Minggu, 23 Juni 2013

maslahah mursalah




KONSEPSI MASHLAHAH MURSALAH :
Pemikiran Imam Ahmad Ibnu Hanbal
Hanif Asyhar


A.    Biografi Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad Ibnu Hanbal lahir di kota Bagdad pada bulan Rabi’ul awal 164 H/780 M,[1] ia termasuk mujtahid Muthlaq/Mustaqil di bidang Fiqih, terkadang juga dipanggil dengan nama Abu Abdullah, karena salah satu puteranya bernama Abdullah, setelah menjadi ulama besar yang mempunyai banyak pengikut, ia mendapat penggilan Imam Hanbali dan madzhabnya disebut madzhab Hanbali.
Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Akabah bin Sya’b bin Ali bin Baqa bin Qashid bin Aqsyi bin Dami bin Jadlah bin As’ad bin Rabi’ah bin Nizar. Pada Nizar inilah silsilah Imam Ahmad bin Hanbal bertemu dengan Rasulullah SAW. Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah bin Abdul Malik bin Sawadah bin Bindun asy-Syaibani, berasal dari bengsawan Bani Amir.
Karena ayahnya meninggal dunia dalam usia muda, Ahmad bin Hanbal diasuh dan dibesarkan oleh ibunya sendiri. Pendidikannya di awali dengan belajar al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama pada para ulama Bagdad hingga usia 16 tahun. Kemudian ia memperdalam ilmu agama dengan mengunjungi para ulama yang ada di Kufah, Bashra, Syam, Yaman, Makkah, dan Madinah. Di antara nama-nama gurnya adalah Hammad bin Khalid, Isma’il bin Aliyah, Mudzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Mu’tamar bin Sulaiman, Abu Yusuf al-Qadli, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’ad, Muhammad bin Idris asy-Syafi’I, Abdul ar-Razaq bin Human, Musa bin Thariq, dll,
Ibnu Hanbal adalah orang yang cerdas, rajin, dan tekun, serta cinta kepada ilmu pengetahuan, sehingga setiap kali ia mendengar ada seorang ulama terkemuka di suatu tempat, dengan serta merta ia berangkat ke tempat ulama itu berada, walaupun ia harus menempuh jarak yang sangat jauh dan membutuhkan waktu yang sangat lama.
Karena perhatiannya yang sangat besar kepada ilmu, Imam Ahmad bin Hanbal baru menikah pada usia 40 tahun. Ia menikah dengan wanita yang bernama ‘Aisyah binti Fadl dan dikaruniai putera yang bernama Shaleh. Kemudian ‘Aisyah isterinya meninggal dan ia kawin lagi dengan wanita yang bernama Raihanah, dari isteri kedua ini Imam Ahmad bin Hanbal di karuniai putera yang diberi nama Abdullah. Ia menikah lagi dengan seorang wanita yang bernama Hasinah dan di karuniai lima anak, yaitu Zainab, Hasan, Husein, Muhammad dan Sa’id.
Pada masa hidupnya, Imam Ahmad bin Hanbal dikenal sebagai seorang yang taat beribadah, berkepribadian tinggi; (Tawadlu’, Zuhud dari kenikmatan-kenikmatan dunia, ‘Alim dalam ilmu agama, Hafidz[2], Muhaddits[3]), Dermawan[4], sangat eksis terhadap hadits-hadits Nabi SAW[5]. Ia hidup pada masa kekhalifahan ‘Abbasiyah; yakni al-Mahdi, al-Hadi, al-Rasyid, al-Amin, al-Makmun, al-Mu’tashim, al-Watsiq, Dan al-Mutawakkil.[6]
Pada masa kekhalifahan ‘Abbasiyyah, para ulama, pembesar negara, dan semua masyarakat dipaksa untuk mengikuti faham mu’tazilah, dimana faham ini merupakan faham resmi Negara. Di antara ajaran mu’tazilah yang dipaksakan adalah paham yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah Hadits (makhluq). Peristiwa ini disebut Mihnah, dalam peristiwa ini banyak ulama terkemuka yang terbunuh karena mempertahankan pendiriannya.
