KONSEPSI MASHLAHAH MURSALAH :
Pemikiran Imam Ahmad Ibnu Hanbal
Hanif Asyhar
A. Biografi Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad Ibnu Hanbal lahir
di kota Bagdad pada bulan Rabi’ul awal 164 H/780 M,[1] ia termasuk mujtahid Muthlaq/Mustaqil di bidang Fiqih,
terkadang juga dipanggil dengan nama Abu Abdullah, karena salah satu puteranya
bernama Abdullah, setelah menjadi ulama besar yang mempunyai banyak pengikut,
ia mendapat penggilan Imam Hanbali dan madzhabnya disebut madzhab Hanbali.
Ayahnya bernama Muhammad bin
Hanbal bin Hilal bin Asas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas
bin Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Akabah bin Sya’b bin Ali
bin Baqa bin Qashid bin Aqsyi bin Dami bin Jadlah bin As’ad bin Rabi’ah bin Nizar.
Pada Nizar inilah silsilah Imam Ahmad bin Hanbal bertemu dengan Rasulullah SAW.
Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah bin Abdul Malik bin Sawadah bin Bindun
asy-Syaibani, berasal dari bengsawan Bani Amir.
Karena ayahnya meninggal
dunia dalam usia muda, Ahmad bin Hanbal diasuh dan dibesarkan oleh ibunya
sendiri. Pendidikannya di awali dengan belajar al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama
pada para ulama Bagdad hingga usia 16 tahun. Kemudian ia memperdalam ilmu agama
dengan mengunjungi para ulama yang ada di Kufah, Bashra, Syam, Yaman, Makkah,
dan Madinah. Di antara nama-nama gurnya adalah Hammad bin Khalid, Isma’il bin Aliyah,
Mudzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Mu’tamar bin Sulaiman, Abu Yusuf al-Qadli,
Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’ad, Muhammad bin Idris asy-Syafi’I, Abdul
ar-Razaq bin Human, Musa bin Thariq, dll,
Ibnu Hanbal adalah orang
yang cerdas, rajin, dan tekun, serta cinta kepada ilmu pengetahuan, sehingga
setiap kali ia mendengar ada seorang ulama terkemuka di suatu tempat, dengan
serta merta ia berangkat ke tempat ulama itu berada, walaupun ia harus menempuh
jarak yang sangat jauh dan membutuhkan waktu yang sangat lama.
Karena perhatiannya yang
sangat besar kepada ilmu, Imam Ahmad bin Hanbal baru menikah pada usia 40
tahun. Ia menikah dengan wanita yang bernama ‘Aisyah binti Fadl dan dikaruniai
putera yang bernama Shaleh. Kemudian ‘Aisyah isterinya meninggal dan ia kawin
lagi dengan wanita yang bernama Raihanah, dari isteri kedua ini Imam Ahmad bin
Hanbal di karuniai putera yang diberi nama Abdullah. Ia menikah lagi dengan
seorang wanita yang bernama Hasinah dan di karuniai lima anak, yaitu Zainab, Hasan,
Husein, Muhammad dan Sa’id.
Pada masa hidupnya, Imam
Ahmad bin Hanbal dikenal sebagai seorang yang taat beribadah, berkepribadian
tinggi; (Tawadlu’, Zuhud dari kenikmatan-kenikmatan dunia, ‘Alim
dalam ilmu agama, Hafidz[2], Muhaddits[3]), Dermawan[4], sangat eksis terhadap hadits-hadits Nabi
SAW[5]. Ia hidup pada masa kekhalifahan ‘Abbasiyah;
yakni al-Mahdi, al-Hadi, al-Rasyid, al-Amin, al-Makmun, al-Mu’tashim,
al-Watsiq, Dan al-Mutawakkil.[6]
Pada masa kekhalifahan ‘Abbasiyyah,
para ulama, pembesar negara, dan semua masyarakat dipaksa untuk mengikuti faham
mu’tazilah, dimana faham ini merupakan faham resmi Negara. Di antara ajaran
mu’tazilah yang dipaksakan adalah paham yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah
Hadits (makhluq). Peristiwa ini disebut Mihnah, dalam peristiwa ini banyak
ulama terkemuka yang terbunuh karena mempertahankan pendiriannya.
Di antara ulama yang
mempertahankan pendiriannya tersebut adalah Imam Ahmad bin Hanbal, hingga ia
dipandang sebagai pemimpin kelompok oposisi yang menentang penguasa dalam
memaksakan faham mu’tazilahnya. Kemudian ia ditangkap dan dikirim untuk
menghadap al-Makmun di Tarsus. Al-Makmun meninggal dunia dan digantikan oleh puteranya,
al-mu’tashim yang kemudian memenjarakan Imam Ahmad bin Hanbal. Selama dalam
penjara Imam Ahmad bin Hanbal diperlakukan dengan kejam, peristiwa seperti ini
berlangsung sampai masa pemerintahan al-Watsiq.
