TANGGAPAN
TERHADAP DOKTRIN ULIL ABSHAR ABDALLA
tentang
DOKTRIN-DOKTRIN YANG KURANG PERLU DALAM ISLAM
(dimuat di www.islamlib.com
7-01-2008)
Oleh :
KH. Afifuddin Muhajir
Setidaknya ada tiga hal yang mendorong
saya untuk menanggapi tulisan saudara Ulil Abshar Abdalla tentang
doktrin-doktrin agama yang menurutnya kurang perlu atau tidak perlu sama sekali
:
1.
Husnud dzan saya kepada
saudara Ulil bahwa dia bukan orang yang keras kepala yang enggan menerima
kebenaran.
2.
Ketidakpercayaan saya pada
anggapan sebagian orang bahwa Ulil telah sinting.
3.
Keyakinan saya bahwa Ulil tidak
akan berani berseberangan dengan tuhan.
Saya yakin
bahwa saudara Ulil masih meyakini shalat, zakat, dan haji sebagai perintah
Allah yang wajib dilaksanakan dan saya yakin pula bahwa ketika berhaji dia juga
ikut thawaf, sa'i dan melontar jumrah, meski pasti bukan karena telah memahami
maksud-masksudnya, melainkan karena meyakini itu sebagai perintah Tuhan. Tentu
bukan hanya seorang Ulil, orang yang paling jenius pun asal dia muslim pasti
tunduk melakukan amaliah-amaliah ritual seperti itu dan tidak akan pernah
berfikir untuk menghapusnya dengan alasan tidak perlu atau tidak relevan.
Memang itu ibadah ritual yang berbasis ketundukan dan kepasrahan kepada yang
maha kuasa. Tetapi bukankah semua amaliah yang kita lakukan dalam kerangka
agama harus berbingkai ketundukan dan kepasrahan, karena esensi dari
keberagamaan adalah ketundukan dan kepasrahan itu. Saya melihat ada orang yang
salah paham dalam soal ini dan yang pertama kali salah paham adalah Iblis
ketika diperintah oleh Allah swt agar sujud kepada Nabi Adam as. Karena
pemahamannya yang salah, Iblis merasa tidak pantas bersujud kepada Nabi Adam
as. Padahal sujud kepada siapapun asal Allah yang menyuruh pada hakikatnya
adalah bersujud kepada Allah.
Apakah
saudara Ulil termasuk yang salah paham atau justru saya yang salah paham? Untuk
itu, perlu membaca tulisan saudara Ulil tentang beberapa hal dalam Islam yang
menurutnya tidak perlu, berikut tanggapannya sebagai berikut :
Satu,
doktrin 'ishmah al-nubuwwah (bahwa Nabi tidak bisa berbuat salah).
Istilah Nabi ma'shum tidak bermakna Nabi tidak bisa berbuat salah, ia
lebih tepat bermakna Nabi tidak pernah dibiarkan berbuat salah, karena pernah
beberapa kali Nabi mendapat teguran dari Allah. Ini berarti bahwa semua yang
keluar dari Nabi selama tidak ditegur oleh Allah berarti benar.
Doktrin 'ishmah
al-nubuwwah ini lahir dari ayat-ayat al-Qur'an yang berisi perintah kepada
kaum muslimin untuk mengikuti Nabi, menta'atinya dan ber-uswah kepadanya
tanpa ada qayid (tanpa catatan) bila benar. Tentu ini bukan dalam
hal-hal yang bersifat duniawi semisal cara menanam pohon yang baik, taktik dan
strategi perang dan sebagainya. Sebab, dalam persoalan ini, Nabi bersabda,
"Kamu lebih tahu dengan urusan duniamu" (HR. Imam Muslim). Mengatakan
bahwa doktrin 'ishmah al-nubuwwah tidak perlu, sama halnya dengan
mengatakan bahwa mengikuti dan meneladani Nabi tidak perlu, karena apa perlunya
kita mengikuti dan meneladani Nabi bila beliau sendiri belum tentu benar,
kecuali jika ukuran benar dan salah kita sendiri yang membuatnya.
Dua,
doktrin tentang sumber hukum.
