Minggu, 07 Juli 2013

BAB V (Tesis) B



BAB V (B)
A.    Perbedaan Konsep Maqashid Asy-Syari’ah
Dalam kaitannya dengan upaya untuk memahami maqashid asy-syari’ah, antara al-Ghazali dan asy-Syathibi terdapat perbedaan. Al-Ghazali dalam memahami teks atau metode rasionalitas teks didominasi oleh dua kategori, yaitu umum al-lafdzi (keumuman lafadz) dan khusus as-sabab (kekhususan sebab). Dalam artian, jika ada teks yang redaksinya bersifat umum, maka teks tersebut harus diaplikasikan berdasarkan semua cakupannya tanpa harus memperhatikan historisitas lahirnya teks.
Tetapi standar untuk memahami rasionalitas teks tersebut, oleh al-Ghazali dibatasi oleh nash atau ushul al-ashliyah, yaitu al-Qur'an, as-Sunnah, dan al-Ijma', artinya pemahaman maqashid asy-syari’ah sepenuhnya berada dalam otoritas teks wahyu tanpa harus memperhatikan realitas, karena al-Ghazali menganggap setiap teks syari' mengandung kemashlahatan bagi manusia tanpa terkecuali.
Sedangkan standar pemahaman maqashid asy-syari'ah menurut asy-Syathibi jauh berbeda dengan al-Ghazali. Menurutnya, untuk memahami maqashid asy-syari'ah ada tiga pendekatan, yaitu pendekatan dhahir lafadz dan pertimbangan ’Illat (makna). Dalam rangka untuk merealisasikan dua pendekatan tersebut, asy-Syathibi memakai tiga cara, antara lain; (1) menganalisa lafadz perintah atau larangan, (2) Menelaah ‘illat al-amar (perintah) atau an-nahi (larangan), dan (3)  Menganalisa as-sakut ’an sya’iyyah al-amal ma’a qiyam al-ma’na al-muqtadal lahu (sikap diam syari’ dari pensyariatan sesuatu).
Pada pendekatan yang kedua, asy-Syathibi memberika dua alternatif sebagai pertimbangan. Pertama, tidak boleh melakukan ta’addi (memperluas cakupan) terhadap apa yang telah ditetapkan dalam nash. Kedua, jika mengharuskan untuk melakukan perluasan cakupan terhadap apa yang telah ditetapkan dalam nash, maka tujuan hukum harus diketahui tabi’ah-nya.
Titik perbedaan yang paling mendasar antara al-Ghazali dan asy-Syathibi terletak pada pijakan yang harus diikuti dalam menetapkan hukum. Jika al-Ghazali sangat kokoh dalam merujuk kepada nash yang meliputi al-Qur'an, al-Hadits, dan al-Ijma'. Sedangkan asy-Syathibi, masih ada ruang untuk keluar dari nash, dengan catatan tujuan hukum harus diketahui tabi'ah-nya.
B.     Implikasi Konsep Maqashid Asy-Syari'ah
Perbedaan konsep berkonsekuensi munculnya paradigma yang berbeda. Konsep al-Ghazali dan asy-Syathibi dari satu sisi terdapat perbedaan dan pada sisi yang lain terdapat persamaan. Konsekuensinya, di dalam implementasi di lapangan banyak hukum-hukum yang diproduk al-Ghazali tidak sama dengan hukum yang ditetapkan oleh asy-Syathibi.
Mashlahah yang secara substansial merupakan basis tujuan syari’ (maqashid asy-syari’ah), dalam perspektif al-Ghazali di atas dapat diimplementasikan dalam realitas soaial, sebagaimana berikut;
1.      Implementasi al-mashlahah al-mu’tabarah dalam realitas sosial. Misalnya, pengharaman segala bentuk minuman yang memabukkan dengan cara di-Qiyas-kan pada khamr yang telah di-nashs-kan oleh al-Qur’an. Hukum haram ini terdapat nilai mashlahah, yaitu untuk memelihara akal. 
