Sabtu, 29 Juni 2013

TUJUAN SYARI'AT VERSI IMAM GHAZALI

KONSEP MAQASHID ASY-SYARI’AH AL-GHAZALI
HANIF ASYHAR

A.    Biografi al-Ghazali
Al-Ghazali (Tus, 450 H/ 1058 M-505 H/ 1111 M). faqih, teolog, filusuf, dan Sufi. Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin at-Thusi al-Ghazali. Ia lahir di desa Ghazalah, di Thus, sebuah kota di persia dari keluarga yang relegius. Ayahnya, Muhammad, diluar kesibukannnya sebagai seorang pemintal dan pedagang kain wol, senantiasa menghadiri majlis-majlis yang diselenggarakan oleh para ulama. Al-Ghazali mempunyai saudara laki-laki yang bernama abu al-futuh Ahmad bin Muhammad bin Ahmad at-Thusi al-Ghazali, yang dikenal dengan julukan Majduddin (w. 520 H). Keduanya menjadi ulama’ besar. Hanya saja Majduddin lebih cenderung kepada kegiatan dakwah dibanding al-Ghazali yang menjadi penulis dan pemikir
Pendidikan al-Ghazali di masa kanak-kanak berlangsung dikampung halamannya. Setelah ayahnya wafat, ia dan saudaranya dididik oleh seorang sufi yang mendapat wasiat dari ayahnya untuk mengasuh mereka, yakni Ahmad bin Muhammad ar-Razikani at-Thusi, ahli fiqih dan tasawuf dari thus. Mula-mula sufi ini mendidik mereka secara langsung, namun setelah harta mereka habis, sedangkan sang sufi sendiri adalah orang miskin, mereka dimasukkan ke sebuah madrasah di Thus (Nama madrasah ini tidak pernah disebut oleh al-Ghazali maupun para penulis biografinya). Madrasah ini memberi pakaian dan makanan secara cuma-cuma kepada para pelajarnya. Santunan dan fasilitas yang disediakan madrasah ini sempat menjadi tujuan al-Ghazali dalam menuntut ilmu. Kemudian sufi itu menyadarkan al-Ghazali bahwa tujuan mencari ilmu bukanlah untuk mencari kehidupan dunia, melainkan semata-mata untuk mencari keridlaan Allah SWT dan dimadrasah inilah al-Ghazali mulai belajar fiqih.
Setelah mempelajari dasar-dasar ilmu fiqih di kampung halamannya, ia merantau ke jurjan, sebuah kota di persia yang terletak antara kota Tabaristan dan Naisabur. Di Jurjan ia memperluas wawasan ilmu fiqih dengan berguru kepada seorang faqih yang bernama Abu Qasim Isma’il bin Mus’idah al-Isma’il (imam Abu Nasr al-Isma’ili)
Setelah kembali ke Thus, al-Ghazali berangkat lagi ke Naisabur. Disana ia belajar kepada Abu al-Ma’ali al-Juwaini dalam ilmu fiqih, ilmu mujadalah, ilmu mantiq, filsafat, dan ilmu kalam.
Sementara itu, al-Ghazali juga belajar tasawuf kepada dua orang sufi, yaitu imam Yusuf an-Nassaj dan imam Abu Ali al-Fadl bin Muhammad bin Ali al-Farmazi at-Thusi. Ia juga belajar hadits kepada ulama ahli hadits, seperti Abu Sahal Muhammad bin Ahmad al-Hafsi al-Mawarzi, Abu al-Fath Nasr bin Ali bin Ahmad al-Hakimi at-Thusi, Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad al-Khuwari, Muhammad bin Yahya bin Muhammad as-Sujja’i az-Zaujani, al-Hafidz Abu Fityan Umar bin Abi al-Hasan ar-Ru’asi ad-Dahistani, dan Nasr bin Ibrahim al-Maqdisi.
Setelah al-Juwaini meninggal dunia, al-Ghazali mengunjungi kediaman seorang menteri pada masa pemerintahan sultan ‘Adud ad-Daulah al-Arsalan (455 H/1063 M-465 H/1072 M) dan Jalal ad-Daulah al-Malik Syah (465 H/1072 M-485 H/1092 M) dari dinasti Salajikah di al-‘Askar sebuah kota di Persia. Kediaman menteri ini merupakan sebuah majlis pengajian, tempat ulama bertukar pikiran. Menteri kagum terhadap pandangan-pandangan al-Ghazali sehingga ia diminta untuk mengajar di madrasah Nidlamiyah Baghdad yang didirikan oleh sang menteri sendiri. Al-Ghazali mengajar di Baghdad pada tahun 484 H.
Empat tahun kemudian ia meninggalkan Baghdad untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian ia pergi ke Damaskus, dan ber-i’itikaf  di masjid Umawi. Di sinilah ia hidup sebagai seorang zahid yang mendalami suasana batin, meninggalkan kemewahan dunia, dan menyucikan diri dari dosa. Setelah itu, ia kembali ke Baghdad untuk meneruskan kegiatan mengajarnya, selanjutnya ia berangkat ke Naisabur dan ke kampung halamannya.  
B.    Karya-karya Ilmiah al-Ghazali
Sebagai tokoh intelektual, al-Ghazali sangat intensif di bidang tulis menulis, ini dapat kita lihat karya-karya yang ia hasilkan sebagaimana berikut:
1.    Tentang akhlaq dan tasawuf: Ihya’ Ulum ad-Din (menghidupkan ilmu-ilmu agama), Minhaj al-‘Abidin (jalan orang-orang yang beribadah), Kimiya’ as-Sa’adah (kimia kebahagiaan), al-Munqiz min ad-Dlalal (penyelamat bagi kesesatan), Akhlaq al-Abrar wa an-Najah min al-Asyrar (akhlaq oranq-orang yang baik dan keselamtan dari kejahatan), Misykah al-Anwar (sumber cahaya), Asrar ilm ad-Din (rahasia ilmu agama), al-Durar al-Fakhirah fi Kasyf ‘Ulum al-Akhirah (mutia-mutiara yang megah dalam menyingkap ilmu-ilmu akhirat), al-Qurbah ila Allah ‘azza wajalla (mendekatkan diri kepada allah yang maha mulia dan maha agung);
2.    Tentang fiqih: al-Basith (yang sederhana), al-Wasith (yang pertengahan), al-Wajiz (yang ringkas), az-Zari’ah ila Makarim asy-Syari’ah (jalan menuju syari’at mulia), dan at-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk (batang logam mulia: uraian tentang nasihat kepada para raja).
