HARAM DAN
MAKRUH
Hanif
asyhar
HARAM (MUHARRAM)
- Definisi
Haram dalam pengertian etimologi adalah sesuatu yang
lebih banyak mengandung kerusakan, sedangkan secara terminologi, oleh para
juris Islam, haram didefinisikan: “Tuntutan yang datang dari syari’ untuk
ditinggalkan, tuntutan ini bersifat luzum (pasti)”. Secara khusus (bil
al-hukmi) haram juga didefinisikan sesuatu yang dicela oleh syara’ bagi
orang yang melakukannya.[1]
Secara umum tuntutan larangan yang bersifat luzum
dapat diketahui dengan beberapa cara, antara lain:
Melihat aspek pekerjaan itu sendiri, yaitu adanya
indikasi yang menunjukkan bahwa perbuatan itu adalah haram. Seperti firman Allah
SWT surat al-Baqarah (2) ayat 275;
“orang-orang yang Makan (mengambil)
riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu[2](sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali
(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya.”
Melihat tuntutan
untuk meninggalkan tersebut, seperti terbentuk dari Shighat Nahi seperti
firman Allah SWT surat al-Isra’ (17) ayat 32;
“Dan
janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji. dan suatu jalan yang buruk.”
Atau Shighat
Amar yang menunjukkan larangan, seperti firman Allah SWT surat al-Hajj (22)
ayat 30;
“Demikianlah (perintah Allah). dan Barangsiapa mengagungkan
apa-apa yang terhormat di sisi Allah Maka itu adalah lebih baik baginya di sisi
Tuhannya. dan telah Dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang
diterangkan kepadamu keharamannya, Maka jauhilah
olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.”
Juga
berbentuk kontinuitasnya siksaan bagi
orang yang melakukan, seperti firman Allah SWT surat an-Nisa’ (4) ayat 10:
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka).”[3]
B. Macam-Macam Bentuk Tuntutan Larangan;[4]
1. Ketentuan larangan yang bersifat luzum
dan terbentuk secara independen,
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul,
yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak
panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa
untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama
bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.
Al-maidah:3).
2. Larangan berbuat tapi terdapat
indikasi-indikasi adanya kepastian.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.(QS.
Al-Israa’ : 32)
3. Perintah untuk menjauhi yang disertai indikasi-indikasi
adanya kepastian
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah Termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan”. QS. Al-Maidah : 90
4. Berupa perbuatan yang berimplikasi pada siksaan
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah
orang-orang yang fasik.” (QS.
An-Nuur: 4).
- Pembagian Haram
1. Haram dari segi Real Power terbagi menjadi
dua:
Haram dari segi potensi
dalil yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan, terdapat perbedaan
antara Jumhur ulama dan ulama Hanafiyah:
Jumhur ulama’ berpendapat
bahwa semua tuntutan yang pasti (Luzum) adalah haram. Dalil yang dibuat
oleh syari’ untuk melarang itu ada yang bersifat qath’i dan dzanni.
Mereka tidak memisahkan antara dalil haram di tinjau dari segi dalil yang
bersifat dzanni atau pun qath’i, karena hukum haram itu disamping
ditetapkan dengan dalil al-qur’an , ada juga yang ditetapkan dengan dalil
hadits yang tidak mutawatir, hadits masyhur,[5] bahkan juga dengan hadits ahad
yang kesemuanya adalah dalil dzanni. Dalil dzanni dapat dijadikan
hujjah dalam beramal dan menetapkan hukum, tetapi tidak dapat menjadi
hujjah dalam persoalan ‘itiqad
Sedangkan ulama’ Hanafiyah
memisahkan antara larangan yang ditetapkan dengan dalil Qath’i dan dalil
dzanni. Dalam hal ini ulama’ Hanafiyah membagi
larangan yang pasti itu menjadi dua:
a. Larangan yang ditetapkan dengan dalil yang
qath’i dan kebenarannya tidak diragukan lagi. Oleh ulama’ Hanafiyah ini
yang dinamakan haram, seperti memakan daging babi,(QS. Al-Maidah: 3). Dalam ayat
tersebut hukum haram memakan daging babi sudah sangat tegas.
b. Larangan yang pasti dan ditetapkan dengan
dalil yang dzanni, seperti hukum yang ditetapkan dengan hadits Ahad,[6] ini diistilahkan makruh tahrim,
Hanafiyah menggunakan makruh karena untuk menghindari adanya dugaan haram,
meskipun dibelakangnya masih disebutkan kata tahrim, seperti memakan keledai
jinak yang ditetapkan dengan hadits Nabi saw yang tidak mutawatir.[7]
2. Haram dari segi sifatnya terbagi menjadi
dua:
a. Haram dzati, yaitu larangan yang
tidak dimasuki oleh unsur-unsur eksternal, atau larangan yang memang
dimaksudkan oleh syari’ (ibtidaa’an); seperti zina, mencuri, shalat
tanpa bersuci, makan bangkai, mengawini muhrimnya, meminum minuman keras, makan
daging babi, dan lain-lain, karena di dalamnya terdapat unsur-unsur yang
membahayakan. Maka keharaman tersebut sudah menjadi ketentuan sejak semula atas
perbuatannya.
