Sabtu, 29 Juni 2013

HUKUM ISLAM DAN TUJUAN SYARI'AT ISLAM

HUKUM ISLAM DAN MAQASHID ASY-SYARI’AH
HANIF ASYHAR

A.    Sejarah Hukum Islam
Secara historis, para mu’arrikh Islam berbeda pendapat mengenai periodisasi hukum Islam. Tetapi pada tataran substansi, mereka boleh dibilang sampai pada satu kesimpulan bahwa sacara sosiologis hukum Islam mengalami stratifikasi yang dimulai sejak sepeninggalnya Rasulullah SAW.
Pada kesempatan ini, penulis akan mengemukakan periodisasi sejarah pembentukan hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf. Menurutnya, periodisasi hukum Islam terbagi menjadi tiga bagian.
Bagian pertama, masa kenabian Muhammad SAW. Pada fase ini ajaran-ajaran  Rasulullah SAW meliputi ajaran ‘Aqidah, Akhlaq, dan hukum-hukum yang bersifat ‘Amaliyah, yang seluruhnya terbentuk dari nash al-Qur’an. Sedangkan hukum yang keluar dari  Rasulullah SAW antara lain fatwa atas suatu kejadian, keputusan terhadap suatu perselisihan, atau jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sahabat mengenai suatu peristiwa, sehingga sumber hukum Islam pada masa ini adalah al-Qur’an dan al-Hadits.
Bagian kedua adalah masa sahabat, yang dimulai dengan putusnya wahyu sejak meninggalnya Rasulullah SAW. Pada fase ini para sahabat banyak menemui persoalan-persoalan yang belum ada dalam nash (al-Qur’an dan al-Hadits), dengan demikian kebijakan sahabat menjadi prioritas dalam menyelesaikan berbagai problem tersebut. Pada fase ini banyak para sahabat yang melakukan ijtihad, memutuskan suatu perkara, memberikan fatwa, menetapkan hukum syari’at, dan menyandarkan hukum-hukum pada periode pertama sesuai dengan hasil ijtihadnya. Fase ini hukum Islam bersumber pada hukum Allah SWT, Rasul-Nya, serta fatwa sahabat dan keputusannya, atau dengan kata lain, sumber hukum mengacu pada al-Qur’an, al-Hadits, dan Ijtihad sahabat.
Pada masa ini pembukuan dan penetapan terhadap hukum belum bersifat  legalistik, tetapi penetapannya hanya didasarkan pada kasus yang terjadi pada saat itu dan merupakan bentuk konsekuensi dari suatu perbuatan. Hukum yang ada pun masih  belum menjadi disiplin ilmu dan sahabat yang ahli dibidang hukum tidak disebut al-Faqih.
Bagian ketiga adalah masa tabi’in, tabi’u at-tabi’in, dan para imam-imam mujtahid (abad kedua dan ketiga hijriyyah). Pada masa ini kekuasaan Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat dan banyak orang-orang selain Arab memeluk agama Islam. Sehingga umat Islam menghadapi persoalan-persoalan baru, berupa berbagai kesulitan, bahasan, pandangan, dan perubahan peradapan serta pemikiran, yang kesemuanya mendorong para mujtahid untuk memperluas wilayah ijtihad dan penetapan hukum syara’ atas kejadian-kejadian tersebut, serta membuka lebar pintu pembahasan dan pandangan baru bagi mereka. Maka medan ijtihad dalam menetapkan hukum fiqih semakin luas.
Pada masa ini, hukum fiqih terdiri dari al-Qur’an, al-Hadits, fatwa dan keputusan-keputusan sahabat atas suatu persoalan, serta fatwa para ulama mujtahid dan istinbath-nya, yang didasarkan pada al-Qur’an, dan as-Sunnah. Pada masa ini, pembukuan mengenai hukum-hukum syara’ sudah dimulai, dan seiring dengan pembukuan hadits. Hukum-hukum tersebut sudah menjadi disiplin ilmu dan orang yang ahli dibidangnya disebut al-faqih, serta disiplin ilmunya disebut ilmu fiqih. 
B.    Prinsip-prinsip Hukum Islam
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para pakar hukum Islam, bahwa dalam ajaran  Islam mempunyai beberapa prinsip yang ingin dicapai dalam rangka mewujudkan kebahagiaan bagi manusia di dunia dan akhirat. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1.    Menegakkan Kemashlahatan (Tahqiq Al-Mashalih)
Mashlahah merupakan dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam ajaran Islam. Ia mempunyai dasar pijakan yang kuat dalam al-Qur’an, sebagaimana firman Allah SWT surat al-Anbiyaa’ (21) ayat 107:
”Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Manurut Jumhur ulama, Rasulullah SAW tidak akan menjadi ”rahmat” jika bukan dalam rangka untuk menciptakan kemashlahatan umat manusia.  Ayat-ayat al-Qur’an dan al--Hadits Nabi saw seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemashlahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan mashlahat terhadap hukum-hukum lain yang juga mengandung kemashlahatan adalah legal.
2.    Menegakkan Keadilan (Tahqiq Al-’Adalah)
Dalam syari’at Islam, Allah SWT tidak membedakan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, antara satu suku dengan suku lain, antara individu dengan yang lainnya. Allah SWT menyamaratakan antara sesama Islam dengan yang selain Islam, berdasarkan prinsip persamaan dan keadilan yang sudah ditetapkan oleh nash. Perbedaan mereka hanya terletak pada kadar keimanan dan ketaqwaan. Sebagiamana firman Allah SWT surat al-Hujuraat (49) ayat 13:
”Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ayat di atas menjelaskan, bahwa manusia mempunyai derajat yang sama dari suku mana pun, yang membedakan adalah kadar ketaqwaannya kepada Allah SWT. Sehingga disini sangat jelas bahwa hukum Islam menghendaki adanya persamaan hak, tentunya hak ini sesuai dengan kodrat manusia, perempuan menjalankan haknya sebagai perempuan demikian pula laki-laki. Karena jika tidak menjalankan sesuai dengan kodratnya maka hal ini akan bertentangan dengan konsep dlalim, padahal hukum Islam melarang untuk berbuat dlalim.
3.    Prinsip Elastisitas (’Adam Al-Haraj)
Menurut ahli tafsir, karena Nabi Muhammad SAW adalah  Nabi dan Rasul penutup dari semua Nabi-nabi dan Rasul,  maka tidak ada lagi Nabi dan Rasul sesudahnya, sehingga pantas jika hukum yang dibawanya bersifat elastis yang dapat menampung semua problematika kehidupan pada setiap masa dan tempat (shalih fi kulli az-Zaman wa al-Makan).
Nabi Muhammad SAW merupakan Nabi dan Rasul terakhir yang tidak ada lagi sesudahnya. Sebagaimana firman Allah SWT surat al-Ahzab (33) ayat 40:
”Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

Sedangkan dalil yang melegimitasi bahwa syari’at Islam bersifat elastis  adalah sebagaimana firman Allah SWT surat an-Nisa’(4) ayat 28:
”Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”

Dan firman Allah SWT al-’Araaf (7) ayat 107:
 “…Dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka…”

Dan juga firman Allah SWT surat al-Hajj ayat 78:

”...Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan...”.

