Minggu, 23 Juni 2013

Haram & Makruh



HARAM DAN MAKRUH
Hanif asyhar


HARAM (MUHARRAM)
  1. Definisi
Haram dalam pengertian etimologi adalah sesuatu yang lebih banyak mengandung kerusakan, sedangkan secara terminologi, oleh para juris Islam, haram didefinisikan: “Tuntutan yang datang dari syari’ untuk ditinggalkan, tuntutan ini bersifat luzum (pasti)”. Secara khusus (bil al-hukmi) haram juga didefinisikan sesuatu yang dicela oleh syara’ bagi orang yang melakukannya.[1]
Secara umum tuntutan larangan yang bersifat luzum dapat diketahui dengan beberapa cara, antara lain:
Melihat aspek pekerjaan itu sendiri, yaitu adanya indikasi yang menunjukkan bahwa perbuatan itu adalah haram. Seperti firman Allah SWT surat al-Baqarah (2) ayat 275;
 orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[2](sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Melihat tuntutan untuk meninggalkan tersebut, seperti terbentuk dari Shighat Nahi seperti firman Allah SWT surat al-Isra’ (17) ayat 32;
 Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
Atau Shighat Amar yang menunjukkan larangan, seperti firman Allah SWT surat al-Hajj (22) ayat 30;
“Demikianlah (perintah Allah). dan Barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah Maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. dan telah Dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.”
Juga berbentuk kontinuitasnya  siksaan bagi orang yang melakukan, seperti firman Allah SWT surat an-Nisa’ (4) ayat 10:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”[3]
B. Macam-Macam Bentuk Tuntutan Larangan;[4]
1.      Ketentuan larangan yang bersifat luzum dan terbentuk secara independen,
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-maidah:3).
2.      Larangan berbuat tapi terdapat indikasi-indikasi adanya kepastian.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.(QS. Al-Israa’ : 32)
3.      Perintah untuk menjauhi yang disertai indikasi-indikasi adanya kepastian
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. QS. Al-Maidah : 90     
4.      Berupa perbuatan yang berimplikasi pada siksaan
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nuur: 4).     
  1. Pembagian  Haram
1.      Haram dari segi Real Power terbagi menjadi dua:
Haram dari segi potensi dalil yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan, terdapat perbedaan antara Jumhur ulama dan ulama Hanafiyah:
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa semua tuntutan yang pasti (Luzum) adalah haram. Dalil yang dibuat oleh syari’ untuk melarang itu ada yang bersifat qath’i dan dzanni. Mereka tidak memisahkan antara dalil haram di tinjau dari segi dalil yang bersifat dzanni atau pun qath’i, karena hukum haram itu disamping ditetapkan dengan dalil al-qur’an , ada juga yang ditetapkan dengan dalil hadits yang tidak mutawatir, hadits masyhur,[5] bahkan juga dengan hadits ahad yang kesemuanya adalah dalil dzanni. Dalil dzanni dapat dijadikan hujjah dalam beramal dan menetapkan hukum, tetapi tidak dapat menjadi hujjah dalam persoalan ‘itiqad
Sedangkan ulama’ Hanafiyah memisahkan antara larangan yang ditetapkan dengan dalil Qath’i dan dalil dzanni. Dalam hal ini ulama’ Hanafiyah membagi larangan yang pasti itu  menjadi dua:
a.       Larangan yang ditetapkan dengan dalil yang qath’i dan kebenarannya tidak diragukan lagi. Oleh ulama’ Hanafiyah ini yang dinamakan haram, seperti memakan daging babi,(QS. Al-Maidah: 3). Dalam ayat tersebut hukum haram memakan daging babi sudah sangat tegas.
b.      Larangan yang pasti dan ditetapkan dengan dalil yang dzanni, seperti hukum yang ditetapkan dengan hadits Ahad,[6] ini diistilahkan makruh tahrim, Hanafiyah menggunakan makruh karena untuk menghindari adanya dugaan haram, meskipun dibelakangnya masih disebutkan kata tahrim, seperti memakan keledai jinak yang ditetapkan dengan hadits Nabi saw yang tidak mutawatir.[7]
2.      Haram dari segi sifatnya terbagi menjadi dua:
a.       Haram dzati, yaitu larangan yang tidak dimasuki oleh unsur-unsur eksternal, atau larangan yang memang dimaksudkan oleh syari’ (ibtidaa’an); seperti zina, mencuri, shalat tanpa bersuci, makan bangkai, mengawini muhrimnya, meminum minuman keras, makan daging babi, dan lain-lain, karena di dalamnya terdapat unsur-unsur yang membahayakan. Maka keharaman tersebut sudah menjadi ketentuan sejak semula atas perbuatannya.
b.      Haram li ghairi atau haram ‘ardli, yaitu larangan yang disebabkan adanya unsur eksternal. Suatu perbuatan itu pada mulanya ditetapkan oleh syari’ sebagai suatu hal yang wajib, sunnah, mubah, tetapi bersamaan dengan adanya faktor eksternal yang menjadikannya haram; seperti shalat dengan memakai baju ghasab, jual beli yang mengandung unsur eksploitasi, jual beli menjelang adzan pada hari jum’at, puasa wishal, dan lain-lain yang mengandung keharaman karena sesuatu yang baru yang pada prinsipnya perbuatan itu tidak menunjukkan kerusakan dan bahaya, tetapi ada sesuatu yang menyertainya dan berakibat pada kerusakan dan bahaya.[8] 
3.      Haram dari segi pengaruhnya terhadap hukum wadl’i (hukum positif) ada dua:
a.       Haram dzati bila berkaitan dengan rukun akad mengakibatkan batalnya akad tersebut. Umpamanya larangan memperjual belikan khamar, babi atau bangkai. Pelanggaran terhadap larangan dalam hal yang menyebabkan batalnya akad. Larangan kawin dengan satu susuan atau saudara radla’menyebabkan batalnya kawin tersebut.
b.      Haram li ghairihi bila berkaitan dengan akad tidak akan  menyebabkan batalnya akad tersebut, ini menurut jumhur ulama’. Hanya ulama’ Hanbaliyah dan Dlahiriyah yang berseberangan dengan pendapat ini. Pelanggaran terhadap larangan jual beli pada saat khutbah berlangsung hanya menyebabkan berdosa bagi yang melanggar saja, tetapi tidak membatalkan jual beli tersebut selama sudah terpenuhi syarat dan rukunnya.
4.      Haram dari segi pengecualiannya terhadap hukum larangan terbagi menjadi dua:
a.       Sesuatu yang dilarang secara dzati adalah haram dan berdosa bagi yang melakukannya. Yang dikecualikan dari hukum dosa itu adalah orang-orang yang melanggar larangan karena dlarurat, dalam arti akan merusak salah unsur dlaruri yang menjadi tujuan syari’ah (maqashid asy-syari’ah)[9] bila tidak dilakukan. Umpamanya haram meminum khamar termasuk harum dzati yang berdosa orang yang melakukannya karena akan merusak akal. Tetapi bila ia melakukan karena memelihara jiwanya, maka ia boleh minum khamar tersebut dengan sekedar yang dibutuhkan; misalnya, untuk menghilangkan sesuatu yang menyumbat kerongkongannya dan dia tidak menemukan minuman lain yang halal. Dalam hal ini muncul kaidah:
sesuatu yang diharamkan karena dzatnya, dibolehkan dalam keadaan dlarurat
b.      Sedangkan larangan yang dikarenakan adanya faktor eksternal, pengecualiannya adalah diperkenankan untuk melanggar tapi hanya sebatas kebutuhan (lil hajah), hal ini dapat dilihat dalam kaidah fiqih:
sesuatu yang diharamkan karena adanya faktor lain (bukan haram atas tuntutan syari’) dibolehkan karena ada hajat’’