Setelah al-Watsiq meninggal
dunia, maka kekuasaan digantikan oleh al-Mutawakkil. Pada masa inilah, Imam
Ahmad diberi kebebasan, dihormati, dan dimuliakan. Sebagai seorang ulama nama
Imam Ahmad bin Hanbal semakin hari bertambah harum dan orang-orang pun
berdatangan untuk mendengarkan fatwa dan mendapatkan ilmu darinya. Dengan
demikian, muridnya pun bertambah hari semakin banyak.
Di antara muridnya adalah
Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Abu
Zur’ah, Imam Abu Zur’ah ar-Razi, Imam Ibnu Abi ad-Dunya, Imam Abu Bakar
Al-Asram, Imam Shaleh,[7] dan Imam Abdullah.[8]
B. Karya Ilmiah Imam Ahmad bin Hanbal
Sebagai seorang ulama, Imam
Ahmad bin Hanbal banyak meninggalkan karya tulis, terutama tentang al-Qur’an, antara lain: (1) Tafsir al-Qur’an, (2)
an-Nasikh wa al-Mansukh, (3) al-Muqaddam wa al-Mu’akhar fi al-Qur’an,
(4) kitab at-Tarikh, (5) al-Manasikh as-Shaghir, (6) al-Manasikh
al-Kabir, (7) kitab al-’Illah, (8) kitab at-Ta’at ar-Rasul,
(9) kitab as-Shalah, (10) kitab al-Wara’.
C. Potret Intelektualitas Imam Ahmad bin
Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal
merupakan Imam madzhab keempat setelah Imam abu Hanifah (w. 150 H), Imam Malik
(w. 179 H), dan Imam Syafi’i (w. 204 H). Beliau sangat kuat kecenderungannya
untuk berpihak pada tradisionalisme ahli hadits. Meskipun Imam Ahmad Ibnu
Hanbal sendiri salah satu murid dari Imam Syafi’i, namun metode istinbath hukum
yang dikembangkan berbeda dengan sang guru, hal ini bisa dilihat misalnya, jika
Imam Syafi’i sendiri masih menerima Qiyas sebagai salah satu sumber
hukum maka Imam Ahmad Ibnu Hanbal berusaha keras untuk menghindari Qiyas,
apabila Asy-Syafi’i lebih mendahulukan Qiyas daripada hadits Dla’if maka
Imam Ahmad Ibnu Hanbal bersikap sebaliknya, lebih mendahulukan Hadits Dlai’if
daripada menggunakan Qiyas sebagai dasar hukum.
1. Eksklusifisme Prinsip Istinbath Al-Ahkam
Imam Ahmad bin Hanbal
Secara eksplisit dasar-dasar hukum yang digunakan
oleh Imam Ahmad bin Hanbal atau terkenal dengan madzhab Hanbali, adalah: (1)
Al-Qur’an Dan Hadits, (2) Fatwa Sahabat; jika fatwa itu berbeda antara beberapa
sahabat, dipilih fatwa yang lebih dekat pada al-Qur’an dan as-Sunah, (3) Hadits
Mursal[9] atau Dla’if (lemah), jika tidak
bertentangan dengan dalil lain, (4) Qiyas[10]
Dalam menetapkan hukum, Imam
Ahmad bin Hanbal lebih memprioritaskan nash
al-Qur’an, jika tidak ada ia merujuk kepada Hadits Nabi SAW yang shahih, jika tidak ditemukan dalam
hadits shahih ia merujuk kepada fatwa sahabat yang lebih dekat dengan nash atau
yang disepakati. Kalau dalam fatwa yang disepakati itu tidak ditemukan, maka ia
masih mencari dalam fatwa sahabat yang diperselisihkan. Jika belum ditemukan
juga status hukumnya, ia merujuk kepada hadits mursal dan hadits dla’if.
Jika masih saja belum ditemukan status hukumnya, baru ia menggunakan metode analogi
(Qiyas) dalam istinbath al-ahkam, metode Qiyas hanya digunakan
ketika dalam keadaan Dlarurah.