Seandainya hukum Islam tidak bersifat elastis, tentu tidak mampu menjawab problematika yang selalu berubah seirama dengan perkembangan zaman ini. Dengan demikian sikap seperti itu berarti membiarkan masyarakat hidup dalam keadaan kacau tanpa aturan agama yang akhirnya membawa kepada kehancuran umat manusia, ini tidak sesuai dengan misi agungnya, yakni sebagi rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana firman Allah SWT surat al-Anbiyaa’ (21) ayat 107.
Elastisitas hukum Islam juga tercermin dalam aktifitas ijihad ulama’ fiqih dan ushul al-fiqih, cerminan elastisitas hukum Islam menurut ulama tersebut ada tujuh,  antara lain:
a.    Tahfif al-isqath. Yaitu keringanan untuk menggugurkan ibadah wajib, seperti diperbolehkan meninggalkan shalat jum’at bagi mukalaf dan diganti dengan shalat dluhur karena ada udzur, gugurnya kewajiban haji karena ada beberapa hal yang menghalangi.
b.    Tahfif Tanqish. Yaitu keringanan untuk mengurangi beban yang telah ditentukan syara’, seperti meng-Qashar shalat bagi mukallaf yang sedang musafir
c.    Tahfif al-Ibdal. Yaitu keringanan untuk menukar antara kewajiban yang satu dengan yang lain, seperti kewajiban wudlu diganti dengan tayamum
d.    Tahfif at-Taqdim. Yaitu keringanan untuk mendahulukan kewajiban sebelum tiba waktu yang telah ditentukan, seperti mendahulukan dalam mengeluarkan zakat mal (harta benda) sebelum satu tahun.
e.    Tahfif at-Ta’khir. Yaitu boleh menangguhkan kewajiban dan diganti pada waktu lain, seperti diperbolehkan tidak puasa bagi mukallaf pada bulan ramadlan karena ada udzur dan  diganti diluar bulan ramadlan.
f.    Tahfif at-Tarkhish. Yaitu keringanan sebagai bentuk dispensasi seperti diperbolekan memakan binatang yang haram karena terpaksa, andaikan tidak makan ia akan mati.
g.    Tahfif at-Taghyir. Yaitu keringanan untuk merubah aturan yang sudah ditentukan oleh syara’ seperti diperbolehkan merubah susunan shalat ketika situasi tidak mengizinkan.
4.    Minimalitas Beban Hukum (Taqlil At-Takalif)
Prinsip ini berorientasi pada penentuan sikap mukallaf dalam menjalankan syari’at Islam, yaitu sikap tidak boleh mengurangi atau melebihkan kewajiban dalam pelaksanaan agama. Hukum yang ada dalam nash baik al-Qur’an maupun al-Hadits, tidak menuntut seorang mukallaf untuk melaksanakan suatu perintah melebihi dari kemampuan manusia, sekalipun secara akal dianggap suatu hal yang wajar. 
Dari sini dapat kami asumsikan, bahwa hukum Allah SWT yang dibebankan kepada manusia tidak lebih dari kemampuan yang dimilikinya. Sebagaimana firman Allah SWT surat al-Baqarah (2) ayat 286:
”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."

Manusia juga dituntut oleh Allah SWT untuk tidak bertanya kepada hal-hal yang tidak perlu, karena hal ini justeru akan menyulitkan bagi manusia sendiri. Dalam persoalan ini Allah SWT berfirman surat al-Maa-idah (5) ayat 101:
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”

Ayat ini mengajarkan sopan santun bagi orang-orang mukmin, agar tidak menanyakan hal-hal yang belum diterangkan hukumnya pada saat wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang pada akhirnya akan mempersulit bagi manusia sendiri. Dan juga melarang untuk menanyakan hal-hal yang tidak memberikan faedah bagi manusia.
5.    Gradualitas Dalam Legislasi Hukum (At-Tadrij Fi At-Tasyri’)
Ibnu khaldun dan hukama  berpendapat bahwa karakteristik manusia adalah sosialis.  Ia mempunyai kemampuan secara mandiri untuk berkreasi sesuai dengan potensi (fithrah) yang ia miliki. Karakteristik tersebut membuat manusia akan selalu berubah dan berkembang sesuai dengan kehidupan sekitarnya. Untuk menghadapi lajunya perkembangan inilah sangat membutuhkan prosedur dalam memberlakukan aturan sebagai bentuk responsip terhadap fenomena yang dihadapi masyarakat.
Dalam al-Qur’an sendiri Allah SWT tidak an sich menghukumi sesuatu yang berkenaan dengan mukallaf, melainkan memberikan alternatif-alternatif dengan menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Seperti dalam larangan meminum khamr. Pada awalnya Allah SWT hanya memberi gambaran tentang dampak negatif dan positifnya khamr. Sebagaimana firman Allah SWT surat al-Baqarah (2) ayat 219:
 “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,”

Larangan kedua, Allah SWT melarang minum khamr di saat menjelang shalat. Sebagimana firman Allah SWT surat an-Nisa’ (4) ayat 43:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”

Dan larangan terakhir, Allah SWT mengharamkan khamr secara tegas,  termasuk larangan pertama dan kedua, dengan pertimbangan kemashlahatan yang terjadi ketika khamr itu telah menguasai akal sehat dan dimana akal sudah tidak berfungsi secara normal, karena perbuatan ini akan berakibat melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Perbuatan seperti ini mendapat cela dari Allah SWT sebagai perbuatan syetan, sebagimana dalam firman-Nya surat al-Maa-idah (5) ayat 90:
”Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

Dari tiga ayat al-Qur’an di atas adalah proses pengharaman minum Khamr dan menunjukkan bahwa hukum Allah SWT tidak an sich menghukumi manusia. Allah SWT melegislasi hukum Islam ini memang benar-benar mengandung kemashlahatan bagi manusia di dunia dan akhirat.
C.    Istinbath al-Ahkam Sebagai Sumber Dinamisme Hukum Islam
1.    Teori Qath’i dan Dzanni
Menurut ulama ushul fiqih, bahwa Al-Qur’an merupakan lafadz-lafadz  yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai mu’jizat walaupun dengan satu surat, dan orang yang membaca pun dinilai sebagai Ibadah.
Al-Qur’an adalah sumber primer ajaran Islam pertama. Dari segi konstansinya (wurud) semuanya bersifat Qath’i. Sedangkan dari segi dalalah-nya, al-Qur’an ada yang bersifat  Qath’i (Qath’i Ad-Dalalah ’Ala Hukmihi) dan ada yang bersifat Dzanni (Dzanni Ad-Dalalah ‘Ala Hukmihi).
a.    Qath’i (Qath’i Ad-Dalalah ’Ala Hukmihi) adalah nash yang menunjukkan makna tertentu, tidak mengandung kemungkinan adanya takwil, dan tidak ada ruang untuk dipahami kedalam makna lain. Seperti ayat-ayat Mawarits, Hudud, dan Kafarat. Ayat mawarits seperti firman Allah SWT surat an-Nisaa’ (4) ayat 11:
 “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta…”

Dan ayat hudud, seperti firman Allah SWT surat an-Nur (24) ayat 2:
”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, ...”