MAKRUH  (KARAHAH)
A.    Definisi
Karahah dalam pengertian etimologi berarti; sesuatu yang tidak disenangi, atau sesuatu yang dijauhi. Sedangkan dalam istilah terminologi, karahah didefinisikan: Tuntutan dari syari’ untuk meninggalkan, tetapi tidak menjadi keharusan untuk dilaksanakan (la ‘ala wajhi al-iltizam). Dari segi hukum karahah diartikan: sesuatu yang apabila ditinggalkan akan mendapat pujian (dari syari’) dan orang yang melakukannya tidak mendapat celaan (dari syari’).
Pada dasarnya hukum makruh merupakan suatu larangan tetapi disertai indikasi-indikasi bahwa yang dimaksud dengan larangan itu bukanlah haram atau tidak bersifat Luzum. Dari segi larangan, sebenarnya makruh sama dengan haram; hanya karahah itu sifatnya tidak luzum. Oleh karena itu orang yang melanggar larangan ini tidaklah patut mendapatkan dosa. Tetapi jika ia menghidari larangan ini ia patut mendapatkan pahala, karena dengan menghindarnya seseorang dari larangan ini berarti ia sejalan dengan pihak yang melarang.
Karahah dapat diketahui dengan melihat beberapa unsur yang menyertainya, antara lain:
1.      Potensi yang ada didalam nash. Dalam nash ada indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa ayat atau hadits itu menunjukkan hukum makruh, misalnya sabda Nabi Muhammad SAW :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ الطَّلَاقُ
 sesuatu yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah Talaq”[10]
2.      Shighat Nahi (menunjukkan larangan) disertai adanya indikasi yang menunjukkan bahwa Nash itu menunukkan makruh, seperti firman Allah SWT surat al-Ma’dah (5) ayat 101:
 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
B.     Pembagian makruh
Dikalangan Jumhur ulama, istilah makruh berarti tuntutan untuk meninggalkan secara tidak tegas (tidak luzum). Sedangkan ulama Hanafiyah membagi makruh menjadi dua, yaitu;
1. Makruh Tahrim, yaitu tuntutan untuk meninggalkan yang bersifat luzum (pasti), tetapi dalil yang mengindikasikan adanya larangan itu bersifat dzanni. Seperti kejadian yang yang ada dalam Hadits Ahad :
              لَا يَبِيع الرَّجُل عَلَى بَيْع أَخِيهِ وَلَا يَخْطُب عَلَى خِطْبَة أَخِيهِ
Seseorang tidak boleh membeli barang yang ada dalam tawaran saudaranya (sesama muslim), dan tidak boleh meminang perempuan yang ada dalam pinangan saudaranya (sesama muslim).[11]
Kedua kejadian di atas, menurut Hanafiyah adalah makruh tahrim, karena ditetapkan dengan hadits Ahad.
Perbedaan makruh tahrim dan Haram, menurut Hanafiyah adalah terletak pada tuntutan bahwa haram merupakan sesuatu yang harus ditinggalkan (luzum), dan ditetapkan dengan dalil Qath’i, seperti kejadian yang ditetapkan berdasarkan al-Qur’an, Hadits Mutawatir, atau hadits Masyhur, misalnya hukum pencurian, zina, minum khamr, memakai pakaian yang terbuat dari sutera bagi laki-laki, memakai emas. Orang yang mengingkari hal-hal tersebut diklaim kafir.
Sedangkan makruh tahrim, tidak diklaim sebagai orang yang kafir, tetapi orang yang melanggarnya mendapatkan dosa serta celaan. Pada dasarnya makruh tahrim sudah mendekati haram, sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf.[12]
2. Makruh Tanzih, yaitu tuntutan untuk meninggalkan yang tidak bersifat luzum, seperti makan daging kuda karena ada hajat untuk berperang, wudlu dari sisa jilatan kucing, burung elang, makruh tanzih menurut Hanafiyah disini adalah kebalikan dari mandub menurut Jumhur. Perbedaan kedua bentuk makruh menurut Ulama Hanafiyah dapat terlihat pada hukum orang yang tidak mematuhi larangan itu. Orang yang melanggar larangan makruh tahrim mendapat dosa, sedangkan orang yang melanggar larangan makruh Tanzih tidak mendapatkan ancaman dosa. Dan orang yang tidak melanggar larangan kedua jenis makruh tersebut sama-sama mendapat pahala.