Dalam memahami al-Qur’an Imam
Ahmad bin Hanbal lebih cenderung mengambil arti lafadz daripada
menggunakan takwil, terutama terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat.[11] Sedangkan kemampuannya
dalam bidang hadits terbukti dari karya yang ia susun dalam bentuk kitab, yaitu
al-Musnad. Dalam kitab al-Musnad ini terhimpun 40.000 hadits, dan
disusun berdasarkan tertib nama para perowinya. Menurut Abdullah bin Ahmad
putera dari isteri pertamanya, yaitu ’Aisyah, 40.000 hadits yang termuat dalam
kitab ini merupakan hadits seleksi dari 700.000 hadits yang dihafal oleh Imam
Ahmad bin Hanbal.
2.
Inklusifisme Prinsip Istinbath Al-Ahkam Imam Ahmad bin Hanbal
Sedangkan secara implisit dasar-dasar yang
digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam istinbat al-ahkam ada enam:
a. Ijma’. Yang dimaksud ijma’ disini adalah ijma’ sahabat
tentang berbagai problem hukum. Ijma’ pada masa ini sangat mungkin terjadi
karena secara matematis umat islam masih sedikit, belum menyebar di seluruh
dunia. Akan tetapi Imam Ahmad bin Hanbal meniadakan kemungkinan terjadinya
ijma’ setelah lewat masa sahabat.
b. Qiyas. Walaupun penggunaan Qiyas bagi Imam Ahmad bin
Hanbal hanya ketika dalam keadaan dlarurah. Akan tetapi sebagian
pengikutnya menganggap bahwa penggunaan Qiyas sangat penting.
c. Istihsan. Penggunaan istihsan dalam menetapkan
hukum bagi Imam Ahmad bin Hanbal adalah no problem. Menurutnya, penggunaan istihsan
itu termasuk dalam pengambilan hukum berdasarkan nash, ijma’ atau tunduk
pada hukum dlarurat.
d. Sadd az-Dzari’ah (tindakan preventif). Yaitu larangan terhadap
suatu perbuatan yang akan menjerumuskan pada perbuatan yang diharamkan. Misalnya,
antara pria dan wanita dilarang berduaan ditempat sepi agar tidak terjerumus
kepada perbuatan zina. Alasannya adalah jika syari’at menuntut untuk melakukan
suatu perbuatan, maka sarana yang memungkinkan pelaksanaannya dituntut pula
untuk dikerjakan. Demikian sebaliknya, jika syari’at melarang suatu perbuatan,
maka hal-hal yang menjadi sarana untuk menuju larangan itu juga menjadi
keharusan.
e. Istishab. Yaitu suatu hukum asal yang sudah ditetapkan yang
akan tetap berlaku terus sampai ada dalil lain yang mengubahnya.
f. al-Mashlahah al-mursalah. Term ini akan dibahasmenjadi fokus
pembahasan pada dan juga menjadi sub tersendiri.
- Konsepsi Mashlahah Mursalah ‘Inda Imam Ahmad bin Hanbal
1. Definisi
Al Mashlahah al-Mursalah
diistilahkan sebagai suatu kemaslahatan yang oleh syari’ tidak dibuatkan hukum
untuk mewujudkannya, tidak ada indikasi yang menunjukkan dianggap atau tidaknya
kemaslahatan tersebut. Mashlahah mursalah juga disebut sebagai Mashlahah
muthlaqah karena tidak ada indikasi apa pun yang menunjukkan dianggap atau
disia-siakan. Seperti kemashlahatan yang diharapkan oleh para sahabat dalam
menetapkan adanya penjara, mencetak uang, atau tanah penaklukan para sahabat
ditetapkan sebagai hak milik dengan kewajiban membayar pajak, atau
kemashlahatan lain karena kebutuhan mendesak atau demi kebaikan, sementara
syara’ sendiri tidak menetapkan hukumnya dan tidak ada indikasi yang
menunjukkan dianggap atau disia-siakannya.[12]
Dalam arti, penetapan suatu
hukum tersebut adalah untuk menetapkan kemaslahatan umat manusia, atau dengan
istilah ”menolak bahaya dan menarik manfaat (Dar’u al-mafasid wa jalbu
al-mashalih)”. Kemaslahatan tidak terbatas pada ruang dan waktu, akan
tetapi kemaslahatan akan terus berubah sesuai dengan masa dan tempat (shalih
li kulli az-Zaman wa al-Makan). Karena penetapan suatu hukum terkadang
dapat menarik mashlahah pada satu waktu, tapi terkadang justeru akan
mendatangkan bahaya di lain waktu.