Dan ayat kafarat, seperti firman Allah SWT surat al-Mujaadilah (58) ayat 3:
”Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur...”

Bagian dalam mawarits, dera seratus kali bagi orang yang melakukan zina, baik laki-laki maupun perempuan, dan memerdekakan budak bagi suami yang melakukan dhihar isterinya adalah qath’i dari segi dalalah-nya.
b.    Dzanni (Dzanni Ad-Dalalah ‘Ala Hukmihi) adalah nash yang menunjukkan makna tetapi dimungkinkan adanya takwil dan mungkin untuk dipalingkan dari makna asal kepada makna lain. Seperti firman Allah SWT surat al-Baqarah (2) ayat 228:
“Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali Quru’.

Lafadz Quru’ dalam ayat di atas, dalam lughat Arab bermakna musytarak antara dua makna, yaitu suci dan haid, maka hal ini mengandung makna mungkin tiga kali sucian, dan mungkin juga tiga kali haid.
Sedangkan Hadits merupakan sumber primer ajaran Islam kedua. Dari segi sanadnya, hadits terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Mutawatir,  Masyhur,  dan Ahad.  Dari segi konstansinya, hadits mutawatir masuk dalam kategori qath’i. Sedangkan dari segi dalalah-nya, ketiga hadits tersebut bersifat qath’i.
Dalam kajian ilmu ushul fiqih, nash yang masuk pada kategori qath’i al-wurud tidak masuk dalam wilayah ijtihad. Karena, sebagai nash yang mempunyai dimensi qath’i dari segi konstansinya, yang datang dari Allah SWT maupun dari rasul-Nya tidak dapat diragukan lagi. Lain halnya dengan sumber ajaran Islam yang kedua (al-Hadits), dimana kapastiannya sebagai sabda Nabi SAW masih terbuka untuk dilakukan penelitian lebih jauh mengenai para perawi yang meriwayatkan hadits tersebut.
Perbedaan konvensional seperti ini berbeda secara diametral dengan pemetaan yang dilakukan kalangan neo-modernis Islam. Dengan semangat liberalisme yang dimiliki, aliran noe-modernis Islam hanya mengakui substansi ajaran agama dalam wujud tegaknya keadilan sebagai satu-satunya segmen yang berdimensi qath’i. Sementara cakupan syari’at yang memuat teks-teks ajaran agama dianggap tak lebih dari sekedar istrumen yang senantiasa akann berubah pemaknaannya sesuai kondisi ruang dan waktu.
Bagi aliran noe-modernis ini, apa yang perlu dipegangi dari ajaran suci adalah substansinya, yakni mewujudkan keadilan, bukan formalitas teksnya. Namun kriteria qath’i  yang dimunculkan kelompok ini bukan tanpa resiko. Sebab, ketika yang dipegangi hanya semangat yang ada dalam teks ajaran agama, dengan tanpa memperhatikan bunyi teks formal tersebut, maka akan terjadi obsurdinas keadilan itu sendiri. Hal ini karena kriteria adil menurut akal tentu sangat relatif, berbeda antara satu dengan yang lain, sehingga adil menurut satu orang belum tentu adil menurut yang lain. Selain itu, dengan mengatasnamakan ”demi keadilan” orang kadang cenderung menghalalkan segala cara, mengingat bangunan syari’at dianggap tak lebih dari sekedar  aturan yang bersifat temporal.
Meskipun ada perbedaan menyangkut konsep qath’i-dzanni, namun ada titik temu antara kedua model pemetaan di atas, bahwa keduanya mempunyai persepsi yang sama menyangkut kompabilitas ajaran Islam terhadap realitas sosial yang terus berkembang. Islam tidak menginginkan umatnya mengalami stagnasi pemikiran, termasuk dalam hal ini adalah stagnasi pemikiran hukum Islam. Sebab, stagnasi pemikiran hukum Islam sering diidentikkan dengan stagnasi pemikiran Islam secara keseluruhan. Hal ini karena hukum Islam sering dianggap sebagai unsur paling strategis dalam menyelesaikan masalah-masalah praktis kehidupan manusia. Oleh karena itu, Islam memberikan kebebasan untuk menggunakan kemampuan rasio, terutama bagi mereka yang mempunyai kompetensi mengaktualisasikan segala problematika yang tidak ditetapkan oleh nash-nash yang berindikasi hukum tegas. Dengan demikian, ajaran agama akan senantiasa akomodatif-kompatibel dengan dinamika sosial yang terus bergulir dari waktu  ke waktu.  
2.    Metode Istinbath al-Ahkam
Secara historis, metode istinbath hukum baru muncul pada era tabi’in, tabi’u at-tabi’in dan para imam madzhab, yaitu dengan terformulasikannya parameter dalil dan kategori qiyas bathil. Pada era ini, semangat untuk meng-istinbath-kan hukum dilandaskan pada metodologi tertentu yang terkodifikasi secara sistemik.
Sebagaimana yang telah penulis kemukakan di atas (pada pembahasan mengenai historisitas pembentukan hukum Islam), bahwa metodologi istinbath hukum tersebut pada gilirannya menjadi disiplin ilmu tersendiri yang kemudian lazim disebut dengan ilmu ushul fiqih.
Sedangkan orang pertama kali yang membukukan kaidah-kaidah ilmu ushul fiqih disertai pembahasannya secara sistematis dan didukung dengan keterangan serta metode penelitian adalah al-imam asy-Syafi’i (w. 204 H). Atas dasar ini, al-imam asy-Syafi’i dikenal oleh para ulama sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqih.