b. Haram li ghairi atau haram ‘ardli,
yaitu larangan yang disebabkan adanya unsur eksternal. Suatu perbuatan itu pada
mulanya ditetapkan oleh syari’ sebagai suatu hal yang wajib, sunnah, mubah,
tetapi bersamaan dengan adanya faktor eksternal yang menjadikannya haram;
seperti shalat dengan memakai baju ghasab, jual beli yang mengandung unsur
eksploitasi, jual beli menjelang adzan pada hari jum’at, puasa wishal, dan
lain-lain yang mengandung keharaman karena sesuatu yang baru yang pada prinsipnya
perbuatan itu tidak menunjukkan kerusakan dan bahaya, tetapi ada sesuatu yang
menyertainya dan berakibat pada kerusakan dan bahaya.[8]
3. Haram dari segi pengaruhnya terhadap hukum
wadl’i (hukum positif) ada dua:
a. Haram dzati bila berkaitan dengan
rukun akad mengakibatkan batalnya akad tersebut. Umpamanya larangan memperjual
belikan khamar, babi atau bangkai. Pelanggaran terhadap larangan dalam hal yang
menyebabkan batalnya akad. Larangan kawin dengan satu susuan atau saudara radla’menyebabkan
batalnya kawin tersebut.
b. Haram li ghairihi bila berkaitan
dengan akad tidak akan menyebabkan
batalnya akad tersebut, ini menurut jumhur ulama’. Hanya ulama’ Hanbaliyah dan
Dlahiriyah yang berseberangan dengan pendapat ini. Pelanggaran terhadap
larangan jual beli pada saat khutbah berlangsung hanya menyebabkan berdosa bagi
yang melanggar saja, tetapi tidak membatalkan jual beli tersebut selama sudah
terpenuhi syarat dan rukunnya.
4. Haram dari segi pengecualiannya terhadap
hukum larangan terbagi menjadi dua:
a. Sesuatu yang dilarang secara dzati
adalah haram dan berdosa bagi yang melakukannya. Yang dikecualikan dari hukum
dosa itu adalah orang-orang yang melanggar larangan karena dlarurat,
dalam arti akan merusak salah unsur dlaruri yang menjadi tujuan syari’ah
(maqashid asy-syari’ah)[9] bila tidak dilakukan. Umpamanya haram
meminum khamar termasuk harum dzati yang berdosa orang yang melakukannya
karena akan merusak akal. Tetapi bila ia melakukan karena memelihara jiwanya,
maka ia boleh minum khamar tersebut dengan sekedar yang dibutuhkan; misalnya, untuk
menghilangkan sesuatu yang menyumbat kerongkongannya dan dia tidak menemukan
minuman lain yang halal. Dalam hal ini muncul kaidah:
“sesuatu yang diharamkan karena dzatnya,
dibolehkan dalam keadaan dlarurat”
b. Sedangkan larangan yang dikarenakan adanya
faktor eksternal, pengecualiannya adalah diperkenankan untuk melanggar tapi
hanya sebatas kebutuhan (lil hajah), hal ini dapat dilihat dalam kaidah
fiqih:
“sesuatu yang diharamkan karena adanya faktor
lain (bukan haram atas tuntutan syari’) dibolehkan karena ada hajat’’
MAKRUH (KARAHAH)
A.
Definisi
Karahah dalam pengertian etimologi
berarti; sesuatu yang tidak disenangi, atau sesuatu yang dijauhi. Sedangkan
dalam istilah terminologi, karahah didefinisikan: Tuntutan dari syari’
untuk meninggalkan, tetapi tidak menjadi keharusan untuk dilaksanakan (la
‘ala wajhi al-iltizam). Dari segi hukum karahah diartikan: sesuatu yang
apabila ditinggalkan akan mendapat pujian (dari syari’) dan orang yang
melakukannya tidak mendapat celaan (dari syari’).
Pada dasarnya hukum makruh merupakan suatu larangan tetapi disertai
indikasi-indikasi bahwa yang dimaksud dengan larangan itu bukanlah haram atau tidak
bersifat Luzum. Dari segi larangan, sebenarnya makruh sama dengan haram;
hanya karahah itu sifatnya tidak luzum. Oleh karena itu orang yang melanggar larangan ini
tidaklah patut mendapatkan dosa. Tetapi jika ia menghidari larangan ini ia
patut mendapatkan pahala, karena dengan menghindarnya seseorang dari larangan
ini berarti ia sejalan dengan pihak yang melarang.