Sedangkan kemashlahatan yang
dijadikan acuan dalam menetapkan hukum dan menjadi ‘illat dalam
penetapannya, menurut istilah ahli ushul disebut al-Mashlahah al-Muktabarah,
sedangkan mashlahah Mulgha dan Mashlahah Gharibah tidak dapat
dijadikan acuan untuk menetapkan hukum. Kemaslahatan muktabarah, misalnya: demi
menjaga kehidupan manusia, maka syari’ menetapkan kewajiban Qishas bagi pelaku
pembunuhan yang ada unsur kesengajaan. Demi menjaga harta benda manusia, maka
syari’ menetapkan hukuman potong tangan bagi pencuri yang sudah mencapai batas
tertentu, baik laki-laki maupun perempuan.
2. Kehujjahan Al-Mashlahah Mursalah
Jumhur ulama berpendapat bahwa
Mashlahah mursalah merupakan hujjah asy-syar’iyyah dalam menetapkan hukum.
Dalam hal ini mereka berargumen, antara lain:
a. Berdasarkan pengamatan (istiqra’) para
ulama terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Rasul SAW yang menunjukkan bahwa
setiap hukum yang ditetapkan oleh syari’ mengandung kemaslahatan bagi manusia
baik di dunia maupun di akhirat
b. Kemashlahatan manusia akan selalu berubah
sesuai dengan masa dan tempat. Maka seandainya hukum tidak ditetapkan sesuai
dengan kemashlahatan yang kekinian, maka banyak kemashlahatan manusia yang
terabaikan oleh syara’. Hal ini tidak sesuai dengan konsep dasarnya, yaitu
bahwa syari’at Islam bertujuan untuk mewujudkan dan melestarikan kemashlatan
umat manusia baik di dunia maupun d akhirat.
c. Berdasarkan pengamatan terhadap aktifitas
para sahabat, tabi’in, dan para ulama’ mujtahid dalam menetapkan hukum. Dalam menetapkan hukum mereka banyak
mendahulukan kemashlahatan umum.[13]
3. Kilas Balik Kehujjahan Al-Mashlahah al-Mursalah
Sedangkan sebagian ulama lain
(selain jumhur) berpendapat bahwa mashlahah mursalah tidak dapat dijadikan
dasar penetapan hukum, mereka menyatakan dengan dua argumen:
a. Syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW telah mencakup semua kemashlahatan manusia, baik yang ditunjukkan
oleh Nash-nash syar’i secara langsung maupun dengan melalui metode Qiyas.
Karena syari’ tidak akan meninggalkan manusia secara sia-sia dan tidak akan
membiarkan kemashlahatan tanpa memberikan petunjuk pembentukan hukum untuk kemashlahatan
itu. Jadi tidak ada kemashlahatan tanpa ada saksi dari syari’ yang menunjukkan
anggapannya. Sedangkan kemashlahatan yang tidak ada saksi dari syari’ yang
menunjukkan anggapannya, pada hakikatnya bukan kemashlahatan, melainkan kemashlahatan
hayalan yang tidak bisa dijadika dasar dalam menetapkan hukum.
b. Penetapan hukum yang didasarkan pada
kemaslahatan akan dapat memberi peluang besar bagi hawa nafsu manusia, seperti
para pemimpin, penguasa, ulama pemberi fatwa. Sebagian dari mereka lebih
memprioritaskan hawa nafsunya untuk kepentingan hawa nafsu dan kepentingan
pribadi. Sehingga di antara menganggap kerusakan sebagai suatu kemashlahatan. Sedangkan
kemashlahatan sendiri bersifat relatif, sesuai dengan perubahan dan
perkembangan zaman.