3.    Tentang ushul al-fiqih: al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul (pilhan yang tersaring dari noda-noda ushul), Syifa’ al-Ghalil fi Bayan asy-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik at-Ta’lil (obat orang yang dengki: tentang hal-hal yang samar serta cara-cara peng-‘ilat-an), Tahdzib al-Ushul (elaborasi terhadap ilmu ushul al-fiqih), dan al-Mushtasfa min ‘Ilm al-Ushul (pilihan dari ilmu ushul al-fiqih).
4.    Tentang filsafat: Maqashid al-Falasifah (tujuan para filosof), Tahafut al-Falasifah (kekacauan para filosof), Mizan al-‘Amal (timbangan amal).
5.    Tentang ilmu kalam: al-Iqtishad fi al-‘Itiqad (kesederhanaan dalam ‘itiqad), Faisal at-Tafriqah bain al-Islam wa az-Zandaqah (garis pemisah antara Islam dan kezindikan), dan al-Qistas al-Mustaqim (timbangan yang lurus)
6.    Tentang ilmu al-Qur’an: Jawahir al-Qur’an (mutiara-mutiara al-Qur’an), Yaqut at-Ta’wil fi at-Tafsir at-Tanzil (permata takwil dalam menafsirkan al-Qur’an).
C.    Potret Intelektualitas al-Ghazali
Al-Ghazali merupakan tokoh intelektual yang menguasai berbagai pengetahuan yang meliputi: al-fiqh, ushul al-fiqih, tasawuf, filsafat, politik. Ini terbukti dengan adanya beberapa karya tulis sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.
Dalam bidang fiqih khususnya yang terkait dengan politik (al-fiqh as-Siyasi). Al-Ghazali berpendapat bahwa pengangkatan pemimpin dalam hal ini adalah kepala Negara merupakan suatu keharusan bagi agama. Menurutnya, bahwa tujuan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan materiil dan duniawi saja, lebih dari itu, yaitu untuk mempersiapkan kehidupan yang bahagia di akhirat. Persiapan itu harus dilakukan melalui pengalaman dan penghayatan terhadap ajaran agama secara tepat dan benar. Pengalaman dan persiapan itu dapat dicapai apabila dunia dalam keadaan tertib, aman, dan tentram. Maka untuk mewujudkan ketertiban, keamanan, dan suasana yang tentram tersebut diperlukan pemimpin atau kepala negara yang  mengaturnya.
Selanjutnya al-Ghazali berpendapat bahwa kerajaan merupakan anugerah Allah SWT yang diberikan kepada hamba-Nya yang dikehendaki.  Pendapat ini didasarkan atas firman Allah SWT surat Ali Imran (3) ayat 26:
“Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Ini berarti kerajaan atau kekuasaan kepala Negara merupakan mandat yang diberikan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya yang ia kehendaki. Karenanya, kekuasaan kepala Negara adalah suci, dan menjadi wajib bagi rakyat untuk mentaati serta melaksanakan perintahnya, dengan syarat perintah tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan Allah SWT.  Hal ini didasarkan oleh firman Allah SWT surat an-Nisa’ (4) ayat 59:
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.  kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Dari pendapat al-Ghazali tersebut, ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh pemimpin atau kepala negara, ini dimaksudkan untuk menjaga tindakan kesewenang-wenangan pemimpin atau kepala negara terhadap rakyatnya. Dalam hal ini al-Ghazali mengemukakan sepuluh persyaratan yang harus dimiliki oleh pemimpin atau kepala negara, sepuluh persyaratan itu antara lain: (1) Kepala negara harus Aqil-Baliqh; (2) Berakal sehat; (3) Merdeka, bukan Budak; (4) Laki-laki; (5) Keturunan dari suku Quraisy; (6) Memiliki pendengaran dan penglihatan yang sehat; (7) Memiliki kekuasaan yang nyata, dalam arti memiliki aparat pemerintahan yang memadai, termasuk angkatan bersenjata yang tangguh sehingga dapat digunakan untuk menumpas para pemberontak; (8) Memiliki intelektualitas yang sempurna, serta ditunjang dengan kesediaan bermusyawarah, mendengarkan pendapat serta nasihat orang lain; (9) Memiliki ilmu pengetahuan; dan (10) Memiliki sifat wara’.
Selain sebagai al-Faqih (ahli dalam bidang fiqih), ia juga ahli dalam bidang tasawuf (sufi). Dalam kaitan ini, al-Ghazali berpendapat bahwa dalam persoalan ibadah, kita tidak cukup hanya memperhatikan aspek-aspek dlahir saja, tetapi juga harus memperhatikan aspek bathin. Dalam persoalan ibadah, pengkajian al-Ghazali menembus sampai pada aspek-aspek spiritual serta mendalami berbagai rahasia dan hikmahnya. Misalnya dalam persoalan thaharah, menurutnya, thaharah bukan hanya sekedar bersuci dari hadats, yang secara hukum dipandang kotor oleh syara’, ”Khabits” yang secara materiil dipandang kotor oleh syara’. Dalam term ini al-Ghazali membagi tingkatan thaharah menjadi empat: (1)  Penyucian diri dari noda-noda dlahir meliputi hadats dan khabats, (2) Penyucian diri dari dosa dan kesalahan, (3) Penyucian hati dari akhlaq-akhlaq madzmumah (tercela); (4) Penyucian Sirr dari selain Allah SWT.
Contoh lain, dalam persoalan khusyu’ al-Ghazali mengartikannya:“ suasana hati yang membuat seseorang sadar akan ucapan dan perbuatan dalam melakukan sesuatu.  Dengan demikian, khusyu’ sama az-dzikr (ingat) dan lawannya adalah al-ghaflah (lalai). Menurutnya, khusyu’ merupakan syarat sahnya shalat. Ia mendasarkan pada firman Allah SWT surat Thaha (20) ayat 14:    
“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.”