Anggapan
bahwa Ahlussunnah membatasi sumber hukum hanya pada empat ; al-Qur'an, hadits,
ijma', dan qiyas adalah tidak benar. Entah dari mana saudara Ulil memperoleh
informasi tentang hal ini, karena banyak sumber selain dari yang empat tersebut
yang juga menjadi acuan kalangan Ahlussunnah, seperti istihsan, maslahah
mursalah, 'urf dan seterusnya. Yang dikenal membatasi sumber hukum pada empat
ini adalah Imam Syafi'i yang tidak selalu identik dengan al-Syafi'iyah (ulama
pengikut madzhab Syafi'i). Menurut saya, pembatasan pada sumber-sumber terkenal
tersebut sangat logis karena hukum yang kita maksudkan adalah hukum Islam yang
sering disebut dengan "hukum Allah", yaitu hukum yang diyakini atau
diduga kuat sebagai hukum Allah yang mempunyai konsekuensi tsawab dan 'iqab
di akhirat. Bagi kalangan Ahlussunnah, hukum Allah hanya bisa diambil dari
wahyu Allah (al-Qur'an dan hadits) atau sumber-sumber lain yang diyakini
mendapat mandat dari wahyu Allah, seperti ijma' dan qiyas.
Rasa husnudz
dzan saya yang sangat tinggi pada Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain membuat saya tidak ragu sama
sekali akan integritas dan obyektifitas mereka. Justru saya ragu akan
obyektifitas saudara Ulil yang telah menuduh mereka sebagai alat ortodoksi
Islam untuk mempertahankan status quo.
Tiga,
doktrin inqitha' al-nubuwwah (bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi akhir
zaman).
Saya pikir
kita tidak berhak menentukan bahwa setelah Nabi Muhammad akan ada Nabi lagi
atau tidak, karena ini adalah hak prerogatif Tuhan. Rasanya kita sangat su'ul
adab kepada Tuhan kalau sampai ikut campur dalam urusan ini, sama su'ul
adab-nya dengan mengatakan bahwa Allah swt perlu mengutus utusan di atas
bumi ini atau mengatakan sebaliknya, yakni Allah tidak perlu mengutus utusan.
Kalau kita mengatakan perlu, seolah-olah kita ragu akan ke-mahakuasa-an Allah
menciptakan kemaslahatan di atas bumi tanpa kehadiran seorang utusan.
Menyatakan tidak perlu berarti kita menyalahkan Tuhan yang telah banyak
mengutus utusan. Maka, seharusnya
urusan ini kita serahkan saja kepada kebijakan Tuhan. Dengan acuan nash
al-Qur'an dan hadits, sampai saat ini kaum muslimin berkeyakinan bahwa
kebijakan Tuhan dalam soal ini adalah inqitha' al-nubuwwah. (Tidak
adanya Nabi setelah Rasulullah Muhammad SAW)
Empat, doktrin nasikh-mansukh atau tashhih
mentashhih antar agama.
Seharusnya kita tidak perlu ambil pusing
dengan persoalan nasikh-mansukh atau tashhih mentashhih antar
agama, karena kita hanya sebagai pemeluk agama. Agama yang kita anut bukan kita yang membuatnya
dan doktrin-doktrinnya pun bukan kita yang merumuskan. Jika pemeluk suatu agama
percaya bahwa agama yang mereka anut telah menghapus agama-agama yang lain
tentu karena kitab suci yang mereka yakini datang dari Tuhan telah mengatakan
demikian dan pasti mereka tidak berani menganulirnya. Selain itu, kepercayaan
demikian merupakan perwujudan dari keyakinan mereka yang sangat kuat terhadap
kebenaran agama mereka. Dan hal itu sah-sah saja bahkan sangat positif. Yang
tidak sah adalah melakukan tindak kekerasan dan arogansi atas nama agama baik
secara fisik maupun psikis. Tukar menukar pengalaman dan saling belajar di
antara para pemeluk agama tidak dilarang, bahkan perlu. Yang dilarang adalah
tukar menukar prinsip dan mengorbankan substansi keberagamaan yakni ketundukan
dan kepasrahan pada ketentuan Tuhan.
Al-Qur'an sebagai
kitab suci agama Islam di antara doktrinnya menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW
diutus sebagai pembenar terhadap rasul-rasul Allah sebelumnya dan al-Qur'an
diturunkan sebagai pembenar terhadap kitab-kitab Allah yang diturunkan
sebelumnya. Jadi, al-Qur'an tidak menghapus prinsip-prinsip ajaran kitab Taurat
dan kitab Injil maupun kitab-kitab Allah yang lain. Hanya saja, Allah melalui
al-Qur'an menyuruh para penganut kitab Taurat (Yahudi), penganut kitab Injil
(Nasrani) dan yang lain agar melengkapi iman mereka dengan beriman kepada Nabi
Muhammad dan al-Qur'annya.