2.      Implementasi al-mashlahah al-Mulgha dalam realitas sosial. Misalnya, dalam kasus seorang raja menggauli istrinya pada siang hari di bulan ramadlan maka ia dikenakan denda kafarat puasa dua bulan berturut-turut sebagai ganti dari denda memerdekakan budak. Pertimbangannya adalah seorang raja tidak akan jera jika hanya dengan memerdekakan budak. Hal ini karena seorang raja akan dengan mudah membayar denda tersebut. Oleh karenanya, akan lebih mashlahah jika seorang raja di denda dengan puasa dua bulan berturut-turut.  
Bentuk kemashlahatan seperti di atas tidak dapat diakui oleh syara’, sebab ada unsur kontradiksi dengan nash yang secara jelas nash itu memuat hirarki kafarat pada kasus ini. Dengan demikian, sang raja tetap dibebani hukuman kafarat sesuai dengan urutan yang ada dalam Nash, yaitu memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin.
3.      Implementasi al-mashlahah al-mursalah dalam realitas sosial. Misalnya, pengumpulan dan pembukuan kitab suci al-Qur’an.
Sedangkan implementasi mashlahah dalam realitas sosial dari segi kualitas yang dimilikinya, antara lain;
1.      al-Mashlahah adh-Dharuriyat. Misalnya, Dalam menjaga agama (ad-Din) seperti berjihad, hukuman bagi orang murtad, dan lain-lain, dalam menjaga jiwa seperti Qishas, Diyat (denda), dan lain-lain, dalam menjaga akal seperti hukuman bagi peminum Khamr dan sejenisnya, dalam menjaga keturunan seperti hukuman bagi orang yang berzina, dan bagi orang yang menuduh berzina yang tidak bisa mendatang saksi, dalam menjaga harta seperti larangan terhadap praktek riba, memotong tangan pencuri yang sudah mencapai ukuran yang sudah ditentukan.
2.      al-Mashlahah al-Hajjiyat. Misalnya, makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan lain-lain.
3.      al-Mashlahah at-Tahsiniyat. Misalnya, menghilangkan najis dan keseluruhan bentuk thaharah, menutup aurat, melakukan pekerjaan yang sifatnya sunah misalnya shadaqah, dan lain-lain.
Sedangkan pembahasan mengenai maqashid asy-syari’ah dalam perspektif asy-Syathibi dapat diimplementasikan pada realitas sosial sebagaimana berikut;
1.      Tentang tujuan syari’ dalam menetapkan syari’at (Qashdu asy-Syari’ fi wadh’i as-syari’ah). Dalam hal ini, asy-Syathibi  mengklasifikasikan menjadi tiga bagian. Pertama, kemashlahatan yang sifatnya adh-dharuriyat, meliputi agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal.
Dalam upaya untuk menjaga lima kemashlahatan tersebut, asy-Syathibi memberikan dua alternatif. Pertama, dari segi eksistensinya (min janib al-wujud) yaitu dengan cara menjaga hal-hal yang terpenting yang dapat mengokohkan keberadaannya. Pemeliharaan terhadap agama seperti Iman, mengucapkan dua kalimah syahadat, shalat, zakat, puasa, haji. Pemeliharaan terhadap jiwa dan akal (an-Nafs wa al-’Aql), seperti: makan, minum, pakaian, tempat tinggal. Pemeliharaan terhadap  keturunan dan harta (al-’Ird wa al-Mal), seperti: nikah, jual beli dan mencari rizki. Alternatif kedua, dari segi tidak ada (min janib al-‘adam) yaitu dengan cara menolak hal-hal yang dapat merusak eksistensinya. Seperti Dalam menjaga agama (ad-Din) seperti berjihad, hukuman bagi orang murtad, dan lain-lain, dalam menjaga jiwa seperti Qishas, Diyat (denda), dan lain-lain, dalam menjaga akal seperti hukuman bagi peminum Khamr dan sejenisnya, dalam menjaga keturunan seperti hukuman bagi orang yang berzina, dan bagi orang yang menuduh berzina yang tidak bisa mendatangkan saksi, dalam menjaga harta seperti larangan terhadap praktek riba, memotong tangan pencuri yang sudah mencapai ukuran yang sudah ditentukan.