4. Indikasi Pemakaian Mashlahah Mursalah
Sebagai Dasar Istinbat Al-Ahkam Oleh Imam Ahmad bin Hanbal
Berdasarkan istqra’
para ulama, Imam Ahmad bn Hanbal menggunakan al-mashlahah al-mursalah sebagai
dasar dalam menetapkan hukum, sebagaimana berikut:
a. Berdasarkan istiqra’ ulama ushul
al-fiqih dan para pengikut Imam Ahmad bin Hanbal
b. Berdasarkan beberapa fatwa yang
dinisbatkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal
c. Berdasarkan penggunaan Sad ad-Dzari’ah
sebagai prinsip dasar dalam menetapkan hukum[14]
5. Bentuk-bentuk Mashlahah
Maqashid asy-syari’ah (tujuan-tujuan
syari’at) adalah untuk mewujudkan dan memelihara kemashlahatan manusia baik di
dunia maupun di akhirat.[15] Sedangkan mashlahah
sendiri diartikan sebagai sesuatu yang bermanfaat atau suatu pekerjaan yang
mengandung manfaat. Istilah ini dikemukakan oleh ulama ushul al-fiqih dalam
metode yang dipergunakan saat melakukan ekstrapolasi hukum (istinbath
al-ahkam). Beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul al-fiqih pada
hakikatnya mengandung pengertian yang sama. Al-ghazali mengemukakan pengertian Mashlahah
adalah mengambil manfaat dan menolak kemaudlaratan dalam rangka memelihara
tujuan-tujuan syara’(maqashid al-syari’ah).[16] Ia memandang bahwa suatu
kemashlahatan harus sejalan dengan maqashid a-syari’ah, sekalipun bertentangan
dengan realitas sosial. Alasanya, kemashlahatan manusia seringkali didasarkan
kepada kehendak hawa nafsu saja. Misalnya, pada zaman jahiliyah seorang wanita
tidak mendapatkan bagian harta warisan karena hal tersebut mengandung
kemashlahatan dan sesuai dengan adat istiadat mereka. Menurut al-ghazali, hal
tersebut tidak benar karena yang dijadikan mi’yar (tolak ukur) dalam
menentukan kemashlatan adalah kehendak manusia, padahal seharusnya yang harus dijadikan
tolak ukur dalam menentukannya adalah kehendak syara’ yang terangkum dalam
konsepsi maqashid asy-syari’ah.
Selanjutnya, al-ghazali
berpendapat bahwa tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut ada lima bentuk,
yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, kturunan, dan harta. Jika seseorang
melakukan uatu perbuatan yang pada intinya bertujuan memelihara kelima aspek
tujuan syara’ tersebut, maka perbuatan yang dilakukan dinamakan mashlahah.
Disamping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudlaratan yang berkaitan
dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan Mashlahah. Dalam
kaitan ini,asy-syathibi mengemukakan bahwa kemashlahatan tidak dibedakan antara
dunia dan akhirat, karena jika kedua kemashlahatan tersebut bertujuan untuk
memelihara kelima tujuan pokok syara’ tersebut, maka keduanya termasuk dalam
konsep mashlahah. Karena menurut asy-syathibi, kemashlahatan dunia yang dicapai
seorang hamba harus berorientasi pada tujuan kemashlahatan di akhirat.[17]
Sedangkan mashlahah dilihat dari
berbagai aspeknya terbagi menjadi beberapa macam, antara lain:
a. Mashlahah Dari Segi Real Power Atau
Kualitas Yang Dimilikinya, Terbagi Menjadi Tiga Macam:
1) Mashlahah dlaruriyah, yaitu kemashlahatan yang berhubungan
dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan akhirat. Yang termasuk dalam
kemashlatan ini adalah: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,
memelihara keturunan, dan memelihara harta. Menurut ulama ushul al-fiqih,
kelima kemashlahatan ini disebut al-mashalih al-khamsah. Memeluk suatu
agama merupakan fithrah dan naluri insani yang tidak bisa diingkari dan sangat
dibutuhkkan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Allah SWT mensyari’atkan
agama yang wajib dipelihara setiap orang, baik yang berkaitan dengan aqidah,
ibadah, maupun muamalah. Hak hidup juga merupakan hak paling asasi setiap
manusia. Dalam kaitan ini, untuk kemashlahatan dan keselamatan jiwa serta
kehidupan manusia, Allah SWT mensyari’atkan berbagai hukum yang berkaitan
dengan hal tersebut, seperti disysri’atkannya Qishas, kesempatan untuk
memepergunakan hasil sumber daya alam untuk dikonsumsi manusia, atau hukum
perkawinan. Selanjutnya, akal merupakan faktor yang menentukan seseorang dalam
menjalani kehidupannya. Karenanya, Allah SWT menjadikan pemeliharaan akal itu
sebagai hal yang paling pokok. Untuk itu, Allah SWT dalam melarang meminum minuman keras, karena bisa
merusak akal dan hidup manusia. Berketurunan juga merupakan masalah pokok bagi
manusia dalam rangka memelihara kelangsungan hidup dimuka bumi ini. Untuk
memelihara dan melanjutkan keturunan tersebut Allah SWT mensyari’atkan nikah
dengan segala hak dan kewajiban yang diakibatkannya. Kemudian manusia tidak
bisa hidup tanpa harta. Karena itu harta merupakan sesuatu yang pokok dalam
kehidupan manusia. Untuk mendapatkannya, Allah SWT mensyari’atkan berbagai
transaksi, dan untuk memlihara harta seseorang Allah SWT mensyari’atkan hukuman
bagi pencuri dan perampok.
