BAB V (B)
A. Perbedaan Konsep Maqashid Asy-Syari’ah
Dalam kaitannya dengan upaya untuk memahami maqashid
asy-syari’ah, antara al-Ghazali dan asy-Syathibi terdapat
perbedaan. Al-Ghazali dalam memahami teks atau metode rasionalitas teks
didominasi oleh dua kategori, yaitu umum al-lafdzi (keumuman lafadz)
dan khusus as-sabab (kekhususan sebab). Dalam artian, jika ada teks yang redaksinya bersifat umum, maka
teks tersebut harus diaplikasikan berdasarkan semua cakupannya tanpa harus
memperhatikan historisitas lahirnya teks.
Tetapi standar untuk
memahami rasionalitas teks tersebut, oleh al-Ghazali dibatasi oleh nash
atau ushul al-ashliyah, yaitu al-Qur'an, as-Sunnah, dan al-Ijma',
artinya pemahaman maqashid
asy-syari’ah sepenuhnya berada dalam otoritas teks wahyu tanpa harus
memperhatikan realitas, karena al-Ghazali menganggap setiap teks syari'
mengandung kemashlahatan bagi manusia tanpa terkecuali.
Sedangkan standar pemahaman maqashid
asy-syari'ah menurut asy-Syathibi jauh berbeda dengan al-Ghazali.
Menurutnya, untuk memahami maqashid asy-syari'ah ada tiga pendekatan,
yaitu pendekatan dhahir lafadz dan pertimbangan ’Illat (makna).
Dalam rangka untuk merealisasikan dua pendekatan tersebut, asy-Syathibi memakai
tiga cara, antara lain; (1) menganalisa lafadz perintah atau larangan,
(2) Menelaah ‘illat al-amar (perintah) atau an-nahi (larangan), dan
(3) Menganalisa as-sakut ’an
sya’iyyah al-amal ma’a qiyam al-ma’na al-muqtadal lahu (sikap diam syari’
dari pensyariatan sesuatu).
Pada pendekatan yang kedua, asy-Syathibi memberika
dua alternatif sebagai pertimbangan. Pertama, tidak boleh melakukan ta’addi
(memperluas cakupan) terhadap apa yang telah ditetapkan dalam nash.
Kedua, jika mengharuskan untuk melakukan perluasan cakupan terhadap apa yang
telah ditetapkan dalam nash, maka tujuan hukum harus diketahui tabi’ah-nya.
Titik perbedaan yang paling mendasar antara al-Ghazali
dan asy-Syathibi terletak pada pijakan yang harus diikuti dalam menetapkan
hukum. Jika al-Ghazali sangat kokoh dalam merujuk kepada nash yang
meliputi al-Qur'an, al-Hadits, dan al-Ijma'. Sedangkan asy-Syathibi, masih ada
ruang untuk keluar dari nash, dengan catatan tujuan hukum harus
diketahui tabi'ah-nya.
B.
Implikasi Konsep Maqashid Asy-Syari'ah
Perbedaan konsep berkonsekuensi munculnya paradigma
yang berbeda. Konsep al-Ghazali dan asy-Syathibi dari satu sisi terdapat
perbedaan dan pada sisi yang lain terdapat persamaan. Konsekuensinya, di dalam
implementasi di lapangan banyak hukum-hukum yang diproduk al-Ghazali tidak sama
dengan hukum yang ditetapkan oleh asy-Syathibi.
Mashlahah yang secara substansial merupakan basis
tujuan syari’ (maqashid asy-syari’ah), dalam perspektif
al-Ghazali di atas dapat diimplementasikan dalam realitas soaial, sebagaimana
berikut;
1.
Implementasi al-mashlahah al-mu’tabarah
dalam realitas sosial. Misalnya, pengharaman
segala bentuk minuman yang memabukkan dengan cara di-Qiyas-kan pada khamr
yang telah di-nashs-kan oleh al-Qur’an. Hukum haram ini terdapat nilai
mashlahah, yaitu untuk memelihara akal.
