Minggu, 23 Juni 2013

SUMBER-SUMBER EKONOMI ISLAM



SUMBER-SUMBER HUKUM EKONOMI ISLAM
(Tugas Ekonomi Islam)
Hanif Asyhar

Pendahuluan
Sebagai agama yang berkarakter rabbani-universal-kontekstual[1], Islam telah menyediakan sistem yang khas untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup yang dihadapi oleh umatnya –salah satunya adalah persoalan ekonomi– sesuai dengan Kehendak Syari' (Yang Menetapkan Syari'at, Allah swt). Sistem ini disarikan oleh para ulama dari perjalanan hidup Nabi Muhammad saw, para sahabat, para tabi'in, dan para ulama sebelum mereka di dalam menyelesaikan berbagai persoalan hidup. Sistem ini diberi nama oleh para ulama dengan Ushul al-fiqh. Isinya, kaidah-kaidah yang dapat dipakai oleh seorang muslim untuk mengambil kesimpulan hukum dari sumber hukum utama; al-Qur`an dan as-Sunnah[2]. Istilah lainnya Metode Istimbath al- Ahkam.
Bagian terpenting dari sistem itu adalah Mashadirul Ahkam (Sumber-sumber hukum). Yang demikian itu karena metode Istimbathul Ahkam sendiri diambil dari Mashadirul Ahkam tersebut, di samping itu semua kesimpulan hukum yang dihasilkan oleh para mujtahid selalu berdasarkan kepada sumber-sumber hukum yang diakui oleh syariat. Dan seperti halnya bidang-bidang yang lain, Mashadirul Ahkam di bidang ekonomi –menurut ulama Ahlussunnah wal Jamaah– meliputi, al-Qur`an, as-Sunnah, al-Ijma', dan al-Mashlahah[3].
Al-Qur`an
Al-Qur`an adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan secara mutawatir, yang tertulis di dalam Mushhaf, dan dibaca oleh kaum muslimin di dalam shalat. Ayat-ayat al-Qur`an yang menjelaskan permasalahan hukum ada 550-an ayat dari 6000-an ayat[4]. Ulama ushuli mengklasifikasikan hukum yang terdapat di dalam al-Qur'an menjadi tiga bagian, antara lain:
  1. Hukum i'tiqadiyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan dimensi I'tiqad atau keyakinan, seperti kewajiban mempercayai Allah swt, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, dan hari kiamat
  2. Hukum khuluqiyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan kewajiban orang mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan perbuatan yang terpuji dan menghindari perbuatan tercela.
  3. Hukum amaliyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf, baik yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah.[5]
Banyak sekali ayat-ayat di dalam al-Qur'an yang menerangkan masalah-masalah hukum dan ada beberapa ayat yang secara spesifik berbicara tentang ekonomi. Bahkan ada ayat al-Qur'an yang menjadi pedoman pokok di dalam bidang ekonomi. Ayat-ayat itu antara lain:
Firman Allah
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah [2]: 275)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling makan harta sesama kalian secara batil, kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar saling rela di antara kalian. (QS. An-Nisa` [4]: 29)
Menurut Ibnu Katsir ayat ini mengindikasikan bahwa Allah swt telah melarang segala macam bentuk usaha yang tidak dibenarkan oleh syariat islam seperti riba, perjudian dan usaha-usaha yang menggunakan tipu muslihat.[6]
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian melaku kan utang-piutang untuk suatu masa tertentu, hendaklah kalian menulisnya. (QS. Al-Baqarah [2]: 282).
Ibnu Abbas berpendapat bahwa ayat ini turun dalam konteks akad salam yang dilakukan oleh penduduk Madinah, kemudian oleh ijma' ulama ayat ini diberlakukan terhadap semua akad muamalah yang berkonsekuensi timbulnya hutang[7]
Hendaklah kalian tolong-menolong untuk kebaikan dan takwa; dan janganlah kalian tolong-menolong untuk dosa dan permusuhan. (QS. Al-Maidah [5]: 2)
Dengan memperhatikan beberapa ayat di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa islam senantiasa mengajarkan kepada umat manusia untuk melakukan kegiatan ekonomi yang sejalan dengan nilai-nilai kebaikan dan ketaqwaan. Nilai-nilai itu berupa tidak boleh melakukan kecurangan atau penipuan ketika melakukan akad transaksi, sebab hal itu tidak mencerminkan unsur keadilan, sehingga akan ada pihak yang merasa dirugikan.
