MAQASHID
ASY-SYARI’AH
DALAM PERSPEKTIF ASY-SYATHIBI
Hanif asyhar
A. Biografi Asy-Syathibi
Imam asy-Syathibi, nama
lengkapnya adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Garnati. Ia dilahirkan di
Granada pada tahun 730H dan meninggal pada hari Selasa tanggal 8 Sya’ban tahun
790 H/1388 M. Nama asy-Syathibi adalah nisbat kepada tempat kelahiran keluarganya, yaitu Syathibah (Xativa atau
Jativa di Spanyol Timur) meskipun asy-Syathibi sendiri tidak dilahirkan disana.
Karena, menurut catatan sejarah, kota jativa telah berada di bawah kekuasaan
kristen dan segenap umat Islam di usir dari sana sejak tahun 645 H/ 1247 M.,
hampir satu abad sebelum kelahiran asy-Syathibi
Pada
masa asy-Syathibi Granada merupakan pusat pendidikan Islam di Spanyol. Disana
terdapat universitas, dengan nama Universitas Granada. Yang didirikan pada masa
pemerintahan Yusuf Abu al-Hajjaj. Ada dugaan bahwa pendidikan asy-Syathibi
terkait dengan Universitas tersebut.
Dalam
kaitannya dengan pendidikan asy-Syathibi, ada beberapa nama yang tercatat dalam
sejarah sebagai guru asy-Syathibi, yaitu dalam bidang bahasa Arab : Ibnu
al-Fakhkhar al-Ilbiri (w. 754 H/1353 M), Abu Abdullah al-Balinsi, dan Abu Qasim
al-sabti (w. 760 H/1358 M), dalam bidang ushul al-Fiqih: Abu Abdullah Muhammad
bin Ahmad al-Maliki at-Talimsani (w. 771 H/1369 M), Imam al-Maqarri (w.758 H),
dan Khatib al-Marzuq, dan dalam bidang filsafat dan kalam: Abu Ali al-Mansur
al-Masyzali, Abu Abbas al-Qabab, dan Abu Abdullah al-Hifar.[1]
1.
Karya-karya Ilmiah asy-Syathibi
Sebagai seorang Ulama besar di zamannya, terutama bidang ushul al-Fiqih
dan sastra Arab, asy-Syathibi juga menulis beberapa buku, yang sampai saat ini
baru bisa dilacak sebanyak enam buah, sebagaimana berikut:
a.
Kitab al-Muwafaqat
Kitab ini
terdiri dari 4 juz dan awalnya kitab ini berjudul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif kemudian setelah Imam Syathibi
bermimpi, dirubah menjadi al-Muwafaqat
b.
Kitab al-I’tisham
Buku ini
terdiri dari dua juz dan ditulis setelah Kitab al-Muwafaqat. Dalam buku ini asy-sytahibi menjelaskan secara detail
tentang bid’ah dan hal-hal yang terkait dengan persoalan bid’ah.
c.
Kitab al-Majalis
Kitab ini
merupakan syarah dari Kitab al-Buyu’ yang terdapat dalam
Shahih al-Bukhari. Attanbakaty menilai faidah buku ini dengan menyebutnya: “Minal Fawaid Wa Al-Tahqiqat Ma La
Ya’lamuhu Illa Allah”.
d.
Kitab Syarakh al-Khulashah
Buku ini
adalah buku tentang Ilmu Nahwu yang merupakan penjelasan (syarah) dari Alfiyyah Ibn Malik. Buku ini ditulis dalam jumlah 4 juz dan menurut Attanbakaty, buku ini merupakan syarah Alfiyyah Ibn Malik terlengkap dan terbaik setelah
dilihat dari segi kedalaman dan keluasan ilmu yang dipaparkan
e.
Kitab Unwan al-Ittifaq Fi al-Ilm al-Isytiqaq
Buku ini
berisi tentang Ilmu Sharf dan Fiqh Lughah. Buku ini sudah tidak dapat
dijumpai lagi karena sudah lenyap sewaktu asy-Syathibi masih hidup.
f.