Pada masa ini terdapat dua madzhab ushul fiqh, yaitu aliran mutakallimin dan aliran Ahnaf.
Madzhab mutakallimin merupakan aliran pemikiran mayoritas ulama (jumhur ulama) yang terdiri dari berbagai madzhab, seperti madzhab Maliki, Hanbali, Syi’ah Imamiyah, Zaidiyah, dan Abadiyah. Selain madzhab tersebut, mayoritas ulama dan pakar ilmu kalam madzhab Mu’tazilah, dan Asya’riyah juga mengikuti metode yang digunakan oleh aliran ini. Oleh karena itu, madzhab ini kemudian disebut aliran mutakallimin. 
Sedangkan madzhab Ahnaf atau aliran fuqaha merupakan aliran yang tidak sepaham dengan aliran mutakallimin. Aliran kedua ini cenderung melegimitasi hasil ijtihadnya dengan kaidah-kaidah ushuliyah yang belum melembaga. Dengan kata lain, aliran ini meletakkan dasar-dasar hukum operasional dalam dataran furu’iyah sebagai landasan operasional ushul fiqihnya.   
D.    Maqashid asy-Syari’ah sebagai acuan formal hukum Islam
1.    Pengertian Maqashid Asy-Syari’ah
Secara etimologi, maqashid asy-syari’ah terangkai dari dua unsur kata, “maqashid dan syari’ah”. Unsur pertama merupakan bentuk plural dari kata” maqashid ”( isim makan; kata benda yang menunjukkkan tempat) yang berasal dari kata ”qashada” (fi’il madli) yang berarti ”bermaksud, atau berniat”. Unsur kedua, syari’ah yang berarti ”peraturan, undang-undang, atau hukum”. Maqashid dapat diambil dari pemahaman sebagai tempat atau obyek sasaran dari suatu tindakan, dengan demikian maqashid asy-syari’ah berarti pula sebuah tujuan syari’at.
Sedangkan dalam terminologi syari’at, ulama ushul fiqih mendefinisikan maqashid asy-syari’ah sebagai, ”Substansi dan tujuan yang dikehendaki syara’ dalam mensyari’atkan suatu hukum bagi kemashlahatan manusia. Maqashid asy-syari’ah dikalangan ulama ushul al-fiqih disebut juga dengan Asrar asy-Syari’ah, yaitu rahasia-rahasia yang terkandung didalam hukum yang ditetapkan oleh syara’, berupa kemashlahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.  Misalnya, syari’ mewajibkan berbagai macam ibadah dengan tujuan untuk menegakkan agama Allah SWT, disyari’atkan hukuman zina, untuk memelihara kehormatan dan keturunan, disyari’atkan hukuman bagi orang yang meminum minuman keras adalah dalam rangka untuk memelihara akal manusia.
Mayoritas ulama ushul al-fiqih  berpendapat bahwa setiap hukum yang di buat oleh syari’ itu mengandung  kemashlahatan bagi manusia, baik kemashlahatan itu bersifat duniawi maupun ukhrawi. Oleh sebab itu, setiap mujtahid dalam mengekstraplorasi hukum (al-Istinbath al-Ahkam) dari kasus yang sedang dihadapi, harus selalu mengacu kepada maqashid asy-syari’ah. Sehingga hukum yang akan ditetapkan oleh mujtahid tersebut sesuai dengan kemashlahatan manusia dan tidak bertentangan dengan syara’.
Namun ulama ushul al-fiqih berbeda pendapat mengenai komitmen terhadap Nash, seperti at-Thufi, ia berpendapat bahwa independensi rasio harus ditegakkan dalam upaya menemukan kemashlahatan maupun kerusakan (mafsadah). Menurutnya, akal sehat manusia memiliki kompetensi untuk menentukan kemashlahatan dan kerusakan (mafsadah). Pendapat at-Thufi ini terjadi kontradiksi dengan al-Ghazali, menurutnya semua bentuk kemashlahatan harus dikembalikan kepada Nash, al-Qur’an, al-Hadits, dan Ijma’, karena kemashlahatan yang hanya didasarkan pada rasio manusia rentan dengan kepentingan hawa nafsu.
2.    Dasar Penetapan Maqashid Asy-Syari’ah
Berdasarkan ketetapan ulama’ ushul al-fiqih, bahwa maqashid asy-syari’ah (tujuan syari’at) adalah untuk mewujudkan kemashlahatan bagi manusia di dunia dan akhirat, yang terealisasi dalam bentuk menarik kemanfaatan dan menolak bahaya serta kerusakan.  Dalam hal ini para ulama’ ushul al-fiqih mempertegas terhadap ketetapan tersebut dengan beberapa argumennya, antara lain:
a.    Berdasarkan hasil istiqra’ terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum yang ada didalam mengandung kemashlahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini, Allah SWT berfirman surat al- Anbiya’(21):107:
”Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Menurut para ahli tafsir, kata ”Rahmat” pada ayat di atas mengandung pengertian bahwa Nabi Muhammad SAW di utus dimuka bumi adalah sebagai rahmat bagi orang-orang mukmin, berupa kemashlahatan di dunia dan akhirat, dan diakhirkannya siksaan bagi orang-orang kafir. 
Dan firman Allah SWT surat an-Nisaa’ (4) ayat 165:
”(mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Hasil istiqra’ ulama’ ushul al-fiqih tersebut juga diperkuat oleh hukum-hukum juz’iyyah, seperti dalam ayat yang menerangkan wudlu’, Allah SWT berfirman dalam surat al-Maa’dah (5) ayat 6:
”... Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,..”.