Tujuan syari’ dalam menetapkan syari’at yang kedua adalah al-hajjiyat, yaitu sesuatu yang eksistensinya tidak harus terwujud. Jika tidak terwujud, maka tidak akan menghilangkan eksistensi pada sesuatu yang dituntut, hanya saja akan mendatangkan kesulitan dan masyaqat bagi mukallaf. Hal ini berlaku dalam persoalan ibadah, adat, mua’malat, jinayat (tindak kriminal). Dalam ibadah seperti rukhsah, baik bagi orang sakit maupun bagi musafir. Dalam adat seperti diperbolehkan memanah, bersenang-senang dengan hal-hal yang dianggap baik oleh syara’ (halal) misalnya makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan lain-lain. Dalam mua’malat seperti akad Qiradh, akad salam, dan lain-lain.
Sedangkan tujuan syari’ dalam menetapkan syari’at yang ketiga adalah at-tahsiniyat, yaitu melakukan hal-hal yang dianggap layak oleh adat dan menjauhi sesuatu yang secara logika tidak baik. Dalam ibadah seperti menghilangkan najis dan keseluruhan bentuk thaharah, menutup aurat, melakukan pekerjaan yang sifatnya sunah misalnya shadaqah, dan lain-lain. Dalam adat seperti cara makan dan minum, menjauhi makanan yang najis, israf, dan lain-lain. Dalam mua’malat seperti larangan menjual barang najis, dan lain-lain. Dalam jinayat seperti larangan membunuh perempuan, anak-anak, Rahib (pendeta).
2.      Tentang tujuan syari’ dalam menetapkan syari’at adalah untuk dipahami (Qashdu asy-syari’ fi wadh’i asy-syari’ah lil Ifham). Pada bagian ini, asy-Syathibi mengulas secara detail tentang posisi bahasa Arab dalam memahami syari’at islam.
3.      Tentang tujuan syari’at sebagai hukum taklif yang harus dilakukan (Fi Bayan qashd asy-syari’ fi wadh’i asy-syari’ah li at-Taklif Bi Muqtadhahu). Dalam hal ini, asy-Syathibi mengklasifikasikan menjadi dua bagian. Pertama, Tuntutan yang ada di luar kemampuan manusia. Kedua, taklif yang mampu untuk dilaksanakan oleh manusia, tetapi didalamnya terdapat masyaqah. Pada bagian yang kedua ini, terbagi lagi menjadi dua, yaitu masyaqat mu’tadah, seperti mencari nafkah, siang dan malam seseorang mencari nafkah untuk kehidupan keluarganya. Pekerjaan seperti ini tidak masuk dalam kategori masyaqat, tetapi semua aktifitas yang ia lakukan memang suatu keharusan bagi orang tersebut untuk menghidupi keluarganya. Dan Masyaqat Ghair Al-Mu’tadah, yaitu masyaqat yang tidak dapat dilakukan oleh mukallaf, seperti keharusan berpuasa bagi orang sakit.
4.      Tentang tujuan syari’ dalam membebani mukallaf untuk melaksanakan syari’at-Nya (Qashdu asy-syari’ fi dukhul al-mukallaf tahta ahkam asy-syari’ah). Pada pembahasan ini terdapat dua macam, yaitu Syari’ membebani mukallaf untuk melaksanakan syari’at-Nya adalah agar aktifitas mukallaf tidak terjerumus kedalam keinginan hawa nafsu belaka, sehingga menjadi hamba yang selamat di dunia dan akhirat. Kedua, Setiap perbuatan mukallaf harus selalu mengikuti petunjuk syara’.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id