Di antara ulama yang mempertahankan pendiriannya tersebut adalah Imam Ahmad bin Hanbal, hingga ia dipandang sebagai pemimpin kelompok oposisi yang menentang penguasa dalam memaksakan faham mu’tazilahnya. Kemudian ia ditangkap dan dikirim untuk menghadap al-Makmun di Tarsus. Al-Makmun meninggal dunia dan digantikan oleh puteranya, al-mu’tashim yang kemudian memenjarakan Imam Ahmad bin Hanbal. Selama dalam penjara Imam Ahmad bin Hanbal diperlakukan dengan kejam, peristiwa seperti ini berlangsung sampai masa pemerintahan al-Watsiq.
Setelah al-Watsiq meninggal dunia, maka kekuasaan digantikan oleh al-Mutawakkil. Pada masa inilah, Imam Ahmad diberi kebebasan, dihormati, dan dimuliakan. Sebagai seorang ulama nama Imam Ahmad bin Hanbal semakin hari bertambah harum dan orang-orang pun berdatangan untuk mendengarkan fatwa dan mendapatkan ilmu darinya. Dengan demikian, muridnya pun bertambah hari semakin banyak.
Di antara muridnya adalah Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Abu Zur’ah, Imam Abu Zur’ah ar-Razi, Imam Ibnu Abi ad-Dunya, Imam Abu Bakar Al-Asram, Imam Shaleh,[7] dan Imam Abdullah.[8]  
B.     Karya Ilmiah Imam Ahmad bin Hanbal
Sebagai seorang ulama, Imam Ahmad bin Hanbal banyak meninggalkan karya tulis, terutama tentang al-Qur’an,  antara lain: (1) Tafsir al-Qur’an, (2) an-Nasikh wa al-Mansukh, (3) al-Muqaddam wa al-Mu’akhar fi al-Qur’an, (4) kitab at-Tarikh, (5) al-Manasikh as-Shaghir, (6) al-Manasikh al-Kabir, (7) kitab al-’Illah, (8) kitab at-Ta’at ar-Rasul, (9) kitab as-Shalah, (10) kitab al-Wara’.
C.    Potret Intelektualitas Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal merupakan Imam madzhab keempat setelah Imam abu Hanifah (w. 150 H), Imam Malik (w. 179 H), dan Imam Syafi’i (w. 204 H). Beliau sangat kuat kecenderungannya untuk berpihak pada tradisionalisme ahli hadits. Meskipun Imam Ahmad Ibnu Hanbal sendiri salah satu murid dari Imam Syafi’i, namun metode istinbath hukum yang dikembangkan berbeda dengan sang guru, hal ini bisa dilihat misalnya, jika Imam Syafi’i sendiri masih menerima Qiyas sebagai salah satu sumber hukum maka Imam Ahmad Ibnu Hanbal berusaha keras untuk menghindari Qiyas, apabila Asy-Syafi’i lebih mendahulukan Qiyas daripada hadits Dla’if maka Imam Ahmad Ibnu Hanbal bersikap sebaliknya, lebih mendahulukan Hadits Dlai’if daripada menggunakan Qiyas sebagai dasar hukum.
1.      Eksklusifisme Prinsip Istinbath Al-Ahkam Imam Ahmad bin Hanbal
Secara  eksplisit dasar-dasar hukum yang digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal atau terkenal dengan madzhab Hanbali, adalah: (1) Al-Qur’an Dan Hadits, (2) Fatwa Sahabat; jika fatwa itu berbeda antara beberapa sahabat, dipilih fatwa yang lebih dekat pada al-Qur’an dan as-Sunah, (3) Hadits Mursal[9] atau Dla’if (lemah), jika tidak bertentangan dengan dalil lain, (4) Qiyas[10]
Dalam menetapkan hukum, Imam Ahmad bin Hanbal lebih memprioritaskan  nash al-Qur’an, jika tidak ada ia merujuk kepada Hadits Nabi SAW  yang shahih, jika tidak ditemukan dalam hadits shahih ia merujuk kepada fatwa sahabat yang lebih dekat dengan nash atau yang disepakati. Kalau dalam fatwa yang disepakati itu tidak ditemukan, maka ia masih mencari dalam fatwa sahabat yang diperselisihkan. Jika belum ditemukan juga status hukumnya, ia merujuk kepada hadits mursal dan hadits dla’if. Jika masih saja belum ditemukan status hukumnya, baru ia menggunakan metode analogi (Qiyas) dalam istinbath al-ahkam, metode Qiyas hanya digunakan ketika dalam keadaan Dlarurah.