Dan ayat yang menerangkan tentang kewajiban berpuasa, Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah (2) ayat 183:
”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”

Dan ayat yang berkaitan dengan masalah shalat, Allah SWT berfirman dalam surat al-’Ankabuut (29) ayat 45:
”...Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar...”

Dan ayat yang menerangkan tentang qiblat, Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah (2) ayat 150:
”... Maka Palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu...”

Dan ayat tentan jihad, Allah SWT berfirman dalam surat al-Hajj (22) ayat 39:
”Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya... ”

Dan ayat tentang Qishas, Allah SWT dalamm surat al-Baqarah (2) ayat 179:
”Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”

Dan ayat tentang pengakuan atas ke-Esa-an Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-’Araaf (7) ayat 172:
"...Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",

Ayat-ayat di atas merupakan hasil istiqra’ ulama ushul al-fiqih yang menunjukkan bahwa hukum Allah SWT yang ada dalam nash al-Qur’an mengandung kemashlahatan bagi manusia di dunia dan akhirat.
b.    Berdasarkan asumsi bahwa kemashlahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Jika syari’at Islam hanya terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, maka akan membawa kesulitan bagi manusia dan sebaliknya, jika Islam bersifat elstis-adaptabel (murunah) dalam penetapan hukumnya, maka akan membawa kemudahan bagi manusia dan ini sesuai dengan misi agungnya, yaitu rahmatan lil ’alamiin.
c.    Jumhur ulama juga menyandarkan kepada perbuatan sahabat tentang penetapan mashlahah sebagai dalil syara’, seperti aktifitas yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar as-Siddiq dalam membukukan al-Qur’an atas saran sahabat Umar bin Khattab ra sebagai salah satu bentuk kemashlahatan untuk melestarikan al-Qur’an, penyerahan kekuasaan sahabat Abu Bakar ra kepada sahabat Umar bin Khattab ra, menetapkan adanya penjara atau mencetak mata uang pada masa sahabat Umar bin Khattab ra, dan lain-lain. Dimana semua bentuk aktifitas para sahabat tersebut tidak ada indikasi dari syara’ ditolak atau tidak.
Lain halnya dengan pandangan at-Thufi, ia berpendapat bahwa mashlahah merupakan hujjah terkuat yang secara mandiri dapat dijadikan sebagai landasan hukum. Ia tidak membagi mashlahah sebagaimana yang dilakukan oleh jumhur ulama. Menurut at-Thufi ada empat prinsip yang menjadi alasan, mengapa mashlahah menjadi hujjah yang independen.
a.    Akal bebas menentukan kemashlahatan dan kemafsadatan. Menurut at-Thufi, akal manusia dapat menentukan kemashlahatan secara independen dalam bidang muamalah dan adat. Pandangan ini berbeda dengan jumhur ulama’ yang mengatakan bahwa sekalipun kemashlahatan dan kemadlaratan itu dapat dicapai dengan akal, namun kemashlahatan itu juga harus mendapat dukungan dari nash atau ijma’ baik bentuk sifat maupun jenisnya. karena kemashlahatan yang hanya diperoleh dengan melalui rasio sangat rentan dengan kepentingan hawa nafsu belaka.
b.    Mashlahat merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum tanpa harus ada dukungan dari nash. Menurutnya, mashlahah adalah sesuatu yang dianggap mashlahah oleh akal, tanpa harus ada dukungan dari nash-nash syar’iyyah, hanya dicukupkan dengan kebiasaan dan riset. Mashlahah  merupakan dalil terkuat diantara dalil-dalil syar’iyyah.
c.    Mashlahah yang dimaksud at-Thufi disini hanya berlaku dalam masalah muamalah dan adat kebiasaan. Sedangkan dalam masalah ibadah yang sudah ditentukan oleh syara’, seperti shalat wajib, puasa pada bulan ramadlan selama satu bulan, thawaf dll. tidak termasuk obyek mashlahah, karena masalah seperti ini merupakan hak Allah SWT Semata.
d.    Mashlahah merupakan dalil syara’ yang paling kuat, sehingga jika terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah maka yang harus didahulukan adalah mashlahah dengan metode tahksis dan bayan.
3.    Kategorisasi Maqashid Asy-Syari’ah
Maqashid asy-syari’ah (tujuan-tujuan syari’at) adalah untuk memelihara dan menciptakan kemashlahatan bagi manusia di dunia dan akhirat. Berdasarkan istqra’ para ulama ushul al-fiqh, maqashid asy-syari’ah meliputi lima hal, yaitu: memelihara agama (hifdh ad-Din), memelihara jiwa (hifdh an-Nafs), memelihara memelihara akal (hifdh al-’aql), memelihara keturunan (hifdh al-ardl), dan memelihara harta (hifdh al-Mal).  Dari lima hal tersebut para ulama ushul al-fiqih mengategorikan dalam tiga tingkatan, sesuai dengan kualitas dan kebutuhannya, tiga kategori tersebut adalah: (1) kebutuhan dlaruriyat (primer), (2) kebutuhan al-hajjiyah (kebutuhan sekunder), dan (3) kebutuhan at-tahsiniyat (kebutuhan tersier)
a.    Kebutuhan ad-Dlaruriyah (primer) adalah kemashlahatan mendasar yang menyangkut dalam mewujudkan dan melindungi eksistensi kelima pokok diatas, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jika kemashlahatan ini hilang, maka kehidupan manusia bisa hancur, tidak selamat di dunia maupun di akhirat. Menurut asy-syathibi, dengan kelima hal di atas itulah agama dan dunia dapat berjalan dengan seimbang dan apabila dipelihara akan dapat memberi kebahagiaan bagi umat manusia. Kelima unsur diatas diisyaratkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
”Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Para ahli ushul al-fiqih menyatakan bahwa sekalipun kasus yang diungkapkan ayat di atas tertuju kepada wanita, tetapi hal itu juga berlaku kepada pria. Dalam hal ini, menurut mereka diisyaratkan masalah-masalah mendasar yang perlu dipelihara menurut manusia. Yaitu: tidak syirik (dalam rangka memelihara agama), tidak mencuri (dalam rangka memelihara harta orang lain), tidak berzina (dalam rangka menjaga keturunan dan kehormatan), tidak membunuh (dalam rangka memelihara jiwa).
b.    Kebutuhan al-Hajjiyah (sekunder) adalah dalam rangka perwujudan dan perlindungan yang diperlukan dalam melestarikan lima pokok tersebut di atas, tetapi kadar kebutuhanya berada dibawah kebutuhan ad-Dlaruriyah (primer). Tidak terpeliharanya kebutuhan Hajjiyah tidak akan mengancam eksistensi lima pokok tersebut, tetapi membawa kepada kesempitan baik dalam usaha mewujudkan maupun dalam pelaksanaannya. Sedangkan dalam ajaran Islam kesempitan itu perlu disingkirkan, sebagaimana dalam persoalan puasa, orang mukallaf yang sedang sakit atau dalam perjalanan pada bulan suci Ramadlan diperbolehkan tidak puasa, tapi harus diganti pada hari lain selain bulan Ramadlan. Dalam hal ini Allah SWT  berfirman, surat al-Baqarah (2) ayat 185:
”(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Dalam kasus lain, misalnya dalam perjalanan seorang mukallaf sanggup untuk melaksanakan puasa dan sanggup pula melaksakan shalat tanpa men-jama’ dan meng-qashar. Akan tetapi, apabila dia berpuasa dan shalat sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak dalam perjalanan, maka ia akan menemui beberapa kesulitan. Artinya, melaksanakan puasa atau shalat sebagaimana biasanya akan lebih sulit dibanding dengan melakukannya ketika tidak dalam perjalanan. Untuk mengatasi kesulitan itu, syara’ menetapkan hukum rukhsah, sehingga dengan adanya rukhsah (keringanan) ini orang yang berada dalam perjalanan boleh menangguhkan puasanya dan mengganti puasanya diluar bulan Ramadlan.  sebagaimana firman Allah SWT surat al-Baqarah (2) ayat 184:
”(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Dan dibolehkan juga baginya untuk meng-qashar atau men-jama’ shalatnya, sebagaimana firman Allah SWT surat an-Nisaa’(4) ayat 101:
”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.