Kitab Ushul an-Nahwi
Buku ini
membahas tentang Qawaid
Lughah
dalam Ilmu Sharf dan Ilm Nahwu. Di dalam buku ini dibahas
tentang Qawaid Ashliyyah.
g.
Kitab al-Ifadaat Wa al-Insyadaat
Buku ini
khusus dibuat sebagai gambaran perjalanan hidup Imam Syathibi sekaligus
menyebutkan guru-guru dan murid-muridnya.
h.
Kitab Fatawa al-Syathibi
Buku ini
menampilkan fatwa-fatwa Imam asyy-Syathibi dan ditulis oleh muridnya.
Dari kedelapan buku yang disebutkan di-atas, buku al-Muwafaqat, Kitab al-I’tisham dan al-Ifaadat wa
al-Insyadaat
merupakan karya monumental asy-Syathibi. Hingga sekarang ketiga buku tersebut
tersebar luas di berbagai negeri muslim dan menjadi rujukan di berbagai
perguruan tinggi Islam.
2.
Potret Intelektual asy-Syathibi
Di kalangan para juris Islam, asy-Syathibi lebih dikenal sebagai pakar ilmu
ushul al-fiqih yang memiliki ketajaman tersendiri. Ciri khas dari konsep ushul
fiqihnya adalah terletak pada ketajaman dalam menganalisa pada setiap persoalan
hukum. Jika ushul fiqih sebelumnya lebih banyak menguraikan aspek bahasa dan kaidah-kaidahnya,
dan sedikit sekali membahas persoalan Maqashid asy-Syari’ah maka asy-Syathibi muncul dengan pembahasan yang lebih
detail dan spesifik mengenai Maqashid asy-Syari’ah. Meskipun asy-Syathibi juga membicarakan tentang aspek kebahasaan
(al-Lughawiyah), tetapi dalam pembahasan
dan analisisnya ia selalu mengaitkan Maqashid asy-Syari’ah. Menurutnya, syari’at Islam
diturunkan oleh Allah SWT adalah dalam rangka untuk mewujudkan dan memelihara kemaslahatan
manusia baik yang bersifat duniawi maupun ukhirawi. Oleh sebab itu, setiap
aktifitas mukallaf harus selalu memperhatikan
aspek mashlahah dan mafsadahnya suatu perbuatan serta harus mengambil
yang manfaat/mashlahah.
Dalam konsep maslahahnya, asy-Syathibi membagi ijtihad dalam dua
bentuk: ijtihad istinbati dan ijtihad tathbiqi.
Menurutnya, dalam ijtihad istinbathi
seorang mujtahid mengerahkan kemampuan nalarnya untuk memahami ayat atau
hadits, sehingga ia dapat menginterpretasi ide yang terkandung dalam teks.
Dalam ijtihad bentuk pertama ini, seorang mujtahid belum berhadapan dengan
obyek hukum. Setelah seorang mujtahid berhasil menangkap pesan yang terkandung
dalam teks al-Qur’an atau al-Hadits, maka ia baru berhadapan dengan persoalan
bagaimana mengekstraplorasi hukum kepada obyek hukum yang dihadapi. Jika hukum
yang dihasilkan oleh seorang mujtahid tersebut dapat diekstraplorasikan dengan
baik maka persoalan telah selesai. Tetapi sebaliknya, jika hukum yang
dihasilkan dari seorang mujtahid tersebut tidak mencapai kesempurnaan dalam
penyelesaiannya maka ia di anggap gagal dan justeru akan lebih memperkeruh
persoalan.
Umpama
dalam surat at-Talaq ayat 2 Allah SWT berfirman:
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya,
Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena
Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan
baginya jalan keluar.“
Dalam kasus penceraian pada ayat di atas, seorang mujtahid mengetahui
dari ayat ini bahwa saksi harus dari seorang yang adil. Sifat adil inilah yang
akan menjadi obyek penetapan mujtahid pada mukallaf. Dalam kenyataannya, sifat
keadilan ini tidak dapat dilekatkan kepada setiap orang, karena ternyata
kualitas keadilan yang dimiliki seseorang berbeda-beda antara satu dengan lainnya.