Dan juga mendasarkan pada firman allah swt. Surat al-’araf(7) ayat 205:
”dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang lalai.”

Menurut al-Ghazali, bentuk (Amar) perintah pada ayat pertama menunjukkan bahwa khusyu’ didalam shalat adalah wajib dan bentuk (Nahi) larangan yang terdapat pada ayat kedua menunjukkan bahwa (Ghaflah) lalai dalam shalat adalah haram. Ia menambahkan argumentasinya, bahwa suasana dalam shalat merupakan munajat kepada Allah SWT dengan sepenuh hati. Seperti ketika mengucapkan surat al-fatihah (1) ayat 6.
” Tunjukilah kami jalan yang lurus,”
Apabila ayat tersebut tidak diucapkan dengan khusyu’ maka tidak disebut do’a, tetapi hanya dianggap sebagai kata-kata yang mengalir dari mulut secara sia-sia.
Pemikiran al-Ghazali dalam bidang ushul al-fiqih dapat dilihat dalam persoalan Qiyas. Dalam pembahasannya ia menjelaskan secara luas mengenai Qiyas bahkan ia menulis kitab yang berjudul: Syifa’ al-Ghalil fi Bayan asy-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik at-Ta’lil (obat orang yang dengki: tentang hal-hal yang samar serta cara-cara peng-‘ilat-an), dalam kitab ini, al-Ghazali banyak menguraikan tentang Qiyas beserta contoh-contoh praktis, bahkan untuk menambah urainnya, al-Ghazali banyak membuat contoh imajiner (al-mauhumah): ia menghayalkan seakan-akan ada orang lain yang membantah pendapatnya, lalu ia menjawabnya sendiri.
Contohnya, al-Ghazali mengemukakan kaidah bahwa ”illat hukum dapat ditetapkan dengan adanya isyarat yang ada dalam nash (al-Qur’an maupun Hadits). Seperti dalam firman Allah SWT surat al-Ma’idah (5) ayat 6:
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