c.    Kebutuhan al-Tahsiniyah (tersier) dimaksudkan untuk mewujudkan dan memelihara hal-hal yang menunjang peningkatan kualitas ke lima pokok kebutuhan mendasar manusia di atas dan menyangkut hal-hal yang terkait dengan makarim al-akhlaq. Tidak terwujud dan terpeliharanya kebutuhan at-tahsiniyah ini tidaklah mengakibatkan terancamnya eksistensi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, serta tidak membawa kepada kesulitan kelima pokok tersebut, melainkan dapat menyalahi kepatutan dan menurunkan martabat pribadi serta masyarakat.  Dalam masalah agama, misalnya, manusia dituntut untuk bersuci dan menjauhi najis serta hal-hal yang dianggap kotor. Dalam memelihara jiwa manusia terikat dengan sopan santun, makan dan minum tidak boleh berlebihan, dalam memelihara keturunan terikat dengan tata cara pergaulan rumah tangga, dalam memelihara akal dilarang hal-hal yang dapat mengganggu akal, dalam memelihara  harta benda ditetapkan berbagai batasan dan sopan santun dalam mendapatkan dan memanfaatkan nya. Menurut ulama ushul al-fiqih, syari’at Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk mewujudkan dan memelihara tiga kategori tersebut. Dengan melaksanakan taklif syari’at-Nya kebutuhan-kebutuhan itu akan terwujud dan terpelihara, sekaligus membawa kebahagiaan bagi manusia di dunia dan akhirat.
4.    Pembagian Maqashid Asy-Syari’ah
Dari segi obyeknya, maqashid asy-syari’ah terbagi menjadi tiga macam, sebagaimana berikut:
a.    al-Maqashid al-Kulliyyah, yaitu sesuatu yang dipelihara syara’ serta diusahakan untuk dicapai syara’ dalam berbagai bidang syari’at, yang kebaikan dan kemanfaatannya kembali kepada umat seperti menegakkan dan mempertahankan eksistensi negara dari ancaman pihak musuh, menjaga penodaan terhadap agama, menjaga tanah Haramain di makkah dan madinah dari tangan musuh. 
b.    al-maqashid al-khassah, yaitu tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam topik tertentu,  seperti tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam hukum yang terkait dengan masalah perkawinan, keluarga, tujuan yang hendak dicapai dalam bidang ekonomi, tujuan syari’ yang hendak dicapai dalam bidang muamalah yang bersifat fisik, tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam masalah hukum pidana, peradilan, dan bentuk-bentuk amal kebaikan.
c.    al-Maqashid al-Juz’iyyah, yaitu tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam menetapkan setiap hukum syar’i,  seperti dalam menetapkan hukum wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah, atau menetapkan sesuatu menjadi sebab, syarat, mani’. Dibolehkan untuk menjalin hubungan tolong-menolong sesama manusia. Misalnya, shalat itu diwajibkan untuk memelihara agama, zina diharamkan untuk memelihara keturunan, dan kehormatan.
Imam asy-Syathibi menyatakan bahwa untuk mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat, ada lima pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara, dengan mewujudkan dan memelihara lima pokok tersebut, seorang mukallaf akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Berdasarkan hasil istqra’ ulama ushul al-fiqih terhadap Nash, kelima masalah pokok itu ialah: menjaga dan memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Lima kemashlahatan ini wajib dipelihara seseorang dan untuk itu pula didatangkan syari’at yang mengandung perintah, larangan, keizinan yang harus dipatuhi oleh setiap mukallaf.
E.    Macam-Macam Mashlahah
Maqashid asy-syari’ah (tujuan-tujuan syari’at) adalah untuk mewujudkan dan memelihara kemashlahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Sedangkan mashlahah sendiri diartikan sebagai sesuatu yang bermanfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Istilah ini dikemukakan oleh ulama ushul al-fiqih dalam metode yang dipergunakan saat melakukan ekstraplorasi hukum (istinbath al-ahkam). Beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul al-fiqih pada hakikatnya mengandung pengertian yang sama. Al-Ghazali mengemukakan pengertian mashlahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudlaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’ (maqashid asy-syari’ah). Ia memandang bahwa suatu kemashlahatan harus sejalan dengan maqashid asy-syari’ah, sekalipun bertentangan dengan tujuan manusia.  Alasanya, kemashlahatan manusia seringkali didasarkan kepada kehendak hawa nafsu saja. Misalnya, pada zaman jahiliyah seorang wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan karena hal tersebut mengandung kemashlahatan dan sesuai dengan adat istiadat mereka. Menurut al-Ghazali, hal tersebut tidak benar karena yang dijadikan mi’yar (tolak ukur) dalam menentukan kemashlatan adalah kehendak manusia, padahal seharusnya yang harus dijadikan tolak ukur dalam menentukannya adalah kehendak syara’ yang terangkum dalam konsepsi maqashid asy-syari’ah.
Selanjutnya, al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut ada lima bentuk, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jika seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya bertujuan memelihara kelima aspek tujuan syara’ tersebut, maka perbuatan yang dilakukan dinamakan mashlahah. Disamping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudlaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan mashlahah.  Dalam kaitan ini, asy-Syathibi mengemukakan bahwa kemashlahatan tidak dibedakan antara dunia dan akhirat,  sehingga jika kedua kemashlahatan tersebut bertujuan untuk memelihara kelima tujuan pokok syara’ tersebut, maka keduanya termasuk dalam konsep mashlahah. Dengan demikian, kemashlahatan dunia yang dicapai seorang hamba harus bertujuan untuk kemashlahatan di akhirat.
1.    Mashlahah Dari Segi Kualitas Yang Dimilikinya, Terbagi Menjadi Tiga Macam:
a.    Mashlahah dlaruriyah, yaitu kemashlahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan akhirat. Yang termasuk dalam kemashlatan ini adalah: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta. Menurut ulama ushul al-fiqih, kelima kemashlahatan ini disebut al-mashalih al-khamsah. Memeluk suatu agama merupakan fithrah dan naluri insaniyah  yang tidak bisa diingkari dan sangat dibutuhkkan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Allah SWT mensyari’atkan agama yang wajib dipelihara setiap orang, baik yang berkaitan dengan aqidah, ibadah, maupun mu’amalah. Hak hidup juga merupakan hak yang paling asasi setiap manusia. Dalam kaitan ini, untuk kemashlahatan dan keselamatan jiwa serta kehidupan manusia, Allah SWT mensyari’atkan berbagai hukum yang berkaitan dengan hal tersebut, seperti disyari’atkannya Qishas, kesempatan untuk memepergunakan hasil sumber daya alam untuk dikonsumsi oleh manusia, atau hukum perkawinan. Selanjutnya, akal merupakan faktor yang menentukan seseorang dalam menjalani kehidupannya. Karenanya, Allah SWT menjadikan pemeliharaan akal itu sebagai suatu hal yang paling pokok. Untuk itu, Allah SWT mensyari’atkan larangan meminum minuman keras, karena bisa merusak akal dan hidup manusia. Berketurunan juga merupakan masalah pokok bagi manusia dalam rangka memelihara kelangsungan hidup dimuka bumi ini. Untuk memelihara dan melanjutkan keturunan tersebut Allah SWT mensyari’atkan nikah dengan segala hak dan kewajiban yang diakibatkannya. Kemudian manusia tidak bisa hidup tanpa harta. Karena itu harta merupakan sesuatu yang pokok dalam kehidupan manusia. Untuk mendapatkannya, Allah SWT mensyari’atkan berbagai macam bentuk transaksi, dan untuk memelihara harta seseorang Allah SWT mensyari’atkan hukuman bagi pencuri dan perampok.
b.    Mashlahah Hajjiyah, yaitu kemashlahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemashlahatan pokok atau mendasar sebelumnya, yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan dalam shalat bagi musafir dan berbuka puasa bagi orang musafir. Dalam bidang muamalah antara lain dibolehkan berburu binatang, melakukan jual beli, pesanan (akad salam), bekerja sama dalam pertanian (muzara’ah atau mukhabarah), bekerja sama dalam perkebunan (musaqah). Semua ini, disyari’atkan Allah SWT untuk mendukung kebutuhan mendasar, al-mashalih al-khamsah di atas.
c.    Mashlahah Tahsiniyah, yaitu kemashlahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemashlahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus, melakukan amalan-amalan ibadah sunat sebagai ibadah tambahan, dan ditetapkan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia. Ketiga kemashlahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemashlahtan. Kemashlahatan ad-dlaruriyyah harus lebih didahulukan daripada kemashlahatan hajjiyyah, dan kemashlahatan hajjiyyah harus lebih didahulukan daripada kemashlahatan tahsiniyyah.
2.    Mashlahah Berdasarkan Kandungannya
Berdasarkan kandungannya, ulama ushul al-fiqih membagi mashlahah menjadi dua bagian:
a.    Al-Mashlahah al-’ammah, yaitu kemashlahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemashlahatan umum tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa  berbentuk kepentingan mayoritas umat. Misalnya, Ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat.
b.    Al-mashlahah al-Khassah, yaitu kemashlahatan pribadi. Mashlahah ini jarang terjadi, seperti kemashlahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (al-mafqut).
Pentingnya pembagian kedua kemashlahatan ini berkaitan dengan prioritas yang harus didahulukan apabila kemashlahatan umum bertentangan dengan kemashlahatan pribadi. Maka Islam memprioritaskan untuk lebih mendahulukan kemashlahatan umum daripada kemashlahatan pribadi.
3.    Mashlahah Berdasarkan Eksistensinya
Mashlahah berdasarkan eksistensinya, terbagi menjadi tiga:
a.    Kemashlahatan yang eksistensinya diakui oleh syara’ (al-mashlahah al-mu’tabarah),  artinya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemashlahtan tersebut. Misalnya tentang hukuman atas orang yang meminum minuman keras. Bentuk hukuman bagi orang yang meminum minuman keras yang terdapat dalam hadits Rasulullah SAW oleh ulama dipahami secara berlainan. Hal ini disebabkan berbedanya alat pemukul yang digunakan Nabi saw ketika melaksanakan hukuman bagi orang yang meminum minuman keras. Ada hadist yang menunjukkan bahwa alat yang digunakan oleh Rasulullah SAW adalah sandal atau alas kakinya sebanyak 40 kali. Sementara itu hadits lain menjelaskan bahwa alat pemukul yang digunakan rasul saw dalam hukuman minuman keras adalah pelapah kurma, juga sebanyak 40 kali. Karenanya setelah sahabat Umar bin Khattab  ra bermusyawarah dengan para sahabat lain, menetapkan hukuman dera bagi orang yang meminum minuman keras tersebut sebanyak 80 kali. Ia Meng-Qiyas-kan orang yang meminum minuman keras kepada orang yang menuduh orang lain berbuat zina. Logikanya adalah seseorang yang meminum minuman keras apabila mabuk bicaranya tidak bisa terkontrol dan diduga keras akan menuduh orang lain berbuat zina. Hukuman bagi orang yang menuduh orang lain berbuat zina adalah 80 kali. Karena adanya dugaan keras menuduh orang lain berbuat zina akan muncul dari orang mabuk, maka Umar bin Katthab dan Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa hukuman orang yang meminum minuman keras sama hukumnya dengan orang yang menuduh orang lain berbuat zina.  Menurut ulama ushul al-fiqh, cara analogi seperti ini termasuk kemashlahatan yang didukung oleh syara’ atau diistilahkan dengan mashlahah mu’tabarah. Hukuman bagi orang yang menuduh orang lain berbuat zina sebanyak 80 kali, sebagaimana firman Allah SWT:
”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik  (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”(Q.S 28: 4).