Oleh sebab itu, adil yang terkandung dalam ayat tersebut bisa saja tidak
sejalan ketika diterapkan dengan realitas yang ada.
Contoh lain, sesuai dengan kaidah umum yang berlaku dalam hal gugatan
perkara, adalah bahwa pihak penggugat harus dapat mendatangkan alat bukti dan
pihak tergugat harus disumpah jika ia mengingkari. Hal ini sesuai dengan
hadits, dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam
Ahmad bin Hanbal, dan Ibnu Majah. Dalam kaitan dengan hadits atau kaidah di
atas, jika antara seorang pembeli dan penjual barang terjadi perbedaan tentang
barang yang akan dijual/dibeli, maka pembeli mengatakan akan membayar harga
barang menurut kehendaknya apabila barang sudah diserahkan, sedangkan penjual
juga menuntut harga barang yang diinginkan dari pembelinya sehingga ia mau
menyerahkan barang tersebut. Dalam kasus ini seorang mujtahid sulit untuk
menentukan siapa yang menggugat dan siapa yang harus mengemukakan alat bukti,
dan siapa pula yang tergugat hingga dikenakan sumpah apabila mengingkari. Oleh
sebab itu, kandungan hadits atau kaidah umum tersebut tidak dapat diterapkan
dan harus dicarikan jalan keluarnya sehingga sesuai dengan Maqashid
asy-Syari’ah. Dalam kaitan dengan inilah kalangan madzhab hanafi melihat bahwa
dalam kasus tersebut keduanya (penjual dan pembeli) sama-sama penggugat dan
dalam waktu yang bersamaan juga sekaligus menjadi pihak tergugat. Karenanya,
kedua belah pihak harus mengemukakan alat bukti dan sekaligus dikenakan sumpah.
Kedua kasus yang kami kemukakan di atas menunjukkan bahwa tidak selamanya
hasil ijtihad yang diperoleh seorang mujtahid dalam penerapannya harus
diberlakukan sebagaimana adanya, karena dalam kenyataannnya akan ditemui
kendala-kendala lain yang mesti menjadi pertimbangan penerapan hukum. Dalam
kaitan ini Imam asy-Syathibi secara detail membahas ijtihad tathbiqi
Ijtihad tathbiqi mengandung pengertian
bahwa dalam penerapannya ide hukum seorang mujtahid harus melakukan ijtihad
lain yang tidak kalah pentingnya dengan ijtihad istnbathi yang disebutkan di atas. Imam asy-Syathibi kelihatan
sangat memperhatikan kondisi sosio-kultural dan politik dalam menerapkan suatu
hukum. Disinilah letak kelebihan Imam asy-Syathibi menurut para juris Islam daripada
para pakar ushul al-fiqih lainnya.
B. Konsep
Maqashid asy-Syari’ah asy-Syathibi
Secara
global, kitab al-Muwafaqat terdiri dari 4 juz dan
yang berisi dari 5 tema, yaitu: Al-Muqaddimah,[2] Al-Ahkam,[3]
Al-Maqashid,[4]
Al-Adillah,[5]dan Al-Ijtihad wa at-Taqlid.
Pembahasan
mengenai maqashid dalam al-Muwafaqat
terbagi menjadi dua, yaitu Maqashid
al-Mukallaf,
dan Maqashid asy-syari’ atau Maqashid asy-Syari’ah. Ia menegaskan dengan
mendasarkan pada hasil metode induksi (istiqra’)nya:
إن وضع الشرائع إنما هو لمصالح العباد في
العاجل و الأجل معا
”Sesungguhnya Allah SWT membuat syari’at
adalah dalam rangka untuk kemashlahatan bagi hamba-Nya di dunia dan Akhirat.[6]
Pada pendapat lain, asy-Syathibi
mengemukakan:
والمعتمد إنما هو إنا إستقرينا من
الشريعة أنها وضعت لمصالح العباد
“Adapun yang dijadikan pijakan adalah penelitian
kami tentang syari’ah, bahwa syari’at dibuat bertujuan untuk kemashlahatan
hamba.”[7]
Dalam hal ini asy-Syathibi
mendasarkan atas firman Allah SWT:[8]
”(mereka Kami
utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar
supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya
Rasul-rasul itu.
