkan najis dan keseluruhan bentuk thaharah, menutup aurat, melakukan pekerjaan yang sifatnya sunah misalnya shadaqah, dan lain-lain. Dalam adat seperti cara makan dan minum, menjauhi makanan yang najis, israf, dan lain-lain. Dalam mua’malat seperti larangan menjual barang najis, dan lain-lain. Dalam jinayat seperti larangan membunuh perempuan, anak-anak, Rahib (pendeta).[21]
2.      Bagian kedua menerangkan tentang tujuan syari’ dalam menetapkan syari’at adalah untuk dipahami (Qashdu asy-syari’ fi wadh’i asy-syari’ah lil Ifham)[22]
Pada bagian kedua terdapat 5 permasalahan. Asy-Syathibi mengemukakan bahwa tujuan syari’ dalam menetapkan syari’at adalah agar dapat dipahami oleh mukallaf. Pada bagian ini asy-Syathibi membahas secara detail mengenai peran Bahasa Arab dalam menggali hukum (istinbath al-ahkam), sebagaimana berikut:
a.       Syari’at (Islam) diturunkan oleh Allah SWT dengan menggunakan bahasa Arab,[23] Sebagaimana firman Allah SWT:[24]
”Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab,”

Firman Allah SWT:[25]
”Dengan bahasa Arab yang jelas.”

Firman Allah SWT:[26]
".. Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam,[27] sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.

Firman Allah SWT:[28]
”Dan Jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab?".

Oleh karena itu, dalam memahami syari’at Islam harus terlebih dahulu memahami dan menguasai gramatika bahasa Arab dan unsur-unsur yang menjadi bagian terpenting, seperti ilmu Nahwu, Sharaf, balagha, Mantiq, dan lain-lain. Dalam hal ini asy-Syathibi menegaskan:
فمن أراد تفهمه فمن جهة لسان العرب يفهم
”Barangsiapa yang hendak memahami syari’at (Islam), maka terlebih dahulu ia harus memahami lisan al-Arab”[29]

b.      Syari’at yang diturunkan oleh Allah SWT ini adalah Ummiyyah, pendapat asy-Syathibi ini didasarkan pada firman  Allah SWT:[30]
“…Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya)”

Dari uraian kedua ini sangat jelas, bahwa syari’at Islam yang diturunkan oleh Allah SWT dan dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah Ummiyyah.
3.      Bagian ketiga menerangkan tentang tujuan syari’at sebagai hukum taklif yang harus dilakukan sesuai dengan tuntutannya (Fi Bayan qashd asy-syari’ fi wadh’i asy-syari’ah li at-Taklif Bi Muqtadhahu)[31]
Pada bab ini, asy-Syathibi menjelaskan tentang tujuan syari’ dalam menentukan syari’at. Ia menegaskan bahwa tujuan syari’ dalam menentukan syari’at adalah untuk dilaksanakan manusia sesuai dengan kehendak-Nya. Menurutnya, bentuk tuntutan tersebut terbagi menjadi dua, yaitu:
a.       Tuntutan yang ada di luar kemampuan manusia. Dalam hal ini secara tegas al-Imam asy-Syathibi menjelaskan, sebagaimana berikut:
فمالاقدرة للمكلف عليه لايصح التكليف به شرعا وإن جاز عقلا
”Bentuk taklif yang ada di luar kemampuan manusia secara syar’i tidak sah untuk dibebankan kepada mukallaf, meskipun secara akal memungkinkan untuk dilakukan.”[32]

Dari penjelasan ini dapat diambil pengertian bahwa semua bentuk taklif yang ada di luar kemampuan manusia tidak masuk dalam kategori tuntutan syari’.
Dalam kaidah lain, asy-Syathibi menegaskan, sebagaimana berikut:
إذا ظهرمن الشارع في بادئ الرأي القصد إلي ا لتكليف ما لايدخل تحت قدرة العبد فذلك راجع في التحقيق إلي سوابقه ولواحقه وقرائنه