Dalam memahami al-Qur’an Imam Ahmad bin Hanbal lebih cenderung mengambil arti lafadz daripada menggunakan takwil, terutama terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat.[11] Sedangkan kemampuannya dalam bidang hadits terbukti dari karya yang ia susun dalam bentuk kitab, yaitu al-Musnad. Dalam kitab al-Musnad ini terhimpun 40.000 hadits, dan disusun berdasarkan tertib nama para perowinya. Menurut Abdullah bin Ahmad putera dari isteri pertamanya, yaitu ’Aisyah, 40.000 hadits yang termuat dalam kitab ini merupakan hadits seleksi dari 700.000 hadits yang dihafal oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
2.                  Inklusifisme Prinsip Istinbath Al-Ahkam Imam Ahmad bin Hanbal
Sedangkan secara implisit dasar-dasar yang digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam istinbat al-ahkam ada enam:
a.       Ijma’. Yang dimaksud ijma’ disini adalah ijma’ sahabat tentang berbagai problem hukum. Ijma’ pada masa ini sangat mungkin terjadi karena secara matematis umat islam masih sedikit, belum menyebar di seluruh dunia. Akan tetapi Imam Ahmad bin Hanbal meniadakan kemungkinan terjadinya ijma’ setelah lewat masa sahabat.
b.      Qiyas. Walaupun penggunaan Qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal hanya ketika dalam keadaan dlarurah. Akan tetapi sebagian pengikutnya menganggap bahwa penggunaan Qiyas sangat penting.
c.       Istihsan. Penggunaan istihsan dalam menetapkan hukum bagi Imam Ahmad bin Hanbal adalah no problem. Menurutnya, penggunaan istihsan itu termasuk dalam pengambilan hukum berdasarkan nash, ijma’ atau tunduk pada hukum dlarurat.
d.      Sadd az-Dzari’ah (tindakan preventif). Yaitu larangan terhadap suatu perbuatan yang akan menjerumuskan pada perbuatan yang diharamkan. Misalnya, antara pria dan wanita dilarang berduaan ditempat sepi agar tidak terjerumus kepada perbuatan zina. Alasannya adalah jika syari’at menuntut untuk melakukan suatu perbuatan, maka sarana yang memungkinkan pelaksanaannya dituntut pula untuk dikerjakan. Demikian sebaliknya, jika syari’at melarang suatu perbuatan, maka hal-hal yang menjadi sarana untuk menuju larangan itu juga menjadi keharusan.
e.       Istishab. Yaitu suatu hukum asal yang sudah ditetapkan yang akan tetap berlaku terus sampai ada dalil lain yang mengubahnya.
f.       al-Mashlahah al-mursalah. Term ini akan dibahasmenjadi fokus pembahasan pada dan juga menjadi sub tersendiri.
  1. Konsepsi Mashlahah Mursalah ‘Inda Imam Ahmad bin Hanbal
1.      Definisi
Al Mashlahah al-Mursalah diistilahkan sebagai suatu kemaslahatan yang oleh syari’ tidak dibuatkan hukum untuk mewujudkannya, tidak ada indikasi yang menunjukkan dianggap atau tidaknya kemaslahatan tersebut. Mashlahah mursalah juga disebut sebagai Mashlahah muthlaqah karena tidak ada indikasi apa pun yang menunjukkan dianggap atau disia-siakan. Seperti kemashlahatan yang diharapkan oleh para sahabat dalam menetapkan adanya penjara, mencetak uang, atau tanah penaklukan para sahabat ditetapkan sebagai hak milik dengan kewajiban membayar pajak, atau kemashlahatan lain karena kebutuhan mendesak atau demi kebaikan, sementara syara’ sendiri tidak menetapkan hukumnya dan tidak ada indikasi yang menunjukkan dianggap atau disia-siakannya.[12]
Dalam arti, penetapan suatu hukum tersebut adalah untuk menetapkan kemaslahatan umat manusia, atau dengan istilah ”menolak bahaya dan menarik manfaat (Dar’u al-mafasid wa jalbu al-mashalih)”. Kemaslahatan tidak terbatas pada ruang dan waktu, akan tetapi kemaslahatan akan terus berubah sesuai dengan masa dan tempat (shalih li kulli az-Zaman wa al-Makan). Karena penetapan suatu hukum terkadang dapat menarik mashlahah pada satu waktu, tapi terkadang justeru akan mendatangkan bahaya di lain waktu.