Karahah dapat diketahui dengan melihat beberapa unsur
yang menyertainya, antara lain:
1. Potensi yang ada didalam nash.
Dalam nash ada indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa ayat atau hadits
itu menunjukkan hukum makruh, misalnya sabda Nabi Muhammad SAW :
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى
اللَّهِ الطَّلَاقُ
2.
Shighat Nahi (menunjukkan
larangan) disertai adanya indikasi yang menunjukkan bahwa Nash itu menunukkan
makruh, seperti firman Allah SWT surat al-Ma’dah (5) ayat 101:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang
jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan
di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah
memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
B.
Pembagian makruh
Dikalangan Jumhur ulama, istilah makruh berarti
tuntutan untuk meninggalkan secara tidak tegas (tidak luzum). Sedangkan
ulama Hanafiyah membagi makruh menjadi dua, yaitu;
1. Makruh Tahrim, yaitu tuntutan
untuk meninggalkan yang bersifat luzum (pasti), tetapi dalil yang mengindikasikan
adanya larangan itu bersifat dzanni. Seperti kejadian yang yang ada
dalam Hadits Ahad :
لَا يَبِيع الرَّجُل عَلَى بَيْع أَخِيهِ وَلَا
يَخْطُب عَلَى خِطْبَة أَخِيهِ
“Seseorang
tidak boleh membeli barang yang ada dalam tawaran saudaranya (sesama muslim),
dan tidak boleh meminang perempuan yang ada dalam pinangan saudaranya (sesama
muslim).[11]
Kedua
kejadian di atas, menurut Hanafiyah adalah makruh tahrim, karena
ditetapkan dengan hadits Ahad.
Perbedaan
makruh tahrim dan Haram, menurut Hanafiyah adalah terletak pada
tuntutan bahwa haram merupakan sesuatu yang harus ditinggalkan (luzum),
dan ditetapkan dengan dalil Qath’i, seperti kejadian yang ditetapkan
berdasarkan al-Qur’an, Hadits Mutawatir, atau hadits Masyhur,
misalnya hukum pencurian, zina, minum khamr, memakai pakaian yang terbuat dari
sutera bagi laki-laki, memakai emas. Orang yang mengingkari hal-hal tersebut
diklaim kafir.
Sedangkan
makruh tahrim, tidak diklaim sebagai orang yang kafir, tetapi orang yang
melanggarnya mendapatkan dosa serta celaan. Pada dasarnya makruh tahrim sudah
mendekati haram, sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf.[12]
2. Makruh Tanzih, yaitu tuntutan untuk
meninggalkan yang tidak bersifat luzum, seperti makan daging kuda karena
ada hajat untuk berperang, wudlu dari sisa jilatan kucing, burung elang, makruh
tanzih menurut Hanafiyah disini adalah kebalikan dari mandub
menurut Jumhur. Perbedaan kedua bentuk makruh menurut Ulama Hanafiyah dapat
terlihat pada hukum orang yang tidak mematuhi larangan itu. Orang yang
melanggar larangan makruh tahrim mendapat dosa, sedangkan orang yang
melanggar larangan makruh Tanzih tidak mendapatkan ancaman dosa. Dan orang
yang tidak melanggar larangan kedua jenis makruh tersebut sama-sama mendapat
pahala.
[1] Wahbah az-Zukhaili, Ushul al-Fiqih Al-Islami, Dar al-Fikr,
Damaskus-Syiria, 2006, Juz, I, hal. 86
[2] Riba itu ada dua
macam: Nasiah dan Fadhl. Riba Nasiah ialah pembayaran
lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba Fadhl ialah
penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak
jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran
emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam
ayat ini Riba Nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat
Arab zaman jahiliyah. Lihat: Fathu al-Qadir, CD Maktabah Syamilah, al-Ishdar
ats-Tsani, Juz I, hal. 400
[3] Op.Cit, hal. 87
[4] Abdu wahab khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqih, hal. 113
[5] Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau
lebih, walaupun hanya dalam satu tingkatan, dan tidak mencapai kepada derajat
mutawatir.
[6] Hadits ahad adalah
[7] Hadits mutawatir adalah
[8] Wahbah az-Zukhaili, Op.Cit. hal. 87-88
[9] Tujuan syari’at (maqashid al-syari’ah) yang dimaksud adalah;
pemeliharaan terhadap agama (hifdz al-din), pemeliharaan terhadap akal (hifdz
al-aql), pemeliharaan terhadap jiwa (hifdz nafs), pemeliharaan
terhadap harta benda (hifdz al-mal), dan pemeliharaan terhadap keturunan
(hifdz al-‘ird).
[10] Hasyiyah as-Sanady ‘ala Ibnu Majah, CD Maktabah Syamilah,
Juz IV, hal. 263
[11] Syarakh an-Nawawi ‘ala Muslim, CD Maktabah Syamilah, Juz V,
hal. 299
[12] Wahbah az-Zukhaili, Op.Cit. hal. 91
0 komentar:
Posting Komentar