Firman Allah SWT:[9]
”Dan Tiadalah
Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
I
Firman Allah SWT:[10]
”Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Dari pendapat asy-Syathibi tersebut
didukung oleh dalil-dalil Juz’iyyah, seperti firman Allah SWT tentang wudlu’:[11]dalam surat:
“Allah tidak
hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu,”
Firman Allah SWT tentang Qiblat:[12]
“Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka Palingkanlah wajahmu ke
arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu,
Firman Allah SWT tentang Jihad:[13]
”Telah
diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya
mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong
mereka itu,”
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa.”
"Bukankah aku ini
Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi
saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)",
Pembahasan mengenai Maqashid
asy-Syari’ah dalam al-Muwafaqat, oleh asy-Syathibi ditempatkan pada bab tersendiri,
yakni Juz II yang terdiri 62 masalah. Kemudian dari masalah-masalah tersebut ia
membagi menjadi 4 bagian, antara lain:
1.
Bagian pertama
menerangkan tentang tujuan syari’ dalam menetapkan syari’at (Qashdu asy-Syari’ fi wadh’i
as-syari’ah)[16]
Pada bagian ini, asy-Syathibi mengemukakan 13 permasalahan,
tetapi yang menjadi persoalan pokok adalah, apa tujuan syari’ dalam menetapkan
hukum?.
Al-Imam asy-Syathibi mengemukakan bahwa tujuan syari’ dalam
menetapkan hukum adalah untuk mewujudkan dan melestarikan kemashlahatan dunia
dan akhirat, yang adakalanya dengan menarik kemashlahatan atau menolak bahaya
dan kerusakan. Menurutnya, kemaslahatan terbagi menjadi tiga, yaitu Mashlahah yang bersifat Dlaruriyat, Mashlahah yang bersifat Hajjiyat, dan Mashlahah
yang bersifat Tahsiniyat.
Al-Mashlahah
ad-Dlaruriyat adalah sesuatu yang harus ada demi menegakkan kemashlahatan
agama dan dunia, jika tidak, maka kemashlahatan dunia tidak akan bisa
ditegakkan bahkan akan menimbulkan kerusakan dan hilangnya kehidupan.[17]
Kemashlahatan tersebut meliputi: agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal.
Sebagai upaya untuk menjaga lima kemashlahatan diatas, asy-Syathibi
memberikan dua alternatif:
a.
Dari segi eksistensinya (min janib al-wujud)[18]
yaitu dengan cara menjaga hal-hal yang terpenting yang dapat mengokohkan
keberadaannya.[19]
Dalam menjaga agama (ad-Din), seperti: Iman, mengucapkan dua kalimah syahadat,
shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain. Dalam menjaga jiwa dan akal (an-Nafs wa al-’Aql), seperti: makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan
lain-lain. Dalam menjaga keturunan dan harta (al-’Ird wa
al-Mal), seperti: nikah, jual beli dan
mencari rizki.
b.