Sedangkan kemashlahatan yang dijadikan acuan dalam menetapkan hukum dan menjadi ‘illat dalam penetapannya, menurut istilah ahli ushul disebut al-Mashlahah al-Muktabarah, sedangkan mashlahah Mulgha dan Mashlahah Gharibah tidak dapat dijadikan acuan untuk menetapkan hukum. Kemaslahatan muktabarah, misalnya: demi menjaga kehidupan manusia, maka syari’ menetapkan kewajiban Qishas bagi pelaku pembunuhan yang ada unsur kesengajaan. Demi menjaga harta benda manusia, maka syari’ menetapkan hukuman potong tangan bagi pencuri yang sudah mencapai batas tertentu, baik laki-laki maupun perempuan.
2.      Kehujjahan Al-Mashlahah Mursalah
Jumhur ulama berpendapat bahwa Mashlahah mursalah merupakan hujjah asy-syar’iyyah dalam menetapkan hukum. Dalam hal ini mereka berargumen, antara lain:
a.       Berdasarkan pengamatan (istiqra’) para ulama terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Rasul SAW yang menunjukkan bahwa setiap hukum yang ditetapkan oleh syari’ mengandung kemaslahatan bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat
b.      Kemashlahatan manusia akan selalu berubah sesuai dengan masa dan tempat. Maka seandainya hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemashlahatan yang kekinian, maka banyak kemashlahatan manusia yang terabaikan oleh syara’. Hal ini tidak sesuai dengan konsep dasarnya, yaitu bahwa syari’at Islam bertujuan untuk mewujudkan dan melestarikan kemashlatan umat manusia baik di dunia maupun d akhirat.
c.       Berdasarkan pengamatan terhadap aktifitas para sahabat, tabi’in, dan para ulama’ mujtahid dalam menetapkan hukum. Dalam menetapkan hukum mereka banyak mendahulukan kemashlahatan umum.[13]
3.      Kilas Balik Kehujjahan Al-Mashlahah al-Mursalah
Sedangkan sebagian ulama lain (selain jumhur) berpendapat bahwa mashlahah mursalah tidak dapat dijadikan dasar penetapan hukum, mereka menyatakan dengan dua argumen:
a.       Syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW telah mencakup semua kemashlahatan manusia, baik yang ditunjukkan oleh Nash-nash syar’i secara langsung maupun dengan melalui metode Qiyas. Karena syari’ tidak akan meninggalkan manusia secara sia-sia dan tidak akan membiarkan kemashlahatan tanpa memberikan petunjuk pembentukan hukum untuk kemashlahatan itu. Jadi tidak ada kemashlahatan tanpa ada saksi dari syari’ yang menunjukkan anggapannya. Sedangkan kemashlahatan yang tidak ada saksi dari syari’ yang menunjukkan anggapannya, pada hakikatnya bukan kemashlahatan, melainkan kemashlahatan hayalan yang tidak bisa dijadika dasar dalam menetapkan hukum.
b.      Penetapan hukum yang didasarkan pada kemaslahatan akan dapat memberi peluang besar bagi hawa nafsu manusia, seperti para pemimpin, penguasa, ulama pemberi fatwa. Sebagian dari mereka lebih memprioritaskan hawa nafsunya untuk kepentingan hawa nafsu dan kepentingan pribadi. Sehingga di antara menganggap kerusakan sebagai suatu kemashlahatan. Sedangkan kemashlahatan sendiri bersifat relatif, sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman.