[1] Wahbah az-Zukhaili, Ushul al-Fiqih Al-Islami, Dar al-Fikr, Damaskus-Syiria, 2006, Juz, I, hal. 86
[2] Riba itu ada dua macam: Nasiah dan Fadhl. Riba Nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba Fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba Nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah. Lihat: Fathu al-Qadir, CD Maktabah Syamilah, al-Ishdar ats-Tsani, Juz I, hal. 400
[3] Op.Cit, hal. 87
[4] Abdu wahab khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqih, hal. 113
[5] Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, walaupun hanya dalam satu tingkatan, dan tidak mencapai kepada derajat mutawatir.
[6] Hadits ahad adalah 
[7] Hadits mutawatir adalah
[8] Wahbah az-Zukhaili, Op.Cit. hal. 87-88
[9] Tujuan syari’at (maqashid al-syari’ah) yang dimaksud adalah; pemeliharaan terhadap agama (hifdz al-din), pemeliharaan terhadap akal (hifdz al-aql), pemeliharaan terhadap jiwa (hifdz nafs), pemeliharaan terhadap harta benda (hifdz al-mal), dan pemeliharaan terhadap keturunan (hifdz al-‘ird).
[10] Hasyiyah as-Sanady ‘ala Ibnu Majah, CD Maktabah Syamilah, Juz IV, hal. 263
[11] Syarakh an-Nawawi ‘ala Muslim, CD Maktabah Syamilah, Juz V, hal. 299
[12] Wahbah az-Zukhaili, Op.Cit. hal. 91

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id