Dari segi tidak ada (min janib al-‘adam)[20]
yaitu dengan cara menolak hal-hal yang dapat merusak eksistensinya. Dalam
menjaga agama (ad-Din) seperti berjihad, hukuman bagi orang murtad, dan lain-lain, dalam menjaga jiwa seperti Qishas,
Diyat (denda), dan lain-lain, dalam menjaga
akal seperti hukuman bagi peminum Khamr dan sejenisnya, dalam menjaga keturunan
seperti hukuman bagi orang yang berzina, dan bagi orang yang menuduh berzina
yang tidak bisa mendatang saksi, dalam menjaga harta seperti larangan terhadap
praktek riba, memotong tangan pencuri yang sudah mencapai ukuran yang sudah
ditentukan. Sebagaimana perkataannya
Al-Mashlahah al-Hajjiyat adalah sesuatu yang eksistensinya tidak harus terwujud. Jika tidak
terwujud, maka tidak akan menghilangkan eksistensi pada sesuatu yang dituntut,
hanya saja akan mendatangkan kesulitan dan masyaqat bagi mukallaf. Hal ini berlaku dalam persoalan
ibadah, adat, mua’malat, jinayat (tindak kriminal). Dalam ibadah seperti rukhsah, baik bagi orang sakit maupun bagi musafir. Dalam adat seperti diperbolehkan memanah, bersenang-senang
dengan hal-hal yang dianggap baik oleh syara’ (halal) misalnya makan, minum,
pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan lain-lain. Dalam mua’malat seperti akad Qiradh, akad salam, dan lain-lain.[21]
Al-Maslahah
at-Tahsiniyat adalah melakukan hal-hal yang dianggap
layak oleh adat dan menjauhi sesuatu yang secara logika tidak baik. Dalam ibadah
seperti menghilangkan najis dan keseluruhan bentuk thaharah, menutup aurat,
melakukan pekerjaan yang sifatnya sunah misalnya shadaqah, dan lain-lain. Dalam adat
seperti cara makan dan minum, menjauhi makanan yang najis, israf, dan lain-lain. Dalam mua’malat seperti larangan menjual
barang najis, dan lain-lain. Dalam jinayat seperti larangan membunuh perempuan,
anak-anak, Rahib (pendeta).[22]
2.
Bagian kedua menerangkan tentang tujuan syari’ dalam menetapkan
syari’at adalah untuk dipahami (Qashdu asy-syari’ fi wadh’i
asy-syari’ah lil Ifham)[23]
Pada bagian kedua terdapat 5
permasalahan. Asy-Syathibi mengemukakan bahwa tujuan syari’ dalam menetapkan
syari’at adalah agar dapat dipahami oleh mukallaf. Pada bagian ini asy-Syathibi membahas secara detail mengenai peran
Bahasa Arab dalam menggali hukum (istinbath al-ahkam), sebagaimana
berikut:
a.
Syari’at (Islam) diturunkan oleh Allah SWT dengan menggunakan bahasa
Arab,[24]
Sebagaimana firman Allah SWT:[25]
”Sesungguhnya
Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab,”
Firman
Allah SWT:[26]
”Dengan bahasa
Arab yang jelas.”
Firman Allah SWT:[27]
".. Padahal
bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa
'Ajam,[28] sedang Al
Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.
Firman
Allah SWT:[29]
”Dan Jikalau
Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah
mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" Apakah
(patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab?".
Oleh karena itu, dalam memahami syari’at Islam harus
terlebih dahulu memahami dan menguasai gramatika bahasa Arab dan unsur-unsur
yang menjadi bagian terpenting, seperti ilmu Nahwu, Sharaf, balagha, Mantiq,
dan lain-lain. Dalam hal ini asy-Syathibi menegaskan:
فمن أراد تفهمه فمن جهة لسان العرب يفهم
”Barangsiapa
yang hendak memahami syari’at (Islam), maka terlebih dahulu ia harus memahami
lisan al-Arab”[30]
b.
Syari’at yang diturunkan oleh Allah SWT ini adalah Ummiyyah, pendapat asy-Syathibi
ini didasarkan pada firman Allah SWT:[31]
“…Maka
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada
Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya)”
Dari uraian kedua ini sangat jelas,
bahwa syari’at Islam yang diturunkan oleh Allah SWT dan dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW adalah Ummiyyah.
3.
Bagian ketiga menerangkan tentang tujuan syari’at sebagai hukum taklif yang harus dilakukan sesuai dengan tuntutannya (Fi
Bayan qashd asy-syari’ fi wadh’i asy-syari’ah li at-Taklif Bi Muqtadhahu)[32]
Pada bab ini, asy-Syathibi menjelaskan tentang tujuan syari’
dalam menentukan syari’at. Ia menegaskan bahwa tujuan syari’ dalam menentukan
syari’at adalah untuk dilaksanakan manusia sesuai dengan kehendak-Nya. Menurutnya,
bentuk tuntutan tersebut terbagi menjadi dua, yaitu:
a.