4.      Indikasi Pemakaian Mashlahah Mursalah Sebagai Dasar Istinbat Al-Ahkam Oleh Imam Ahmad bin Hanbal
Berdasarkan istqra’ para ulama, Imam Ahmad bn Hanbal menggunakan al-mashlahah al-mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum, sebagaimana berikut:
a.       Berdasarkan istiqra’ ulama ushul al-fiqih dan para pengikut Imam Ahmad bin Hanbal
b.      Berdasarkan beberapa fatwa yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal
c.       Berdasarkan penggunaan Sad ad-Dzari’ah sebagai prinsip dasar dalam menetapkan hukum[14]
5.      Bentuk-bentuk Mashlahah
Maqashid asy-syari’ah (tujuan-tujuan syari’at) adalah untuk mewujudkan dan memelihara kemashlahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.[15] Sedangkan mashlahah sendiri diartikan sebagai sesuatu yang bermanfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Istilah ini dikemukakan oleh ulama ushul al-fiqih dalam metode yang dipergunakan saat melakukan ekstrapolasi hukum (istinbath al-ahkam). Beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul al-fiqih pada hakikatnya mengandung pengertian yang sama. Al-ghazali mengemukakan pengertian Mashlahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemaudlaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’(maqashid al-syari’ah).[16] Ia memandang bahwa suatu kemashlahatan harus sejalan dengan maqashid a-syari’ah, sekalipun bertentangan dengan realitas sosial. Alasanya, kemashlahatan manusia seringkali didasarkan kepada kehendak hawa nafsu saja. Misalnya, pada zaman jahiliyah seorang wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan karena hal tersebut mengandung kemashlahatan dan sesuai dengan adat istiadat mereka. Menurut al-ghazali, hal tersebut tidak benar karena yang dijadikan mi’yar (tolak ukur) dalam menentukan kemashlatan adalah kehendak manusia, padahal seharusnya yang harus dijadikan tolak ukur dalam menentukannya adalah kehendak syara’ yang terangkum dalam konsepsi maqashid asy-syari’ah.
Selanjutnya, al-ghazali berpendapat bahwa tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut ada lima bentuk, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, kturunan, dan harta. Jika seseorang melakukan uatu perbuatan yang pada intinya bertujuan memelihara kelima aspek tujuan syara’ tersebut, maka perbuatan yang dilakukan dinamakan mashlahah. Disamping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudlaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan Mashlahah. Dalam kaitan ini,asy-syathibi mengemukakan bahwa kemashlahatan tidak dibedakan antara dunia dan akhirat, karena jika kedua kemashlahatan tersebut bertujuan untuk memelihara kelima tujuan pokok syara’ tersebut, maka keduanya termasuk dalam konsep mashlahah. Karena menurut asy-syathibi, kemashlahatan dunia yang dicapai seorang hamba harus berorientasi pada tujuan kemashlahatan di akhirat.[17]
Sedangkan mashlahah dilihat dari berbagai aspeknya terbagi menjadi beberapa macam, antara lain:
a.       Mashlahah Dari Segi Real Power Atau Kualitas Yang Dimilikinya, Terbagi Menjadi Tiga Macam:
1)      Mashlahah dlaruriyah, yaitu kemashlahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan akhirat. Yang termasuk dalam kemashlatan ini adalah: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta. Menurut ulama ushul al-fiqih, kelima kemashlahatan ini disebut al-mashalih al-khamsah. Memeluk suatu agama merupakan fithrah dan naluri insani yang tidak bisa diingkari dan sangat dibutuhkkan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Allah SWT mensyari’atkan agama yang wajib dipelihara setiap orang, baik yang berkaitan dengan aqidah, ibadah, maupun muamalah. Hak hidup juga merupakan hak paling asasi setiap manusia. Dalam kaitan ini, untuk kemashlahatan dan keselamatan jiwa serta kehidupan manusia, Allah SWT mensyari’atkan berbagai hukum yang berkaitan dengan hal tersebut, seperti disysri’atkannya Qishas, kesempatan untuk memepergunakan hasil sumber daya alam untuk dikonsumsi manusia, atau hukum perkawinan. Selanjutnya, akal merupakan faktor yang menentukan seseorang dalam menjalani kehidupannya. Karenanya, Allah SWT menjadikan pemeliharaan akal itu sebagai hal yang paling pokok. Untuk itu, Allah SWT dalam melarang meminum minuman keras, karena bisa merusak akal dan hidup manusia. Berketurunan juga merupakan masalah pokok bagi manusia dalam rangka memelihara kelangsungan hidup dimuka bumi ini. Untuk memelihara dan melanjutkan keturunan tersebut Allah SWT mensyari’atkan nikah dengan segala hak dan kewajiban yang diakibatkannya. Kemudian manusia tidak bisa hidup tanpa harta. Karena itu harta merupakan sesuatu yang pokok dalam kehidupan manusia. Untuk mendapatkannya, Allah SWT mensyari’atkan berbagai transaksi, dan untuk memlihara harta seseorang Allah SWT mensyari’atkan hukuman bagi pencuri dan perampok.