Sebagian ulama juga memasukkan produk hukum yang dihasilkan dengan melalui metode qiyas kedalam jenis mashlahah ini, seperti pengharaman terhadap segala minuman yang memabukkan dengan metode mengqiyaskan dengan khamar yang dinashkan keharamannya oleh Allah SWT dalam al-Qur’an. Maka muatan mashlahah dalam pengharaman semua minuman yang memabukkan dapat diakui eksistensinya oleh syara’ karena ada kesamaan kadar mashlahah yang terdapat didalam nash yang melarang meminum minuman khamar.
b.    Kemashlahatan yang eksistensinya tidak diakui oleh syara’ (al-mashlahah al-Mulgha)  karena ada unsur kontradiktif dengan Nash-nash syar’iyyah. Misalnya dalam penentuan syara’, di siang hari bulan ramadlan dilarang melakukan hubungan seksual. Jika ternyata masih berhubungan seksual pada siang hari di bulan ramadlan maka ia dikenakan hukuman antara tiga hal: memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin. (H.R Muslim).  Al-Lais bin Sa’ad ahli fiqih madzhab Maliki di spanyol, menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi penguasa yang melakukan hubungan seksual di siang hari pada bulan ramadlan, karena jika para penguasa itu dibebani untuk memerdekakan budak atau memberi 60 fakir miskin ia akan terasa ringan, menurutnya,  hukuman bagi orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan ramadlan bertujuan agar seseorang menjadi jera sehingga tidak melakukan pelanggaran lagi, jika seorang penguasa hanya dibebani untuk memerdekakan budak atau memberi makan 60 fakir miskin, maka ia akan terasa sangat ringan dan bahkan akan menganggap mudah dalam pelanggaran tersebut, sehingga hukuman yang diberikan kepada para penguasa tersebut tidak menjadikan ia jera. Nilai kemashlahatan disini bertentangan dengan hadist Rasulullah SAW diatas, karena hadits tersebut secara jelas mengungakapkan proses hukuman tersebut , yaitu: apabila tidak mampu memerdekakan budak ia harus puasa dua bulan berturut-turut, lalu memberi makan 60 fakir miskin. Jika puasa dua bulan berturut-turut lebih diprioritaskan tanpa mengukuti proses urutan hadits tersebut, maka kemashlahatan disini akan bertentangan dengan kehendak syara’, sehingga hukum yang diterapkan oleh al-lais bin sa’ad bagi seorang penguasa di atas tidak dapat  diterima syara’
c.    Kemashlahatan yang keberadaannya didiamkan oleh syara’, tidak ada indikasi yang menunjukkan dianggap atau tidaknya kemashlahatan tersebut, kemashlahatan dalam bentuk ini terbagi menjadi dua: (1) al-Mashlahah al-Gharibah, kemashlahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’ baik dari dalil yang rinci maupun yang bersifat umum, (2) al-Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak didukung oleh dalil syara’ secara rinci, tetapi didukung oleh makna sejumlah nash.
Ulama ushul al-fiqh sepakat, bahwa mashlahah al-mu’tabarah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum Islam.  Kemashlahatan seperti ini termasuk dalam metode qiyas. Mereka juga sepakat bahwa mashlahah al-mulgha tidak dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum Islam, demikian juga dalam mashlahah al-gharibah, karena pada tataran praktis mashlahah ini tidak ditemukan.  Sedangkan dalam mashlahah al-mursalah, semua ulama madzhab menerima sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, hanya saja mereka memakai istilah yang berbeda-beda.
Madzhab Hanafi mengatakan bahwa untuk menjadikan mashlahah mursalah (menurut Hanafiyah; al-mashlahah al-mula’im atau mula’im al-mursal ) sebagai dalil, disyaratkan adanya ’illat yang diindikasikan oleh nash, baik dari al-Qur’an, al-Hadits, atau pun Ijma’, atau janis sifat yang menjadi motivasi hukum dipergunakan oleh nash sebagai ’illat hukum. Misalnya, sifat yang berpengaruh pada hukum tersebut adalah Nabi Muhammad SAW pernah ditanya oleh seorang sahabat tentang najis atau tidaknya kuku kucing. Rasulullah SAW menjawab: ”(kucing itu) termasuk binatang rumah yang senantiasa mengelilingi kamu, tidak (menjadi najis) bagi kamu.” keberadaan kucing yang senantiasa berada dirumah merupakan sifat yang membuat mereka bersih atau suci. Sifat yang menjadi ’illat hukum dalam hadits ini jelas, yaitu at-tawwaf (hewan yang senantiasa bearada di rumah, tidur dir rumah, dan sulit untuk memisahkannya). Berdasarkan hadits ini dapat ditetapkan bahwa hukum kuku kucing tidak najis. Oleh sebab itu, at-Tawwaf merupakan ’illat dari hukum bersuci untuk menghindari kesulitan dari orang yang memelihara kucing di rumah.
Sedangkan contoh jenis sifat yang dijadikan ’illat dalam suatu hukum adalah Rasulullah SAW melarang pedagang mencegat petani dalam rangka untuk membeli barang-barang yang hendak dijual ke pasar.  Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari kemadlaratan bagi petani dengan terjadinya penipuan harga oleh para pedagang yang membeli barang di batas kota tersebut. Sifat yang membuat larangan ini adalah adanya kemudlaratan dan aspek kemudlaratan ini berpengaruh kepada hukum jual beli seperti yang dilakukan pedagang tersebut. Jenis kemudlaratan seperti ini juga ada dalam masalah lain, seperti dinding rumah yang hampir roboh ke jalan sehingga bisa memberi madlarat kepada orang lain. Menurut madzhab Hanafi, kemadlaratan petani dalam jual beli di atas, sejenis dengan kemudlaratan dinding yang hampir rubuh ini. Karennya, ’illat hukum dalam masalah dinding ini di –qiyas-kan kepada jenis ’illat hukum dalam masalah jual beli di atas, yaitu sama-sama memberi mudlarat. Menghilangkan kemudlartan, bagaimana pun bentuknya merupakan tujuan syara’ yang wajib dilakuakan.
Menolak kemadlaratan dan menarik kemashlahatan termasuk dalam konsep al-mashlahah al-mursalah. Dengan demikian, madzhab Hanafi menerima al-mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, dengan syarat sifat kemashlahatan itu terdapat dalam nash atau ijma’ dan jenis sifat kemashlahatan itu juga harus sama dengan jenis sifat yang didukung oleh nash atau ijma’. Penerapan konsep al-mashlahah al-mursalah dikalangan madzhab Hanafi terlihat secara luas dalam metode Istihsan. Dalam konsep Istihsan, indikasi-indikasi yang dijadikan pemalingan hukum tersebut pada umumnya adalah al-mashlahah al-mursalah.
Madzhab Maliki dan Hanbali juga menerima al-mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama’ fiqih yang paling banyak dan luas dalam menerapkann konsep ini. Menurutnya, al-mashlahah al-mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash yang parsial seperti yang berlaku dalam teori Qiyas.  Demikian pula asy-Syathibi, ia mengatakan bahwa eksistensi dan kualitas al-mashlahah al-mursalah itu bersifat qath’i, sekalipun pada tataran praktisnya bersifat dzanni. Misalnya, Rasulullah SAW bersabda dalam persoalan meningkatkan harga barang di pasar. Nabi Muhammad SAW sebagai pihak penguasa ketika itu tidak ikut campur dalam masalah harga, karena perbuatan ikut campur dalam masalah harga pasar dianggap tindakan dlalim. Madzhab Maliki dan Hanbali mengatakan bahwa hadits Rasulullah SAW tersebut berlaku apabila komoditas sedikit sedangkan permintaan banyak, sehingga kenaikan harga adalah wajar. Akan tetapi, apabila kenaikan harga barang itu bukan karena sedikitnya komoditas, tetapi oleh para pedagang sendiri, maka madzhab Maliki dan Hanbali membolehkan pihak penguasa untuk ikut campur tangan dalam menetapkan harga dengan mempertimbangkan untuk kemashlahatan para konsumen.
Untuk bisa menjadikan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, madzhab Maliki dan Hanbali memberikan tiga kriteria, antara lain: (1) kemashlatan itu sesuai dengan kehendak syara’ dan termasuk jenis kemashlahatan yang dianggap oleh syara’ (al-mashlaha al-mu’tabarah); (2) kemashlahatan itu bersifat rasional dan qath’i, bukan dzanni semata, sehingga hukum yang ditetapkan melalui al-mashlahah al-mursalah benar-benar menghasilkan manfaat dan menolak madlarat; (3) kemashlahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Madzhab asy-Syafi’i pada dasarnya juga menjadikan mashlahah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi al-Imam asy-Syafi’i memasukkan pada pembahasan ini kedalam bab Qiyas. Misalnya, ia meng-qiyas-kan hukuman bagi para peminum minuman keras kepada hukuman bagi orang yang menuduh orang lain berbuat zina yaitu dera sebanyak 80 kali, karena orang yang sedang mabuk pada biasanya akan mengingau dan dalam ingauannya diduga keras ia akan menuduh orang lain berbuat zina.  Dalam hal ini, al-Ghazali juga menjelaskan secara jelas tentang konsepsi mashlahah al-mursalah. Ada beberapa syarat yang dikemukakan al-Ghazali dalam kitab ushul al-fiqihnya mengenai mashlahah al-mursalah yang dapat dijadikan hujjah dalam mengektraplorasi hukum (istnbath al-ahkam). (1) mashlahah harus sejalan dengan kehendak syara’.(2) mashlahah tidak bertentangan dengan syara’ yakni, al-Qur’an, al-Hadits, dan Ijma’, (3) mashlahah tersebut termasuk dalam kategori mashlahah ad-dlaruriyah, baik menyangkut kemashlahatan pribadi maupun kemashlahatan umum.  Untuk yang terakhir ini al-Ghazali juga mengatakan bahwa yang hajiyyah, apabila menyangkut kepentingan orang banyak bisa menjadi ad-dlaruriyah.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id