Tuntutan yang ada di luar
kemampuan manusia. Dalam hal ini secara tegas al-Imam asy-Syathibi menjelaskan,
sebagaimana berikut:
فمالاقدرة للمكلف عليه لايصح التكليف به شرعا وإن
جاز عقلا
”Bentuk taklif yang ada di luar kemampuan manusia
secara syar’i tidak sah untuk dibebankan kepada mukallaf, meskipun secara akal
memungkinkan untuk dilakukan.”[33]
Dari penjelasan ini dapat diambil pengertian bahwa semua bentuk taklif yang ada di luar kemampuan
manusia tidak masuk dalam kategori tuntutan syari’.
Dalam kaidah lain, asy-Syathibi menegaskan, sebagaimana berikut:
إذا ظهرمن الشارع في بادئ الرأي القصد إلي ا لتكليف ما لايدخل
تحت قدرة العبد فذلك راجع في التحقيق إلي سوابقه ولواحقه وقرائنه
”jika ada teks syara’
(setelah adanya analisis mendalam) ternyata teks tersebut menunjukkan perintah
yang tidak mungkin untuk dilakukan oleh manusia, maka teks itu harus
dikembalikan kepada perkara-perkara dahulu (sawabiqihi), perkara-perkara yang
datang kemudian (lawahiqihi), dan perkara-perkara yang menyertainya
(qaraa’inihi).[34]
Asy-Syathibi mencontohkan pada hal-hal yang harus dikembalikan kepada
perkara dahulu (sawabiqihi), sebagaimana firman Allah
SWT:[35]
”Dan
janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.”
Contoh hal-hal yang dikembalikan kepada perkara-perkara
yang datang kemudian (lawahiqihi), sebagimana sabda Nabi Muhammad SAW :
كن عبدالله المقتول ولاتكن عبدالله القاتل
Dan
perkara-perkara yang menyertainya (qara’inihi), seperti sabda
Nabi Muhammad SAW :
لاتمت وأنتم ظالمون
“Janganlah kamu mati, sedangkan kamu
dalam keadaan berbuat dlalim”
b.
Tuntutan yang mampu untuk
dilaksanakan oleh manusia, tetapi didalamnya terdapat masyaqah. Menurut asy-Syathibi,
dalam masalah ini syari’ tidak hendak bermaksud membuat masyaqat bagi mukallaf, namun sebaliknya,
syari’ bertujuan memberikan kemudahan (at-Taisir).
Misalnya,
syari’ mewajibkan berjihad, perintah ini bukan berarti ingin agar hambanya
binasa, tetapi syari’ hendak mempermudah dalam amar ma’ruf dan nahi
munkar. Demikian pula bentuk-bentuk hukum yang sudah menjadi ketentuan syari’
seperti hukum Qishash, hukum dera, dan
lain-lain. Semuanya adalah untuk kebaikan manusia.