2. Implementasi al-mashlahah al-Mulgha dalam realitas
sosial. Misalnya, dalam kasus seorang
raja menggauli istrinya pada siang hari di bulan ramadlan maka ia dikenakan
denda kafarat puasa dua bulan berturut-turut sebagai ganti dari denda
memerdekakan budak. Pertimbangannya adalah seorang raja tidak akan jera jika
hanya dengan memerdekakan budak. Hal ini karena seorang raja akan dengan mudah
membayar denda tersebut. Oleh karenanya, akan lebih mashlahah jika
seorang raja di denda dengan puasa dua bulan berturut-turut.
Bentuk kemashlahatan seperti
di atas tidak dapat diakui oleh syara’, sebab ada unsur kontradiksi
dengan nash yang secara jelas nash itu memuat hirarki kafarat
pada kasus ini. Dengan demikian, sang raja tetap dibebani hukuman kafarat
sesuai dengan urutan yang ada dalam Nash, yaitu memerdekakan budak,
puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin.
3. Implementasi al-mashlahah
al-mursalah dalam realitas sosial. Misalnya, pengumpulan dan pembukuan
kitab suci al-Qur’an.
Sedangkan
implementasi mashlahah dalam realitas sosial dari segi kualitas
yang dimilikinya, antara lain;
1.
al-Mashlahah adh-Dharuriyat. Misalnya, Dalam menjaga
agama (ad-Din) seperti berjihad, hukuman bagi orang murtad, dan
lain-lain, dalam menjaga jiwa seperti Qishas, Diyat (denda), dan
lain-lain, dalam menjaga akal seperti hukuman bagi peminum Khamr dan
sejenisnya, dalam menjaga keturunan seperti hukuman bagi orang yang berzina,
dan bagi orang yang menuduh berzina yang tidak bisa mendatang saksi, dalam
menjaga harta seperti larangan terhadap praktek riba, memotong tangan pencuri
yang sudah mencapai ukuran yang sudah ditentukan.
2.
al-Mashlahah
al-Hajjiyat. Misalnya, makan, minum, pakaian, tempat tinggal,
kendaraan, dan lain-lain.
3.
al-Mashlahah
at-Tahsiniyat. Misalnya, menghilangkan najis dan keseluruhan bentuk thaharah,
menutup aurat, melakukan pekerjaan yang sifatnya sunah misalnya shadaqah, dan
lain-lain.
Sedangkan pembahasan mengenai maqashid asy-syari’ah
dalam perspektif asy-Syathibi dapat diimplementasikan pada realitas sosial
sebagaimana berikut;
1.
Tentang tujuan syari’ dalam menetapkan syari’at
(Qashdu asy-Syari’ fi wadh’i as-syari’ah). Dalam hal ini, asy-Syathibi
mengklasifikasikan menjadi tiga bagian.
Pertama, kemashlahatan yang sifatnya adh-dharuriyat, meliputi agama,
jiwa, keturunan, harta, dan akal.
Dalam upaya untuk menjaga lima
kemashlahatan tersebut, asy-Syathibi memberikan dua alternatif. Pertama, dari
segi eksistensinya (min janib al-wujud) yaitu dengan cara menjaga
hal-hal yang terpenting yang dapat mengokohkan keberadaannya. Pemeliharaan
terhadap agama seperti Iman, mengucapkan dua kalimah syahadat, shalat, zakat,
puasa, haji. Pemeliharaan terhadap jiwa dan akal (an-Nafs wa al-’Aql), seperti:
makan, minum, pakaian, tempat tinggal. Pemeliharaan terhadap keturunan dan harta (al-’Ird wa al-Mal),
seperti: nikah, jual beli dan mencari rizki. Alternatif kedua, dari segi tidak ada
(min janib al-‘adam) yaitu dengan cara menolak hal-hal yang dapat
merusak eksistensinya. Seperti Dalam menjaga agama (ad-Din) seperti
berjihad, hukuman bagi orang murtad, dan lain-lain, dalam menjaga jiwa seperti Qishas,
Diyat (denda), dan lain-lain, dalam menjaga akal seperti hukuman bagi
peminum Khamr dan sejenisnya, dalam menjaga keturunan seperti hukuman
bagi orang yang berzina, dan bagi orang yang menuduh berzina yang tidak bisa
mendatangkan saksi, dalam menjaga harta seperti larangan terhadap praktek riba,
memotong tangan pencuri yang sudah mencapai ukuran yang sudah ditentukan.