As-Sunnah
As-Sunnah atau Hadits adalah ucapan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad saw[8]. As-sunnah yang dilihat dari aspek perbuatan nabi saw ada enam macam, diantaranya:
ü  Perbuatan Nabi Saw yang timbul dari kebiasaan beliau sebagai manusia, seperti makan, minum, berdiri, duduk, dan lain sebagainya. Hukumnya mubah (boleh) untuk dilakukan oleh umatnya, akan tetapi jika dilakukan dengan berniat mengikuti Nabi Saw, maka hukumnya menjadi "mandub". 
ü  Perbuatan Nabi Saw yang sifatnya khusus untuk beliau, tidak untuk ummatnya, seperti shalat tahajjud yang hukumnya wajib bagi beliau, tetapi bagi umatnya adalah sunnah.
ü  Perbuatan Nabi Saw. dalam rangka menjelaskan ke-mujmal-an lafadz yang terdapat dalam al-Qur'an. Sementara konsekuensi hukum yang harus diterima Nabi sebagai mubayyin adalah wajib, artinya beliau wajib menyampaikan tentang makna mujmal yang terdapat dalam al-Qur'an.
ü  Perbuatan Nabi Saw. yang berada antara tataran syar'i dan jibilli (watak kemanusiaan), seperti berhaji dengan menggunakan kendaraan, turun dari mahshob (tempat melempar jumrah di Mina). Dalam poin ini para ulama berbeda pendapat, apakah mengendarai Nabi Saw. ketika berhaji dan turunnya beliau dari mahshob akan diarahkan sebagai perbuatan yang tidak bernilai syar'i ataukah bernilai syar'i? Menurut sebagian ulama mengatakan bahwa perbuatan Nabi yang seperti itu tidak bernilai syar'i dan tidak pernah dianjurkan kepada umatnya. Sedangkan ulama lain berpendapat bahwa hal itu bernilai syar'i dan dianjurkan kepada umatnya, sebab Nabi Saw diutus untuk menjelaskan syariat agama Islam.
ü  Perbuatan Nabi Saw. yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah yang di sana terdapat indikasi hukum wajib, mandub atau sunnah, maka hal itu pun berlaku bagi umat-Nya.
ü  Perbuatan Nabi yang berlaku pula bagi umatnya, tetapi tidak diketahui apakah mengindikasikan wajib, mandub ataukah mubah. Maka para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini, diantara mereka ada yang mengatakan wajib, mandub, mubah dan ada pula sebagian ulama yang tidak berpendapat demikian, karena mereka harus terlebih dahulu mengetahui adanya dalil atau indikasi yang menunjukkan identitas suatu hukum dari perbuatan Nabi Saw[9]
Hadits ada yang shahih, ada yang hasan, dan ada yang dha'if. Hadits yang dapat dijadikan hujjah adalah hadits yang shahih dan hasan. Yakni hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang dengan sifat-sifat tertentu dan tidak terputus di antara mereka, sejak dari mukharij (perawi terakhir) sampai kepada Rasulullah saw. dan tidak ada penyakit atau cacat padanya[10].