”jika ada teks syara’ (setelah adanya analisis mendalam) ternyata teks tersebut menunjukkan perintah yang tidak mungkin untuk dilakukan oleh manusia, maka teks itu harus dikembalikan kepada perkara-perkara dahulu (sawabiqihi), perkara-perkara yang datang kemudian (lawahiqihi), dan perkara-perkara yang menyertainya (qaraa’inihi).[33]

Asy-Syathibi mencontohkan pada hal-hal yang harus dikembalikan kepada perkara dahulu (sawabiqihi), sebagaimana firman Allah SWT:[34]
”Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.”

Contoh hal-hal yang dikembalikan kepada perkara-perkara yang datang kemudian (lawahiqihi), sebagimana sabda Nabi Muhammad SAW :
كن عبدالله المقتول ولاتكن عبدالله القاتل
”Jadilah kamu hamba Allah SWT yang terbunuh dan janganlah kamu menjadi orang yang membunuh”[35]

Dan perkara-perkara yang menyertainya (qara’inihi), seperti sabda Nabi Muhammad SAW :
لاتمت وأنتم ظالمون
Janganlah kamu mati, sedangkan kamu dalam keadaan berbuat dlalim”

b.      Tuntutan yang mampu untuk dilaksanakan oleh manusia, tetapi didalamnya terdapat masyaqah. Menurut asy-Syathibi, dalam masalah ini syari’ tidak hendak bermaksud membuat masyaqat bagi mukallaf, namun sebaliknya, syari’ bertujuan memberikan kemudahan (at-Taisir).
Misalnya, syari’ mewajibkan berjihad, perintah ini bukan berarti ingin agar hambanya binasa, tetapi syari’ hendak mempermudah dalam amar ma’ruf dan nahi munkar. Demikian pula bentuk-bentuk hukum yang sudah menjadi ketentuan syari’ seperti hukum Qishash, hukum dera, dan lain-lain. Semuanya adalah untuk kebaikan manusia.
Menurut asy-Syathibi: Jika ternyata didalam taklif terdapat hal-hal yang diduga keras sebagai masyaqat, maka sebenarnya hal tersebut bukanlah masyaqat tetapi kulfah, yaitu sesuatu yang selalu melekat pada aktifitas manusia dan tidak mungkin untuk dipisahkan darinya, seperti mencari nafkah, siang dan malam seseorang mencari nafkah untuk kehidupan keluarganya. Pekerjaan seperti ini tidak masuk dalam kategori masyaqat, tetapi semua aktifitas yang ia lakukan memang suatu keharusan bagi orang tersebut untuk menghidupi keluarganya. Oleh karenanya, dalam syari’at Islam bentuk aktifitas tersebut tidak dinamakan masyaqat. [36]
Dalam persoalan ini, asy-Syathibi membagi masyaqat menjadi dua, yaitu Masyaqat Mu’tadah, sebagaimana keterangan di atas,  dan Masyaqat Ghair Al-Mu’tadah, yaitu masyaqat yang tidak dapat dilakukan oleh mukallaf, seperti keharusan berpuasa bagi orang sakit. Untuk mengatasi masyaqat ini syari’ memberikan alternatif yang berupa rukhshah.[37]
4.      Bagian keempat menerangkan tentang tujuan syari’ dalam membebani mukallaf untuk melaksanakan syari’at-Nya (Qashdu asy-syari’ fi dukhul al-mukallaf tahta ahkam asy-syari’ah)[38]
Bagian keempat ini terdiri dari 20 masalah dan termasuk pembahasan yang paling panjang di antara bab yang lain, namun dari persoalan-persoalan tersebut terdapat dua hal yang menjadi inti pembahasan, yaitu:
a.       Syari’ membebani mukallaf untuk melaksanakan syari’at-Nya adalah agar aktifitas mukallaf tidak terjerumus kedalam keinginan hawa nafsu belaka, sehingga menjadi hamba yang selamat di dunia dan akhirat.
b.      Setiap perbuatan mukallaf harus selalu mengikuti petunjuk syara’, karena perbuatan yang hanya mengikuti hawa nafsu belaka, akan mengakibatkan kerusakan dan mendapati kerugian bagi manusia itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat. Dalam hal ini asy-Syathibi menegaskan:
إن اتباع الهوي طريق الي المذموم وإن جاء في ضمن المحمود