2)      Mashlahah Hajjiyah, yaitu kemashlahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan dalam shalat bagi musafir dan berbuka puasa bagi orang musafir. Dalam bidang muamalah antara lain dibolehkan melakukan jual beli, pesanan (akad salam), bekerja sama dalam pertanian (muzara’ah atau mukhabarah), bekerja sama dalam perkebunan (musaqah). Semua ini, disyari’atkan Allah SWT untuk mendukung kebutuhan pokok di atas.
3)      Mashlahah Tahsiniyah, yaitu kemashlahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemashlahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus, melakukan amalan-amallan ibadah sunat sebagai ibadah tambahan, dan ditetapkan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia. Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang muslim dapat menentukan prioriitas dalam mengambil suatu kemashlahtan. Kemashlahatan ad-dlaruriyyah harus lebih didahulukan daripada kemashlahatan hajjiyyah, dan kemaslahatan hajjiyyah harus lebih didahulukan daripada kemaslahatan tahsiniyyah.[18]
b.      Mashlahah Berdasarkan Kandungannya
Berdasarkan kandungannya, ulama ushul al-fiqih membagi mashlahah menjadi dua:
1)      Al-Mashlahah al-’ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa  berbentuk kepentingan mayoritas umat. Misalnya, Ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat.
2)      Al-Mashlahah al-Khassah, yaitu kemaslahtan pribadi. Mashlahah ini jarang terjadi, seperti kemaslahtan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (al-mafqut). Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan prioritas yang harus didahulukan apabila kemaslahatan umum bertentangan dengan kemashlatan pribadi. Jika terjadi pertentangan, Islam mendahulukan kemaslatan umum daripada kemaslatan pribadi[19]
c.       Mashlahah Berdasarkan Segi Perubahannya
Dari segi perubahannya, Musthafa asy-syalabi, membagi mashlahah menjadi dua:
1)      Al-Mashlahah as-Tsabitah, yaitu kemashlahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnnya, berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji
2)      Al-Mashlahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subyek hukum. Kemashlahatan seperti ini berkaitan dengan permaslahan muamalah dan adat kebiasaan, seperti dalam masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Perlunya pembagian ini adalah untuk memberikan batasan kemashlahatan yang berubah dan yang tidak bisa berubah
d.      Mashlahah Berdasarkan Eksistensinya
Mashlahah berdasarkan eksistensinya, para ulama ushul al-fiqih membagi menjadi tiga:
1)      Kemashlahatan yang eksisitensinya diakui oleh syara’ (al-mashlahah al-mu’tabarah), artinya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemashlahtan tersebut. Misalnya tentang hukuman atas orang yang meminum minuman keras. Bentuk hukuman bagi orang yang meminum minuman keras yang terdapat dalam hadits rasulullah saw oleh ulama dipahami secara berlainan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan alat pemukul yang digunakan Nabi saw ketika melaksanakan hukuman bagi orang yang meminum minuman keras. Ada hadist yang menunjukkan bahwa alat yang digunakan oleh rasulullah saw adlah sandal atau alas kakinya sebnyak 40 kali (H.R Ahmad bin Hanbal dan al-Baihaqi), sementara itu hadits lain menjelaskan bahwa alat pemukul yang digunakan Nabi Muhammad SAW dalam hukuman minuman keras adalah pelapah kurma, juga sebnyak 40 kali (H.R al-Bukkhari dan Muslim). Karenanya setelah Umar bin Khatab  bermusyawarah dengan para sahabat lain, menetapkan hukuman dera bagi orang yang meminum minuman keras tersebut sebanyak 80 kali. Ia Menganalogikan orang yang meminum minuman keras kepada orang yang menuduh orang lain berbuat zina. Logikanya adalah seseorang yang meminum minuman keras apabila mabuk bicaranya tidak bisa terkontrol dan diduga keras akan menuduh orang lain berbuat zina. Hukuman bagi orang yang menuduh orang lain berbuat zina adalah 80 kali. Karena ada dugaan keras menuduh orang lain berbuat zina akan muncul dari orang mabuk, maka Umar bin Katthab dan Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa hukuman orang yang meminum minuman keras sama hukumnya dengan orang yang menuduh orang lain berbuat zina. Menurut ulama ushul al-fiqh, cara analogi seperti ini termasuk kemaslahatan yang didukung oleh syara’ atau diistilahkan dengan Mashlahah mu’tabarah. Hukuman bagi orang yang menuduh orang lain berbuat zina sebanyak 80 kali, sebagaimana firman Allah SWT :
”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[20] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”(Q.S 28: 4).