Lima, doktrin bahwa kesalehan ritual lebih unggul
ketimbang kesalehan sosial.
Saya sendiri tidak setuju dengan doktrin bahwa kesalehan ritual lebih
unggul dari pada kesalehan sosial. Akan tetapi, saya setuju dengan
orang yang mengatakan bahwa orang yang saleh secara ritual pasti saleh secara
sosial. Ini berangkat dari doktrin lain bahwa ibadah shalat dan ibadah-ibadah
ritual yang lain bila dilakukan dengan ikhlas, khusyu', dan khudlu' di
hadapan al-ma'bud pasti melahirkan kepekaan sosial, kerendahan hati, dan
kasih sayang terhadap sesama serta menghilangkan sifat-sifat tercela, seperti
kikir, egoisme, sombong, dan sebagainya. Sedang apa yang kita lihat selama ini
boleh jadi hanya merupakan format kesalehan bukan hakikat kesalehan.
Enam, doktrin bahwa orang yang mengikuti agama lain
adalah kafir.
Sampai saat ini, hampir semua kaum muslimin –kalau tidak menyatakan
semuanya- meyakini Islam sebagai satu-satunya jalan mencari selamat dan bahwa mereka
yang berada di luar Islam adalah kafir, karena memang sampai saat ini pembagian
agama bersifat dikotomis (tsuna'i) yakni Islam dan kufr. Tidak ada agama
yang bukan Islam dan bukan kufr. Keyakinan di atas tertanam begitu kuat di
dalam hati kaum muslimin secara idlthirari bukan ikhtiyari.
Artinya, keyakinan itu lahir bukan karena mereka sengaja memilih keyakinan
seperti itu, akan tetapi karena dasar-dasar yang menjadi acuannya begitu terang
benderang sehingga sangat mudah menggiring lahirnya pemahaman dan keyakinan
tersebut. Keyakinan seseorang bahwa agama lain itu salah merupakan konsekuensi
logis dari keyakinan bahwa agamanya sendiri yang benar. Merupakan suatu hal
yang tidak mungkin memadukann antara dua keyakinan; di satu sisi meyakini bahwa
kerasulan Muhammad kepada seluruh alam itu haq, di sisi lain meyakini kebenaran
agama lain yang mengingkari kerasulan Muhammad itu.
Tujuh, tentang klaim sekte tertentu dalam lingkaran suatu
agama sebagai kelompok yang benar atau al-firqah al-najiyah.
Kita sepakat bahwa ajaran tawadlu' harus ditanamkan, Sikap arogan harus
dicegah dan klaim bahwa diri sendiri pasti masuk surga sedang orang
lain pasti masuk neraka harus dihilangkan. Sebab, kehidupan ini berubah-ubah.
Orang lain yang sekarang dianggap sesat, boleh jadi beberapa saat sebelum mati
mendapat hidayah. Sedangkan diri sendiri yang sekarang sedang merasa dalam
hidayah tidak mustahil beberapa saat sebelum meninggal berubah menjadi orang
sesat.
Ajaran tawadlu' perlu dikembangkan dalam bentuk penekanan sikap toleransi
menghadapi kelompok lain yang dianggap bermasalah atau salah dan tentu bukan
dengan cara mengajak orang untuk menjustifikasi agama lain atau faham lain yang
diyakini tidak benar, karena ini bukan kerendahan hati tapi ketololan.
Delapan, doktrin bahwa jika kitab suci
mengatakan A, maka usaha rasional harus berhenti.