Huruf Fa’ dalam ayat ini berarti mengiringi suatu perbuatan dalam wudlu’( membasuh wajah.......). menurut al-Ghazali, ’illat yang menyebabkan seseorang harus wudlu’ adalah shalat. Lalu, ia mengemukakan dialog imajinernya sebagaimana berikut. Umpamanya ada orang berkata, ”anda mengatakan bahwa surat al-Ma’idah (5) ayat 6 menunjukkan bahwa shalat menjadi ’illat yang menyebabkan perbuatan berwudlu’, padahal ijma’ menetapkan bahwa hal yang menyebabkan wajibnya wudlu’ adalah hadats; dan apabila seseorang akan melaksanakan shalat, sedangkan ia telah berwudlu’ dan tidak berhadats, ia tidak wajib berwudlu’. Kemudian al-Ghazali menjawab; ”wudlu diwajibkan karena akan melakukan shalat. Oleh sebab itu, orang yang berhadats tidak wajib berwudlu’ kalau ia tidak hendak melaksanakan shalat. Dengan demikian shalat merupakan ’illat yang menyebabkan seseorang wajib berwudlu’. 
D.    Konsepsi Maqashid asy-Syari’ah al-Ghazali
1.    Pemaknaan maqashid asy-syari’ah
Dalam sketsa Ilmu ushul al-fiqih, al-Ghazali banyak memberikan kesan mengenai maqashid asy-syari’ah. Menurutnya, maqahid asy-syari’ah harus selalu mengacu kepada teks syara’ (al-Qur’an, al-Hadits, dan Ijma’).
Deskripsi di atas sangat jelas bahwa dalil syara’ menurut al-Ghzali ada tiga: (1) al-Kitab (al-Qur’an), (2) as-Sunnah/al-Hadits, dan al-Ijma’. Sedangkan selain tiga tersebut, dalam kitab al-mustashfa al-Ghazali memberi istilah al-Ushul al-Mauhumah (dalil-dalil bayangan), yaitu Syar’u man Qablana , Qaul ash-Shahabat , al-Istihsan , dan al-Istishlah atau Mashlahah.
Pada pembahasan selanjutnya al-Ghazali membagi mashlahah, dimana kemashlahatan merupakan tujuan syari’ dalam pensyari’atan. Menurutnya,  mashlahah dari segi penilaian syari’ terhadap eksistensi mashlahah menjadi tiga:
2.    Al-Mashlahah al-Mu’tabarah atau dalam istilah al-Ghazali Syahida Asy-Syar’u Li’tibariha, yaitu kemashlahatan yang diakui keberadaanya oleh syara’. Menurutnya, mashlahah ini dapat diperoleh dengan metode Qiyas, artinya menggali hukum berdasarkan rasionalitas nash dan ijma’. Seperti pengharaman segala bentuk minuman yang memabukkan dengan cara di-Qiyas-kan pada khamr yang telah di-nashs-kan oleh al-Qur’an. Hukum haram ini terdapat nilai mashlahah, yaitu untuk memelihara akal .
3.    Al-Mashlahah al-Mulgha atau dalam istilah al-Ghazali Maa syahida asy-syar’u li buthlanihi. mashlahah ini biasanya terjadi kontradiktif dengan Nash, baik al-Qur’an maupun Hadits atau Ijma’. Al-Ghazali mencontohkan, menurut pendapat sebagian ulama’: ”apabila seorang raja menggauli istrinya pada siang hari di bulan ramadlan maka ia dikenakan denda kafarat puasa dua bulan berturut-turut sebagai ganti dari denda memerdekakan budak. Pertimbangannya adalah seorang raja tidak akan jera jika hanya dengan memerdekakan budak. Hal ini karena seorang raja akan dengan mudah membayar denda tersebut. Oleh karenanya, akan lebih mashlahah jika seorang raja di denda dengan puasa dua bulan berturut-turut.
Bentuk kemashlahatan seperti di atas tidak dapat diakui oleh syara’, sebab ada unsur kontradiksi dengan nash yang secara jelas nash itu memuat hirarki kafarat pada kasus ini. Dengan demikian, sang raja tetap dibebani hukuman kafarat sesuai dengan urutan yang ada dalam Nash, yaitu memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin.
4.    Mashlahah yang didiamkan syara’ (al-mashlahah al-mursalah) atau dalam istilah al-Ghazali Maa lam yasyhad lahu min asy-syar’i bi al-buthlani wala bi al-’Itibari, dalam wujud tidak adanya pengakuan maupun pembatalan dari syari’. Seperti pengumpulan dan pembukuan kitab suci al-Qur’an.  