2) Mashlahah Hajjiyah, yaitu kemashlahatan yang dibutuhkan
dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok sebelumnya yang berbentuk keringanan
untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia. Misalnya, dalam
bidang ibadah diberi keringanan dalam shalat bagi musafir dan berbuka puasa
bagi orang musafir. Dalam bidang muamalah antara lain dibolehkan melakukan jual
beli, pesanan (akad salam), bekerja sama dalam pertanian (muzara’ah
atau mukhabarah), bekerja sama dalam perkebunan (musaqah). Semua
ini, disyari’atkan Allah SWT untuk mendukung kebutuhan pokok di atas.
3) Mashlahah Tahsiniyah, yaitu kemashlahatan yang sifatnya
pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemashlahatan sebelumnya.
Misalnya, dianjurkan untuk memakan makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus,
melakukan amalan-amallan ibadah sunat sebagai ibadah tambahan, dan ditetapkan
berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia. Ketiga kemaslahatan
ini perlu dibedakan, sehingga seorang muslim dapat menentukan prioriitas dalam
mengambil suatu kemashlahtan. Kemashlahatan ad-dlaruriyyah harus lebih
didahulukan daripada kemashlahatan hajjiyyah, dan kemaslahatan hajjiyyah
harus lebih didahulukan daripada kemaslahatan tahsiniyyah.[18]
b. Mashlahah Berdasarkan Kandungannya
Berdasarkan kandungannya,
ulama ushul al-fiqih membagi mashlahah menjadi dua:
1) Al-Mashlahah al-’ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut
kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum tidak berarti untuk kepentingan
semua orang, tetapi bisa berbentuk
kepentingan mayoritas umat. Misalnya, Ulama membolehkan membunuh penyebar
bid’ah yang dapat merusak aqidah umat.
2) Al-Mashlahah al-Khassah, yaitu kemaslahtan pribadi. Mashlahah ini
jarang terjadi, seperti kemaslahtan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan
perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (al-mafqut). Pentingnya
pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan prioritas yang harus
didahulukan apabila kemaslahatan umum bertentangan dengan kemashlatan pribadi.
Jika terjadi pertentangan, Islam mendahulukan kemaslatan umum daripada
kemaslatan pribadi[19]
c. Mashlahah Berdasarkan Segi Perubahannya
Dari segi perubahannya,
Musthafa asy-syalabi, membagi mashlahah menjadi dua:
1) Al-Mashlahah as-Tsabitah, yaitu kemashlahatan yang bersifat tetap,
tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnnya, berbagai kewajiban ibadah, seperti
shalat, puasa, zakat, dan haji
2) Al-Mashlahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah
sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subyek hukum. Kemashlahatan seperti
ini berkaitan dengan permaslahan muamalah dan adat kebiasaan, seperti dalam
masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Perlunya pembagian ini adalah untuk memberikan batasan kemashlahatan yang
berubah dan yang tidak bisa berubah
d. Mashlahah Berdasarkan Eksistensinya
Mashlahah berdasarkan
eksistensinya, para ulama ushul al-fiqih membagi menjadi tiga:
1) Kemashlahatan yang eksisitensinya diakui
oleh syara’ (al-mashlahah al-mu’tabarah), artinya, adanya dalil khusus
yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemashlahtan tersebut. Misalnya tentang
hukuman atas orang yang meminum minuman keras. Bentuk hukuman bagi orang yang
meminum minuman keras yang terdapat dalam hadits rasulullah saw oleh ulama
dipahami secara berlainan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan alat pemukul
yang digunakan Nabi saw ketika melaksanakan hukuman bagi orang yang meminum
minuman keras. Ada hadist yang menunjukkan bahwa alat yang digunakan oleh
rasulullah saw adlah sandal atau alas kakinya sebnyak 40 kali (H.R Ahmad bin Hanbal
dan al-Baihaqi), sementara itu hadits lain menjelaskan bahwa alat pemukul yang
digunakan Nabi Muhammad SAW dalam hukuman minuman keras adalah pelapah kurma,
juga sebnyak 40 kali (H.R al-Bukkhari dan Muslim). Karenanya setelah Umar bin
Khatab bermusyawarah dengan para sahabat
lain, menetapkan hukuman dera bagi orang yang meminum minuman keras tersebut
sebanyak 80 kali. Ia Menganalogikan orang yang meminum minuman keras kepada
orang yang menuduh orang lain berbuat zina. Logikanya adalah seseorang yang meminum
minuman keras apabila mabuk bicaranya tidak bisa terkontrol dan diduga keras
akan menuduh orang lain berbuat zina. Hukuman bagi orang yang menuduh orang
lain berbuat zina adalah 80 kali. Karena ada dugaan keras menuduh orang lain
berbuat zina akan muncul dari orang mabuk, maka Umar bin Katthab dan Ali bin
Abi Thalib mengatakan bahwa hukuman orang yang meminum minuman keras sama
hukumnya dengan orang yang menuduh orang lain berbuat zina. Menurut ulama ushul
al-fiqh, cara analogi seperti ini termasuk kemaslahatan yang didukung oleh
syara’ atau diistilahkan dengan Mashlahah mu’tabarah. Hukuman bagi orang
yang menuduh orang lain berbuat zina sebanyak 80 kali, sebagaimana firman Allah
SWT :
”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik[20]
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”(Q.S 28: 4).