Tujuan syari’ dalam menetapkan syari’at yang kedua
adalah al-hajjiyat, yaitu sesuatu yang eksistensinya tidak harus
terwujud. Jika tidak terwujud, maka tidak akan menghilangkan eksistensi pada
sesuatu yang dituntut, hanya saja akan mendatangkan kesulitan dan masyaqat bagi
mukallaf. Hal ini berlaku dalam persoalan ibadah, adat, mua’malat,
jinayat (tindak kriminal). Dalam ibadah seperti rukhsah, baik bagi
orang sakit maupun bagi musafir. Dalam adat seperti diperbolehkan memanah,
bersenang-senang dengan hal-hal yang dianggap baik oleh syara’ (halal)
misalnya makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan lain-lain. Dalam
mua’malat seperti akad Qiradh, akad salam, dan lain-lain.
Sedangkan tujuan syari’ dalam menetapkan syari’at yang
ketiga adalah at-tahsiniyat, yaitu melakukan hal-hal yang dianggap layak oleh
adat dan menjauhi sesuatu yang secara logika tidak baik. Dalam ibadah seperti
menghilangkan najis dan keseluruhan bentuk thaharah, menutup aurat,
melakukan pekerjaan yang sifatnya sunah misalnya shadaqah, dan
lain-lain. Dalam adat seperti cara makan dan minum, menjauhi makanan
yang najis, israf, dan lain-lain. Dalam mua’malat seperti
larangan menjual barang najis, dan lain-lain. Dalam jinayat seperti
larangan membunuh perempuan, anak-anak, Rahib (pendeta).
2.
Tentang tujuan
syari’ dalam menetapkan syari’at adalah untuk dipahami (Qashdu asy-syari’ fi
wadh’i asy-syari’ah lil Ifham). Pada bagian ini, asy-Syathibi mengulas
secara detail tentang posisi bahasa Arab dalam memahami syari’at islam.
3.
Tentang tujuan
syari’at sebagai hukum taklif yang harus dilakukan (Fi Bayan
qashd asy-syari’ fi wadh’i asy-syari’ah li at-Taklif Bi Muqtadhahu). Dalam
hal ini, asy-Syathibi mengklasifikasikan menjadi dua bagian. Pertama, Tuntutan yang ada di luar kemampuan
manusia. Kedua,
taklif yang mampu untuk dilaksanakan oleh
manusia, tetapi didalamnya terdapat masyaqah. Pada bagian
yang kedua ini, terbagi lagi menjadi dua, yaitu masyaqat mu’tadah,
seperti mencari nafkah, siang dan malam seseorang mencari nafkah untuk
kehidupan keluarganya. Pekerjaan seperti ini tidak masuk dalam kategori
masyaqat, tetapi semua aktifitas yang ia lakukan memang suatu keharusan bagi
orang tersebut untuk menghidupi keluarganya. Dan Masyaqat Ghair Al-Mu’tadah,
yaitu masyaqat yang tidak dapat dilakukan oleh mukallaf,
seperti keharusan berpuasa bagi orang sakit.
4.
Tentang tujuan syari’ dalam membebani mukallaf
untuk melaksanakan syari’at-Nya (Qashdu asy-syari’ fi dukhul
al-mukallaf tahta ahkam asy-syari’ah). Pada pembahasan ini terdapat dua
macam, yaitu Syari’ membebani mukallaf untuk melaksanakan syari’at-Nya
adalah agar aktifitas mukallaf tidak terjerumus kedalam keinginan hawa nafsu
belaka, sehingga menjadi hamba yang selamat di dunia dan akhirat. Kedua, Setiap
perbuatan mukallaf harus selalu mengikuti petunjuk syara’.
0 komentar:
Posting Komentar