Sebagian ulama juga memasukkan produk hukum yang dihasilkan dengan melalui metode qiyas kedalam jenis maslhah ini, seperti pengharaman terhadap segala minuman yang memabukkan dengan metode mengqiyaskan dengan khamar yang dinashkan keharamannya oleh allah swt dalam al-qur’an. Maka muatan Mashlahah dalam pengharaman semua minuman yang memabukkan dapat diakui eksisitensinya oleh syara’ karena ada kesamaan kadar Mashlahah yang terdapat didalam nash yang melarang meminum minuman khamar.
2)      Kemaslahatan yang eksistensinya tidak diakui oleh syara’ (al-mashlahah al-Mulgha) karena ada unsur kontradiktif dengan Nash-nash syar’iyyah. Misalnya dalam penentuan syara’, di siang hari bulan ramadlan dilarang melakukan hubungan seksual. Jika ternyata masih berhubungan seksual pada siang hari di bulan ramadlan maka ia dikenakan hukuman antara tiga hal: memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin. (H.R Bukhari dan Muslim). Al-Lais bin sa’ad ahli fiqih madzhab maliki di spanyol, menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi penguasa yang melakukan hubungan seksual di siang hari pada bulan ramadlan, karena jika para pnguasa itu dibebani untuk memerdekakan budak atau memberi 60 fakir miskin ia akan terasa ringan, menurutnya,  hukuman bagi orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan ramadlan bertujuan agar seseorang menjadi jera sehingga tidak melakukan pelanggaran lagi, jika seorang penguasa hanya dibebani untuk memerdekakan budak atau memberi makan 60 fakir miskin, maka ia akan terasa sangat ringan dan bahkan akan menganggap mudah dalam pelanggaran tersebut, sehingga hukuman yang diberikan kepada para penguasa tersebut tidak menjadikan ia jera. Nilai kemaslahatan disini bertentangan dengan hadist Rasulullah saw diatas, karena hadits tersebut secara jelas mengungakapkan proses hukuman tersebut , yaitu: apabila tidak mampu memerdekakan budak ia harus puasa dua bulan berturut-turut, lalu memberi makan 60 fakir miskin. Jika puasa dua bulan berturut-turut lebih dipriortaskan tanpa mengukuti proses urutan hadits tersebut, maka kemaslahatan disini akan bertentangan dengan kehendak syara’, sehingga hukum yang diterapkan oleh al-lais bin sa’ad bagi seorang penguasa di atas tidak dapat  diterima syara’
3)      Kemaslahatan yang keberadaannya di diamkan oleh syara’, tidak ada indikasi yang menunjukkan dianggap atau tidaknya kemaslahatan tersebut, kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi menjadi dua: (1) al-Mashlahah al-gharibah, kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’ baik dari dalil yang rinci maupun yang bersifat umum, (2) al-Mashlahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh dalil syara’ secara rinci, tetapi didukung oleh makna sejumlah nash.
6.      kriteria Penggunaan mashlahah mursalah sebagai dasar dalam istinbath al-Ahkam
Untuk menjadikan mashlahah mursalah sebagai dasar dalam istinbath al-ahkam, para ulama ushul al-fiqih memberikan tiga kriteria, antara lain:
1.      kemashlahatan harus bersifat hakiki, artinya kemashlahatan yang dimaksud harus benar-benar mendatangkan manfaat dan menolak mafsadat. Sedangkan kemaslahatan yang hanya didasarkan pada kemungkinan dapat menarik manfaat, tanpa membandingkan kemungkinan adanya bahaya, maka kemaslahatan semacam ini bukan kemashlatan hakiki.
2.      kemashlahatan harus bersifat umum, bukan kemaslahatan individual. Artinya kemaslahatan harus membawa kebaikan bagi orang banyak, bukan perorangan atau suatu kelompok.