Menurut asy-Syathibi: Jika ternyata
didalam taklif terdapat hal-hal yang diduga keras
sebagai masyaqat, maka sebenarnya hal tersebut bukanlah
masyaqat tetapi kulfah, yaitu sesuatu yang selalu melekat pada aktifitas manusia
dan tidak mungkin untuk dipisahkan darinya, seperti mencari nafkah, siang dan
malam seseorang mencari nafkah untuk kehidupan keluarganya. Pekerjaan seperti
ini tidak masuk dalam kategori masyaqat, tetapi semua aktifitas yang ia
lakukan memang suatu keharusan bagi orang tersebut untuk menghidupi
keluarganya. Oleh karenanya, dalam syari’at Islam bentuk aktifitas tersebut
tidak dinamakan masyaqat. [37]
Dalam persoalan ini, asy-Syathibi membagi masyaqat menjadi dua,
yaitu Masyaqat
Mu’tadah, sebagaimana keterangan di atas, dan Masyaqat
Ghair Al-Mu’tadah, yaitu masyaqat yang tidak dapat
dilakukan oleh mukallaf, seperti
keharusan berpuasa bagi orang sakit. Untuk mengatasi masyaqat ini syari’
memberikan alternatif yang berupa rukhshah.[38]
4. Bagian keempat menerangkan
tentang tujuan syari’ dalam
membebani mukallaf untuk
melaksanakan syari’at-Nya (Qashdu
asy-syari’ fi dukhul al-mukallaf tahta ahkam asy-syari’ah)[39]
Bagian keempat ini terdiri
dari 20 masalah dan termasuk pembahasan yang paling panjang di antara bab yang
lain, namun dari persoalan-persoalan tersebut terdapat dua hal yang menjadi
inti pembahasan, yaitu:
a. Syari’ membebani mukallaf
untuk melaksanakan syari’at-Nya adalah agar aktifitas mukallaf tidak terjerumus kedalam keinginan hawa nafsu belaka,
sehingga menjadi hamba yang selamat di dunia dan akhirat.
b. Setiap perbuatan mukallaf harus selalu mengikuti petunjuk syara’, karena perbuatan yang hanya mengikuti hawa nafsu
belaka, akan mengakibatkan kerusakan dan mendapati kerugian bagi manusia itu
sendiri baik di dunia maupun di akhirat. Dalam hal ini asy-Syathibi menegaskan:
إن
اتباع الهوي طريق الي المذموم وإن جاء في ضمن المحمود
”Mengikuti hawa nafsu merupakan jalan menuju hal-hal yang
tercela, meskipun perbuatan itu berada dalam bingkaian sesuatu yang terpuji,”[40]
Disinilah pentingnya
setiap mukallaf agar selalu mengikuti petunjuk
syari’.
C. Temuan
Penelitian
Berdasarkan
analisis penulis yang terkait dengan memahami konsep maqashid asy-syari’ah asy-Syathibi. Bahwa dalam
pembahasan mengenai maqashid
asy-syari’ah,
ia telah membahas secara detail.
Secara
global, asy-Syathibi mengklasifikasikan maqashid asy-syari’ah menjadi empat bagian, yaitu tujuan awal dari syari’at yakni
kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat, syari’at sebagai sesuatu yang
dipahami, syari’at sebagai hukum taklif
yang harus dilakukan, dan tujuan syari’at adalah membawa manusia ke bawah
naungan hukum.
Bagian
pertama, asy-Syathibi membahas tentang tingkatan maqashid asy-syari’. Ia mengklasifikasikan menjadi
tiga bagian, yaitu adh-dharuriyat,
al-hajjiyat,
dan at-tahsiniyat.
Tingkatan
pertama merupakan sesuatu yang harus ada demi untuk menegakkan kemashlahatan
agama dan dunia. Tidak terpenuhinya tingkatan ini akan menimbulkan kerusakan
dan hilangnya kehidupan. Kemashlahatan ini meliputi: agama, jiwa, keturunan,
harta, dan akal.
Sebagai
upaya untuk menjaga lima kemashlahatan yang menjadi unsur terpenting tersebut, asy-Syathibi
memberikan dua alternatif, yaitu dengan menjaga hal-hal yang dapat mengokohkan
keberadaannya dan menolak hal-hal yang dapat merusak eksistensinya.
Tingkatan
kedua merupakan sesuatu yang eksistensinya tidak harus ada, hanya saja akan
menimbulkan masyaqat bagi mukallaf. Sedangkan tingkatan ketiga
adalah kemashlahatan yang keberadaanya untuk menyempurnakan lima unsur pokok di
atas.
Bagian
kedua, asy-Syathibi menjelaskan tentang peran bahasa Arab dalam menetapkan
hukum (istinbath al-ahkam). Disini, ia memerankan
bahasa Arab sebagai sesuatu yang paling urgen dalam menetapkan hukum Islam.