Sedangkan mashlahah dari segi real power atau kualitas yang dimilikinya, al-Ghazali membagi menjadi tiga tingkatan: (1) ar-Rutbah adl-Dlaruriyah, (2) ar-Rutbah al-Hajjiyah, dan (3) ar-Rutbah at-Tahsiniyah dan at-Tazyinaat.
1.    Adl-Dlaruriyah dideskripsikan sebagai sebuah bangunan primer kehidupan manusia yang sangat menentukan bagi kesejahteraannya. Terjaminnya aspek ini berarti terjaminnya manusia akan kesejahteraan di dunia dan di akhirat, sebaliknya jika aspek ini tidak terjaga dengan baik, maka kehidupan manusia dalam pandangan syari’at akan menjadi kacau. Kemashlahatan yang harus dipelihara oleh manusia terbagi menjadi lima atau dikenal dengan istilah mabadi’ al-khamsah, yaitu perlindungan tehadap agama (hifzh ad-din), perlindungan terhadap jiwa (hifzd an-Nafs), perlindungan terhadap akal (hifzh al-’Aql), perlindungan terhadap keturunan (hifzh an-Nasl), dan perlindungan terhadap harta (hifzh al-Mal). Dari semua aktifitas yang mengandung lima macam di atas disebut sebagai mashlahah. Sebaliknya, semua yang bertentangan dengan lima macam di atas adalah mafsadah.
2.    Hajjiyah merupakan mashlahah bentuk kedua yang sifatnya sekunder, artinya keberadaannya dimaksudkan untuk menghilangkan kesukaran dan kesulitan serta memberikan kemudahan bagi mukallaf, artinya ketiadaan kemashlahatan ini tidak sampai mempengaruhi stabilitas kehidupan manusia dalam mewujudkan kemashlahatan yang diinginkan oleh syari’.
3.    Tahsiniyyah atau Tazyinaat merupakan bentuk mashlahah ketiga dan merupakan kebutuhan tersier (pelengkap), yang berarti mengambil tindakan yang lebih baik dalam rangka mewujudkan lima unsur tersebut dan menjauhi hal-hal yang tidak disukai oleh orang-orang bijak.
4.    Memahami maqashid asy-syari’ah
Dalam kaitannya dengan upaya untuk memahami maqashid asy-syari’ah, al-Ghazali berpendapat bahwa ” maqashid asy-syari’ah merupakan sesuatu yang abstrak, tidak dapat diketahui melalui tuntunan petunjuk Tuhan dalam bentuk lahir teks yang jelas tanpa memperhatikan upaya riset terhadap fakta dan realitas, pemahaman maqashid asy-syari’ah sepenuhnya berada dalam otoritas teks wahyu. Dalam persoalan ini, al-Ghazali dapat dikatakan sebagai kaum skriptualis atau kaum tekstualis, karena yang menjadi pedoman baginya bukanlah gagasan yang menjadi spirit untuk menjiwai teks, melainkan teks itu sendiri yang menjadi pijakan.
Penilaian ini didasarkan pada ungkapan al-Ghazali dalam sebuah statemennya, sebagaimana berikut:
“ Setiap kemashlahatan yang tidak berpijak pada pemeliharaan terhadap maqashid yang dipahami dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma,’ sedangkan kemashlahatan tersebut merupakan kemashlahatan yang gharibah, yaitu tidak sesuai dengan kehendak syari’, maka hal itu menjadi batil yang tidak berguna. Barangsiapa yang berpegang pada kemashlahatan itu, maka ia dianggap telah membuat syari’at, sebagaimana orang yang ber-istihsan maka ia juga dianggap telah membuat syari’at. Dan setiap kemashlahatan yang berpijak pada pemeliharaan terhadap maqashid asy-syari’ah yang ditetapkan berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’, maka tidak di anggap keluar dari konsep dasar ini, tetapi hal itu bukan dinamakan qiyas melainkan mashlahah mursalah,”


0 komentar:

Posting Komentar

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id