Ada banyak sekali hadits yang menjelaskan masalah ekonomi. Di antaranya:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
Dari Ibnu Umar r.a, bersabda nabi saw: "Penjual dan pembeli itu boleh memilih (meneruskan atau membatalkan transaksinya) selama belum berpisah. (HR. al-Bukhariy)
Dalam fiqh klasik dikatakan bahwa akad khiyar (boleh memilih) tidak bisa gugur dengan matinya salah satu orang yang melakukan transaksi di dalam satu majlis, sehingga status khiyar (boleh memilih) bisa berpindah kepada ahli warisnya. Akan tetapi jika tidak ditemukan ahli waris yang layak untuk mengkhiyar akad transaksi, maka seorang imam harus memilih orang lain yang lebih layak diberi kewenangan untuk meneruskan akad transaksi atau membatalkannya.[11]
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي
Barang siapa yang menipu maka bukan termasuk golongan aku.[12]
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهُ
Dari Jabir bin Abdullah, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas, Rasulullah saw. melarang menjual buah sehingga tampak matangnya (siap untuk dipanen).[13]
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, "Bahwa nabi Muhammad saw pernah datang ke kota Madinah dan beliau melihat penduduk Madinah memesan kurma dengan jangka waktu dua tahun atau tiga tahun, lalu beliau bersabda barang siapa yang memesan sesuatu, maka pesanlah sesuatu yang dapat diketahui takaran dan timbangannya sampai jangka waktu yang telah ditentukan.[14] 
Al-Ijma'
Al-Ijma' adalah kesepakatan seluruh mujtahid muslim pada suatu masa atas hokum syara’.[15] Faktor yang mendukung terhadap Kehujjahan al-Ijma' ada tiga macam, antara lain
1. Al-Qur`an. Allah Swt berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (Q.S. an-Nisa', 59).
Ibnu Abbas menafsirkan lafadz ulil amri dengan para mujtahid dan ahli fatwa, sehingga dengan penafsiran yang dikemukakan oleh ibnu abbas mengindikasikan bahwa wajib mengikuti segala keputusan yang telah disepakati oleh kalangan mujtahid (ulama).[16]
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (Q.S. an-Nisa', 115)
Dalam ayat ini Allah Swt. telah mengancam terhadap orang-orang yang tidak mengikuti jalan kaum mukminin. Oleh karena itu wajib hukumnya mengikuti jalan kaum mukminin yang berupa perbuatan dan perkataan mereka.[17]   
2. Hadits Nabi saw yang berbunyi,
إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ
Sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul atas suatu kesesatan (HR. Ibnu Majah)
3. Landasan syar'i yang menjadi pedoman para mujtahid untuk memutuskan hukum secara ijma (sepakat). Ijtihad mereka tidak akan pernah terlepas dari pemahaman teks yang mereka pahami, kaidah-kaidah syar'i, prinsip-prinsip umum, urf dan mashlahat mursalah. Dengan adanya landasan syar'i yang melatarbelakangi para mujtahid untuk sepakat menghukumi persoalan atau peristiwa yang terjadi ditengah-tengah mereka, maka hal itu membuktikan bahwa landasan syar'i yang mereka gunakan adalah qath'i (pasti).
Di antara perkara yang telah disepakati oleh para ulama dalam bidang ekonomi adalah haramnya riba, haramnya berbuat zhalim kepada orang lain, haramnya menipu dalam berdagang, dan lain sebagainya. Ada juga kesepakatan mereka yang berupa kaidah, seperti kaidah berikut:
الأصل في المعاملة الإباحة إلا ما دل الدليل على خلافه
Hukum asal segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali ada dalil yang menunjukkan tidak mubah.
             Tetapi bukan berarti semua ijma’ dapat dijadikan pedoman hokum, dalam hal ini para ulama’ merumuskan kriteria-kriteria ijma’ yang bisa dijadikan dasar hokum, antara lain;
  1. Ada beberapa mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. Karena kesepakatan tidak mungkin dicapai kecuali dari beberapa pendapat yang saling memiliki kesesuaian. Jika pada waktu itu ada beberapa mujtahid, tidak ada sama sekali atau hanya seorang mujtahid saja, maka ijma’ tersebut tidak sah. Oleh sebab itu pada masa rasul dapat dikatakan tidak ada ijma’ karena beliau sendiri sebagai mujtahid.
  2. Kesepakatan atas hokum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal negara, kebangsaan, atau kelompoknya. Bila ada kesepakatan atas hokum syara’ mengenai suatu peristiwa oleh mujtahid Haramain, Iraq, Hijaz, keluarga nabi, atau mujtahid Ahlus Sunnah tidak termasuk Syi’ah, maka kesepakatan masing-masing negara, kelompok dan golongan tersebut tidak sah menurut hokum syara’. Karena pada prinsipnya ijma’ tidak sah kecuali dengan kesepakatan umum dari semua elemen mujtahid dunia islam pada masa terjadinya peristiwa itu.