Sebagian ulama juga memasukkan produk hukum yang dihasilkan dengan melalui
metode qiyas kedalam jenis maslhah ini, seperti pengharaman terhadap segala
minuman yang memabukkan dengan metode mengqiyaskan dengan khamar yang dinashkan
keharamannya oleh allah swt dalam al-qur’an. Maka muatan Mashlahah dalam
pengharaman semua minuman yang memabukkan dapat diakui eksisitensinya oleh
syara’ karena ada kesamaan kadar Mashlahah yang terdapat didalam nash yang
melarang meminum minuman khamar.
2) Kemaslahatan yang eksistensinya tidak
diakui oleh syara’ (al-mashlahah al-Mulgha) karena ada unsur kontradiktif
dengan Nash-nash syar’iyyah. Misalnya dalam penentuan syara’, di siang
hari bulan ramadlan dilarang melakukan hubungan seksual. Jika ternyata masih
berhubungan seksual pada siang hari di bulan ramadlan maka ia dikenakan hukuman
antara tiga hal: memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau
memberi makan 60 orang fakir miskin. (H.R Bukhari dan Muslim). Al-Lais bin
sa’ad ahli fiqih madzhab maliki di spanyol, menetapkan hukuman puasa dua bulan
berturut-turut bagi penguasa yang melakukan hubungan seksual di siang hari pada
bulan ramadlan, karena jika para pnguasa itu dibebani untuk memerdekakan budak
atau memberi 60 fakir miskin ia akan terasa ringan, menurutnya, hukuman bagi orang yang melakukan hubungan seksual
di siang hari bulan ramadlan bertujuan agar seseorang menjadi jera sehingga
tidak melakukan pelanggaran lagi, jika seorang penguasa hanya dibebani untuk
memerdekakan budak atau memberi makan 60 fakir miskin, maka ia akan terasa
sangat ringan dan bahkan akan menganggap mudah dalam pelanggaran tersebut,
sehingga hukuman yang diberikan kepada para penguasa tersebut tidak menjadikan
ia jera. Nilai kemaslahatan disini bertentangan dengan hadist Rasulullah saw
diatas, karena hadits tersebut secara jelas mengungakapkan proses hukuman
tersebut , yaitu: apabila tidak mampu memerdekakan budak ia harus puasa dua
bulan berturut-turut, lalu memberi makan 60 fakir miskin. Jika puasa dua bulan
berturut-turut lebih dipriortaskan tanpa mengukuti proses urutan hadits
tersebut, maka kemaslahatan disini akan bertentangan dengan kehendak syara’,
sehingga hukum yang diterapkan oleh al-lais bin sa’ad bagi seorang penguasa di
atas tidak dapat diterima syara’
3) Kemaslahatan yang keberadaannya di diamkan
oleh syara’, tidak ada indikasi yang menunjukkan dianggap atau tidaknya
kemaslahatan tersebut, kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi menjadi dua: (1) al-Mashlahah
al-gharibah, kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’
baik dari dalil yang rinci maupun yang bersifat umum, (2) al-Mashlahah
al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh dalil syara’
secara rinci, tetapi didukung oleh makna sejumlah nash.
6. kriteria Penggunaan mashlahah mursalah
sebagai dasar dalam istinbath al-Ahkam
Untuk menjadikan mashlahah
mursalah sebagai dasar dalam istinbath al-ahkam, para ulama ushul al-fiqih memberikan
tiga kriteria, antara lain:
1. kemashlahatan harus bersifat hakiki,
artinya kemashlahatan yang dimaksud harus benar-benar mendatangkan manfaat dan menolak
mafsadat. Sedangkan kemaslahatan yang hanya didasarkan pada kemungkinan dapat
menarik manfaat, tanpa membandingkan kemungkinan adanya bahaya, maka
kemaslahatan semacam ini bukan kemashlatan hakiki.