3.      kemahlahatan tidak boleh bertentangan dengan Nash (al-Qur’an dan Hadits)atau Ijma’. Seperti menetapkan bagian waris antara anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki dalam Nash sudah ditetapkan dua kali lipat dari perempuan. Maka tidak sah menganggap suatu kemashlahatan yang menuntut persamaan bagian antara anak laki-laki dan perempuan.[21]




[1] Dr. Abdullah bin abdul muhsin al-turki, ushul madzhab al-imam ahmad, cet. II, 1397 H/1977, maktabah al-riyadliyah al-haditsah, hal. 27
[2] Al-hafidz dalam istilah ilmu hadits adalah orang yang hafal 100.000, hadits dengan sanadnya. Lihat : ushul al-hadits ulumuhu wa musthalakhuhu, karya Dr.Muhammad ‘Ijaj al-Khathib, Dar al-fikr, 1409 H/1989 M, hal. 448
[3] Sedangkan muhaddits adalah orang yang menghafal banyak hadits dan mengetahui adil atau tidak adilnya para perowi, Ibid
[4] Imam Yahya bin Hilal mengatakan, “aku pernah datang kepada Imam Ahmad  bin Hanbal, lalu aku diberi uang sebanyak empat dirham seraya berkata, “ ini adalah rizki yang aku dapatkan dari kerja hari ini dan aku berikan kepadamu.” Lihat:
[5] Di kisahkan bahwa setiap kali ia mendengar ulama’ ahli hadits, ia bergegas mendatanginya untuk mendapatkan hadits, dari sinilah ia kemudian banyak menghafal hadits yang ia torehkan dalam bentuk kitab yang bernama Musnad Ibnu Hanbal. Lihat:
[6] Ibid, hal. 17
[7] Imam Shaleh adalah puteranya sendiri dari isteri yang pertama, yaitu ‘aisyah binti fadl
[8] Sedangkan Imam abdullah adalah puteranya dari isteri kedua yang bernama Raihanah
[9] Hadits mursal adalah hadits yang dimarfu’kan oleh tabi’in walaupun secara hukmi langsung kepada nabi saw. Ibid, hal. 337-338.
[10] Ensiklopedi Indonesia, jilid, III, Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, 1982, hal. 1253; Lihat: ushul madzhab al-Imam Ahmad, karya Dr. Abdullah bin abdul muhsin al-turki, tentang (al-qur’an hal. 101-103), (fatwa sahabat hal. 655-659), (hadits mursal hal, 221-225), (qiyas hal. 579-596)
[11] Para Ulama berbeda pendapat mengenai ayat-ayat al-Qur’an, sebagaimana yang diceritakan oleh Husen bin muhammad bin Habib an-Naisaburi. Menurutnya, dalam persoalan ini ada tiga pendapat: (1) semua ayat al-Qur’an adalah Muhkamaat, (2) semua ayat al-Qur’an Mutasyabihaat, dan (3) ayat al-Qur’an ada yang  Mutasyabihat, juga ada yang Muhkamat. Lihat: al-Burhan, CD Maktabah Syamilah, Juz II, hal 68; Mutasyabihaat diartikan ayat-ayat yang artinyanya dimonopoli oleh Allah SWT, sedangkan Muhkamaat diartikan ayat-ayat yang ma’nanya dapat diketahui oleh manusia. Lihat: al-Itqan, CD Maktabah Syamilah, Juz I, hal. 206.
[12]Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqih, an-Nasyr, cet xii, hal. 84
[13] Ibid, hal. 85-86
[14] Wahbah az-Zukhaili, Ushul al-Fiqih al-Islami, Dar al-Fikr, cet xiv, Juz II, hal. 62-75
[15] Asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi ushul al-ahkam, Dar al-fikr, juz II, hal. 2
[16] Al-Imam al-Ghazali, al-Mustashfa min al-Ilm al-Ushul, CD Maktabah Syamilah, Juz I, hal. 438
[17] Op.Cit.
[18] Ibid, hal. 5
[19] Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, CD Maktabah Syamilah, hal. 345-352
[20] Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci, akil balig dan muslimah.


[21] Lihat: Wahbah az-Zukhaili, Op.Cit, hal. 77-78; Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqih, an-Nasyr, cet xii, hal. 86-87

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id