”Mengikuti hawa nafsu merupakan jalan menuju hal-hal yang tercela, meskipun perbuatan itu berada dalam bingkaian sesuatu yang terpuji,”[39]

Disinilah pentingnya setiap mukallaf agar selalu mengikuti petunjuk syari’.


[1] Pada tema ini terdapat 13 persoalan yang menjadi langkah awal untuk memahami kitab al-muwafaqat
[2] Pada tema ini asy-Syathibi membahas hukum taklifi dan hukum wadh’i yang masing-masing ada lima macam, selain itu ia juga menjelaskan tentang keterkaitan kedua hukum tersebut dengan Maqashid asy-Syari’ah
[3] Tema ini menjadi pembahasan yang paling inti dalam kitab al-muwafaqat, karena pembahasan mengenai Maqashid asy-Syari’ah inilah kitab tersebut menjadi perbincangan dan juga menjadi obyek kajian para juris Islam masa kini. Pada kesempatan ini, penulis juga akan memfokuskan kajian pemikiran asy-Syathibi mengenai Maqashid asy-Syari’ah
[4] Al-Ijtihad wa at-Taqlid, pada tema ini asy-Syathibi menguraikan secara detail mengenai al-ijtihad dan at-taqlid
[5] Asy-Syathibi, al-muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Dar al-Fikr, tt Juz II, hal. 2
[6] Ibid.
[7] An-Nisa’(4) ayat 165
[8] Al-Anbiyaa’ (21) ayat 107
[9] Adz-Dzariyaat (51) ayat  56
[10] Al-Ma’idah (5) ayat 6
[11] Al-Baqarah (2) ayat 150
[12] Al-Hajj (22) ayat 39
[13] Al-Baqarah (2) ayat 179
[14] Al-A’raaf (7) ayat 172
[15] Op.Cit, hal. 3
[16] Ibid, hal. 4
[17] Ibid.
[18] Dari segi eksistensinya, asy-Syathibi mengklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: Fi ushul al-‘badaat (Hifz ad-Din) yaitu hal-hal yang menjadi bagian terpenting dalam agama, Fi al-‘Adaat (hifz an-Nafs dan al-‘Aql), dan Fi al-Mu’amalat (hifz an-Nasl dan al-Mal). 
[19] Ibid.
[20] Ibid, hal. 4-5
[21] Ibid, hal. 5
[22] Ibid, hal. 42
[23] Ibid.
[24]Yusuf (12) ayat 2
[25] Asy-Syu’ara’(26) ayat 195

[26] An-Nahl (16) ayat 103
[27] Bahasa 'Ajam ialah bahasa selain bahasa Arab dan dapat juga berarti bahasa Arab yang tidak baik, karena orang yang dituduh mengajar Muhammad itu bukan orang Arab dan hanya tahu sedikit-sedikit bahasa Arab.
[28] Al-Fushshilat (41) ayat 44
[29] Op.Cit, hal. 43
[30] Al-‘Araf (7) ayat 158
[31] Ibid. 42-73
[32] Ibid, hal. 72
[33] Ibid.
[34] Ali Imran (3) ayat 102
[35] Hadits Rasulullah SAW di atas secara lahirnya membebani agar orang lain membunuhnya, tetapi hakikatnya adalah agar tidak berbuat dlalim dan tidak memulai permusuhan. Jadi yang dimaksud adalah janganlah berbuat dlalim.
[36] Op.Cit, hal. 82
[37] Ibid, hal. 83
[38] Ibid, hal. 114
[39] Ibid, hal. 119

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id