Yang hendak saya katakan di sini ialah bahwa kaidah 'la ijtihada fi
mahal al-nassh' bukan firman Allah dan bukan sabda Nabi. Oleh sebab itu,
mempunyai potensi untuk diterima atau ditolak. Para ulama yang menerima kaidah
tersebut tidak satu kata tentang apa yang dimaksud dengan 'nassh' itu. Sebagian
dari mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah nassh sebagai lawan dari
dhahir. Jadi, berarti teks al-Qur'an dan hadits yang mono-tafsir semisal Qul
Huwa Allahu Ahad dan Muhammadun Rasulullah. Bahkan, pada nash-nash
yang dianggap mono-tafsir pun ada ruang untuk berijtihad dan berdiskusi, yaitu
menyangkut hal-hal yang bersifat amaliyah waqi'iyah tarikhiyah dalam
konteks aplikasinya di tengah-tengah kehidupan. Tentang bahwa firman Allah
tidak mungkin salah pasti kita semua sepakat termasuk saudara Ulil sendiri
tentunya. Yang mungkin salah adalah penafsiran dan penerapannya. Bila dalam
kondisi tertentu ada firman Tuhan yang menurut nalar manusia berat untuk
diaplikasikan secara lafdhan wa ma'nan tidak boleh dipahami bahwa firman
itu bergeser dari benar menjadi salah, karena kehidupan ini berputar bagikan
roda. Kondisi yang kini kurang kondusif, pada saatnya nanti akan kembali
kondusif.
Sembilan, doktrin bahwa hukum hanya bisa dibuat
oleh syari' (Tuhan).
Dalam Islam, aturan hukum dimaksudkan bukan semata-mata untuk mewujudkan
ketertiban di muka bumi. Justru yang paling utama adalah untuk menguji ketaatan
manusia pada aturan tuhannya. Perlu diingat bahwa status yang tidak pernah
lepas dari manusia selain sebagai khalifatullah adalah statusnya sebagai
abdullah (hamba Allah). Deklarasi al-Qur'an tentang kedudukan manusia
sebagai hamba tidak kalah jelas dari deklarasinya tentang kedudukan manusia
sebagai khalifah. Tentu, penghambaan manusia secara total kepada Tuhannya,
bukan hanya dalam bentuk amaliah ritual seperti shalat dan puasa, melainkan
juga dalam bentuk ketaatan pada aturan-aturan hukumnya. Ini artinya bahwa dalam
melaksanakan tugas kekhalifahan, manusia tidak boleh lepas dari aturan-aturan
yang ditentukan sendiri oleh Allah dan harus menjadikan seluruh amal salehnya
semata-mata karena Allah, bukan karena manusia atau karena yang lain agar tidak
menjadi hamba manusia atau hamba yang lain. Kalau kita wajib taat kepada orang
tua atau negara misalnya itu karena diperintahkan oleh Allah.
Sepuluh, doktrin bahwa kitab suci seluruhnya
bersifat supra historis.
Perbincangan tentang apakah kitab suci bersifat supra sejarah atau tidak
secara substansial identik dengan perdebatan sengit yang terjadi pada masa
klasik, yaitu apakah al-Qur'an itu qadim atau hadits? Apa material atau
immaterial? Apakah hukum-hukum yang terkandung di dalamnya Mu'allal atau tidak?
Dan kalau mu'allal apa yang dimaksud dengan 'illat itu? Sebagai
kalam ide, firman Allah seluruhnya bersifat supra sejarah dan secara potensial bisa
diamalkan di tengah-tengah kehidupan. Sedang dalam tataran penafsiran dan
pengamalan secara riil terdapat bagian-bagian firman Allah yang lengket dengan
sejarah. Berhubung kehidupan ini berputar sebagaimana saya katakan di depan,
maka dalam menafsiri kitab suci yang lengket dengan sejarah berlaku mekanisme buruz
(lahirnya makna) dan kumun (tersembunyinya makna). Sedang dalam
pengamalan secara riil berlaku konsep tanfidz (melaksanakan) dan waqf
al-tanfidz (menghentikan pelaksanaan sementara). Konsep azimah dan rukhshah
yang terkenal dalam ushul fiqh sangat terkait dengan persoalan ini.
Sebelas, doktrin bahwa Islam bisa menjawab atau
menyelesaikan semua masalah.
Islam sangat potensial untuk dapat menyelesaikan semua masalah. Secara riil
belum tentu. Tetapi, yang jelas melaksanakan petunjuk-petunjuk Islam merupakan
suatu prestasi yang mempunyai nilai tersendiri di hadapan Tuhan. Perkara bisa
atau tidak bisa menyelesaikan persoalan
keduniaan adalah soal lain. Ibarat sebuah perjuangan, ada kalanya sukses, ada
kalanya gagal. Bila gagal, belum tentu karena petunjuk dan aturan mainnya salah
atau jelek. Sangat boleh jadi karena terbatasnya kemampuan manusia yang hanya
bisa melakukan sebab, tetapi tidak kuasa menciptakan akibat.@
0 komentar:
Posting Komentar