  3. Kesepakatan mereka diawali dengan pengungkapan pendapat masing-masing mujtahid. Pendapat itu diungkapkan dalam bentuk perkataan seperti fatwa atas suatu peristiwa, atau perbuatan seperti bentuk putusan hokum. Atau diungkapkan secara peorangan mujtahid, kemudian pendapat masing-masing dikumpulkan ditemukan adanya kesepakatan. Atau diungkapkan secara kolektif, yaitu semua mujtahid dunia islam berkumpul pada masa terjadinya suatu peristiwa kemudian peristiwa itu diajukan kepada mereka, dan setelah mereka bertukar pendapat dari berbagai aspek, mereka semua sepakat atas satu hokum mengenai peristiwa tersebut.
  4. Kesepakatan itu benar-benar dari seluruh mujtahid dunia islam. Bila yang bersepakat hanya mayoritas , maka kesepakatan itu tidak disebut ijma’ meskipun yang tidak sepakat hanya minoritas. Karena jika masih ada pertentangan, maka dimungkinkan benar dalam satu segi dan salah dalam segi yang lain, sedangkan hasil ijma’ dari para ulama mujtahid dianggap Qath’i[18]

Al-Mashlahah
Al-Mashlahah adalah spirit syariat Islam. Secara etimologi, mashlahah mempunyai makna yang identik dengan manfaat, keuntungan, kenikmatan, kegembiraan, atau segala upaya yang dapat mendatangkan hal itu. Namun, dalam terminologi syariat, ulama Ushul al-fiqh berbeda pendapat mengenai batasan dan definisi mashlahah. Tetapi pada tataran substansi, mereka boleh dibilang sampai pada satu kesimpulan bahwa mashlahah adalah suatu kondisi dari upaya untuk mendatangkan sesuatu yang berdampak positif (manfaat) serta menghindarkan diri dari hal-hal yang berdimensi negatif (madharat). Asy-Syathibi (w. 790 H.) dalam karyanya, al-Muwafaqat, menjelaskan bahwa "disyariatkannya ajaran Islam tidak lain hanyalah untuk memelihara kemashlahatan umat manusia di dunia dan di akhirat."[19]
Sedangkan mi'yar atau tolak ukur mashlahah dalam Islam –menurut al-Ghazali (w. 505 H.), sebagaimana dikutip oleh Dr. Abu Yasid– tidak dapat dikembalikan kepada penilaian manusia ansich. Sebab penilaian manusia amat rentan akan pengaruh dorongan nafsu insaniyah. Sebaliknya, tolak ukur mashlahah harus dikembalikan kepada kehendak atau tujuan syariat (maqashidu asy-syari'ah) yang pada intinya terangkum dalam al-Mabadi`u al-Khamsah. Yaitu perlindungan terhadap agama (hifzhu ad-din), perlindungan terhadap jiwa (hifzhu an-nafs), perlindungan terhadap akal pikiran (hifzhu al-'aql) perlindungan terhadap keturunan (hifzhu an-nasl), dan perlindungan terhadap harta benda. Maka, segala hal yang mengandung unsur perlindungan terhadap lima hal di atas, disebut mashlahah. Sebaliknya, semua yang menafikannya bisa disebut mafsadat (kebalikan mashlahah).[20]
Kesimpulan dan Penutup
Hukum-hukum dalam persoalan ekonomi tidak akan diakui eksistensinya menurut Syara' kecuali jika bersumber kepada salah satu dari keempat hal ini: al-Qur`an, as-Sunnah, al-Ijma', dan al-Mashlahah. Jika ada suatu persoalan ekonomi, ternyata bertentangan dengan salah satu dari keempatnya, maka persoalan itu dinyatakan batal demi Syari'at. Wallahu a'lam bish shawab.