Oleh karena itu, syari’at Islam tidak dapat dipahami dengan selain bahasa Arab.
Selanjutnya,
asy-Syathibi mengatakan bahwa syari’at Islam diturunkan oleh Allah SWT adalah ummiyyah. Sebagai kosekwensinya, setiap
orang yang akan menggali hukum Islam harus memahami tata bahasa Arab dan tidak
bisa dipaham dengan yang lainnya.
Bagian
ketiga, asy-Syathibi berpendapat bahwa setiap hukum yang dibebankan kepada
manusia wajib dilakukan. Dari sini timbul pertanyaan, bagaimana jika ternyata
ada hukum yang tidak mampu untuk dilaksanakan manusia?. Menurut asy-Syathibi,
setiap bentuk taklif yang ada diluar
kemampuan manusia secara syar’i tidak sah untuk
dibebankan kepada mukallaf, meskipun secara akal
pembebanan tersebut dapat dilakukan.
Pada
pembahasan ini, asy-Syathibi mengklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu
tuntutan yang ada diluar kemampuan manusia, dan tuntutan yang dapat dilakukan
oleh manusia.
Bagian
keempat, asy-Syathibi mengemukakan bahwa tujuan syari’ dalam pensyari’atan
adalah untuk dilakukan mukallaf sesuai dengan tuntutan-Nya.
Pada
bagian ini, asy-Syathibi membahas tentang tujuan dalam pensyari’atan.
Menurutnya, syari’ membebani mukallaf untuk melaksanakan syari’at-Nya adalah agar aktifitas mukallaf tidak terjerumus kedalam
keinginan hawa nafsu belaka, sehingga menjadi hamba yang selamat di dunia dan
akhirat. Asy-Syathibi juga menegaskan bahwa setiap pekerjaan mukallaf harus
selalu mengikuti petunjuk syari’.
[1] Abdul Azis Dahlan
(et.all), Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
cet. V, 2001, Jakarta, hal. 1699.
[3] Pada tema ini asy-Syathibi membahas hukum taklifi dan hukum wadh’i yang masing-masing ada lima macam, selain itu ia juga
menjelaskan tentang keterkaitan kedua hukum tersebut dengan Maqashid asy-Syari’ah
[4] Tema ini menjadi pembahasan yang paling inti dalam kitab
al-muwafaqat, karena pembahasan mengenai Maqashid asy-Syari’ah inilah kitab tersebut menjadi perbincangan dan juga menjadi
obyek kajian para juris Islam masa kini. Pada kesempatan ini, penulis juga akan
memfokuskan kajian pemikiran asy-Syathibi mengenai Maqashid asy-Syari’ah
[5] Al-Ijtihad wa at-Taqlid, pada tema ini asy-Syathibi
menguraikan secara detail mengenai al-ijtihad
dan at-taqlid
[7] Ibid.
[19] Dari segi eksistensinya, asy-Syathibi mengklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu: Fi ushul
al-‘badaat
(Hifz ad-Din) yaitu hal-hal yang
menjadi bagian terpenting dalam agama, Fi al-‘Adaat (hifz an-Nafs dan
al-‘Aql),
dan Fi al-Mu’amalat (hifz an-Nasl dan al-Mal).
[24] Ibid.
[25]Yusuf (12) ayat 2
[26] Asy-Syu’ara’(26) ayat 195
[28] Bahasa 'Ajam ialah bahasa selain bahasa Arab dan dapat juga berarti
bahasa Arab yang tidak baik, karena orang yang dituduh mengajar Muhammad itu
bukan orang Arab dan hanya tahu sedikit-sedikit bahasa Arab.
[31] Al-‘Araf (7) ayat 158
[32]
Ibid. 42-73
[33]
Ibid, hal. 72
[36] Hadits Rasulullah SAW di atas secara lahirnya
membebani agar orang lain membunuhnya, tetapi hakikatnya adalah agar tidak
berbuat dlalim dan tidak memulai
permusuhan. Jadi yang dimaksud adalah janganlah berbuat dlalim.