2. kemashlahatan harus bersifat umum, bukan
kemaslahatan individual. Artinya kemaslahatan harus membawa kebaikan bagi orang
banyak, bukan perorangan atau suatu kelompok.
3. kemahlahatan tidak boleh bertentangan
dengan Nash (al-Qur’an dan Hadits)atau Ijma’. Seperti menetapkan bagian waris antara anak
laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki dalam Nash sudah ditetapkan dua kali
lipat dari perempuan. Maka tidak sah menganggap suatu kemashlahatan yang
menuntut persamaan bagian antara anak laki-laki dan perempuan.[21]
[1] Dr. Abdullah bin abdul muhsin al-turki, ushul madzhab al-imam
ahmad, cet. II, 1397 H/1977, maktabah al-riyadliyah al-haditsah, hal. 27
[2] Al-hafidz dalam istilah ilmu hadits adalah orang yang hafal
100.000, hadits dengan sanadnya. Lihat : ushul al-hadits ulumuhu wa
musthalakhuhu, karya Dr.Muhammad ‘Ijaj al-Khathib, Dar al-fikr, 1409 H/1989
M, hal. 448
[3] Sedangkan muhaddits adalah orang yang menghafal banyak
hadits dan mengetahui adil atau tidak adilnya para perowi, Ibid
[4] Imam Yahya bin Hilal mengatakan, “aku pernah datang kepada Imam
Ahmad bin Hanbal, lalu aku diberi uang
sebanyak empat dirham seraya berkata, “ ini adalah rizki yang aku dapatkan dari
kerja hari ini dan aku berikan kepadamu.” Lihat:
[5] Di kisahkan bahwa setiap kali ia mendengar ulama’ ahli hadits, ia
bergegas mendatanginya untuk mendapatkan hadits, dari sinilah ia kemudian
banyak menghafal hadits yang ia torehkan dalam bentuk kitab yang bernama Musnad
Ibnu Hanbal. Lihat:
[6] Ibid, hal. 17
[7] Imam Shaleh adalah puteranya sendiri dari isteri yang pertama,
yaitu ‘aisyah binti fadl
[8] Sedangkan Imam abdullah adalah puteranya dari isteri kedua yang
bernama Raihanah
[9] Hadits mursal adalah hadits yang dimarfu’kan oleh tabi’in walaupun
secara hukmi langsung kepada nabi saw. Ibid, hal. 337-338.
[10] Ensiklopedi Indonesia, jilid, III, Ichtiar Baru-Van Hoeve,
Jakarta, 1982, hal. 1253; Lihat: ushul madzhab al-Imam Ahmad, karya Dr.
Abdullah bin abdul muhsin al-turki, tentang (al-qur’an hal. 101-103), (fatwa
sahabat hal. 655-659), (hadits mursal hal, 221-225), (qiyas hal. 579-596)
[11] Para Ulama berbeda pendapat mengenai ayat-ayat al-Qur’an,
sebagaimana yang diceritakan oleh Husen bin muhammad bin Habib an-Naisaburi.
Menurutnya, dalam persoalan ini ada tiga pendapat: (1) semua ayat al-Qur’an
adalah Muhkamaat, (2) semua ayat al-Qur’an Mutasyabihaat, dan (3) ayat
al-Qur’an ada yang Mutasyabihat,
juga ada yang Muhkamat. Lihat: al-Burhan, CD Maktabah Syamilah,
Juz II, hal 68; Mutasyabihaat diartikan ayat-ayat yang artinyanya
dimonopoli oleh Allah SWT, sedangkan Muhkamaat diartikan ayat-ayat yang
ma’nanya dapat diketahui oleh manusia. Lihat: al-Itqan, CD Maktabah
Syamilah, Juz I, hal. 206.
[12]Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqih, an-Nasyr, cet xii,
hal. 84
[13] Ibid, hal. 85-86
[14] Wahbah az-Zukhaili, Ushul al-Fiqih al-Islami, Dar al-Fikr, cet
xiv, Juz II, hal. 62-75
[15] Asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi ushul al-ahkam, Dar al-fikr,
juz II, hal. 2
[16] Al-Imam al-Ghazali, al-Mustashfa min
al-Ilm al-Ushul, CD Maktabah Syamilah, Juz I, hal. 438
[20] Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah
wanita-wanita yang Suci, akil balig dan muslimah.
[21] Lihat: Wahbah az-Zukhaili, Op.Cit, hal. 77-78; Abdul Wahab Khalaf, Ilmu
Ushul Al-Fiqih, an-Nasyr, cet xii, hal. 86-87
0 komentar:
Posting Komentar