[1] DR.Yusuf Qardhawiy dalam Al-Khashaish al-'Ammah li al-Islam (edisi Indonesia: KARAKTERISTIK ISLAM; Kajian Analitik, Risalah Gusti-Surabaya) menyebutkan ada tujuh karakteristik agama Islam; yaitu: Rabbaniyah (Ketuhanan), Insaniyah (Kemanusiaan), Syumul (Universal), al-Wasathiyah (Moderat), al-Waqi'iyah (Kontekstual), al-Wudhuh (Jelas), dan menyatukan antara Tathawwur (Transformatif) dan Tsabat (Konsistensi). Tentang Rabbaniyah bisa dibaca mulai halaman 1, tentang Syumul (Universal) bisa dibaca mulai halaman 117, dan tentang al-Waqi'iyah (Kontekstual) bisa dibaca mulai halaman 177.
[2] Diterjemahkan secara bebas dari definisi ilmu Ushulfiqh oleh 'Abdulwahhab Khallaf. Lihat: Ilmu Ushul al-Fiqh, 'Abdul Wahhab Khallaf, Darul Hadits-Kairo, halaman 12.
[3] Al-Qiyas tidak termasuk kategori sumber hukum karena sejatinya al-Qiyas adalah metode Istimbathul Ahkam atau metode pengambilan kesimpulan hukum. Kita sudah bisa memahaminya hanya dengan membaca definisinya.
[4] Tafsiru Ayatil Ahkam, Muhammad 'Ali ash Shabuniy dan Al-Itqan fi 'Ulumil Qur`an, Jalaluddin as-Suyuthiy, I/ 76.
[5] 'Abdul Wahhab Khallaf, Op.Cit, hlm 32
[6] Abu al-Fida'a Ismail bin Umar bin Katsir al-Quraisyi, Tafsir al-Qur'an al-Adhim, Juz II, hlm 268
[7] Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayyan, Tafsir al-Bahru al-Muhith, juz III, hlm 95.
[8] Terjemahan bebas dari definisi as-Sunnah oleh 'Abdulwahhab Khallaf dalam Ilmu Ushulul Fiqh, halaman 40.
[9] Jalaluddin Abu al-Fadhol Abdurrahman bin Abi Bakr, Syarh Al-Kawakib As-Sati' Fi Nadhom Jam'ul Jawami', (mekkah al-Mukarramah, Maktabah Nizar Mushthofa al-Bazi), juz I, hlm 286-288
[10] Terjemahan bebas dari definisi hadits shahih oleh Ibnu Katsir dalam al-Ba'itsul Hatsits, juz 1 halaman 1.
[11] Sayyid Muhammad Syatho ad-Dimyathi, I'anah Thalibin, juz 3, hlm 35
[12] Hadits ini disabdakan oleh nabi saw ketika beliau melewati pasar dengan melihat tumpukan makanan dan beliau pun memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan tersebut, lalu beliau merasakan jari-jarinya basah. Melihat fenomena ini beliau bertanya kepada penjual makanan "Apa Ini?". Perjual itu menjawab: "Makananku telah terkena hujan ya Rasulullah", lalu nabi bersabda: mengapa engkau tidak meletakkan makanan yang basah ini diatas makanan yang lain supaya manusia dapat melihat secara jelas dan barang siapa yang melakukan penipuan maka orang tersebut bukan termasuk golongan kami. (baca hadits Shahih Muslim, juz I, hlm 265) 
[13] Baca musnad Imam Ahmad, juz 30, hlm 13.
[14] Baca kitab Shahih Bukhari, juz 7, hlm 492
[15]  'Abdul wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Penterjamah, faiz el muttaqin S.Ag), halaman 50.
[16] Ibid
[17] Jalaluddin Abu al-Fadhol Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, Syarh Al-Kawakib As-Sati' Fi Nadhom Jam'ul Jawami', Juz I, hlm 357
[18] Abdul wahab khalaf, op.cit hal, 45-46
[19] Islam Akomodatif, DR. Abu Yasid, LL.M, halaman 75.
[20] Islam Akomodatif, halaman 77-78.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id